Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gideon Mario
"Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat, dapat diajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan. Pada kenyataannya banyak sekali alasan yang dapat diajukan untuk melakukan pembatalan perkawinan. Bentuk penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Pada penulisan ini, penulis berusaha melakukan analisis apakah pertimbangan hakim dalam putusan nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembatalan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan dalam kasus ini adalah karena kelainan seksual. Kelainan seksual dalam kasus ini baru diketahui setelah pernikahan berjalan 3 bulan. Sehingga dalam penulisan ini penulis mencoba untuk menganalisis apakah kelainan seksual termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka seperti yang terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Ternyata dapat ditemukan bahwa kelainan seksual dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan karena termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka. Penulis menyarankan kepada setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan untuk lebih terbuka kepada pasangannya.

A marriage which doesn?t fulfill the conditions, can be filed for annulment to the court. In fact many reasons can be proposed to cancel the marriage. The form of this paper is the normative juridical research studies that are legally refers to legal norms contained in laws and regulations relating to the marriage annulment. At this paper the authors try to do an analysis from the verdict of south Jakarta Religious Court No. 0294/Pdt.G/2009/PA.JS. Marriage annulment reason in this case is due to sexual variations. Sexual abnormality in this case be known after the marriage runs 3 months. The author tried to analyze what sexual variations include the clause fraud and one thought as found in Article 27 paragraph (2) of Act 1/74 and Article 72 paragraph (2) Compilation of Islamic Law. Finally author also found that sexual abnormality can be grounds for marriage annukment, including the clause fraud and wrong. Authors recommend to every couple who will be more receptive to mating for the spouse."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45447
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, E. Fernando M.
"Hans Kelsen hidup di antara tahun 1881-1973. Pada periode buku itu terbit, Hans Kelsen masih tinggal di Eropa. Baru setelah tahun 1940, Kelsen dan keluarganya pergi meninggalkan Eropa, dan pindah ke Amerika Serikat. Pada periode Kelsen tinggal di Eropa, gerakan filsafat yang terkenal di Eropa adalah Lingkaran Wina (Vienna Circle). Lingkaran ini berdiri di Universitas Wina, dipimpin Moritz Schlick [1882-1936], dan terdiri atas beberapa filsuf dan ilmuwan. Menurut catatan Nicoletta Bersier Ladavac, Hans Kelsen tidak termasuk yang rutin hadir dalam pertemuan-pertemuan lingkaran tersebut. Namun, Kelsen secara reguler berhubungan dengan tokoh-tokoh lingkaran tersebut."
Jakarta: PT. Nas Media Indonesia, 2023
340.1 MAN n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Destya Lukitasari Pahnael
"ABSTRAK
Kedudukan larangan tindakan penyiksaan sebagai norma hukum yang tak
terbantahkan (jus cogens) sudah mendapatkan tempat di tatanan komunitas hukum
internasional. Eksistensi larangan tindakan penyiksaan sebagai bagian dari norma hukum tak
terbantahkan jus cogens sesungguhnya berasal dari kewajiban negara-negara untuk menjaga
keamanan dunia, dan atau menjamin keadaan yang aman dan kedudukan negara-negara
merdeka yang sama satu dengan lainnya. Kedudukan larangan tindakan penyiksaan sebagai
norma hukum tak terbantahkan yang berasal dari kewajiban negara-negara untuk memelihara
kondisi hidup bersama yang damai ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan kewajiban
negara-negara untuk menjamin kehidupan warga negaranya untuk dapat hidup dalam kondisi
damai, baik kehidupannya sebagai pribadi ataupun bernegara. Hal demikian dalam perspektif
hukum disebut dengan kewajiban negara untuk menjamin warga negara mendapatkan hak
asasi manusia yang dimilikinya.
Hubungan ini seringkali dipertanyakan oleh berbagai pihak, khususnya tentang
darimana hubungan ini berasal. Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa bahkan
sebelum diadopsi dalam aturan-aturan dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian
Internasional, prinsip-prinsip hak asasi manusia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
norma hukum tak terbantahkan jus cogens. Seperti dikatakan oleh Alfred Von Verdross lewat
artikelnya yang berjudul Forbidden Treaties in International Law bahwa ada jenis-jenis
perjanjian internasional yang tidak dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat hukum
internasional, jenis-jenis perjanjian internasional ini adalah perjanjian internasional yang
mengurangi kedaulatan negara tersebut untuk mengatur dirinya sendiri demi melindungi
warga negaranya dan memelihara kondisi kehidupan yang aman, kemerdekaan pribadi dan
hak kepemilikan dari tiap individu dalam wilayah negara tersebut. Pendapat Verdross ini
dikeluarkan pada saat doktrin hak asasi manusia yang berlaku dalam komunitas internasional
sama sekali belum dikenal, kepentingan akan kekuatan moral ini kemudian dibuktikan
kebenaran dan intensitasnya lewat tekad bersama agar beberapa hak asasi manusia
dinyatakan sebagai sesuatu yang tak terbantahkan lewat kehendak negara-negara.

ABSTRACT
Prohibition against torture as international peremptory norm of Jus Cogens already
gain such valid recognition in international law community. Basically the existence of
prohibition against torture as international peremptory norm of jus cogens comes from every
State's responsibility to maintain the world peace and security all along with the living order
of all the independent states. This prohibition against torture as international peremptory
norm of jus cogens which arose from the responsibility of all states in the world to maintain
peace and legal world order has a very strong relationship with the core responsibility of the
state's to assure their people live in peace one another as an individual and as a community
which embodies in State. This kind of responsibility, in legal's perspective, recognized as the
responsibility of a State to assure their people could execute their human rights.
The core relationship between human rights and prohibition against torture as
international peremptory norm of Jus Cogens sometimes being put into question by a lot of
people in community of international law, mostly about the source of this relationship.
However it can't be denied that even before the peremptory norms of jus cogens being
recognized in Vienna Convention on the Law of Treaties, principles of human rights are
already being a very important part of the norms itself. As been said by Alfred Von Verdross
through his writing in Forbidden Treaties in International Law that there's several kind of
treaties that can't be applied in daily life of community of international law, this kind of
treaties are the one who reduce the sovereign power of States in order to ensure all the people
in the world got their rights of peace, security, freedom and possession in the nation. This
statement introduced when the principles and doctrine of international law haven't
recognized yet, the urgency of it's moral content proofed later by State's consensus of how
important the human rights principle being recognized as a part of international peremptory
norms.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43887
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kukuh Komandoko
Depok: Rajawali Press, 2023
332.1 KUK k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Huang, Septeven
"Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan Hindia Belanda penting yang masih diberlakukan oleh Republik Indonesia, meskipun peraturan tersebut dibentuk jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Skripsi ini membahas bagaimana peraturan perundang-undangan Hindia Belanda tersebut diberlakukan, kedudukannya dalam hierarki norma hukum Republik Indonesia, serta implementasi dari keberlakuan peraturan tersebut setelah dibatasi oleh norma hukum Republik Indonesia. Dalam menganalisis peraturan perundang-undangan Hindia Belanda tersebut, digunakan metode penelitian yuridis-normatif berdasarkan studi pustaka yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan sudut pandang sejarah serta filsafat hukum. Dengan hasil penelitian bahwa peraturan perundang-undangan Hindia Belanda berlaku secara parsial serta setara dengan undang-undang karena terjadi proses pembentukan hukum berupa resepsi dalam aturan peralihan di Undang-Undang Dasar 1945.

ABSTRACT
There are numerous Netherlands East Indies regulations that are still in use within the Republic of Indonesia’s legal system, even though those regulations are created far before the Republic of Indonesia was born. This research analyzes how those regulations are still considered valid and implemented within the Indonesian legal system. To analyze those Netherlands East Indies regulations, a normative juridical method based on literature studies on valid regulations with legal history and jurisprudence perspectives. With results showing that Netherlands East Indies regulations are still partially used in Indonesia with the same level as parliamentary law because of the reception based law creation process in the transitional clause of Indonesia’s constitution of 1945.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ndaru Hidayatulloh
"Skripsi ini membahas mengenai pengadilan yang tepat untuk menguji peraturan kebijakan. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yang dilakukan dengan studi pustaka digunakan untuk mencari kejernihan mengenai peraturan kebijakan dan selanjutnya menentukan lembaga pengadilan mana yang tepat untuk melakukan pengujian. Pemerintah sebagai badan hukum publik memiliki 2 (dua) fungsi, yakni sebagai eksekutif dan administrator. Fungsi eksekutif dijalankan berdasarkan kewenangan atribusi dan delegasi. Sedangkan, fungsi administratif dijalankan berdasarkan kewenangan diskresi. Peraturan kebijakan merupakan salah satu tindakan hukum pemerintah sebagai administrator. Berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada masyarakat, peraturan kebijakan hanya berlaku kepada bawahan dari pejabat yang mengeluarkan. Di Indonesia, peraturan kebijakan telah diuji melalui 3 (tiga) jenis peradilan, yakni Mahkamah Agung, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Negeri. Ketiga peradilan tersebut pun menyatakan peraturan kebijakan sebagai kompetensi absolut didasarkan bentuk, norma hukum, dan pejabat yang mengeluarkan. Berdasarkan teori perundang-undangan, pengujian peraturan kebijakan yang memiliki norma hukum umum - abstrak serta tidak diundangkan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri. Maka, seyogyanya, peraturan kebijakan tidak disamakan dengan peraturan perundang-undangan serta keputusan tata usaha negara.

This thesis discusses the appropriate court to test policy rules. The research uses the juridical-normative method which was carried out by means of a literature study used to seek clarity on policy rules and then to determine which court institution was appropriate to conduct the test. The government as a public legal entity has 2 (two) functions, namely as executive and administrator. Executive functions are exercised under the authority of attribution and delegation. Meanwhile, administrative functions are carried out based on discretionary authority. policy rules are one of the government's legal actions as administrators. Unlike regulations that apply to the public, policy rules only apply to subordinates of the issuing official. In Indonesia, policy rules have been reviewed through 3 (three) types of courts, namely the Supreme Court, the State Administrative Court, and the District Court. All said courts state that policy rules are absolute competencies based on forms, legal norms, and issuing officials. Based on the theory of ‘perundang-undangan’, policy rules that have general-abstract legal norms and are not promulgated are the authority of the District Court. Therefore, policy regulations should not be equated with ‘peraturan perundang-undangan’ and the government decision to administration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library