Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Aleksandra M.
"Prinsip non-intervensi merupakan prinsip yang secara universal diterima dalam hukum internasional. Prinsip tersebut dijamin oleh Piagam PBB yang menyebutkan tidak adanya campur tangan (non-interference) dalam urusan domestik negara yang berdaulat. Prinsip non-intervensi merupakan prinsip fundamental dalam mengadakan hubungan internasional dewasa ini. Khususnya di kawasan Asia Tenggara prinsip ini sangat dijunjung tinggi mengingat sejarah pembentukannya pada saat sedang terjadinya Perang Dingin. Seiring dengan berjalannya waktu penerapan prinsip non-intervensi yang terlalu kaku kerap di kritik oleh dunia internasional. Akhirnya mendorong munculnya gagasan untuk melakukan pelembutan terhadap prinsip tersebut, dengan konsep alternatif seperti ?constructive intervention?, ?flexible engagement, atau ?enhanced interaction?. Berbagai teori, dokumen-dokumen ASEAN serta kasus-kasus yang terjadi akan dibahas untuk menjelaskan prinsip non-intervensi dalam perspektif ASEAN dan berbagai macam permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya.

The principle of non-intervention is one of the common universally accepted principles in international law. This principle is guaranteed by the UN charter, in which the principle of non-interference in internal affairs of sovereign states is mentioned. This principle happens to be a fundamental basis in the creation of international relations as of late. In particular, this principle is highly respected upon in the South East Asia region, regarding the establishment of ASEAN during the Cold War. As time goes by, application of the non-interference principle has been reputed as rigid, and it has come across many criticisms by the international community. In concern of said criticism, there have been talks about toning down the principle through alternative concepts such as ?constructive intervention?, ?flexible engagement? or ?enhanced interaction?. Numerous theories, related ASEAN documents and recent cases will be laid out to further explain the principle of non-intervention through the ASEAN perspective and the many problems that might appear in the application."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S26223
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Adistyana Hefni
"Sejak berdiri pada tahun 1967, prinsip non-interference atau prinsip yang melarang ikut campur terhadap urusan domestik suatu Negara oleh Negara lain, telah ditetapkan oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai fundamental norm dalam melaksanakan kerja sama di antara Negara-Negara Anggotanya. Pada tahun 1980an, ASEAN memperluas lingkup kerja samanya ke bidang HAM sebagaimana seruan dari Sidang Umum PBB. Konsep HAM ini kemudian disahkan ASEAN menjadi salah satu prinsip kerja samanya dalam Pasal 2 ayat (2) ASEAN Charter dan menjadikan prinsip ini bersandingan sejajar dengan prinsip non-interference. Nyatanya, pelanggaran HAM yang dilakukan Tatmadaw terhadap masyarakat etnis minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine dan terhadap warga sipil Myanmar, serta ketidakmampuan ASEAN bertindak menunjukkan ketidakharmonisan dari kedua prinsip tersebut. Untuk menjawab permasalahan ini, tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer seperti regulasi internasional maupun nasional, dan bahan hukum sekunder berupa publikasi, kamus hukum, dan pendapat ahli sebagai acuan pembahasan. Hasilnya, prinsip non-interference telah terlalu mendominasi implementasi kerja sama di ASEAN yang menyebabkan pelemahan kepemimpinan ASEAN dan menjadikan ASEAN tidak independen atas Negara-Negara Anggotanya, serta melemahkan penegakan HAM di ASEAN. Ini membuktikan adanya ketidakharmonisan antara kedua prinsip tersebut. Untuk itu, ASEAN perlu melakukan perubahan berupa pembaruan prinsip non-interference yang lebih berkarakter ASEAN, seperti mempertimbangkan gagasan constructive intervention sebagaimana disampaikan Perdana Menteri Thailand Surin. Dengan demikian, ASEAN diyakini akan memiliki kepemimpinan yang kuat dan independen atas Negara-Negara Anggotanya, serta mampu mengharmoniskan implementasi dari prinsip non-interference dengan karakteristik ASEAN dengan prinsip pemajuan dan perlindungan HAM.

Since established in 1967, the principle of non-interference has been set by ASEAN as the fundamental norm in cooperation among its Member States. In the 1980s, ASEAN expanded its cooperation scope to human rights as called by the UN General Assembly. The human rights concept was later adopted by ASEAN as principle of cooperation in Article 2 paragraph (2) of the ASEAN Charter paralleled to the principle of non-interference. In fact, human rights violations committed by the Tatmadaw against the Rohingya Muslim in Rakhine State and Myanmar civilians, as well as ASEAN inability to act on the human rights violations showed the disharmony of these two principles. To answer this problem, this paper uses a normative juridical research method using primary legal materials such as international and national regulations, and secondary legal materials ranging from publications, legal dictionaries, and expert opinions as references. As a result, the principle of non-interference found dominating the implementation of ASEAN cooperation. It also weakened ASEAN's leadership and made ASEAN not independent over its Member States, which led to the weak enforcement of human rights in ASEAN. This proves the disharmony between the two principles. Hence, ASEAN needs to make changes by renewing the principle of non-interference with ASEAN characteristic, such as considering the idea of ​​constructive intervention conveyed by Thai Prime Minister Surin. Thus, it is believed that ASEAN will have strong and independent leadership, and be able to harmonize the principle of non-interference with ASEAN’s characteristics and the principle of human rights."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ABSTRACT
ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ABSTRACT
ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
2014
S56061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library