Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Tiara Anjani
"Munculnya fenomena maskulinitas baru di Cina tidak lepas dari pengaruh budaya pop Asia Timur lainnya, seperti Jepang dan Korea. Berkembangnya fenomena maskulinitas baru yang digambarkan oleh para idol pria di Cina dengan penampilan yang mengarah pada sisi feminin dianggap oleh kalangan konservatif di Cina sebagai bentuk maskulinitas yang “menyimpang”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena xiao xian rou sebagai bentuk maskulinitas baru di Cina. Penelitian ini juga mengkaji bentuk represi pemerintah dan negosiasi yang dilakukan oleh para idol serta respon masyarakat Cina dalam menanggapi fenomena tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian studi pustaka dengan mengumpulkan berbagai literatur terkait dengan topik maskulinitas di Cina. Hasil temuan menunjukkan bahwa keberadaan maskulinitas baru tersebut menimbulkan represi dari berbagai pihak, terutama pemerintah Cina, melalui kebijakan yang membatasi penampilan feminin para idol di media. Represi ini direspon dengan tiga bentuk negosiasi dari para idol di Cina antara lain: 1) tunduk secara penuh pada aturan pemerintah; 2) bernegosiasi dengan penampilan sewajarnya; dan 3) melakukan upaya resistensi. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya dalam menempatkan posisi mereka atas berbagai represi yang didapatkan. Fenomena maskulinitas baru ini direspon secara beragam dan dinamis oleh masyarakat Cina, serta akan terus dikonstruksi di tengah dominasi maskulinitas hegemoni.
The emergence of new masculinity phenomenon in China cannot be separated from the influence of other East Asian pop cultures, such as Japan and Korea. The development of new masculinity phenomenon depicted by male idols in China with their looks that tend to be feminine is considered as a form of ‘deviant’ masculinity by the Chinese conservatives. This study aimed to analyze the xiao xian rou phenomenon as a new form of masculinity in China. It also examined the forms of government repression and negotiation done by the idols and Chinese community’s responses to the phenomenon. The researcher used literature review as a research method by collecting some literature related to masculinity topics in China. The results of study indicated that the existence of new masculinity had caused repression from some parties, especially the Chinese government, through a policy that limited the feminine looks among idols in the media. This repression was responded to by three kinds of negotiation from the Chinese idols, including: 1) fully complying with government regulations; 2) negotiating with proper looks; and 3) committing resistance efforts. These things were done as an effort to place their positions against the repressions they received. The new masculinity phenomenon has been responded to in various and dynamic ways by Chinese community, and will keep being reconstructed amid the hegemony of masculinity dominations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Fitri Herdyanti Mardhiyah
"laki-laki mulai berkembang sekitar abad ke 20-an pada masyarakat Barat sebagai budaya troseksualitas, dan menjadi suatu hal yang lebih umum setelah kemajuan dari sub-budaya perfilman dan busana. Padahal, makeup lebih dikenal dengan tampilan feminin dan MUA identik sebagai pekerja perempuan yang secara tidak langsung memunculkan diskriminasi kepada MUA laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana laki-laki m enampilkan maskulinitasnya ketika bekerja dan di kehidupan sehari-hari sebagai MUA dan bagaimana mereka membentuk maskulinitasnya. Penelitian ini menggunakan metode etnografi yang dilakukan di dua daerah yaitu Depok dan Garut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki yang berprofesi sebagai MUA menampilkan performance yang diekspresikan melalui gender yang dimunculkan oleh individu dalam suatu situasi tertentu, mereka memperlihatkan genderin dan de-gendering yang kemudian membentuk maskulinitas baru versi mereka.
The male makeup artist began to develop around the 20th century in Western societies as a culture of metrosexuality, and became more common after the advancement of the film and fashion sub-culture. In fact, makeup is better known for its feminine appearance and makeup artist is identical as a female worker who indirectly raises discrimination to male makeup artists. This study aims to describe how men display their masculinity when working and in their daily lives as makeup artists and how they shape their masculinity. This research uses ethnographic methods conducted in two regions namely Depok and Garut. The results of this study indicate that men who work as makeup artists display performance expressed through gender that is raised by individuals in a particular situation, they show re-gendering and de-gendering which then forms their new version of masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library