Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novianti Qurnia Putri
"Latar Belakang: Kanker serviks adalah salah satu keganasan ginekologi yang paling umum di dunia, termasuk Indonesia. Kanker serviks menyebabkan 18,279 kematian per tahun di Indonesia dan menyebabkan beban fisik, mental, dan sosial ekonomi bagi pasien dan keluarga. National Comprehensive Cancer Network (NCCN) telah menerbitkan pedoman pengobatan pasien kanker serviks yang selalu diperbarui (up-todate) dengan tujuan agar pengobatan lebih terkoordinasi dan efisien. Pedoman ini telah diadaptasi oleh Indonesia, namun keefektifannya belum dipertanyakan. Metode: Kami melakukan peninjauan sistematis sesuai dengan PRISMA statement untuk menilai efektivitas kesesuaian pedoman. Pencarian dengan strategi pada database PubMed, ProQuest, Scopus, dan Wiley menghasilkan tiga studi yang memenuhi semua kriteria, selanjutnya dinilai dengan skala Newcastle-Ottawa dan secara kualitatif. Hasil: Kami menemukan bahwa proporsi kesesuaian pedoman mulai dari 42% hingga 47% dengan faktor-faktor yang mendasarinya seperti jarak ke fasilitas kesehatan, stadium kanker serviks, penggunaan asuransi, ras, dan faktor sosial ekonomi lainnya. Kami juga menemukan bahwa terdapat kesintasan hidup lima tahun yang lebih baik dari pasien kanker serviks pada kelompok yang sesuai dibandingkan kelompok yang tidak sesuai. Selain itu, ditemukan lokalisasi dan kualitas hidup yang lebih baik dari pasien kanker serviks pada kelompok yang sesuai terhadap pedoman. Ketiga studi menggunakan pedoman NCCN sebagai kontrol, sehingga studi – studi tersebut dapat digunakan. Kesimpulan: Tindakan harus diambil dengan tindakan multidisiplin untuk memastikan bahwa setiap pasien kanker serviks memiliki akses pengobatan yang sesuai terhadap pedoman.

Background: Cervical cancer is the one of the most common gynecology malignancy in the world, including Indonesia. It has accounted for 18,279 deaths per year in Indonesia and caused physical, mental, and socioeconomic burden for patients and caregivers. National Comprehensive Cancer Network (NCCN) has published up-to-date guideline in-order to make more coordinated and efficient treatment for cervical cancer patients. This guideline has been adapted by Indonesia, however its effectivity is yet to be questioned. Methods: We conducted systematic review according to PRISMA statement to assess effectivity of guideline adherence. Searching with strategy on PubMed, ProQuest, Scopus, and Wiley databases resulted in three studies that met all criteria, thus assessed further with Newcastle-Ottawa scale and assessed qualitatively. Results: We found that proportion of guideline adherence ranging from 42% to 47% with factors underlying such as distance to health facility, cervical cancer stage, subscription to insurance, race, and other socioeconomic traits. We also found that there is better five-year survival of cervical cancer patients on guideline-adherent group versus non-guideline-adherent group. In addition, there is better cancer localization and life quality of patient in guideline-adherent group. All three studies were using NCCN guideline as control, thus applicable. Conclusion: Actions should be taken by multidisciplinary action to ensure that every cervical cancer patient has access to guideline-adherent therapy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Susanto Notosaputro
"ABSTRAK
Neoplasia endometrium dalam klinik muncul sebagai keluhan gangguan haid dalam berbagai bentuk. Keluhan ini merupakan kasus sehari-hari dalam klinik ginekologi. Diagnosis pasti, yang dapat berbentuk hiperplasia kistik, hiperplasia adenomatosa, hiperplasia atipik, atau adanokarsinoma berbagai derajat, hanya mungkin ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologik.
Dalam patogenesisnya, rangkaian jejas ini umumnya berkaitan erat dengan hormon estrogen. Kadar hormon estrogen yang tinggi dan berlangsung lama tanpa diimbangi oleh hormon progesteron akan menyebabkan berlangsungnya perangsangan yang terus menerus pada sel epitel kelenjar sehingga terjadi proliferasi yang berlebihan. Untuk dapat bekerja, hormon ini membutuhkan suatu protein spesifik dalam sel sasaran yang dikenal sebagai "reseptor". Pada dasarnya receptor mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) mengenal dan mengikat hormon estrogen, dan 2) mengantar hormon estrogen dari sitoplasma ke inti sel sehingga berlangsung respons sel yang spesifik. Dalam inti sel, kompleks reseptor-estrogen ini berikatan dengan bagian kromatin yang disebut "akseptor". Dengan berlangsungnya rangkaian ikatan ini, inti sel mulai membentuk mRNA yang dikeluarkan ke sitoplasma dan sel mulai membentuk protein spesifik yang pada akhirnya menghasilkan pembelahan sel.
Pengenalan terdapatnya reseptor estrogen ini bermanfaat dalam pengobatan maupun penentuan prognosis penderita. Suatu adenokarsinoma endometrium misalnya, bila memiliki cukup reseptor dapat diberikan pengobatan hormonal yang jauh lebih menguntungkan dari pada sitostatika. Demikian juga tumor demikian menunjukkan prognosis yang lebih baik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat pulasan imunoperoksidase dalam mengenal reseptor estrogen, sekaligus mempelajari pola distribusi dan intensitasnya dalam sel sasaran serta melihat hubungannya dengan jenis neoplasia. Diharapkan penelitian ini selanjutnya akan bermanfaat bagi ahli patologi anatomik, para ahli klinik yang menangani penderita, saerta bagi para peneliti sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian ini diperiksa sejumlah 36 kasus, 5 (=13,9%) di antaranya terdiri atas adenokarsinoma endometrium berdiferensiasi baik. Jumlah kasus ini lebih kurang sebanding dengan jumlah kasus yang telah didiagnosis sebagai neoplasia endometrium di Bagian Patologi Anatomik FKUI selama 7 tahun {1980--1986) yaitu sebanyak 1240 kasus, di antaranya 186 (=15%) kasus adalah karsinoma.
Diperiksa pula 10 sediaan endometrium normal masa proliferasi den sekresi dan 2 sediaan endometrium dalam gangguan keseimbangan horman. Diagnosis histopatologik ditegakkan berdasarkan hasil pulasan rutin hematoksilineosin. Untuk mengenal reseptor estrogen dipergunakan pulasan imunoperoksidase dengan memakai antibodi anti-estradiol, dikerjakan pada jaringan yang telah difiksasi dan dibuat blok parafin. Hasil pulasan umumnya memuaskan karena 1) antibodi yang digunakan memiliki spesifisitas yang cukup tinggi, 2) kromogen memberikan warna merah-coklat yang kontras terhadap latar belakang yang kebiruan, dan 3) pulasan tending dengan hematoksilin Mayer tidak menghalangi pembacaan warna kromogen. Spesifisitas pulasan dikontrol dengan sediaan yang sama tetapi tidak diberikan antibodi anti-estradiol, melainkan diberikan serum non-imun. Pulasan non-spesifik berlangsung juga pada jaringan ikat kolagen den sel granulosit, namun secara morfologik mudah dibedakan dari sel epitel kelenjar.
Pembacaan dilakukan.dengan pembesaran 450 kali pada 10 lapangan, hanya sel epitel kelenjar yang dinilai serta dirinci atas inti dan sitoplasma. Dilakukan pengukuran semikuantitatif atas distribusi reseptor estrogen maupun intensitas pulasannya.
Peniiaian distribusi reseptor estrogen dinyatakan dalam % positif polpulasi sel kelenjar. Jumlah nilai yang diperoleh dikonversikan dalam bentuk derajat distribusi, dinyatakan dalan derajat 1 {20 - 40% positif) sampai dengan derajat 3 ' (> 60% positif) dan basil yang negatif (< 20% positif).Penilaian intensitas pulasan dirinci atas +, ++, dan +++ berdasarkan kepadatan granula yang terpulas.
Pada endometrium normal, sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar memperlihatkan keterkaitan dengan periode siklus haid. Derajat terendah didapatkan pada masa proliferasi awal, menoapai nilai tertinggi dalam masa proliferasi lanjut, menetap selama masa sekresi awal, kemudian menurun menoapai nilai minimal dalam masa sekresi lanjut.
Guna melihat hubungan antara status reseptor dengan derajat perubahan histopatologik, dilakukan pengujian statistik menurut Kendall dengan 2 variabel kategori berderajat. Bila didapatkan hubungan bermakna, kemaknaan hubungan itu ditentukan dengan menggunakan koefisien kemaknaan dari Kendall pula.
Analisis status reseptor dalam hubungannya dengan perubahan histopatologik dari normal hingga karsinoma tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar yang mencapai derajat III didapatkan pada 40% kasus dari kelompok endometrium normal, namun hanya 11,11% kasus dari kelompok neoplasia. Rendahnya jumlah kasus dalam kelompok yang terakhir ini menunjukkan perbedaan perilaku biologik antara kedua kelompok. Selanjutnya dari kelompok neoplasia dilakukan analisis tersendiri.
Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi reseptor dalam inti sel kelenjar mempunyai hubungan yang bermakna dengan jenis neoplasia (0,001 < p < 0,01; r = 0,29). Makin keras neoplasia, makin luas sebaran reseptor 'estrogen dalam inti sel kelenjar. Meskipun demikian, beberapa kasus menunjukkan sebaran yang menyimpang dari pola umum.
Distribusi reseptor estrogen dalam sitoplasma sel kelenjar maupun intensitasnya dalam inti dan sitoplasma tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan jenis neoplasia.
"
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
DeLong, Leslie
Baltimore: Wolters Kluwer Health, 2013
617.601 DEL g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kumar, Vinay
Singapore: Elsevier, 2015
616.07 KUM b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Wiguna
"Latar Belakang
Sebesar lebih dari 70% kasus kanker serviks berhubungan dengan adanya infeksi oleh HPV tipe high-risk, terutama tipe 16/18 yang merupakan tipe paling agresif. Infeksi persisten oleh HPV tipe high-risk dapat menyebabkan perkembangan lesi serviks menjadi kanker sehingga infeksi tersebut penting untuk terdeteksi. Oleh karena itu, metode skrining memasukkan tes DNA HPV tipe high-risk sebagai salah satu opsinya, baik sebagai tes tunggal maupun kombinasi dengan tes sitologi serviks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan distribusi HPV tipe high-risk pada hasil sitologi serviks serta hubungannya dengan derajat lesi prakanker serviks.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional yang dilakukan pada 104 pasien di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode tahun 2020—2022. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa hasil tes DNA HPV yang menggunakan DiagCor GenoFlow Human Papilloma Virus Array Test serta hasil sitologi serviks dari liquid based cytology (LBC). Data yang diperoleh dijelaskan menggunakan program SPSS versi 26.
Hasil
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi infeksi HPV tipe high-risk sebesar 30,8% dengan genotipe terbanyak adalah HPV 18, HPV 52, HPV 51, dan HPV 58. Hasil uji analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara infeksi HPV tipe high-risk dan derajat lesi prakanker serviks (p=0,000).
Kesimpulan
Terdapat peningkatan angka kejadian infeksi HPV tipe high-risk seiring perkembangan derajat lesi prakanker serviks yang disertai dengan ditemukan hubungan yang bermakna di antara keduanya berdasarkan analisis statistik.

Introduction
More than 70% of cervical cancer cases are associated with infection of high-risk HPV, especially type 16/18 which is the most aggressive type. Persistent infection with high- risk HPV can cause cervical lesions to develop into cancer, so it is important to detect the infection. Therefore, screening methods include high-risk HPV DNA testing as one of the options, either as a single test or in combination with a cervical cytology test. This study aims to determine the prevalence and distribution of high-risk HPV in cervical cytology results and its association with the degree of cervical precancerous lesions.
Method
This study was conducted with a cross-sectional design on 104 patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in the 2020-2022 period. This study used secondary data of HPV DNA test results using the DiagCor GenoFlow Human Papilloma Virus Array Test and cervical cytology results from liquid based cytology (LBC). The data were analyzed using the SPSS version 26 program.
Results
This study showed that the prevalence of high-risk HPV infection is 30.8% with the most common genotypes are HPV 18, HPV 52, HPV 51, and HPV 58. It is known by the statistical analysis test that there was a significant relationship between high-risk HPV infection and degree of cervical precancerous lesions (p=0.000).
Conclusion
There was an increase in the occurrence number of high-risk HPV infection along with the development of the degree of cervical precancerous lesions, accompanied by the discovery of a significant relationship between the two based on statistical analysis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustam Effendi
"ABSTRAK
Penyakit carcinoma cervicis uteri masih merupakan masalah karena diagnosisnya sering terlambat dibuat; karena itu penanganan sering tidak dapat dilakukan secara sempurna sehingga hasil 5 tahun [5 year survival rate] belum memuaskan. Salah satu hal yang menyebabkan keterlambatan diagnosis ialah adanya lapisan masyarakat tertentu yang berusaha. sendiri mengatasi keluhan-keluhan yang menjurus ke keganasan. Umumnya mereka berusaha mengatasi sendiri keluhan-keluhan yang dideritanya, dan jika tidak teratasi lagi baru mereka meminta pertolongan kepada dokter.
Dengan menggunakan radiasi berupa pemasangan batang-batang radium dan dengan menggunakan pesawat telekobalt didapatkan hasil 5 tahun oleh Harahap dkk. [1] sebanyak 48,2 % dari 1027 penderita carcinoma cervicis uteri yang dirawat tahun 1970 - 1974. Dengan penanganan yang sama Rutledge [2] melaporkan hasil 5 tahun sebanyak 56,1 % dari 2.000 penderita selama 25 tahun [91,0 % untuk tingkat klinik I].
Dengan operasi radikal hasil 5 tahun yang diperoleh kira-kira sama dengan hasil penyinaran [3, 4, 5]. Hasil 5 tahun dengan operasi radikal dilaporkan oleh Natsurne [6] sebanyak 91,0 % untuk tingkat klinik I dan 87,0 % untuk tingkat klinik II.
Dengan menggabungkan tindakan operasi radikal dan penyinaran dengan sinar gamma ternyata Einhorn dkk. [7] dapat melaporkan hasil yang lebih baik. Dengan cara yang sama Funnel dkk. [8] menemukan hasil 15 tahun sebanyak 77.6 % pada tingkat klinik I, 63.2 % pada tingkat klinik II, dan 66,7 % untuk tingkat klinik III.
Penyulit tindakan operasi radikal, penyinaran, ataupun gabungan keduanya dapat direndahkan jika dilakukan secara baik dan hati-hati. Penggunaan radium dalam rangka penyinaran carcinoma cervicis uteri dapat menimbulkan fistulasi pada saluran perkencingan dan usus seperti terlihat pada laporan Boronow [9], Fletcher dan Ruteldge [10]. atau van Nagel dkk. [I1, 12]. Dengan tindakan operasi radikal yang tidak hati-hati, dapat pula terjadi fistulasi pada saluran perkencingan dan usus [13] ataupun kista pemuluh limf [14]. Penggabungan tindakan operasi radikal dengan tindakan penyinaran memungkinkan terjadinya penyulit lebih banyak seperti dilaporkan oleh Rafla [15]."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
D17
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cantik Putri Pratiwi Ningrum Djaen
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sekitar 9-33% pasien penyakit trofoblas maligna (PTM) yang diobati dengan kemoterapi agen tunggal akan membutuhkan terapi multi agen karena adanya resistensi terhadap obat lini pertama, termasuk metotreksat (MTX), atau efek samping toksisitas. Hingga saat ini, resistensi terapi lini pertama masih menjadi masalah akibat tingkat identifikasi yang masih rendah. Sebelumnya, belum pernah dilakukan penelitian mengenai kadar Beta-HCG sebagai prediktor resistensi pada pasien PTM risiko rendah.
Tujuan: Mengetahui nilai prediktif kadar Beta-HCG untuk risiko resistensi metotreksat pada PTM risiko rendah.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik potong lintang menggunakan data rekam medis dari 58 subjek. Subjek adalah semua pasien yang terdiagnosis dengan PTM risiko rendah dan diberikan terapi MTX pada bulan Januari 2011 hingga Desember 2016 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan subjek dilakukan secara konsekutif. Subjek dengan data yang tidak lengkap atau adanya riwayat PTM sebelumnya dieksklusi dari penelitian ini.
Hasil: Prevalensi resistensi MTX yaitu 32,8%. Tidak ditemukan asosiasi bermakna antara karakteristik demografik (usia, paritas, pekerjaan, dan pendidikan) ataupun karakteristik klinis (riwayat kehamilan, interval antara kehamilan terakhir dan awal kemoterapi, ukuran tumor, riwayat gagal kemoterapi, lokasi dan jumlah metastasis) dengan resistensi MTX. Ditemukan perbedaan bermakna pada kadar Beta-HCG antara kelompok resistensi dan tidak resistensi pada siklus 4 (p<0,001), 6 (p<0,001), dan 8 (p<0,001). Perbedaan bermakna juga ditemukan pada perubahan kadar Beta-HCG dari awal hingga minggu kedua (p<0,001, AUC 0,8). Cut-off penurunan Beta-HCG sebesar 23% memiliki sensitivitas sebesar 78,9% dan spesifisitas sebesar 74,4% untuk memprediksi resistensi MTX.

ABSTRACT
Background: Approximately 9-33% patients with gestational trophoblastic neoplasia (GTN) treated with single agent chemotherapy would need multi agent chemotherapy, whtether due to resistance to first-line therapy, including methotrexate (MTX), or toxic side effect. Currently, resistance to first-line therapy is still a problem due to low identification rate. To this date, there are no studies regarding Beta-HCG level as a MTX resistance predictor for low risk GTN.
Purpose: Identify the predictive value of Beta-HCG level for the risk of MTX resistance in low risk GTN.
Methods: This was an analytical cross-sectional study using medical records of 58 subjects. Subjects were all patients diagnosed with low risk GTN and given MTX therapy during the period of January 2011 to December 2016 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Consecutive sampling was done. Subjects with incomplete data or history of previous GTN were excluded from this study.
Results: The prevalence of MTX resistance was 32,8%. No significant association was found between demographic characteristics (age, parity, job, and education) or clinical characteristics (gestational history, interval between last pregnancy and the start of chemotherapy, tumor size, history of chemotherapy failure, location and number of metastasis) and MTX resistance. A significant difference in the level of Beta-HCG between resistance and non-resistance groups were found on cycle 4 (p<0,001), 6 (p<0,001), and 8 (p<0,001). A significant difference was also found in the change of Beta-HCG from the start to the second week of therapy (p<0,001, AUC 0,8). Beta-HCG decrease cut-off of 23% had the sensitivity of 78,9% and specificity of 74,4% to predict MTX resistance.
Conclusions: The prevalence of MTX resistance was 32,8% in this study. The decrease in Beta-hCG level from the start to the second week of therapy could be used as a MTX resistance predictor in low risk GTN patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sodeman, William A.
Philadelphia: W.B. Saunders, 1956
616.07 PAT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library