Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Resa Ana Dina
"Menurut laporan kerja WHO pada bulan April 2004, dari 8,1 juta kematian bayi di dunia, sekitar 48% adalah kematian neonatal. Dari seluruh kematian neonatal, sekitar 42% kematian neonatal disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum. Sejak tahun 1989, WHO memang mentargetkan eliminasi tetanus neonatorum. Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan tersebut. Tetapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara berkembang lain, maka UNICEF, WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur eliminasi hingga tahun 2005. Meskipun telah ditetapkan ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum) sebagai komitmen internasional diulurkan hingga tahun 2005, namun angka kejadian dan angka kematian tetanus neonatorum di Kabupaten Serang masih tetap tinggi. Terlihat dari data hingga akhir Desember tahun 2008 pun, kasus sudah ada dan melebihi kasus pada tahun sebelumnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran epidemiologi kasus dan kematian tetanus neonatorum di wilayah Kabupaten Serang pada tahun 2005-2008.
Penelitian ini menggunakan desain studi crossectional.Dalam penelitian ini populasi sama dengan sampel yaitu semua penderita tetanus neonatorum di Kabupaten Serang dari tahun 2005-2008 yaitu berjumlah 68 kasus. Hasil penelitian ini adalah jumlah distribusi kasus dan kematian tetanus neonatorum di Kabupaten Serang tahun 2005- 2008 lebih banyak laki-laki daripada perempuan.
Hasil distribusi frekuensi kasus dan kematian tetanus neonatorum berdasarkan riwayat perawatan kehamilan adalah :
Pertama, kasus tetanus neonatorum yang ibunya sewaktu hamil memeriksakan kehamilannya kepada tenaga kesehatan mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang ibunya sewaktu hamil memeriksakan kehamilannya kepada bukan tenaga kesehatan (80% : 52,6%).
Kedua, kasus tetanus neonatorum yang ibunya sewaktu hamil memeriksakan kehamilannya kepada tenaga kesehatan < 4 kali mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang ibunya sewaktu hamil memeriksakan kehamilannya kepada tenaga kesehatan ≥ 4 kali (66,1% : 55,6%).
Ketiga, kasus tetanus neonatorum yang ibunya sewaktu hamil tidak melakukan imunisasi TT mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang ibunya sewaktu hamil melakukan imunisasi (64,9% : 63,6%).
Hasil distribusi frekuensi kasus dan kematian tetanus neonatorum berdasarkan riwayat pertolongan persalinan adalah :
Pertama, kasus tetanus neonatorum yang persalinannya dilakukan pada bukan tenaga kesehatan mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang persalinannya dilakukan pada tenaga kesehatan (66,1% : 50%).
Kedua, kasus tetanus neonatorum yang persalinannya dilakukan di rumah mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang persalinannya dilakukan di tempat pelayanan kesehatan (66,7% : 40%).
Ketiga, kasus tetanus neonatorum yang pada saat persalinan pemotongan tali pusatnya menggunakan alat tidak steril mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang pada saat persalinan pemotongan tali pusatnya menggunakan alat steril (66,7% : 40%).
Hasil distribusi frekuensi kasus dan kematian tetanus neonatorum berdasarkan riwayat perawatan tali pusat adalah, yakni :
Pertama, kasus tetanus neonatorum yang perawatan tali pusatnya menggunakan bukan tenaga kesehatan mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang perawatan tali pusatnya menggunakan tenaga kesehatan (65,7% : 0%).
Kedua, kasus tetanus neonatorum yang obat/bahan perawatan tali pusatnya menggunakan bukan antiseptik mengalami kematian dengan proporsi lebih tinggi daripada yang obat/bahan perawatan tali pusatnya menggunakan antiseptik (67,9% : 53,3%). "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Djaja Noezoeliastri
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatillah Razak
"ABSTRAK
Asfiksia Neonatorum Menurut Berat Badan Lahir Bayi BerdasarkanUsia Kehamilan Di RSIA Budi Kemuliaan Tahun 2017Pembimbing : dr. Asri Adisasmita MPH., M.Phil., Ph.DAsfiksia kelahiran adalah penyebab 23 dari semua kematian neonatal di seluruh dunia. Tiga perempat darisemua kematian bayi baru lahir disebabkan dari kondisi yang dapat dicegah dan diobati termasuk kejadianasfiksia. BBLR mempunyai risiko mengalami kegagalan nafas yang dapat menyebabkan asfiksia neonatorumnamun tidak semua bayi BBLR adalah prematuritas, sehubungan dengan hal tersebut diperkirakan sekitarsepertiga bayi berat lahir rendah sebenarnya adalah bayi aterm. Penelitian ini dikukan di RSIA Budi Kemuliaan,merupakan salah satu rumah sakit ibu dan anak swasta rujukan untuk proses kelahiran yang ada di Jakarta. Designpenelitian ini adalah kasus kontrol dengan menggunakan data rekam medik, jumlah kasus sanyak 120 dan kontrolsebanyak 240. Hasil analisis menunjukkan asfiksia neonatorum pada bayi BBLR cukup bulan memperlihatkannilai OR 2.17 0.88-5.37 dan risikonya meningkat pada bayi premature normal dan BBLR OR 4.69 CI 95 2.68-8.18 , ini berarti bahwa bayi prematur normal dan BBLR berisiko 4.69 kali untuk mengalami asfiksiadibanding dengan bayi yang beratnya normal.Kata kunci: Asfiksia Neonatorum, BBLR, Prematur.

ABSTRACT
Asphyxia Neonatorum of Neonates Weight Base on Gestational Age in Mother andChild Hospital Budi Kemuliaan Jakarta 2017Asphyxia neonatorum is the cause of 23 of all neonatal mortality in the world. Three quarters from the mortalityare caused by conditions that can be prevented and treated, including the incident of asphyxia. Low Birth Weight LBW has the risk of having a respiratory failure that can cause asphyxia neonatorum, however not all LBWinfants is prematurity, due to this problem, it can be estimated that approximately one third of LBW is aterminfants. This research was conducted in Budi kemuliaan hospital, which was one of the private mother and childhospital that reference to the birth process in Jakarta. The design of this research was case control by using medicalrecord data, with 120 cases and 240 controls. The multivariate analysis showed that asphyxia neonatorum on theLBW had OR 2.17 CI 95 088 5.37 and the risk increase on the premature normal and low birth weight OR4.69 CI 95 2.68 8.18 . Premature normal and low birth weight had 4.69 more at risk of asphyxia neonatorumthan the normal weight neonatal.Keyword Asphyxia, Low Birth Weight, Prematurity"
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Kurniawati
"Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara Asean. Sekitar 40 % kematian bayi terjadi pada masa neonatal (bulan pertama kehidupan bayi). Tetanus neonatorum masih merupakan salah satu penyebab tersering kematian neonatal. di Indonesia. Dari 126.000 kematian neonatal, sekitar 50.000 diantaranya meninggal karena tetanus neonatorum. Bangsa Indonesia telah bertekad untuk mengeliminasi tetanus neonatorum di pulau Jawa dan Bali pada akhir tahun 1995 dan di seluruh Indonesia pada tahun 2000.
Kejadian tetanus neonatorum di Kabupaten Serang masih cenderung tetap tinggi, sehingga perlu diperoleh informasi hubungan faktor-faktor risiko tertentu dengan kejadian tetanus neonatorum di Kabupaten Serang. Faktor-faktor risiko yang diteliti meliputi: karakteristik ibu hamil (umur, pendidikan, paritas); kondisi kehamilan (status imunisasi Tetanus Toxoid ibu hamil); kondisi persalinan (penolong persalinan, sterilitas alat pemotong tali pusat, tenaga perawat tali pusat, obat/bahan perawatan tali pusat).
Disain penelitian ini adalah kasus kontrol. Kasus adalah penderita tetanus neonatorum yang pernah dirawat di RSU Kabupaten Serang maupun yang ditemukan dari pelacakan dan laporan masyarakat periode Januari 1994 - Desember 1995, sedangkan kontrol adalah bayi neonatus yang tidak menderita tetanus neonatorum yang lahir pada periode Januari 1994 - Desember 1995 yang bertempat tinggal di RT yang sama dengan kasus. Jumlah kasus dan kontrol masing-masing 79. Tidak dilakukan matching pada penelitian ini. Untuk mengetahui besarnya hubungan faktor-faktor risiko dengan kejadian tetanus neonatorum dilakukan perhitungan Odds Ratio melalui analisis regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi Tetanus Toxoid ibu hamil dengan kejadian tetanus neonatorum. Ibu hamil yang tidak pernah menerima imunisasi Tetanus Toxoid dan imunisasi Tetanus Toxoid tidak lengkap masing-masing mempunyai peluang bayinya mengalami kejadian tetanus neonatorum 10,98 kali dan 5,70 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memperoleh imunisasi Tetanus Toxoid lengkap. Alat pemotong tali tali pusat yang tidak steril memberikan risiko 3,14 kali lebih besar untuk kejadian tetanus neonatorum dibandingkan alat pemotong tali pusat yang steril.
Mengingat hasil penelitian yang diperoleh, penulis menyarankan untuk dilakukan peningkatan cakupan imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu hamil disertai dengan pengembangan imunisasi Tetanus Toxoid pada calon pengantin wanita serta anak-anak wanita Sekolah Dasar kelas VI. Juga perlu dilakukan sweeping imunisasi Tetanus Toxoid pada wanita usia subur terutama di desa kasus dan di daerah risiko tinggi, dengan memanfaatkan momentum PIN (Pekan Imunisasi Nasional). Disamping itu juga perlu meningkatkan kemitraan antara dukun bayi dan bidan desa dalam hal pertolongan persalinan, bimbingan teknis dalam bentuk on the job training kepada dukun bayi serta meningkatkan penyuluhan kesehatan masyarakat kepada ibu hamil, calon pengantin khususnya yang tingkat pendidikannya rendah.

Among Asean countries, infant mortality rate in Indonesia is high enough. Approximately 40 % of infant mortality occurred in the neonatal phase (the first month of infant life). Tetanus neonatorum still is one of the causes of neonatal mortality in Indonesia. From 126.000 neonatal mortality 50.000 is approximately caused by tetanus neonatorum. The Government of Indonesia have targeted to eliminate tetanus neonatorum in Java and Bali at the end of 1995 and all over Indonesia in 2000.
The incidence of tetanus neonatorum in Serang District is still high, so that we need to get information of particular risk factors related to the incidence of tetanus neonatorum in this district. The risk factors that will be studied: the characteristic of pregnant mothers (age, education, parity); pregnant condition (the status of Tetanus Toxoid immunization of pregnant mothers); delivery condition (birth attendant, sterilization of the umbilical cord cutter, nurses for the umbilical cord, medicine/material of the umbilical cord intensive care).
Research design is case-control. Cases are tetanus neonatorum patients who already have been intensive care in Serang Public Hospital, observation finding, and public report during January 1994 to December 1995. Controls are neonatus infants who are free of tetanus neonatorum and born during January 1994 to December 1995 in the same location of the cases. There are no matching in this research. This research used Odds Ratio calculation with regression logistic multivariate analysis.
The result of the research indicates that there are positive relationship between the status of Tetanus Toxoid immunization of pregnant mothers and tetanus neonatorum incidents. Pregnant women who never and incomplete geting Tetanus Toxoid immunization have possibility suffering tetanus neonatorum I0,98 and 5,70 times more than pregnant women who get complete Tetanus Toxoid immunization. Non sterilized umbilical cord cutter will give risk to the incidence of tetanus neonatorum 3,14 times than the sterile one.
Based on the study result, we suggest to increase the coverage of Tetanus Toxoid immunization for pregnant mothers and also develop Tetanus Toxoid immunization for the coming bride and school age girls (elementary VI grade). It is necessary as well to do Tetanus Toxoid immunization sweeping for fertile age women, especially in the case village and in the area of high risk, using PIN (Pekan Imunisasi Nasionall National Immunization Week) moment. In addition, it is necessary to increase partnership between traditional birth attendant and trained birth attendant in helping the birth, technical assistant in the form of on the job training to the traditional birth attendant, and increase the community health information to pregnant mothers, the coming brides, particularly those with lower educational level.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Fitri Ayu
"Asfiksia Neonatorum merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatal di Indonesia dengan persentase sebesar 27%. KPD menyebabkan terjadinya oligohidramnion yang menekan tali pusat sehingga mengalami penyempitan dan mengahambat aliran darah yang membawa oksigen ke janin sehingga menimbulkan hipoksia yang berkelanjutan hingga menyebabkan bayi menjadi asfiksia saat dilahirkan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan KPD dengan kejadian asfiksia neonatorum. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di RSUD HAMBA Batanghari, Jambi. Sampel pada penelitian ini adalah ibu bersalin di RSUD HAMBA Batanghari, Jambi pada tahun 2020 yang dipilih dengan metode sampel acak sederhana. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 70 sampel yang terdiri dari 35 orang terpapar dan 35 orang kontrol. Uji statistik yang digunakan adalah uji regresi cox berganda model faktor risiko. Ada hubungan KPD dengan asfiksia neonatorum (RR= 3,61; 95% CI= 1,11 – 11,75, p-value=0,033) setelah dikontrol variabel riwayat abortus usia gestasi, preeklampsia, dan berat badan lahir. Ibu hamil diharapkan melakukan pemeriksaan antenatal care secara rutin, menjaga tekanan darah dalam rentang normal dengan memperhatikan makanan yang dikonsumsi, mengendalikan stres, dan berkonsultasi kepada dokter sebelum merencanakan kehamilan, terutama untuk ibu yang merencanakan kehamilan untuk anak kedua dan seterusnya.

Neonatal Asphyxia is one the main causes of neonatal mortality in Indonesia with a percentage of 27%. Premature rupture of membranes (PROM) is one of the factors that cause of nenonatal asphyxia. PROM causes oligohydramnios which compresses the umbilical cord so that it is narrowed and the blood flow that carries oxygen to the fetus is blocked, causing asphyxia. The purpose of this study was to determine the association between PROM and neonatal asphyxia. This study used a retrospective cohort study design. The population of this study were all pregnant mothers who perform labor in regional public hospital H. Abdoel Madjid Batoe Batang Hari, Jambi. The samples of this study were are pregnant mothers who perform labor in regional public hospital H. Abdoel Madjid Batoe Batang Hari, Jambi in 2020 selected based on simple random sampling method. The number of samples in this study was 70 samples consisting of 35 people exposed and 35 kontrols. The statistical test used is the multiple cox regression test with the risk factor model. There is association between PROM and neonatal asphyxia (RR= 3,61; 95% CI= 1,11 – 11,75, p-value=0,033) after controlled b history of abortion, gestational age, preeclampsia, and birth weight. Pregnant mother are expected to carry out routine antenatal care, maintain blood pressure within normal ranges by paying attention to the food consumed, mangement and stress control, and consult a doctor before planning a pregnancy, especially for mothers who planned a second pregnancy for their second child and so on."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Istiqomah
"Ikterus neonatorum merupakan kondisi pada neonatus karena peningkatan bilirubin dalam darah. Ikterus neonatus mempunyai tanda diantaranya kulit dan sklera yang kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi. Salah satu terapi hyperbilirubinemia adalah fototerapi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan durasi fototerapi dengan nilai bilirubin total akhir pada pasien ikterik neonatorum di RS Polri DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan total 103 data yang mengalami ikterus neonatorum sebagai responden. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar bilirubin awal 14, 81 mg/dL, kadar bilirubin setelah fototerapi selama 24 jam menghasilkan penurunan sebesar 2,60 mg/dL dan fototerapi selama 48 jam menghasilkan rata-rata penurunan bilirubin sebesar 3,69 mg/dL. Terdapat hubungan durasi fototerapi dengan nilai bilirubin total pada 24 jam dan 48 jam pasca fototerapi (p Value <0,005). Rekomendasi penelitian ini adalah perlu dilakukannya eksplorasi factor-faktor yang berhubungan dengan efektivitas fototerapi.

Neonatal jaundice is a condition in neonates due to increased bilirubin in the blood. Neonatal jaundice has signs including yellow skin and sclera due to unconjugated bilirubin. One of the therapies for hyperbilirubinemia is phototherapy. The purpose of the study was to determine the relationship between the duration of phototherapy and the final total bilirubin value in neonatal jaundice patients at DKI Jakarta Police Hospital. This study used a cross sectional design with a total of 103 data who experienced neonatal jaundice as respondents. The results showed an average initial bilirubin level of 14, 81 mg/dL, bilirubin levels after phototherapy for 24 hours resulted in a decrease of 2.60 mg/dL and phototherapy for 48 hours resulted in an average decrease in bilirubin of 3.69 mg/dL. There is a relationship between the duration of phototherapies with total bilirubin values at 24 hours and 48 hours after phototherapy (p value <0.005). The recommendation of this study is the need to explore the factors associated with the effectiveness of phototherapy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leni Ervina
"Latar Belakang: Sepsis neonatorum diagnosisnya sulit ditegakkan karena gejala klinis dan laboratorium yang tidak spesifik. Pengobatan utama sepsis neonatorum adalah antibotik untuk menurunkan mortalitas, namun penggunaan antibiotik sering berlebihan, sehingga menyebabkan resistensi bahkan meningkatkan mortalitas.
Objektif: Mengetahui tingkat kepatuhan dokter penanggung jawab pasien DPJP terhadap pedoman antibiotika pada tata laksana sepsis neonatorum, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan DPJP untuk memulai pemberian antibiotik, proses evaluasi pemberian dan penghentian antibiotik, kepatuhan pemilihan antibiotik empirik serta mengetahui faktor-faktor risiko apa saja yang dipakai dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) maupun sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL).
Metode: Studi dengan uji potong lintang menggunakan kuesioner wawancara pada subyek, data sekunder rekam medik serta melakukan Indepth Interview pada DPJP. Sampel penelitian adalah semua bayi baru lahir baik di RSCM maupun dari luar, diputuskan mendapat terapi antibiotik empirik lalu diberi stempel antibiotik periode bulan Desember 2017-Februari 2018 di divisi Neonatologi RSCM. Sebanyak 113 subyek dengan 167 kejadian dilakukan analisis.
Hasil: Terdapat keragaman pemeriksaan septic screening awal yaitu 1-6 jam setelah lahir dan pemeriksaan ulangan rerata 56,45 37,40 jam pada SNAD dan pada SNAL 72,00 50,91 jam, antibiotik yang dilanjutkan sesuai antara klinis dan laboratorium pada SNAD 43 52,43 dari 82 subyek, dan SNAL 7 50 dari 14 subyek, namun 100 patuh pada regimen antibiotik empirik ampisilin dan gentamisin untuk tatalaksana SNAD ringan pada 86 51,49 kasus, rerata hari konsul ke divisi Infeksi adalah 9,53 5,39 pada SNAD dan 9,63 3,89 pada SNAL. Dan tidak didapatkannya hubungan antara faktor risiko dengan kesesuaian laboratorium dan klinis sepsis p=0.869.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan pertimbangan para DPJP dalam mendiagnosis sepsis, sehingga menyebabkan ketidak patuhan terhadap pedoman antibiotik yang ada.

Background: Establishing diagnosis of neonatal sepsis is difficult due to non-specific clinical symptoms and laboratorial results. The key management for neonatal sepsis is antibiotic administration, decreasing mortality rate. However, over administration of antibiotic may lead to resistance and even increasing the mortality rate.
Objectives: To evaluate the adherence of attending physicians to the neonatal sepsis guideline; To know factors that influence the attending physicians 39; decision in administrating the antibiotics; And to know risk factors that are considered by attending physicians to diagnose both early-onset neonatal sepsis EOS and late-onset neonatal sepsis (LOS).
Methods: Cross-sectional study was performed using questionnaire taken from the subjects, secondary data in form of medical records, and in-depth interview on the attending physicians. Data collection was done in December 2017-February 2018, in Cipto Mangunkusumo Hospital Neonatologi Division. Total subjects of the research was 113, with 167 cases recorded, were then analyzed.
Results: Various results were found regarding the early screening 1-6 hours after birth and follow-up screening for EOS 56,45 37,40 hours and LOS 72,00 50,91 hours. Appropriate administration of antibiotic, based on clinical and laboratorial data, are found in 43 52,43 from 82 case of EOS and 7 50 from 14 cases of LOS. All of attending physicians followed the guidelines regarding empirical antibiotic regiments for mild EOS, which is Ampicillin and Gentamicin on 86 cases 51.49. Average management time before attending physicians started to ask for consultation for EOS and LOS are 9,53 5,39 days and 9,63 3,89 days respectively. No relation were found between risk factors with laboratorial results and clinical sepsis p=0.869.
Conclusion: Low level of adherence toward the antibiotic guideline is due to different considerations of attending physicians in diagnosing neonatal sepsis. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
A. Ratgono
"Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat. Di Indonesia angka kematian bayi masih tinggi, tahun 1980 sebesar 96 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 1986 adalah 70 per 1000 kelahiran hidup. Pada kedua hasil diatas, tetanus neonatorum merupakan penyebab urutan kedua (+ 20%) kematian bayi di Indonesia. Dalam upaya penurunan angka kematian bayi di Indonesia, penanggulangan tetanus neonatorum merupakan prioritas penanganan scat ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor faktor yang merupakan resiko pada tetanus neonatorum, dengan lokasi penelitian di Kabupaten Tangerang. Hasil-hasil penelitian diharapkan sebagai sumbangan pemikiran untuk pengelola program maupun pengambil keputusan dalam kegiatan penanggulangan tetanus neonatorum.
Metode penelitian dengan pendekatan epidemiologis, yaitu desain kasus kontrol. Kasus adalah penderita tetanus neonatorum yang pernah dirawat di RSU Tangerang periode April 1988-Oktober 1989, sedangkan kontrol adalah bayi yang telah melewati masa neonatal, alamat/tinggal sesuai alamat kasus, dibatasi pada wilayah RT. Jumlah kontrol 2 kali jumlah kasus. Tidak dilakukan penjodohan (matching) pada penelitian ini.
Faktor faktor yang diteliti adalah 1) karakteristik ibu, meliputi umur, pendidikan, dan urutan kelahiran bayi, 2) keadaan sebelum persalinan meliputi periksa kehamilan, imunisasi TT, 3) pertolongan persalinan dan 4) perawatan tali pusat, mengenai obat tali pusat dan tenaga yang melakukan perawatan tali pusat tersebut. Berdasarkan hasil dari analisa hubungan dan analisa lanjut dengan menggunakan analisa regresi logistik ganda, faktor faktor yang merupakan resiko adalah:
1. Ibu yang tidak mendapatkan imunisasi tetanus toksoid pada waktu kehamilannya, dengan nilai OR sebesar 3,9.
2. Penggunaan bahan yang mengandung tepung /abu untuk perawatan tali pusat, dengan nilai OR sebesar 3,2.
Disamping faktor resiko diatas didapatkan pula hasil penelitian lainnya, berupa keadaan atau situasi yang melatar belakangi dari faktor resiko diatas yaitu:
-pengetahuan ibu mengenai imunisasi TT, kegunaan dan jumlah suntikan yang diperlukan masih rendah (36%).
-Hampir 50% ibu hamil pernah kontak dengan dukun selama masa kehamilannya.
-Obat tali pusat yang mengandung tepung/abu proporsi tertinggi digunakan oleh ibu / keluarga lain {25%), dukun tidak terlatih (19%) dan dukun terlatih {18%).
-Perbedaan resiko antara dukun tidak terlatih dan dukun terlatih dibandingkan dengan tenaga kesehatan baik dalam pertolongan persalinan maupun perawatan tali pusat adalah kecil (pertolongan persalinan OR 4,2 dan 3,1 , perawatan tali pusat OR 4,5 dan 3,4).
Peneliti mengajukan saran untuk penelitian lebih lanjut mengenai efek proteksi imunisasi TT (sera konversi) termasuk terhadap berbagai obat yang digunakan untuk perawatan tali pusat. Sedangkan yang bersifat operasional adalah upaya cakupan imunisasi TT dan evaluasi terhadap metoda pelatihan dukun."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arum Gunarsih
"[ABSTRAK
Latar belakang. Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) adalah sindrom klinis
akibat respon sistemik terhadap infeksi pada awal kehidupan. Diagnosis SNAD
seringkali sulit karena gejala klinisnya tidak spesifik.
Tujuan. Mengetahui sensitivitas dan spesifisitas biakan usap telinga dalam
diagnosis SNAD.
Metode. Subjek penelitian adalah neonatus yang lahir di RSCM Jakarta dan RSU
Tangerang Selatan dengan diagnosis SNAD. Dilakukan pengambilan biakan dari
usapan telinga dan darah bayi.
Hasil. Diantara 50 subjek, terdapat 2 neonatus dengan biakan darah positif, dan 32
neonatus dengan biakan usap telinga positif. Hanya 1 subjek yang memiliki
kesesuaian jenis kuman yang tumbuh dari biakan darah dan biakan usap telinga.
Bakteri yang tumbuh pada biakan usap telinga sebagian besar adalah Gram postif
(62%). Biakan usap telinga mempunyai sensitivitas 64,7%, spesifisitas 36,4%,
nilai duga positif 34,3%, nilai duga negatif 66,6%, rasio kemungkinan positif
1,02, rasio kemungkinan negatif 0,97, dan, akurasi 46% untuk mendeteksi SNAD.
Simpulan. Ditemukan hasil biakan darah positif pada 2 subjek. Biakan usap
telinga memiliki sensitivitas 64,7%, spesifisitas 36,4%, nilai duga positif 34,3%,
nilai duga negatif 66,6%, rasio kemungkinan positif 1,02, rasio kemungkinan
negatif 0,97, dan akurasi 46% untuk mendeteksi SNAD.

ABSTRACT
Background. Early-onset neonatal sepsis (EOS) is a clinical syndrome due to
systemic response to infection in early life. EOS is often difficult to diagnosed
because the clinical symptoms are not specific.
Objective. The study aim to determine sensitivity and specificity of ear swabs
culture in the diagnosis of EOS.
Methods. Neonates born in the CMH Jakarta and Tangerang Selatan Hospital
who developed sepsis were studied. Swabs were collected for culture from baby’s
ear. Bacterias isolated from ear swabs cultured were correlated with those from
blood culture.
Results. Among 50 neonates studied, 2 neonates had positive blood cultured and
32 neonates had positive ear swabs cultured. Only one subject had suitability
types of bacterias that grew from blood and ear swabs. Bacteria grew from ear
swab cultured were predominantly Gram-positive (62%). Ear swabs cultured had
sensitivity 64.7%, specificity 36.4%, positive predictive value (PPV) 34.3%,
negative predictive value (NPV) 66.6%, positive likelihood ratio (PLR) 1.02,
negative likelihood ratio (NLR) 0.97, and accuracy 46% to detect EOS.
Conclusions. This study showed positive blood culture results were found in two
subjects. Ear swabs cultured had a sensitivity 64.7%, specificity 36.4%, PPV
34.3%, NPV 66.6%, PLR 1.02, NLR 0.97, and accuracy 46% to detect EOS, Background. Early-onset neonatal sepsis (EOS) is a clinical syndrome due to
systemic response to infection in early life. EOS is often difficult to diagnosed
because the clinical symptoms are not specific.
Objective. The study aim to determine sensitivity and specificity of ear swabs
culture in the diagnosis of EOS.
Methods. Neonates born in the CMH Jakarta and Tangerang Selatan Hospital
who developed sepsis were studied. Swabs were collected for culture from baby’s
ear. Bacterias isolated from ear swabs cultured were correlated with those from
blood culture.
Results. Among 50 neonates studied, 2 neonates had positive blood cultured and
32 neonates had positive ear swabs cultured. Only one subject had suitability
types of bacterias that grew from blood and ear swabs. Bacteria grew from ear
swab cultured were predominantly Gram-positive (62%). Ear swabs cultured had
sensitivity 64.7%, specificity 36.4%, positive predictive value (PPV) 34.3%,
negative predictive value (NPV) 66.6%, positive likelihood ratio (PLR) 1.02,
negative likelihood ratio (NLR) 0.97, and accuracy 46% to detect EOS.
Conclusions. This study showed positive blood culture results were found in two
subjects. Ear swabs cultured had a sensitivity 64.7%, specificity 36.4%, PPV
34.3%, NPV 66.6%, PLR 1.02, NLR 0.97, and accuracy 46% to detect EOS]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3   >>