Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifqi Febri Hertianto
Abstrak :
Arsitektur Neo Klasik bangkit pada abad ke-18 sebagai gaya arsitektur yang mencoba untuk kembali menuju gaya Arsitektur Klasik yang murni, dengan interpretasi dari arsitek dan menyesuaikan kondisi lingkungan, daerah, fungsi dan tujuan wilayah terbangun. Meskipun Arsitektur Neo Klasik tersebar dan masuk ke Indonesia, setiap aturan atau sistem dari gaya ini tetap berlaku. Menyebarnya gaya arsitektur ini dibawa oleh Pemerintahan Perancis dalam Perang Napoleon saat Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda. Pengaruh dari hal tersebut yaitu masuknya bangunan bergaya Empire Style dan Neo Klasik yang dibawa oleh Perancis. Bangunan tersebut dibangun di sekitar Weltevreden yang saat itu menjadi pusat kota Batavia yang baru. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis aturan atau sistem yang digunakan dalam bangunan tersebut, dan menganalisis ciri-ciri yang terbentuk sebagai ciri bangunan bergaya Arsitektur Neo-klasik di Batavia. Bangunan yang akan diteliti meliputi Gedung A.A. Maramis, Gedung Kesenian Jakarta, dan Gereja All Saints Anglican. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah komparatif dan studi kasus. Hasil dari temuan yang didapatkan dari penelitian ini adalah setiap bangunan yang dianalisis memiliki perbedaan yang menyesuaikan dengan fungsi dan tujuan yang ingin dicapai oleh Arsitek, tetapi setiap bangunan tetap mengikuti aturan Arsitektur Klasik sehingga termasuk Arsitektur Neo-klasik.
Neoclassical Architecture arise in the 18th century as an architectural style that tried to return to the purest Classical Architecture style, with the interpretation by the architects and adapting to environmental conditions, regions, functions and objectives of the built regions. Although Neoclassical Architecture spread and entered Indonesia, every rule or order of this style still applies. The spread of this architectural style was brought about by France Government in the Napoleonic Wars when Indonesia was still in the Dutch colonial period. The influence of this is the entry of the Empire Style and Neoclassical buildings brought by France. The building was built around Weltevreden which was then the center of the new city of Batavia. This study aims to find out and analyze the rules or order used in the building, and analyze the characteristics formed as a feature of the Neoclassical architecture in Batavia. The buildings to be studied include the A.A. Maramis building, Jakarta Arts Building, and All Saints Anglican Church. The method used in this study is comparative history and case studies. The results of the findings obtained from this study are that each building analyzed has a difference that correspond to the functions and objectives to be achieved by the Architect, but each building still tyfollows the rules of Classical Architecture so that it includes Neoclassical Architecture.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahela Sabila
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini menganalisis perilaku soft balancing Tiongkok yang berbeda di Timur Tengah, khususnya pada krisis Libya dan Suriah dalam membatasi pengaruh Amerika Serikat (AS). Studi ini menggunakan teori Realisme Neoklasik yang dapat memberikan penjelasan kebijakan luar negeri atau strategi suatu negara dalam suatu isu. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kongruensi dengan pengambilan data melalui studi kepustakaan. Analisis tersebut memberikan hasil bahwa perbedaan perilaku soft balancing Tiongkok dalam menghadapi AS disebabkan oleh faktor domestik yang berbeda dalam melihat krisis Libya dan Suriah. Faktor domestik penentu kebijakan luar negeri suatu negara oleh Schweller menyebutkan terdapat lima variabel yaitu elite consensus, government atau regime vulnerability, social cohesion, dan elite cohesion. Analisis di dalam tesis ini menyebutkan terdapat perbedaan variabel yang muncul di krisis Libya dan Suriah di dalam domestik Tiongkok sendiri. Akibatnya, Tiongkok menunjukan perilaku soft balancing yang berbeda di dalam krisis Libya dan Suriah dalam membatasi pengaruh AS.
ABSTRACT
This study analyzes the different Chinas soft balancing behaviors in the Middle East, particularly in the Libyan and Syrian crises in limiting the influence of the United States (US). This study uses the theory of Neoclassical Realism which can provide an explanation of a countrys foreign policy or strategy on an issue. This research is a qualitative study using a congruence method with data collection through a literature study. The analysis gives the result that differences in Chinas soft balancing behavior in dealing with the US are caused by different domestic factors in seeing the Libyan and Syrian crisis. Domestic factors determining a countrys foreign policy by Schweller said there are five variables, namely elite consensus, government or regime vulnerability, social cohesion, and elite cohesion. The analysis in this thesis states that there are differences in the variables that appear in the Libyan and Syrian crises within China itself. As a result, China exhibits different soft balancing behaviors in the Libyan and Syrian crises in limiting US influence.
2020
T55393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hasan Izzurrahman
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh putusnya hubungan diplomatik Republik Sudan dengan Republik Islam Iran 2014-2016. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakangi Sudan mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Iran, dari yang menjalin kerjasama diplomatik, kemudian memutuskan hubungan diplomatiknya secara sepihak. Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dengan teknik wawancara sebagai data primer dan teknik pengumpulan data sekunder berupa kajian pustaka. Sementara untuk metode analisis data menggunakan metode flow chart analysis dengan mereduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dalam proses penelitian, data dan fakta yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan konsep Sistem Internasional dan kerangka teori Realisme Neoklasik, dapat disimpulkan bahwa perubahan kebijakan luar negeri Sudan yang akhirnya memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran dilatarbelakangi oleh dua faktor utama, yaitu intervention variables atau faktor internal yang dalam hal ini berupa kondisi ekonomi yang memburuk, hilangnya cadangan minyak, dinamika sosial, dan peran sentral militer. Faktor selanjutnya yaitu independent variable berupa kebijakan luar negeri Sudan terhadap regional dan internasional, dominasi Arab Saudi di regional yang terancam, serta pemberian sanksi, embargo ekonomi dan label negara pendukung terorisme Amerika Serikat kepada Sudan. ......This research is motivated by the severance of diplomatic relations between the Republic of the Sudan and the Islamic Republic of Iran 2014-2016. The purpose of this research is to reveal the factors behind Sudan changing its foreign policy towards Iran, from establishing diplomatic cooperation, then breaking diplomatic relations unilaterally. This thesis uses a descriptive analytical qualitative research method with interview techniques as primary data and secondary data collection techniques in the form of literature review. Meanwhile, the data analysis method uses a flow chart analysis method by reducing data, presenting data, and drawing conclusions. In the research process, the data and facts obtained are then analyzed using the concept of the International System and the theoretical framework of Neoclassical Realism, it can be concluded that Sudan's foreign policy changes that finally severed its diplomatic relations with Iran were motivated by two main factors, namely intervention variables or internal factors in this case in the form of deteriorating economic conditions, loss of oil reserves, social dynamics, and the central role of the military. The next factor is the independent variable in the form of Sudan's foreign policy towards the region and internationally, the threatened dominance of Saudi Arabia in the region, as well as sanctions, economic embargoes and labeling of the United States as a state sponsor of terrorism to Sudan.

Depok: Sekolah Kajian Stratejik Dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Widawati
Abstrak :
ABSTRAK
Intervensi militer Rusia ke Ukraina menandai babak baru dari persaingan geopolitik antara Rusia dengan negara-negara barat. Meskipun tindakan tersebut dikecam oleh dunia internasional, Rusia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur. Sebaliknya, mantan pemimpin Uni Soviet tersebut justru merevisi doktrin militernya dan meningkatkan anggaran militer di tengah krisis ekonomi. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor determinan di balik intervensi militer Rusia di Ukraina dengan menggunakan paradigma neoclassical realism. Penelitian ini menemukan bahwa intervensi militer Rusia tidak hanya dipengaruhi oleh dinamika sistem internasional, tetapi juga serangkaian faktor internal, terutama 1) persepsi pemimpin negara, 2) batasan domestik, serta 3) kepentingan negara.
ABSTRACT
Russian military intervention in Ukraine marks a new phase of its geopolitical rivalry with the West. Despite being condemned by international world, Russia doesn?t show any wavering signs. Instead, the ex-USSR leader has amended its military doctrine and bolstered its military expenditure amidst economic downturn. This work aims to analyze the determinant factors behind Russian military intervention in Ukraine by employing neoclassical realism framework. This study found that Russian military intervention was not only motivated by international system dynamics, but also by a series of internal factors, notably 1) leader?s perception, 2) domestic constraints, and 3) state interests.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angle Caroline
Abstrak :
Sanksi merupakan alat kebijakan luar negeri yang digunakan ketika diplomasi tidak lagi efektif. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu negara yang sudah menggunakan sanksi sejak abad ke-19, salah satunya terhadap Kuba. Secara historis, AS dan Kuba merupakan dua negara yang telah menjalin hubungan, terutama dalam bidang ekonomi. Namun, semua ini berubah ketika Fidel Castro memerintah Kuba pada tahun 1961 yang melancarkan Revolusi Kuba dan tidak lagi sejalan dengan kepentingan  AS, yaitu mengikuti nilai-nilai liberal. Sebagai respon, AS memberlakukan sanksi ekonomi di bawah sepuluh pemerintahan yang berbeda. Kendati demikian, 17 Desember 2014 menjadi titik balik hubungan kedua negara dengan diumumkannya normalisasi hubungan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, penelitian ini berupaya menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang membawa AS pada keputusan normalisasi hubungan dengan Kuba. Penelitian ini pun menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan kerangka teori realisme neoklasik. Argumen utama dari penelitian ini adalah keputusan AS melakukan normalisasi hubungan dengan Kuba ditentukan oleh faktor sistemik dan domestik. Pada tingkat sistemik, distribusi kapabilitas relatif AS, sifat lingkungan strategis AS, dan  menentukan tekanan sistem bagi AS. Kemudian, pada tingkat domestik, keputusan tersebut dipengaruhi oleh aktor domestik, polarisasi politik domestik dan tantangan politik pada pemerintahan Obama, serta respon pemerintahan Obama terhadap dinamika politik domestik terkait hubungan AS dan Kuba. ......Sanction is a foreign policy tool used when diplomacy fails to be effective. The United States (US) is one of the countries that has been using sanctions since the 19 century, including against Cuba. Historically, US and Cuba had established relations, particularly in the economic field. However, this all changed when Fidel Castro became the leader of Cuba in 1961 and carried out the Cuban Revolution. Such action was not in line with the US interest which aimed to promote liberal values. In response, US imposed economic sanctions under ten different administrations. Nevertheless, December 17, 2014, marked a turning point of the relationship between these two countries with the announcement of the normalizations of relations. Therefore, this study aims to explain and analyze the factors that led US to the decision of normalizing relations with Cuba. This research utilizes a qualitative research methodology with a framework of neoclassical realism theory. The main argument of this study is that the decision of US to normalize relations with Cuba is determined by systemic factors that are intervened by domestic factors, resulting in the decision of normalization. At the systemic level, the relative distribution of power, the geographic proximity between US and Cuba, as well as the geopolitical context and international events, exert structural pressure on US. At the domestic level, the decision is influenced by domestic actors, political polarization and challenges within the Obama administrations, as well as the Obama administration’s response to the domestic political dynamics related to US-Cuba relations.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriawan
Abstrak :
Tesis ini meneliti fenomena pengesahan undang-undang penjaga pantai Tiongkok pada tahun 2021 yang kontradiktif dengan hukum internasional. Undang-undang ini memberi penjaga pantai kewenangan untuk menghancurkan infrastruktur dan kapal asing di wilayah perairan yang diklaim Tiongkok. Karenanya, banyak yang memprediksi dan berspekulasi bahwa undang-undang penjaga pantai dapat membawa ketidakstabilan di kawasan. Tapi, setelah satu tahun sejak efektif disahkan, tidak banyak yang berubah. Tesis ini kemudian mempertanyakan “mengapa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021?” Demi menjawab pertanyaan tersebut, tesis ini berpijak pada teori realisme neoklasik, menganalisis baik faktor sistemik dan faktor unit. Penulis berpendapat bahwa ada tiga faktor unit yang berkontribusi terhadap keputusan Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai di tahun 2021: (1) persepsi Tiongkok mengenai faktor sistemik; (2) reformasi agensi penegak hukum laut; (3) perjuangan kekuatan Xi Jinping. Metodologi yang digunakan pada tesis ini adalah studi kasus dengan model penelusuran kausal dan alir. Tesis ini menemukan bahwa Tiongkok mengesahkan undang-undang penjaga pantai pada tahun 2021 untuk mengimbangi tekanan sistemik yang terus meningkat dan memberi landasan hukum kepada penjaga pantai yang baru direstrukturisasi untuk melindungi hak serta kepentingan Tiongkok di laut sengketa. ......The present thesis scrutinises the phenomenon of the enactment of the China Coast Guard Law in 2021 which contradicts international law. The law allows the coast guard to demolish other countries' structures built and foreign vessels in water claimed by China. Hence, many have predicted and speculated that the law will bring instability to the region. But After one year of being effective, nothing much has changed. This thesis then asked the question “why China passed the coast guard law in 2021?” To answer the question, this thesis is grounded in neoclassical realism, analysing both systemic and domestic factors. The author argues that there are three domestic factors that contribute to China’s decision to pass the coast guard law in 2021: (1) China’s perception regarding systemic factor; (2) maritime law enforcement reform; and (3) Xi Jinping power struggle. The methodology used in this thesis is case study with process tracing and flow model. This thesis found that China enacted the coast guard law in 2021 to balance the ever-increasing systemic pressures and to provide the newly reinstituted coast guard a legal foundation to safeguard the rights and interests in the disputed.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Fransiska Indriana Vita Sari
Abstrak :
Pasca Tragedi 9/11, negara-negara di dalam sistem internasional diminta untuk mendukung dan mengadopsi kampanye Global War on Terror dalam merespon ancaman terorisme. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung kampanye ini. Selain karena terekspos rezim dalam sistem internasional, Indonesia juga mengalami ancaman terorisme dari dalam negeri. Seiring dengan berjalannya waktu, pilihan tindakan Indonesia pun berkembang: dari hanya patuh terhadap rezim kontraterorisme yang berlaku dan menerima bantuan, menjadi aktor yang turut menggerakkan agenda kontraterorisme dalam berbagai forum multilateral. Indonesia bahkan dapat dikatakan sebagai “lead sharper” kebijakan kontraterorisme di Asia Tenggara. Melihat perkembangan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya, menarik untuk menilik bagaimana isu kontraterorisme berdinamika dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: “Apa bentuk kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kontraterorisme selama 2001-2019? Apa saja faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan tersebut?” Pertanyaan ini akan coba untuk dijawab dengan menggunakan analisis realisme neoklasik dalam tiga pemerintahan di Indonesia. Dengan menjawab pertanyaan tersebut, diharapkan penelitian ini dapat melacak upaya kontraterorisme yang dilakukan Indonesia selama delapan belas tahun ke belakang dan mampu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut. ......After the 9/11 Tragedy, countries in the international system were asked to support and adopt the Global War on Terror campaign in responding to the threat of terrorism. Indonesia was one of the countries that supported this campaign. Apart from being exposed of the regime in the international system, Indonesia was also facing the threat of terrorism from its domestic sphere. Over time, Indonesia's choice of action has also grown: from only obeying the prevailing counterterrorism regime and receiving assistance, to being an actor who helps move the counterterrorism agenda in various multilateral forums. Indonesia can even be said to be the "lead sharper" of counterterrorism policies in Southeast Asia. Seeing Indonesia's development in its foreign policy, it is interesting to see how the counterterrorism issue is having its dynamic with foreign policy to achieve the country’s goals. Thus, this research seeks to answer the question: “What form of foreign policy was carried out by Indonesia to meet counterterrorism needs during 2001-2019? What were the factors that influenced this policy choice?” These questions will be answered using an analysis of neoclassical realism in Indonesia’s three reign governments. By answering these questions, it is hoped that this research will be able to trace Indonesia's counterterrorism efforts over the past eighteen years and analyze the factors that influenced these choices.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delia Dintana
Abstrak :
Studi ini mengkaji bagaimana peningkatan perdagangan internasional telah memengaruhi dinamika kesenjangan upah antar jenis kelamin dan share employment di industri manufaktur di Indonesia hingga 2003 hingga 2015. Teori Discrimination Taste oleh Becker (1957) dan menyatakan bahwa perdagangan internasional adalah mekanisme untuk meningkatkan daya saing di pasar sehingga peningkatan perdagangan internasional akan mengurangi kesenjangan upah antar tenaga kerja laki-laki dan perempuan karena diskriminasi bersifat costly untuk industri. Di sisi lain, teori non neoklasik berpendapat bahwa perdagangan internasional berakibat kepada melebarnya ketimpangan upah dikarenakan adanya segregasi pekerjaan diantara skilled dan unskilled labor. Penulis memasukkan ide dari kedua teori ini ke dalam model teori persaingan dan konsentrasi industri dan menguji model tersebut menggunakan data panel dari data survei rumah tangga Sakernas yang digabung dengan data perdagangan dan konsentrasi dari Statistik Industri dari 2003-2015. Perkiraan dari Ordinary Least Square (OLS) dan random effect di tingkat industri menunjukkan bahwa peningkatan daya saing di dalam pasar karena perdagangan internasional membuat tingkat kesenjangan upah di industri manufaktur terkonsentrasi di Indonesia menjadi semakin lebar. ...... This study examines how increasing trade in manufacturing industry in Indonesia through 2003 to 2015 have affected the dynamic of the gender wage gap and share employment. The Discrimination Taste theory by Becker (1957) stated that international trade is a mechanism for the competitiveness in the market hence the increasing of trade will decrease the gender wage gap since it is costly for the industry. On the other hand, non-neoclassical theory argues that international trade results in widening wage inequality due to the segregation of work between skilled and unskilled labor. We incorporate these two ideas into a theoritical model of competition and industry concentration and test the model using panel data of Sakernas household survey data merged with trade and concentration data from Statistik Industri from 2003-2015. Estimates from ordinary least-squares (OLS) and random effects regressions at the industry-level indicate that increasing openness to trade is associated with larger wage gaps in Indonesias concentrated manufacturing industries.
Depok: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Abshar Arham
Abstrak :
Tesis ini menjelaskan mengapa kebijakan luar negeri suatu negara dapat bersifat ambivalen. Analisis yang dibangun dalam tesis ini menggunakan kerangka pemikiran realisme neoklasik untuk menjelaskan kebijakan luar negeri Tiongkok yang ambivalen terhadap Indonesia pada kasus Laut Natuna Utara ditengah eratnya hubungan kedua negara. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok tengah mengalami pergeseran. Sejak menjadi Presiden Tiongkok pada tahun 2013, Xi Jinping menyerukan semangat untuk “berjuang meraih prestasi” sehingga menghasilkan kebijakan luar negeri yang lebih asertif. Hal ini dipengaruhi oleh adanya tekanan sistemik yang dihadapi Tiongkok dan orientasi strategis Xi Jinping. Tekanan sistemik yang dihadapi Tiongkok adalah adanya upaya dari negara-negara pesaing Tiongkok, baik di level regional maupun global, untuk menghambat kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan global. Sementara itu, sejak dipimpin Xi Jinping orientasi strategis Tiongkok bersifat eksternal dengan tujuan untuk mewujudkan ambisi menjadi negara yang kuat, sehingga dapat memperluas pengaruh politik dan ekonominya. ......This thesis aims to explain why a country can produce an ambivalent foreign policy. This study utilizes the framework of neoclassical realism to explain China's ambivalent foreign policy towards Indonesia in the North Natuna Sea case amid the close relations between the two countries. The results of this study indicate that China's foreign policy is undergoing a shift. Since becoming President of China in 2013, Xi Jinping has called for a “striving for achievements” narative which resulted in a more assertive foreign policy. This is influenced by the existence of systemic pressures faced by China and Xi Jinping's strategic orientation. The systemic pressure faced by China is the strategy of China's adversaries, both at the regional and global levels, to contain China's rise as a global power. Meanwhile, since being led by Xi Jinping, China's strategic orientation has been external with the aim of realizing the ambition to become a strong country, so that it can expand its political and economic influence.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elena Sarrah Novia
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini meneliti tentang bagaimana faktor-faktor domestik mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Indonesia dalam rangka merespons dinamika situasi internasional, dengan menggunakan teori Neoclassical Realism. Situasi internasional yang terjadi pada masa itu adalah modernisasi militer yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, diintervensi oleh keempat faktor domestik, yakni persepsi pemimpin, budaya strategis, hubungan negara dan masyarakat, dan institusi domestik. Dalam kurun waktu sepuluh tahun 1997-2007 , negara-negara di Asia Tenggara ndash; Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Indonesia ndash; melakukan modernisasi militer. Dibandingkan negara yang lain, Indonesia belum bisa melaksanakan modernisasi militer dengan optimal. Pada 27 April 2007 Indonesia dan Singapura sepakat untuk menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defense Cooperation Agreement DCA . Perjanjian ini akan memberikan akses terhadap Singapura ke beberapa wilayah kedaulatan Indonesia untuk digunakan sebagai Military Training Area MTA . Selain itu, DCA juga memungkinkan untuk dilakukannya latihan militer bersama, pertukaran personil militer, dan pembangunan fasilitas militer Indonesia oleh Singapura. Namun demikian, DPR RI justru mengecam penandatanganan DCA dan memutuskan untuk menolak untuk meratifikasi kesepakatan tersebut. Satu dekade setelah DCA ditandatangani, belum ada kelanjutan proses ratifikasi perjanjian pertahanan tersebut. Tulisan ini berargumen bahwa DCA merupakan bentuk external balancing yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap modernisasi negara-negara di Asia Tenggara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah Indonesia untuk melakukan external balancing gagal dikarenakan oleh empat variabel perantara, yakni persepsi DPR RI, budaya strategis, hubungan negara masyarakat, dan institusi domestik.
ABSTRAK
This thesis examines how domestic factors influence the direction of Indonesian foreign policy in order to respond to the dynamics of the international situation using the Neoclassical Realism theory. The international situation occurring during that period was the military modernization that occurred in Southeast Asia, which was interfered by the four domestic factors, namely leader 39 s perception, strategic culture, state and society relations, and domestic institutions. Within ten years 1997 2007 , countries in Southeast Asia Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, and Indonesia implementing military modernization. Compared to other countries, Indonesia has not been able to carry out military modernization optimally. On April 27, 2007 Indonesia and Singapore agreed to sign a Defense Cooperation Agreement DCA . This Agreement will grant Singapore access to several sovereign territories of Indonesia as a Military Training Area MTA . In addition, the DCA also allows for joint military exercises, military personnel exchanges, and the construction of Indonesian military facilities by Singapore. However, the DPR RI House of Representatives criticized the signing of the DCA and decided to refuse to ratify it. Up to a decade after the DCA was signed, there has been no continuation of the ratification process of the defense agreement. This paper argues that DCA is a form of external balancing by the Indonesian government towards the military modernization of countries in Southeast Asia. The results of this study indicate that the Indonesian government 39 s attempts to perform external balancing failed due to four intermediate variables, namely the perception of DPR RI, strategic culture, state and society relations, and domestic institutions.
2017
S69374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library