Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dandan Marthadani
Abstrak :
Latar belakang. Enterokolitis nekrotikan (EKN) merupakan penyakit inflamasi akut pada saluran cerna neonatus, terutama neonatus kurang bulan (NKB). Penyebab terjadinya EKN hingga saat ini belum diketahui tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kelainan tersebut. Tujuan. Mengetahui rerata usia dan faktor risiko terjadinya EKN pada NKB. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif berdasarkan data rekam medis NKB yang dirawat selama periode Januari 2017-Desember 2019 di Divisi Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Analisis faktor risiko menggunakan analisis bivariat dan multivariat. Hasil. Sampel yang didapatkan sebanyak 160 subyek. Rerata usia terjadinya EKN adalah 11,38 hari. Analisis bivariat didapatkan faktor risiko berat lahir <1500 gr (p=0,006, RR 2,623, IK 95% 1,302-5,282), usia gestasi <32 minggu (p=0,009, RR 2,531, IK 95% 1,246-5,141), dan pemberian antibiotik ≥5 hari (p=0,007, RR 4,831, IK 95% 1,391-16,780) meningkatkan risiko terjadinya EKN. Hasil analisis multivariat pada faktor risiko berat lahir, usia gestasi, pemberian antibiotik, dan jenis nutrisi enteral tehadap terjadinya EKN, tidak didapatkan hasil yang bermakna secara statistik. Faktor prenatal dan intrapartum tidak dapat diketahui karena keterbatasan data. Kesimpulan. Rerata usia terjadinya EKN adalah usia 2 minggu pertama kehidupan neonatus. Faktor risiko terjadinya EKN bersifat multifaktorial dan terdapat kecenderungan dipengaruhi oleh berat lahir rendah, usia gestasi yang muda, serta pemberian antibiotik ≥5 hari. ......Background. Necrotizing enterocolitis (NEC) is an acute inflammatory disease of gastrointestinal tract that commonly occurs in newborns, particularly with preterm birth. To date, the cause of NEC is not known, however several risk factors contribute to the occurrence of this disease. Objective. To investigate mean age and risk factors of NEC in premature newborns. Methods. A retrospective cohort study was conducted using secondary data from medical records of premature infants hospitalised since January 2017 until December 2019 in Neonatology Division, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Risk factors was analysed using bivariate and multivariate analysis. Results. A total of 160 subjects were obtained and analysed. Mean age of NEC occurrance is 11,38 days. Bivariate analysis showed birth weight <1500 gram (p=0,006, RR 2,623, 95% CI 1,302-5,282), gestational age <32 weeks (p=0,009, RR 2,531, 95% CI 1,246-5,141), and antibiotics administration ≥5 days (p=0,007, RR 4,831, 95% CI 1,391-16,780) were associated with increased risk of NEC. However multivariate analysis revealed birth weight, gestational age, antibiotics administration, and enteral nutrition type showed no association with NEC occurrence. Prenatal and intrapartum factors were not studied due to lack of data. Conclusion. Mean age of occurrence is within the first 2 weeks of life. Risk factors of NEC are multifactorial and tend to be related with smaller gestational age, low birth weight, and antibiotic use ≥5 days.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penyakit Kikuchi-Fujimoto pertama kali dilaporkan oleh dua orang ahli patologi secara terpisah di Jepang. Penyakit ini termasuk idiopatik, merupakan self limited necrotizing lymphadenitis. Manifestasi klinik berupa pembesaran kelenjar limfe leher yang multipel, yang disertai gejala demam, nyeri otot, leukopeni dan kemerahan pada kulit. Makalah ini melaporkan satu kasus penyakit Kikuchi-Fujimoto yang pertama terdiagnosis pada seorang anak perempuan usia 12 tahun di RS.Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. (Med J Indones 2004; 14: 107-12)
Kikuchi-Fujimoto disease (KFD) was first reported by 2 Japanese pathologists, Kikuchi and Fujimoto, independently in 1972. KFD is an idiopathic, self-limited necrotizing lymphadenitis. The most common clinical manifestation is cervical lymphadenopathy accompanied by fever, myalgia, leukopenia, and skin rash. The purpose of this paper is to report the first case of Kikuchi-Fujimoto disease in a twelve year old girl in Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. (Med J Indones 2004; 14: 107-12)
Medical Journal of Indonesia, 14 (2) April Juni 2005: 107-112, 2005
MJIN-14-2-AprJun2005-107
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Afiffa Mardhotillah
Abstrak :
Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans merupakan salah satu komplikasi pada bayi prematur dengan angka mortalitas tinggi. Patogenesis terjadinya enterokolitis nekrotikans hingga kini belum dipahami namun bersifat multifaktorial. Berbagai penelitian mengaitkan enterokolitis nekrotikans dengan transfusi sel darah merah. Salah satu upaya untuk mencegahnya adalah dengan melakukan puasa saat transfusi, namun hingga kini masih bersifat kontroversial. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan puasa saat menjalani transfusi sel darah merah dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi prematur. Metode: Penelitian menggunakan desain studi kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis. Bayi prematur yang dirawat di Unit Perinatologi RSCM dalam periode Januari 2019 hingga Desember 2023 dan menjalani transfusi sel darah merah, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian. Subyek kemudian dikelompokkan berdasarkan puasa atau tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah. Diagnosis enterokolitis nekrotikan ditegakkan melalui hasil foto polos abdomen. Dilakukan pula pencatatan terhadap status maternal, usia gestasi, data antropometri saat lahir, skor APGAR usia 5 menit, jenis nutrisi enteral saat dilakukan transfusi sel darah merah. Hasil: Sebanyak 240 bayi prematur yang menjalani transfusi sel darah merah diikutsertakan dalam analisis. Seratus empat puluh empat bayi lelaki (60,0%), dengan rerata usia gestasi 31 (SD 2,69) minggu dan median berat lahir 1.256 (RIK 1.005-1.653) gram. Enterokolitis nekrotikans ditemukan pada 23,75% subyek dan EKN awitan dini lebih banyak ditemukan yaitu sebanyak 54,39% subyek. Proporsi bayi yang dipuasakan mengalami EKN lebih rendah dibandingkan yang tidak dipuasakan (22,09% dan 27,94%). Tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara kejadian EKN pada kelompok puasa dibandingkan kelompok tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah (RR 1,081 (IK 95% 0,913-1,279). Kesimpulan: Puasa saat transfusi sel darah merah tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik menurunkan kejadian enterokolitis nekrotikans. ......Background: Complications due to prematurity are major problems for premature infants. Necrotizing enterocolitis has been one of the most considered complication with high mortality rate. Pathogenesis of necrotizing enterocolitis yet to be fully understood, however multiple factors were proven to be associated. Transfusion associated necrotizing enterocolitis has been studied in many researches. Withholding feeds during red blood cell transfusion were postulated to decrease the rate of necrotizing enterocolitis in premature infants, however controversy still found among the research published. Objective: This study aimed to evaluate the association between withholding feeds during red blood cell transfusion and incidence of necrotizing enterocolitis in premature infants. Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital. Premature infants admitted from January 2019 to December 2023 who received red blood cell transfusion were selected according to inclusion and exclusion criteria. Subjects were divided into two group by looking at withholding feeds status during transfusion or fed during transfusion. Necrotizing enterocolitis was diagnosed by radiologist using abdominal radiograph. Maternal status, gestational age, birth anthropometric measurement, 5-minutes APGAR score, and type of enteral nutrition (breast milk or formula) while receiving red blood cell transfusion were recorded. Results: Two hundred and forty subjects included in this study. Among all subjects, male infants 144 (60%), mean gestational age was 31 (SD 2,26) weeks, and median birthweight was 1.256 (IQR 1,005-1.653) grams. Necrotizing enterocolitis were slightly lower in withholding feeds during transfusion group compared to fed group (22,09% and 27,94%, respectively). No association was found between withholding feeds during red blood cell transfusion compared to fed during transfusion with incidence of necrotizing enterocolitis (RR 1,081 (95% CI 0,913-1,279). Conclusion: Withholding feeds during red blood cell transfusion did not significantly decrease the incident of necrotizing enterocolitis in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wardhana
Abstrak :
Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans EKN merupakan inflamasi pada saluran cerna yang sering terjadi pada bayi prematur. Lactobacillus reuteri merupakan mikroorganisme hidup yang dilaporkan dapat mencegah kejadian EKN, intoleransi minum dan menurunkan angka mortalitas. Tujuan: Mengidentifikasi kejadian EKN pada bayi prematur yang mendapat Lactobacillus reuteri DSM 17938 dan sekunder kejadian sepsis, intoleransi minum, waktu mencapai full feeding, lama hari perawatan, efek samping dan kematian. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda membandingkan pemberian Lactobacillus reuteri dengan plasebo pada neonatus usia gestasi 28-34 minggu dan berat lahir 1000-1800 gram di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Masing-masing kelompok terdiri dari 47 subjek. Hasil: Kejadian EKN stadium 2 dan 3 didapatkan 3 subjek 6,4 pada kelompok plasebo dan tidak ada ada pada kelompok probiotik RR 1,07 IK 95 0,99-1,15, p=0,24 . Intoleransi minum berupa muntah, kembung, atau keduanya lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo 8,5 vs. 25,5 , RR 0,33 IK 95 0,12-0,96, p=0,03 . Proven sepsis pada kelompok probiotik dan plasebo tidak berbeda bermakna 2,1 vs. 6,4 , p=0,62 . Waktu mencapai full feeding dan lama perawatan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Efek samping yang diobservasi berupa diare tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 4,3 , p=1,00 . Kematian tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 8,5 , p=0,36. Simpulan: Kejadian EKN terjadi pada kelompok plasebo sebesar 6,4 dan tidak ada pada kelompok probiotik. Intoleransi minum secara bermakna lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo. Luaran sekunder proven sepsis, waktu mencapai full feeding, lama perawatan, efek samping diare dan kematian tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok.
Background: Necrotizing enterocolitis NEC is an inflammatory disorder of the gastrointestinal tract that often occurs in preterm infants. Lactobacillus reuteri is a living microorganism that has been reported to prevent NEC. Objectives: Identify the NEC prevalence in preterm infants receiving Lactobacillus reuteri DSM 17938 with secondary outcomes including sepsis, feeding intolerance, time to reach full feeding, length of stay, adverse effects, and mortality. Methods: Double blind randomized controlled trial of Lactobacillus reuteri DSM 17938 versus placebo in 28 34 weeks of gestational neonates and birth weight 1000 1800 grams at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Each group consisted of 47 subjects. Results The prevalence of NEC stages 2 and 3 were found in three subjects 6,4 of the placebo whereas none occurred in the probiotic RR 1.07, 95 CI 0.99 1.15, p 0.24 . Feeding intolerance vomiting, distension, or both were found to be lower in the probiotic compared to the placebo 8.5 vs 25.5 RR 0.33 95 CI 0.12 0.96, p 0.03. No significant differences were found between both groups for the proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, and adverse effects of diarrhea. Mortality rates were 2.1 in the probiotic and 8.5 in the placebo, p 0.36. Conclusion 6,4 of the placebo group experienced NEC whereas none occurred in the probiotic group. Feeding intolerance was found to be significantly lower in the group receiving probiotics compared to the placebo group. Secondary outcomes including proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, adverse effect diarrhea , and mortality were also not found to be significantly different between both trial groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Pamungkas
Abstrak :
Latar belakang : Preeklamsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang masih tergolong cukup tinggi di dunia. Preeklamsia menduduki kedua tertinggi sebesar 14% penyebab kematian ibu. Penyebab kematian bayi pada masa neonatus sebesar 78,5% disebabkan oleh asfiksia, bayi berat lahir rendah dan infeksi. Salah satu akibat hal tersebut dikarenakan faktor maternal seperti preeklamsia. Luaran neonatal dengan kasus preeklamsia yaitu pertumbuhan janin terhambat, gangguan darah (Trombositopenia), gangguan sistem saraf pusat (hypoxic ischemic ensephalopathy, cerebral palsy), gangguan organ pernafasan (bronchopulmonary dysplasia, respiratory distress syndrome) serta gangguan saluran pencernaan (NEC). Tujuan : Mengetahui adakah perbedaan luaran neonatal pada kelahiran preterm dengan preeklamsia dibandingkan dengan kelahiran preterm tanpa preeklamsia. Metode : penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan metode case-control. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling. Subjek penelitian ini merupakan neonatal dari kelahiran preterm di usia kehamilan kurang dari 37 minggu yang dilakukan di RSCM. Data yang didapatkan dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui ada atau tidaknya preeklamsia pada kelahiran preterm dengan bayi yang mengalami hypoxic ischemic ensephalopathy (HIE), broncopulmonary syndrome (BPD), respiratory distress syndrome (RDS) dan necrotizing entercolitis (NEC) selama masa perinatal. Hasil : Dari 2.750 subjek yang diteliti dari tahun 2015 hingga 2018 didapatkan luaran neonatal preterm dari ibu yang mengalami Preklamsia sebanyak 455 subjek (16,5%) dibandingkan ibu yang tidak mengalami Preeklamsia sebanyak 2295 subjek (83,5%). Terdapat perbedaan bermakna untuk seluruh gangguan luaran neonatus preterm yaitu hypoxic ischemic ensephalopathy dengan nilai p = 0,002, OR 3,84, CI95% 1,61-9,17, broncopulmonary syndrome dengan nilai p = 0,04, OR 1,87, CI95% 1,03-3,42, respiratory distress syndrome dengan nilai p < 0,0001, OR 5,51 CI95% 4,35-6,98 dan necrotizing entercolitis dengan nilai p< 0,001, OR 2,22 CI95% 1,5-3,17. Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna untuk seluruh gangguan luaran neonatus preterm berupa hypoxic ischemic ensephalopathy (HIE), broncopulmonary syndrome (BPD), respiratory distress syndrome (RDS) dan necrotizing entercolitis (NEC) pada ibu dengan preeclampsia. ......Background: Preeclampsia is one of major causes of maternal and infant morbidity and mortality in the world. Preeclampsia is the second highest causes maternal death. Factors of death in infants are due to asphyxia, low birth weight and infections. One of the reasons causing infant death are maternal factors such as preeclampsia. Neonatal outcomes with maternal preeclampsia are fetal growth restriction, trombositopenia, nervous system disorder (hypoxic ischemic ensephalopathy, cerebral palsy), respiratory disorder (broncopulmonary dysplasia, respiratory distress syndrome), and digestive tract disorder (necrotizing enterocolitis). Objective : To investigate whether there are differences of preterm neonatal outcomes in cases with and without preeclampsia. Method : This study is an observational analytic study using case-control method and consequtive sampling. The subject of this study was preterm neonatal outcomes at gestational age less than 37 weeks in Cipto Mangunkusumo Hospital. The data then bivariately analyzed in order to determine preterm neonatal outcomes in cases with and without preeclampsia with hypoxic ischemic ensephalopathy (HIE), bronchopulmonary dysplasia (BPD), respiratory distress syndrome (RDS) and necrotizinf enterocolitus (NEC) on perinatal period. Result : Two-thousand and seventy hundred fifty subjects from 2015 until 2018 was studied, preterm infants with preeclampsic mother were 455 subjects (16,5%) and without preeclampsia is 2295 subjects (82,4%). There were significant relationship between preeclampsia with hypoxic ischemic ensephalopathy ( p = 0,002, OR 3,84, CI95% 1,61-9,17) broncopulmonary syndrome (p = 0,04, OR 1,87, CI95% 1,03-3,42), respiratory distress syndrome (p < 0,0001, OR 5,51 CI95% 4,35-6,98) and necrotizing entercolitis (p< 0,001, OR 2,22 CI95% 1,5-3,17). Conclusion : There were significant relationship between preeclampsia with neonatal outcame hypoxic ischemic ensephalopathy (HIE), bronchopulmonary dysplasia (BPD), respiratory distress syndrome (RDS) and necrotizif enterocolitus (NEC).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library