Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Camp, William G.
Albany: Delmar, 1997
333.7 CAM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Waddell, Sarah
Abstrak :
A new property right known as the coastal waters commercial use right (Hak Pengusahaan Pengairan Pesisir (HP-3)) introduced by Law No. 27 of 2007 regarding the Management of Coastal and Small Island Areas has been ruled inoperative by the Constitutional Court. The decision raises a question as to whether the door has been closed to marketbased instruments that rely on property rights as a policy tool in natural resources management. This concern is relevant as legal developments in natural resources law internationally have moved away from traditional forms of regulation to focus on the creation of new statutory property rights such as fisheries rights, water use rights and rights associated with carbon sequestration. An exploration of theConstitutional Court?s decisionsuggests that a similar line of reasoning would not, and should not,arise in relation to other forms of property rights that the Government of Indonesia may seek to introduce in the future.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Adhuri
Abstrak :
Natural resource management discourse and practice, as in politics but in different level, are shifting from centralized to local autonomy. Consequently, local government has to undertake many tasks. One important task is to formulate natural resource management policy that can contribute to enhance social welfare without disturbing natural resource sustainability. Hence, it is useful to evaluate existing management practices to learn its weaknesses and strengths as the basis in formulating new management policy. This article discussed conflict potential among stakeholders in the exploitation of sea natural resources in Kei islands, Southeast Mollucan. By analyzing the conflict, the discussion will identify stakeholders and power relations among them (interests, strategies and resource controls) to reveal challenges in natural resource management practices in the local autonomy era.
2005
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Semiarto Aji Purwanto
Abstrak :
The management of natural resources is authorized with local regulations when dealing with forest community and legal law including some parties from outside of particular forest area. The two contrasts between the local and national regulations have frequently taken place as result of conflict of interest. Therefore some questions arise: how is the development of such conservation areas meet with the local regulation or adat? Is the activity to make use of the resources by the community remains possible? To response to the question the writer would like to argue that assessment of how a national park management interact with local regulations and hak ulayat or communal rights, one should aware of the contexts of their interaction as well as the following aspects: historical, adat law, economical, institutional and the dynamic of local politics. These have to be emphasized since the national park policy in Indonesia can be seen as the manifestation of state territorialization which results in the marginalization of adat community. All parties' interests in natural resources are consider as national citizen and legally authorized to manage or exploit the resources inside the country's territory. Cases from the four national parks observed concluded that even when they live in around the parkas indigenous, they are not automatically awarded their traditional rights or access to make use of the parks.
2005
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muslihudin Sharbinie
Abstrak :
Sumberdaya alam termasuk didalamnya sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang rentan terhadap konflik mengingat sumberdaya alam terikat dalam suatu lingkungan yang saling terkait. Suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh individu akan berdampak terhadap lingkungan baik lingkungan sendiri atau lingkungan di luar dimana ia berada; sumberdaya alam terikat dalam suatu ruang sosial dimana hubungan yang komplek dan tidak seimbang terjalin yaitu antara berbagai aktor sosial seperti eksportir hasil bumi; petani, etnis minoritas maupun pemerintah; sumberdaya alam yang tersedia cenderung berkurang karena adanya perubahan-perubahan lingkungan yang pesat, permintaan yang cenderung meningkat dan distribusi yang tidak merata ; pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dalam cara-cara yang berbeda dan merupakan suatu simbol tertentu. Karena faktor-faktor tersebut, konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya alam merupakan hal yang banyak ditemukan. Keadaan seperti itu terlebih lagi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konflik dalam negara (intra-state conflict) terutama di negara-negara berkembang cenderung meningkat. Berbagai isu konflik muncul ke permukaan termasuk konflik yang berkenaan dengan isu lingkungan seperti konflik pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi konflik di Kabupaten Lampung Barat adalah dengan melakukan kerjasama dengan salah satu INGOs yaitu the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Sejak tahun 2000 ICRAF telah melakukan mediasi dalam upaya mencari pemecahan konflik. Fenomena tersebut membuktikan bahwa sebagai aktor non-state INGOs memiliki peranan yang signifikan. Mediasi sebagai salah satu pendekatan pemecahan konflik memiliki potensi terhadap perubahan pada aktor-aktor yang terlibat konflik maupun pada kebijakan yang berlaku. Pertanyaannya adalah bagaimana peta konflik pengelolaan sumberdaya tersebut, apa dampak mediasi ICRAF terhadap kebijakan yang berlaku dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat di masa yang akan datang. Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena dampak mediasi ICRAF terhadap aktor-aktor yang terlibat konflik dan kebijakan pengelolaan Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat. Untuk mengkaji fenomena tersebut digunakan perspektif pluralisme. Sebagai sebuah pendekatan pluralisme memandang bahwa gambaran hubungan internasional didasarkan pada empat asumsi pokok yaitu: Pertama, aktor non-negara, merupakan entitas yang penting dalam politik dunia. Organisasi internasional termasuk di dalamnya Non-Governmental Organisations (NGDs) misalnya dalam isu tertentu merupakan aktor yang independen. Mereka bukan hanya merupakan sebuah forum dimana negara-negara berlomba dan bekerjasama satu sama lain dengannya. Dalam organisasi internasional tertentu mereka memiliki kapasitas dalam hal menentukan agenda dan menyediakan informasi yang mampu mempengaruhi bagaimana suatu negara menentukan arah kebijakan tertentu. Kedua, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor uniter. Negara merupakan aktor yang terdiri dari individu, kelompok kepentingan dan birokrat. Dalam pandangan pluralis, sebuah keputusan yang dibuat oleh suatu negara pada dasarnya merupakan sebuah keputusan yang sebenarnya dibuat oleh koalisi pemerintah, birokrat dan bahkan individu. Ketiga, bagi pluralis negara bukan merupakan aktor rasional. Pandangan ini bertentangan dengan asuinsi realis yang memandang bahwa negara merupakan aktor rasional. Keempat, bagi pluralis agenda politik internasional bersifat luas (ekstensif). Disamping isu keamanan negara isu-isu ekonomi, sosial, ekologi, perdagangan. moneter, energi, kelaparan dan degredasi lingkungan bagi pluralisme merupakan agenda internasional dan memerlukan pemecahan secara global. Tesis ini membuktikan bahwa, mediasi ICRAF dalam pengelolaan konflik Hutan Lindung di Kabupaten Lampung Barat berdampak terhadap aktor dan kebijakan-kebijakan yang berlaku. Terbentuknya kelembagaan yang memiliki kapasitas dalam mengkaji potensi sumberdaya alam dan memiliki wewenang dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan telah memungkinkan aktor terkait sebagai bagian yang turut menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Kepemilikan lahan (land tenure) dalam bentuk ijin HKm. (Hutan Kemasyarakatan) yang diberikan oleh pemerintah kepada petani merupakan salah satu indikator bahwa pemerintah telah menaruh kepercayaan kepada petani dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Adanya jaminan kepemilikan lahan, peningkatan kemampuan dalam pengelolaan konflik dan peningkatan teknologi pengelolaan sumberdaya tersebut akan memungkinkan terbentuknya satu sistem pengelolaan sumberdaya Hutan. Lindung yang sesuai dengan perspektif pandangan aktor-aktor terkait. Dengan demikian visi pembangunan kehutanan Kabupaten Lampung Barat yaitu untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari akan lebih mudah tercapai.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library