Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
T. Santoso
"Hypertrophic obstructive cardiomyopathy (HOCM) is a genetic disorder associated with significant morbidity and mortality. Patients with this illness are prone to sudden death, angina, syncope, and heart failure. Symptomatic patients with HOCM are usually medically treated; in the few patients with persistent symptoms, surgical myomectomy offers satisfactory control.1'1 The role of DDD pacing in effort to reduce left ventricular outflow tract (LVOT) gradient is still controversial.3-4 Recently, non-surgical septal reduction therapy (NSRT) has gained popularity as an alternative to surgery, because the procedure is much simpler, safe and effective for relief of symptoms of LVOT obstruction.5 7
This paper will report a case of HOCM successfully treated with NSRT.
"
2002
AMIN-XXXIV-2-AprJun2002-55
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ardra Christian Tana
"Latar belakang dan tujuan: Pasien transfusion dependent thalassemia (TDT) rutin mendapatkan transfusi darah untuk mencegah komplikasi anemia kronik, namun kadar besi dalam tiap kantung transfusi yang diberikan akan menumpuk pada organ-organ, dan pada jantung akan mengakibatkan iron overload cardiomyopathy (IOC). Komplikasi IOC ini merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada pasien thalassemia, sehingga dibutuhkan modalitas untuk deteksi dini agar tatalaksana dapat diberikan lebih awal. Modalitas terpilih untuk mendeteksi kadar besi dalam jantung adalah dengan mengukur nilai T2* miokardium menggunakan MRI sekuens T2*, namun karena adanya keterbatasan modalitas maka dibutuhkan metode lain. Pada pasien dengan IOC, akan terjadi gangguan pada fungsi diastolik jantung terlebih dahulu. Oleh karena itu parameter yang dapat menilai fungsi diastolik jantung diharapkan juga dapat mendeteksi IOC lebih dini. Parameter yang diajukan pada penelitian ini adalah left atrial ejection fraction (LAEF) dan left atrial expansion index (LAEI) yang menggambarkan fungsi diastolik jantung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode pemeriksaan alternatif dari penilaian T2* untuk mendeteksi IOC serta mengetahui korelasi antara LAEF dan LAEI dengan nilai T2* jantung.
Metode: Penelitian ini merupakan uji korelasi menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder yang dilakukan di RSCM pada bulan April 2018 hingga September 2018. Didapatkan 70 subjek penelitian, yang masing-masing dilakukan pengukuran nilai T2* pada miokardium serta pengukuran dimensi atrium kiri. Analisis statistik menggunakan uji pearson.
Hasil: Didapatkan korelasi negatif rendah antara LAEF dengan nilai T2* (R= - 0,12, p>0,05) dan tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* (R= - 0,09, p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat korelasi berkebalikan rendah antara LAEF dengan nilai T2* miokardium serta tidak didapatkan korelasi antara LAEI dengan nilai T2* miokardium. Oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaan parameter tersebut untuk memprediksi IOC pada pasien dengan TDT.

Background and objectives:Transfusion dependent thalassemia (TDT) patients routinely get blood transfusions to prevent complications of chronic anemia, but iron content in each given transfusion sac will accumulate in the organs. In the heart it will result in iron overload cardiomyopathy (IOC), which is the highest cause of mortality in thalassemia patients. Therefore, modalities for early detection are needed so that early treatment can be given. Currently, the chosen modality for detecting iron levels in the heart is by measuring the myocardial T2 * value using MRI T2 * sequences, but due to limitations in modalities another method is needed. In patients with IOC, the diastolic function of the heart will occur first. For that reason, a parameter that can assess cardiac diastolic function is also expected to detect IOC earlier. The parameters proposed in this study are left atrial ejection fraction (LAEF) and left atrial expansion index (LAEI) which define cardiac diastolic function. The purpose of this study was to obtain an alternative examination method other than T2 * assessment to detect IOC and also to find out the correlation between LAEF and LAEI with heart T2 * values.
Method: This study is a correlation test using a cross-sectional design with secondary data, conducted at RSCM in April 2018 to September 2018. T2* score and left atrial dimensions was measured from all 70 subjects. Statistical analysis was done using Pearson correlation test.
Results: There was a low negative correlation between LAEF and T2 * (R = - 0.12, p> 0.05) and there was no correlation between LAEI and T2 * (R = - 0.09, p> 0.05).
Conclusion: There is low inverse correlation between LAEF and the myocardium T2 * value and there is no correlation between LAEI and myocardium * T2 value. Therefore, it is not recommended to use these parameters to predict IOC in patients with TDT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jurita Harjati
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Dalam bidang kardiologi untuk menilai fungsi jantung sering digunakan pembebanan. Biasanya dilakukan pembebanan dalam bentuk kerja isotonik. Pada keadaan dimana tidak dapat dilakukan kerja isotonik, dapat dilakukan pembebanan dengan kerja isometrik (handgrip test) untuk menilai fungsi jantung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembebanan kerja isometrik dan isotonik yang sesuai terhadap fungsi ventrikel kiri dengan STI dan konsumsi oksigen miokardium dengan Tri-produk yang menimbulkan peningkatan frekuensi jantung yang sama.
Pemeriksaan dilakukan pada 50 pria sehat, usia 20-25 tahun terhadap STI (QS2, LVET, PEP dan ratio PEP/LVET), tekanan darah dan Tri-produk (FJ x TD rata-rata x LVET) dalam keadaan istirahat, waktu kerja isometrik (handgrip test) dan kerja isotonik (ergometer sepeda). Hasil penelitian dianalisis secara statistik.
Hasil dan Kesimpulan: Terdapat pemendekan bermakna (p<0,05) pads lamanya QS2, LVET dan PEP pada kedua jenis kerja dibandingkan istirahat. Pemendekan QS2 dan PEP waktu kerja isotonik lebih besar secara bermakna (p<0,05) dibandingkan kerja isometrik, sedangkan pemendekan LVET waktu kerja isotonik tidak berbeda bermakna (p>0,05) dibandingkan kerja isometrik. Tidak terdapat perubahan pada fungsi ventrikel kiri yang dinilai dari ratio PEP/LVET waktu kerja isometrik dibandingkan kerja isotonik. Tekanan darah sistolik, diastolik dan rata-rata waktu kerja isometrik lebih besar secara bermakna (p<0,05) dibandingkan kerja isotonik. Tidak terdapat perbedaan bermakna {p>0,05) antara tekanan darah diastolik waktu kerja isotonik dibandingkan istirahat. Tri-produk waktu kerja isometrik adalah rata-rata 30% lebih besar dibandingkan kerja isotonik dengan peningkatan frekuensi jantung yang sama, hal mans menatakan bahwa pembebanan jantung dengan kerja isometrik cukup berat dan dapat digunakan untuk menilai fungsi jantung.

ABSTRACT
Evaluation Of The Left Ventricular Function And Myocardial Oxygen Consumption During Isometric Work By Way Of Measurement Of Systolic Time IntervalsScope and Method of Study: Loading the heart during the evaluation of its function is a frequently used method. Usually the heart is loaded by isotonic work, like the ergo cycle or the treadmill test. But in cases where isotonic cannot be performed, loading the heart with isometric work (handgrip test) can also be used. The purpose of this research work is to examine the effect of isometric and isotonic work of equivalent intensity on the left ventricular function and on the myocardial oxygen consumption as evaluated respectively by the STI and Tri-product.
Examination of the STI (QS2, LVET, PEP and PEP/LVET), heart rate, arterial blood pressure and tri-product were performed on 50 young males, age 20 - 25 years, at rest and at the end of isometric work (handgrip test) and isotonic work (ergo cycle). The results are statistically analyzed.
Findings and Conclusions: A statistically significant (p 4 0.05) decrease in the duration of Q52, LVET and PEP is found during both kinds of work when compared to values at rest. The decrease in QS2 and PEP during isotonic work is greater as compared to those during isometric work, which is statistically significant (p 4 0.05). However, the duration of LVET during both kind of work. does not differ significantly. There is also no statistic-ally significant difference in the left ventricular function as evaluated by PEP/LVET between the two kind of work. The rise in systolic, diastolic and mean blood pressure is higher during isometric work as compared with isotonic work, which is statistically significant (p < 0.05). There is no significant difference in the diastolic blood pressure during isotonic work and rest (p > 0.05). The tri-product calculated for isometric work is on the average 30 % higher than for isotonic work, which means that loading the heart with isometric work will be sufficiently high for the purpose of evaluating the performance of the heart.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thadeus, Maria Selvester
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: DaIam kehidupan sehari-hari penggunaan minyak jelantah berasal dari restoran makanan cepat saji dan hotel, umum digunakan oleh pedagang gorengan. Pemanasan minyak goreng berulang kali menyebabkan oksidasi dan polimerisasi asam lemak yang dikandungnya. Oksidasi Iemak ini akan menghasilkan senyawa peroksida yang merupakan radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan membran sel. Vitamin C dan vitamin E telah diketahui merupakan antioksidan yang berperan dalam melindungi sel terhadap daya destruktif radikal bebas. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemberian vitamin C dan vitamin E pada kerusakan. hati, jantung dan aorta yang ditimbulkan akibat pemberian minyak jelantah dengan angka peroksida 125-130 meq/kg, dengan dosis 10 ul/g BB selama 12 minggu pada mencit jantan (Mus musculus L) galur Swiss derived Lima kelompok masing-masing terdiri dari 8 ekor mencit dengan diet standar, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan dengan minyak jelantah (MJ), kelompok perlakuan dengan minyak jelantah dan suplemen vitamin C 2.5 mg/hr (MJC); kelompok perlakuan dengan suplemen vitamin E 0.1 mg/hr (MJE); kelompok perlakuan dengan suplemen kombinasi vitamin C dan vitamin E (MJCE). Pada minggu ke-13 dilakukan eutanasia dan dilakukan pembedahan untuk melihat perubahan histopatologik hati, jantung dan aorta dengan pulasan HE dan pulasan elastika Verhaeff?s.
Hasil dan kesimpulan: Ditemukan perubahan gambaran histopatologik berupa bendungan hati, peningkatan apoptosis, perlemakan, penipisan miokardium dan `hilangnya gelombang tunika elastika aorta. Bendungan hati ditemukan pada semua kelompok, terrnasuk kelompok konrol walaupun derajatnya lebih ringan (Kruskal Wallis, p=0.048). Pelebaran vena sentralis ditemukan pada kelompok perlakuan, walaupun tidak berbeda bermakna. Perlemakan ditemukan pada seluruh kelompok perlakuan dengan derajat yang lebih berat terutama pada kelompok MJE dan MJCE. (Kruskal Wallis, p=0.001), menunjukkan vitamin E tidak memberikan daya proteksi pada hati. Peningkatan derajat apoptosis sel hati terutama di zona 1 menunjukkan berbeda bermakna (Kruskal Wallis, p=0.006). Ditemukan penipisan miokardium yang berbeda bermakna pada seluruh kelompok perlakuan dengan atau tanpa suplemen (Anova,P=0.000) Ditemukan pula korelasi terbalik antara penipisan miokardium dengan pelebaran diameter ventrikel yang berbeda bermakna (Pearson, r = - 0.437). Kelainan dinding aorta berupa ketidak-teraturan putusnya gelombang tunika elastika ditemukan berbeda makna (Kruskal Wallis, p=0..000) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan baik yang mendapat suplemen maupun tidak, dengan derajat yang lebih berat terutama pada kelompok MJC dan MJCE, menunjukkan vitamin C tidak memberikan proteksi pada aorta.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pencekokan minyak jelantah mengakibatkan perlemakan hati, peningkatan derajat apoptosis zona 1, penipisan miokardium dan hilangnya gelombang sampai putusnya tunika elastika aorta Pemberian vitamin C, vitamin E dan kombinasi keduanya tidak dapat memperbaiki kerusakan akibat pemberian minyak jelantah secara menyeluruh. Daya proteksi vitamin C lebih baik pada jaringan hati dan vitamin E lebih baik pada jantung dan aorta.

Scope of study and method:
In everyday life, re-use cooking oil from hotel or fast food restaurants was commonly used by deep-fried food vendors on the street. Heating of cooking oil caused oxidation and polymerization of its lipid component. This process resulted in lipid peroxide, free radical which produced cell membrane damage. Vitamin C and vitamin E have been known as anti-oxidant that protects cells from free radical destruction. This study was carried to observe the effect of vitamin C and vitamin E or its combination supplementation for 12 weeks on liver, myocardium and aorta from damaging effect of re-use cooking oil intake of 10 ul/g BW with peroxide number 125-130 mEg/kg, in male M musculus strain Swiss-derived. Five groups of 8 mice with standard diet were studied_ control, treated with re-use cooking oil only (MI}, treated with re-use cooking oil with 2.5 mg/day vitamin C supplementation (MJC), treated with re-use cooking oil with 0.1 mg/day vitamin E supplementation (MJE) and treated with combination vitamin C and vitamin E (MICE), in week 13, the mice were sacrificed and histopathological changes in liver, heart and aorta were studied using HE and elastic Verhoeff's staining.
Result and Conclusion
Histopathological changes of venous congestion, increase of apoptotic rate and steatosis were found in liver. Thinning of myocardium, ventricle dilatation, and disruption of elastic fibers of aorta were found. Liver veins congestion were found in all group although in control it was milder (Kruskal Wallis, p=0.048). Central veins dilatation was found in all groups (Ml, MJC, MIE and MJCE) although it was not significantly different. Steatosis were found in all groups, which were more severe in groups MJE and MJCE (Kruskal Wallis, p=0.001), showing that vitamin E did not give protection to liver. There was significant increase of apoptotic rate in zone 3 in all (Kruskal Wallis, p=0.006). Significant thinning of Myocardial was also found in all groups wit or without therapy (Anova, p= 0.011). Significant inverse correlation was found in heart myocardial thinning and ventricle dilatation (Pearson, r==-0,437). Elastic fibers degradation and break-down were found in control and MJ (Kruskal Wallis, pA31.000). In the other groups (MJC, MJE and MICE) degradation of aorta elastic fibers were also found.
From this study, it is concluded that intake of re-use cooking oil contributed to steatosis and increase of zone 3 apoptosis rate in of the liver, and caused thinning of heart myocardium with ventricle dilatation, and degradation of aorta elastic fibers. Vitamin C, vitamin E supplementation or its combination could not protect liver, myocardium or aorta from damaging effect(s) of re-use cooking oil intake.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Joshua Parsaoran Partogi
"Latar belakang: Cedera iskemia/reperfusi (CIR) terjadi pada situasi saat aliran darah menuju jaringan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali sehingga sel mengalami iskemia. Reperfusi berperan penting untuk kelangsungan hidup suatu jaringan dan sel. Namun ternyata proses reperfusi dapat menyebabkan cedera mikrovaskular dengan meningkatnya produksi reactive oxygen species (ROS). Angka kejadiannya 15/100.000 per tahun dengan angka morbiditas 30% dalam 30 hari pascainsiden dan angka kematian sebesar 18%. Salah satu terapi tata laksana cedera reperfusi adalah pemberian antioksidan yang dapat mengikat ROS yaitu selenium. Beberapa studi telah membuktikan kerusakan akibat cedera iskemia/reperfusi pada jantung, ginjal, otak dan paru dapat dicegah dengan pemberian selenium. Namun belum ada penelitian mengenai penggunaan selenium sebagai faktor proteksi jantung akibat dampak dari cedera iskemia/reperfusi tungkai akut.
Metode: Penelitian ini merupakan sebuah studi eksperimental untuk meneliti pengaruh pemberian selenium terhadap derajat kerusakan jantung yang dinilai secara histopatologis. Menggunakan rancangan post-test only control, penelitian ini menggunakan tikus Sprague-Dawley (SD). Tikus ini dibagi dalam tiga kelompok meliputi satu kelompok kontrol (KK) dan dua kelompok perlakuan (KP) Penelitian dilakukan di Animal Laboratorium Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang dinilai yaitu luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan. Data yang diperoleh diuji menggunakan uji Fisher exact.
Hasil: Terdapat 15 sampel hewan coba pada penelitian ini. Tidak ada hewan coba yang mati dan mengalami efek samping pemberian selenium selama penelitian. Tidak didapatkan hasil bermakna pada luas area kerusakan, edema interstisium, pembengkakan sel, infiltrasi leukosit, nekrosis, perdarahan, dan derajat kerusakan.
Kesimpulan: Pemberian selenium tidak menurunkan derajat kerusakan jaringan miokardium akibat CIR tungkai pada tikus SD. Studi lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar, dosis dan waktu pemberian selenium yang berbeda, dan penanda kerusakan jaringan yang lebih sensitif diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mengklarifikasi temuan kami.

Background: Ischemia/reperfusion injury (CIR) occurs in a situation when blood flow to a tissue is obstructed or even completely stopped causing cells to experience ischemia. Reperfusion plays an important role for the survival of tissue and cells. However, it turns out that the reperfusion process can cause microvascular injury by increasing the production of reactive oxygen species (ROS). The incidence rate is 15/100,000 per year with a morbidity rate of 30% within 30 days after incident and a mortality rate of 18%. One of the therapies for managing reperfusion injury is the administration of an antioxidant that can bind ROS, namely selenium. Several studies have proven that damage after ischemia/reperfusion injury to the heart, kidneys, brain, and lungs can be prevented by administering selenium. However, there has been no research on the use of selenium as a cardiac protective factor due to the impact of acute limb ischemia/reperfusion injury.
Methods: This research is an experimental study to examine the effect of selenium administration on the degree of heart damage assessed histopathologically. Using a post-test only control design, this study used Sprague Dawley rats (SD). These rats were divided into three groups including one control group (KK) and two treatment groups (KP). The study was conducted at the Animal Laboratory of the Educational Animal Hospital, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural Institute and Laboratory of Anatomical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The factors assessed were the area of ??change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage. The data obtained were tested using Fisher's exact test.
Results: There were 15 experimental animal samples in this study. None of the experimental animals died and experienced side effects of selenium administration during the study. There were no significant results for the area of change, interstitial edema, cell swelling, leukocyte infiltration, necrosis, bleeding, and degree of damage.
Conclusion: Administration of selenium did not reduce the degree of myocardial tissue damage due to leg IRI in SD rats. Further study with larger samples, different selenium dosage and administration times, and more sensitive tissue damage biomarkers is needed to confirm and clarify our findings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library