Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Eka Asdiana Warti
"Latar Belakang : Indonesia merupakan negara yang sering dilanda bencana alam, kecelakaan dan kejahatan menyebabkan korban jiwa sehingga tidak jarang ditemukan jenazah yang hanya menyisakan tulang belulangnya. Observasi sifat anatomis dan morfologis adalah metode paling popular untuk menghubungkan ras terhadap tulang belulang. Tengkorak adalah bagian tubuh yang dipelajari secara luas dan bagian tengkorak hidung serta mulut adalah bagian terbaik untuk identifikasi ras. Tujuan: Mengetahui parameter morfologi dan morfometri pada orokraniofasial untuk menentukan ras. Metode: Sampel terdiri dari 20 tengkorak yang berasal dari pemakaman Sema Wayah di Desa Trunyan, Bali dan 7 tengkorak yang berasal dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan pengukuran pada setiap tengkorak berdasarkan parameter morfologi dan morfometri. Analisis data untuk membandingkan antara kelompok Trunyan dan Bukan Trunyan menggunakan uji univariat, bivariat dan multivariat. Hasil: Kemampuan parameter morfologi yakni Inferior Nasal Aperture, Nasal Bone Contour, Inter Orbital Breadth dalam menjelaskan ras sebesar 56,8%. Nilai rata-rata morfometri untuk total probability sebesar 2,0778 dan pada kategori sebesar 8,6296 sebagai ambang batas penentuan identifikasi ras. Apabila hasil perhitungan tersebut bernilai <0,5 artinya Trunyan >0,5 artinya Bukan Trunyan. Secara keseluruhan, model ini mampu mengidentifikasi ras Trunyan dan Bukan Trunyan sebesar 81,48%.

Background: Indonesia is a country that is often hit by natural disasters, accidents and crimes that cause fatalities, so it is not uncommon to find bodies that only leave their bones. Observation of anatomical and morphological properties is the most popular method for relating race to bones. The skull is the most widely studied body part and the nose and mouth parts of the skull are the best parts for racial identification. Objective: To know the morphological and morphometric parameters on orocraniofacial to determine race. Methods: The sample consisted of 20 skulls from the Sema Wayah cemetery in Trunyan Village, Bali and 7 skulls from the Faculty of Dentistry, University of Indonesia. In this study, measurements were made on each skull based on morphological and morphometric parameters. Data analysis to compare between the Trunyan and Non Trunyan groups used univariate, bivariate and multivariate tests. Results: The ability of morphological parameters namely Inferior Nasal Aperture, Nasal Bone Contour, Inter Orbital Breadth in explaining race is 56.8%. The morphometric average value for the total probability is 2.0778 and in the category is 8.6296 as the threshold for determining racial identification. If the result of the calculation is <0.5, it means Trunyan > 0.5, it means Not Trunyan. Overall, this model is able to identify the Trunyan and Non-Trunyan races by 81.48%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuswan A Pamungkas
"Pendahuluan : Pengukuran morfometri wajah sebagai bagian tubuh telah dilakukan sejak jaman Yunani, dan telah
diketahui struktur wajah mempunyai karakteristik khusus yang tergantung dari usia, jenis kelamin, ras serta variasi
etnik yang ada. Untuk dapat memberikan penilaian yang tepat untuk pasien, adanya data yang dapat mewakili
populasi sangatlah diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapalkan data morfometri pada wanita dewasa
muda subras Deutero Melayu.
Metode : Studi cross sectional dilakukan pada mahasiswi tingkat I - VI FKUT, dengan rentang usia 17 - 25 tho
Seleksi ras dilihat sampai dengan tiga generasi tanpa ada campuran dari ras lain, cacat bawaan lahir, riwayat operasi
maupun infeksi saat dilakukan penelitian. Data yang diambil oleh satu peneliti yang sarna, subjek dikelompokkan
menjadi 3 berdasarkan tipe oklusi (klasifikasi Angle). Kemudian dilakukan pengukuran 13 variabel {Icbar bibir
(chr-chl), lebar cupid's bow (cphr-cphl), tinggi kutis bibir atas (sn-Is), tinggi vermilion atas (Is-sto), tinggi total bibir
atas (sn-sto), tinggi kutis bibir bawah (Ii-sl), tinggi vermilion bawah (sto-li), tinggi total bibir bawah (sto-sl), tinggi
total bibir (sn-sl), sudut antar bibir ([sn-ls)"[li-sl])} dan penghitungan 6 variabel (Iuas dan volume).
Hasil : Didapatkan 124 subjek wan ita, 14 subjek dikeluarkan karena tidak memenuhi syarat subras. Berdasarkan
klasifikasi Angle, subjek dibagi 3 tipe oklusi. Oklusi tipe [terdiri 85 orang ( 77%), tipe II 7 orang (7%) dan tipe III
18 orang (16%). Suku terbanyak adalah Jawa 46 orang (41%) dan Minang 33 orang (3001o). Dari hasil pengukuran
didapatkan chr-chl = 46,24±3,56mm, cphr-cphl = I O,07± 1 ,53mm, sn-Is = 13,44± 1 ,98mm, Is-sto = 7 ,69± 1 ,74mm, snsto
= 21,14±2,28mm, li-sl = 7,06±1,74mm, sto-Ii = 9,87±1,65mm, sto-sl = 16,93±1,94mm, sn-sl = 38,07±3,4Imm
dan [sn-lsl"[li-sl] = I 1O,16±14,llo. Luas vermilion atas = i78,10±34,46mm2
, luas vermilion bawah =
228,61±44,41mm2
, luas vermilion total = 406,72±67,38mm2. Volume bibir atas = 1396,69±371,42mm3
, volume
bibir bawah = 1240,98±324,16mm3 dan volume bibir total = 2637,67:1::600,38mm3
• Setelah dilakukan
pengelompokan berdasarkan tipe oklusi, tidak didapatkan perbedaan bermakna dari seluruh variabel yang diukur
dan dihitung antara oklusi tipe I dibandingkan dengan oklusi tipe II dan III.
Diskusi : Dibandingkan dengan penelitian Farkas pada ras Kaukasia, Afrika, dan Cina pada tabun 1994, hasil
penelitian tidak berbeda bermakna dengan ras Cina. Bila dibandingkan dengan ras Kaukasia maka hasil penelitian
ini berbeda bermakna yaitu dalam hal tinggi kutis bibir atas, tinggi kutis bibir bawah dan tinggi total bibir bawah.
Dibandingkan dengan ras Afrika terdapat perbedaan pada tinggi vermilion atas, tinggi total bibir atas dan tinggivkutis bibir bawah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T59100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Danau Poso berlokasi di Sulawesi Tengah dan berada pada ketinggian 502 m dpl. Danau ini merupakan tipe danau tektonik, dengan kondisi masih cukup alami. Perubahan pemanfaatan lahan di wilayah daerah tangkapan air (DTA)-nya sudah terjadi, diperkirakan akan memberi dampak terhadap kondisi perairan danau. Telah dilakukan penelitian kondisi fisik dengan fokus karakteristik DTA dan morfomentrik perairan Danau Poso pada bulan April 2007, dengan tujuan sebagai prediksi perilaku perairannya dan tingkat kepekaannya terhadap aktivitas di DTA-nya. Penelitian difokuskan pada ciri morfometri dan ciri DTA, yang bersumber dari data primer dan sekunder. Dua sub DTA utama dari Danau Poso adalah Kodina dan Meko. Tingkat pemanfaatan lahan DTA terdiri dari kawasan lindung (11,4 persen), kawasan penyangga (28,7 persen), tanaman tahunan (42,9 persen), tanaman semusim dan pemukiman (17 persen). Luas perairan danau (A) yaitu 368,9 km2, kedalaman maksimum 384,6 m dengan rasio DTA/A sebesar 3,4, memiliki volume 71.811.599.956 m3, dan waktu tinggal (retention time) 7,2 tahun. Berdasarkan nilai kedalaman relatif (Zr=1,18), perairan Danau Poso bersifat tidak stabil, nilai pengembangan garis pantai (DL= 1,59) yang menunjukan peranan tepian terhadap produktivitas perairan rendah, sedangkan luas litoral mencapai 40 km2. Fluktuasi muka air danau mencapai 1,86 m, tampak terkait dengan pola curah hujan di DTA-nya.
"
551 LIMNO 16:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Radiana Dhewayani Antarianto
"Latar Belakang: Penemuan sel stem jantung (CSC, cardrkzc stem cells) membuktikan jantung sebagai organ dengan pergantian sel-sel parenkim dan non-parenkim di bawah pengaturan kompartemen sel stem. Kemampuan regenerasi jantung berkurang dengan bertambahnya usia. Penyebab penuaan sel stem jantung adalah perubahan pada lingkungan mikro (niche) jantung yang mempengaruhi keberlangsungan hidup sel stem jantung. Tenascin C adalah molekul di niche jantung yang berperan dalam remodeling jaringan jantung dan angiogenesis, dna komponen peuting dalam regenerasi jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dan diameter sel otot jantung di jantung tikus yang berbeda usia, menilai ekspresi Tenascin C dan mengetahui hubungan antara ekspresi tenascin C dan perubahan morfometri sel otot jantung.
Metode: Desain penelitian ini adalah komparatif potong lintang dengan 6 tikus neonatus (usia 1-4 hari), 9 tikus dewasa muda (usia 3-4 bulan) dan 9 tikus dewasa (usia 12-16 bulan). Proses pembuatan sediaan mikroskopik dilanjutkan dengan pewarnaan HE dan imunohistokimia Tenascin C (sc-9871, sc~2023). Mikrofografi jamung (HE) dipilih 2 Ipb atrium dan 2 Ipb ventrikel. Hasil mikrofotograf dimasukkan dalam format jpeg dan dianalisis dengan Digimizer Image Analyzer. J umlah sel otot jantung dihitung per Ipb dengan tagging system dan diameter sel otot jantung diukur berdzsar unit kalibrasi skala mikrometer. Milcrofotograf tenascin C Iewat software DP2BSW dalam format tifl Dihitung 100 sel otot jantung atrium dan 100 sol ventrikel untuk musing-masing subyek. Imunoreaktivitas tenascin C di sel otot jantung dinyatakan lokasi ekqaresi dan skor intensitas. Lokasi ekspresi adalah positif intra sel, ekstra seL kombinasi keduanya dan negatifl [ntensitas pewarnaan tenascin C diberi skor 1 (lemah) sampai 3 (lcuat). Analisis statistik menggunakan SPSS 13.
Hasil : Jumlah sel otot jantung per Ipb terbesar di kelompok neonatus (Atrium=73.4:l=4.8'7; Ventrikel= l52.5:1:3.6) dan paling sedikit di kelompok dewasa (Atrium= 26:I:1.5; Ventrikel= 43.7:1:2.8). Diameter sel otot jantung terkecil di kelompok neonatus (Atrium= 6.lprni0.23; Ventrikel=-° 7.39pmi0.3) dan paling besar di kelompok dewasa (Atrium°-= l7.42pmi0.42; Ventrikel== 23.44|1m=1=0.74). Ekspresi tenascin C ditemukan pada jantung tikus neonatus, dewasa ruuda dan dewasa. Pola ekspresi tenascin C yang sering ditemukan di kelompok neonatus adalah pola kombinasi (Atrium= 43.l7i9.4, Ventrikel= 56.83=l=8.5) dan pola intra sel (Atrium-= 41.33=+=13.4; Ventrikel= 33 .67:|:6.7). Pola ekspresi tenascin C ekstra se! lebih sering ditemukan di kelompok dewasa muda (Atrium= ll.56t3.2; Ventrikel= l2.ll=b7.4) dan dew:-lm (Atrium= 9.22=l:3.5; Ventrikel= 11.67:E3.9) dibandingkan kelompok neonatus (Atrium= 3.33:I=1.3; Ventrikel= 2.5¢l.4). Ekspresi tenascin C negatif paling sering ditemukan di ventrikel jantung dewasa muda (74.44t8 2) dan dewasa (67 .33=\:?7 .6) . Intensitas pewamaan tenascin C kuat (skor 3) paling sering ditemukan di kelempok neonatus (Atrium= 42.83=1=l3.6; Venti-ikel= 59.33=1=9). Skor I paling sering ditemukan di ventrikel jantung kelompok dewasa (16.1 l=|=5.3). Dari analisis korelasi bivariat Pearson ditemukan korelasi positif yang bermakna antara pola ekspresi tenascin C kombinasi di atrium dengan jumlah sel ototjantung atrium (p==0.0l6); pola ekspresi tenasein C intra sel di ventrikel dengan jumlah sel otot jantung ventrikel (p=0.0l) dan pola ekspresi kombinasi di ventrikel dengan jumlah (p=0.00) dan diameter sel otot jantung vcntrikel (p=0.026). Ditemukan pula korelasi positif yang bermakna aniara sl-cor 3 intensitas pewarnaan tenascin C di atrium dengan jumlah sel otot jamung atrium (p=0.035); skor 3 di ventrikel dengan jumlah sei otot jantung ventrikel (p=0.00). Korelasi negatif yang bermakna ditemukan antara skor 3 di ventrikel dengan diameter sel otot jantung ventrikel (p=0.0~0l).
Kesimpulan : Semakin bertambah usia jantung, jumlah sel/Ipb semakin berkurang dan diameter semakin besar. Gambaran ini menandalcan teajadinya hipertrofi sel otot jantung. Ekspresi tenascin C ditemukan di jantung neonatus, dewasa muda dan dewasa. Semakin bertambah usia jantung terjadi penurunan jumlah sel otot jamung yang positif mengekspresikan tcnascin C dan berkurangnya intensitas pewarman tenascin C. Di atrium dan ventrikel jamung, semakin banyak jumlah sel otot dengan pola ekspresi tenascin C kombinasi maka semakin banyak jumlah sel otot jantung. Di ventrikel, pola ekspresi kombinasi juga berkorelasi positif dengan diameter se] otot jantung. Semakin tinggi jumlah sel dengan skor intensitas 3 make jumlah sel Otot jantung semakin banyak dan diameter sel otot jantung yang kecil.

Background: Discovery of Cardiac Stem Cells (CSC) showed the heart as renewable organ with parenchymal and non-parenchymal cells turnover governed by stem cells compartments. Cardiac regenerative ability decreases with advancing age. The cause of CSC?s aging is the changes in cardiac microenvironment (niche) that surrounds CSC. Tenascin C is a major glycoprotein in cardiac niche that plays a vital role in cardiac remodelling and angiogenesis, two main components of cardiac regeneration. This study aims to compare immunoreactivity of tenascin C, cardiomyocites number and diameter in three age groups rat cardiac and determine the correlation between tenascin C immunoreactivity and cardiomyocite?s motphometric changes.
Methods: Design of this study is comparative cross sectional with 6 neonate rats (age I-4 days), 9 young adult rats (age 3-4 months), and 9 adult rats (age 12-16 months). The subjects underwent intravital lixation and cardiac organ was removed. Microscopic specimens were made and stained with hematoxylin-Eosin and tenascin C immunohistochemistry (sc-9871, sc-2023). From cardiac microphotograph (HE stained) two high power field (hpf) was selected for atrium and two hpf for ventricle. Microphotographs was transferred into digital format (jpeg) and analysed with Digimizer Image Analyzer. Cardiomyocite number was determined using tagging system and measurement of cardiomyocite diameter was calibrated with micrometre scale using Digimiaer Image Analyzer. immunohistochemistry results were documented with DPZBSW as tnicrophotographs in digital format (tiff). 100 catrliomyocites in the atrium and in the ventricle fiom each subject was analysed. Immunoreactivity of tenascin C was classified based on expression paltem and staining intensity. The expression pattern was positive intra cellular, positive extra cellular, positive combination (both intra and extra cellular) and negative. Staining intensity was scored I (weak) to 3 (strong). Statistical analysis was performed with SPSS I3.
Result : The most abundant cardiomyocte number per high power fielf (hpf) was found in neonate cardiac (Atrium= 73.4=b4.8'7; Ventrikel= l52.5:l:3.6) and the least abundant was in adult cardiac(Atrium= 26=l:l.5; Ventrikel= 43.7=E2.8). Cardiomyocite diameter was smallest in neonate cardiac (Atrium= 6.1 um=h0.28; Ventrikel= 7.39um:I=0.3) and largest in adult group (Atrium= l7.42um:1:0.42; Ventrikel= 23.44|.un:l:0.74). Tenascin C immunoreactivity was found in neonate, adolescence and adult cardiac. Tenascin C expression pattern most frequently found in neonate cardiac was positive combination (Atrium= 43.l7:1:9.4, Ventrikel= 56.83=l:8.5) and positive intra cellular (Atrium= 4l.33il3.4; Ventrikel= 33.67=l:6.'7). Tenascin C positive extra cellular was commonly found in young adult cardiac (Atrium= 1l.56=l=3.2; Ventrikel= 12.l 1174) and adult cardiac (Atrium= 9.22d:3.5; Ventrikel= 11.671-3.9). Negative tenascin C was more ti-equently found in young adult ventricle (74.44=i=8.2) and adult cardiac (67.33:l:'7.6). High score for tenascin C staining intensity (score 3) was iiequently found in neonate cardiac (Atrium= 42.83=kl3.6; Ventrikel= 59.33d=9). Score l was iiequently found in adult ventricle (16.1l:l:5.3). Pearson bivariate correlation revealed significant correlation between positive combination tenascin C pattern in the atrium with atrial cardiomyocites number(p=0.0l6); positive intra cellular tenascin C pattem in the ventricle with ventricular cardiomyocitcs number (p=0.0l) and positive combination in the ventricle with ventricular cardiomyocites number (p=0.00) and diameter (p=0.026). Significant correlation was also found between score 3 in the atrium with atrial cardiomyocites number (p=0.035); score 3 in the ventricle with ventricular cardiomyocites number (p=0.00). Negative correlation was found signiiicant between score 3 in the ventricle with ventricular cardiomyocitcs diameter (p=0.00l).
Conclusions : With advancing age, cardiomyocte number per hpf decreases while the diameter increases. This resembles hypertrophy of cardiomyocite. Tenascin C immunoreactivity was found in neonate, adolescence and adult mrdiac tissue. With advancing age, we found reduced number of cardiomyocites expressing tenascin C and decreased staining intensity. In cardiac atrium and ventricle, increased number of positive combination tenascin C expression showed increased cardiomyocites number. In ventricle, increased number of positive combination showed increased cardiomyocitec diameter. Increased number of cardiomyocites with score 3 tenascin C staining intensity showed higher cardiomyocites number and smaller diameter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T33066
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shafwatus Tsana
"Parameter keberhasilan dari pengelolaan DAS adalah tetap tersedianya air disaat musim kering dan tidak banjir disaat musim hujan. Skripsi ini membahas tentang morfometri dan hidrologi di DA Way Sekampung dari tingkat percabangan sungai, Kerapatan jaringan sungai, tekstur jaringan, jenis batuan, dan debit aliran pada sub DAS. Melalui perhitungan rumus matematis dari masing-masing morfometri serta analisis spasial, mengungkapkan bahwa nilai morfometri dari tiap sub DAS pada jenis batuan yang berbeda memiliki nilai yang berbeda. Pada perhitungan debit aliran tahunannya terdapat perbedaan besaran debit pada masing-masing karakteristik morfometri dengan perbedaan jenis batuan.

The paramaters of watershed management are reserving the water supply during the dry season and keeping the water supply to avoid the flood in the rainy season. Focus of this study is morphometry and hydrology in the Way Sekampung watershed. Its covers the river branches, the river network density, the river network texture, types of rock, and basin flow discharge. Through the mathematical calculation based on morphometry and spatial analysis, the study revealed that types of rock of watershed influenced the characteristic of morphometry. This study also found that flow discharge depends on characteristic of morphometry and types of rock.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S61186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Fitri Novita Sari
"Kabupaten Gunungkidul merupakan bagian paling penting dalam megasistem Karst Gunung Sewu yang memiliki morfologi beragam. Kecamatan Semanu dan Ponjong merupakan dua kecamatan yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul. Morfologi karst seperti gua, dolina, bukit, dan sebagainya terjadi karena karstifikasi atau proses pembentukan karst di kawasan tersebut. Perubahan dalam morfologi karst dapat berdampak negatif, contohnya seperti pada perubahan dolina dapat berdampak amblesan tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan pola persebaran tiap dolina dengan melihat karakteristik karstifikasi dolina. Karakteristik dolina yang digunakan adalah jenis, morfomteri, suhu permukaan tanah, dan indeks vegetasi tiap dolina. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, perencanaan wilayah dan pembangunan dapat memperhatikan wilayah pola sebaran dolina yang berpotensi terjadi perubahan bentuk. Penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh untuk pengolahan citra Landsat 8 dan selanjutnya metode sistem informasi geografis digunakan untuk analisis overlay seluruh variabel, selanjutnya digunakan analisis morfomteri untuk pengukuran dolina dan Nearest Neighbor Analysis untuk pola sebaran dolina. Jenis dolina ini terbagi menjadi dolina berair dan dolina kering. Sementara menurut bentuknya dibagi menjadi dolina oval, bulat, dan tidak beraturan. Dolina yang berbentuk bulat memiliki rasio panjang/lebar paling kecil dari jenis dolina lain, tetapi dolina tersebut memiliki rasio lebar/kedalaman yang paling tinggi dari jenis dolina lain. Berbeda dengan dolina bulat, dolina oval memilki rasio panjang/lebar yang paling besar tetapi memiliki rasio lebar/kedalaman yang paling kecil. Dolina di wilayah penelitian memiliki pola sebaran mengelompok dengan indeks tetangga terdekat 0,843, karakteristik dalam mayoritas sebaran mengelompok di wilayah penelitian memiliki suhu permukaan tanah yang tinggi dibandingkan kelompok dolina yang acak, sedangkan indeks vegetasi pada mayoritas kelompok dolina acak memiliki indeks vegetasi yang rapat dibandingkan kelompok dolina yang mengelompok.

Gunungkidul regency is one most important part of Gunung Sewu Karst mega system which has the variety of morphologies. Semanu and Ponjong district are included in Gunungkidul regency which has karst morphologies such as caves, doline, hills, and the others were formed as result of karstification or karst forming. The morphological changes in karst forming could have negative impacts, such as modification of doline could have impact sinkholes occurrence. The aim of this research is to know the characteristics and distribution pattern of doline by determining doline rsquo s morphometry by measuring the length, height, and depth, surface temperature, and vegetation index of each doline. This research aims to support regional planning and development by observing the potential change of doline. This research used remote sensing method using Landsat 8, the geographic information system method is used for overlay analysis of the variables, furthermore, morphometric analysis method used to measuring dolines and Nearest Neighbor Analysis method used to find the distribution pattern of doline. Based on its characteristics, doline is divided into wet and dry. Doline has three different shapes, which are oval, round, and irregular. Doline which has round shape has the smallest length width ratio but has the highest width depth ratio of the other types of doline. Different with round doline, doline which has oval shape has the highest length width ratio but has the smallest width depth ratio. This doline rsquo s research area has the group distribution pattern which has nearest neighbor index 0,843. The characteristics of the group distribution pattern have the highest amount of surface than the random distribution pattern, while the random distribution has the highest vegetation index than the group distribution pattern.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adji Sasongko
"Telah dilakukan penelitian ekologi Pinna muricata yang mencakup kepadatan, morfometri cangkang, sudut posisi kedudukannya lerhadap garis pantai, serta hubungannya dengan kepadalan dan biomassa lamun Cymodocea rotundata di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan Pinna muricata hanya ditemukan di antara lamun Cymodocea rotundata di 6 transek dari 16 transek yang digunakan, 4 transek (transek 7- 10) di bagian Selatan dan 2 transek (transek 12 dan lj) di bagian Utara. Kepadatan terbanyak terdapat di bagian Selatan pulau (0,6 individu per m3}, sedangkan di bagian Utara puiau kepadalannya hanya mencapai 0,03 individu per m2. Pinna muricata mempunyai panjang cangkang yang berkisar antara 12,5 - 17 cm dengan rata-rata 14,25 cm, sedangkan lebar cangkang berkisar antara 7 - 11,4 cm dengan rata-rata 8,43 cm. Sudut kedudukan Pinna muricata terbanyak (17%) antara 130" - 139° terhadap garis pantai. Kepadalan dan biomassa akar lamun Cymodocea roiundata tidak berkorelasi atau tidak ada hubungannya dengan jumlah Pinna muricata, sedangkan bkimassa daun menunjukkan korelasi negative (R= -0,36).

We examined fan mussel Pinna muricata (Mollusca, Bivalvia) such as the density, shell morphomeiry, angel of shell position against the shoreline, as well as his correlations with the density and the biomass of seagrass Cymodocea rotundata in the Semak Daun Island, Jakarta Bay. Results of Ihe research pointed out Pinna muricata were found only in seagrass meadows Cymodocea rotundata in 6 transects from 16 transects lhat was used, 4 transects (transect 7 - 10) on the South and 2 transects (transect 12 and 13) at the North of Island. The Pinna density was recorded 0.6 individuals per m2 at the southern of the island, whereas at the northern of the island only reached 0.03 individuals per m2. The length and wide of shells were measured between 12,5 - 17 cm (average 14,25 cm) and between 7 ? 11,4 cm (average 8,43 cm) respectively. The most angle of shell positions were measured between 120° - 139" against the shoreline. The density and the leave biomass seagrass Cymodocea rotundata did not correlate with the density of Pinna, whereas the root biomass have negative correlation (R= - 0,36)."
[place of publication not identified]: Sains Indonesia, 2003
SAIN-8-1-2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ghea Endenita Ibrahim
"ABSTRACT
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan asam amino sistein dan agen pengkelat EDTA dalam larutan Tris-buffer terhadap integritas DNA dan morfometri kepala spermatozoa sapi friesian holstein (Bos taurus) pascapengeringbekuan. Semen dikoleksi seminggu sekali selama enam minggu. Sampel semen sapi diencerkan dengan larutan Tris-buffer yang ditambahkan dengan asam maino sistein dan EDTA. Kelompok perlakuan terbagi menjadi empat, yaitu kelompok larutan pengencer Tris-buffer tanpa ditambahkan asam amino sistein atau EDTA (KK), larutan pengencer Tris-buffer ditambahkan asam amino sistein (KP1), larutan pengencer Tris-buffer ditambahkan dengan EDTA (KP2), larutan pengencer Tris-buffer ditambahkan asam amino sistein dan EDTA (KP3). Hasil integritas DNA spermatozoa sapi friesian holstein pascapengeringbekuan pada semua kelompok perlakuan 100% stabil dan tidak mengalami kerusakan. Hasil analisis varians (ANAVA) menunjukkan bahwa pemberian asam amino sistein 10 mM dan EDTA 50 mM terhadap panjang dan area morfometri kepala spermatozoa sapi friesian holstein (Bos taurus) pascapengeringbekuan tidak berbeda nyata antar kelompok (P>0,05), sedangkan terhadap lebar morfometri kepala spermatozoa sapi friesian holstein pascapengeringbekuan berbeda nyata antar kelompok (P<0,05).

ABSTRACT
The research was conducted to assess the effect of cysteine and EDTA chelating agent on DNA integrity and head morphometry of friesian holstein (Bos taurus) cattle spermatozoa after freeze-drying. Semen was collected every once a week for six weeks. The control group, semen diluted in Tris-buffer solution without cysteine or EDTA chelating agent, while in treatment groups semen diluted in Tris-buffer solution with addition of 10 mM cysteine, addition of 50 mM EDTA chelating agent, then the last group with addition of 10 mM cysteine and 50 mM EDTA chelating agent.  Based on the result, DNA integrity of freeze dried spermatozoa, showed that 100% DNA stablized in control and all groups. Result of variances (ANAVA) one factor test, showed that addition of cysteine 10 mM and EDTA chelating agent 50 mM were not significantly different in length and area morphometry  between groups parameter (P > 0,05), while addition of 10 mM cysteine and 50 mM EDTA chelating agent were significantly different in width morphometry between  groups parameter (P < 0,05)."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarore, Jennifer Jeromiah
"Macaca fascicularis merupakan primata yang sering digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian, sehingga kondisi fisiologisnya harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap hasil penelitian, terutama penelitian tentang pertumbuhan. Standarisasi berat badan dan morfometri membantu penelitian tentang pertumbuhan, namun standarisasi tersebut memerlukan sampel yang banyak agar hasil tidak bias. Penangkaran milik PT Indo Biomedical, Jonggol memiliki banyak M. fascicularis dan belum memiliki standar data morfometri dan berat badan, sehingga dapat dilakukan penelitian penentuan standar data berat badan dan morfometri di penangkaran tersebut.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan standar data karakter morfometri dan berat badan M. fascicularis. Jumlah hewan yang digunakan sebanyak 698 ekor dengan rincian 175 ekor bayi, 248 ekor infan, 209 ekor juvenil, dan 66 ekor pra-dewasa. Parameter yang diukur yakni berat badan, tinggi duduk, panjang ekor, panjang lengan atas, panjang lengan bawah, panjang paha, dan panjang betis.
Hasil pengolahan data dengan metode Analisis Komponen Utama (AKU) menunjukkan bahwa individu bayi dan infan M. fascicularis memiliki parameter standar terbaik lengan bawah, sedangkan individu juvenil dan pra-dewasa memiliki parameter standar terbaik lengan atas. Hasil uji-T terhadap rerata data morfometri dan berat badan M. fascicularis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan morfologi yang nyata antara individu jantan dan betina M. fascicularis pada kelompok umur pra-dewasa.

Macaca fascicularis is a kind of primate that often used as animal model in research, therefore, physiological condition must be considered because the influence of the result of research. Standardization of weight and morphometry assist research on growth, but these standards require that many samples that the results are not biased. Captive owned by PT Indo Biomedical, Jonggol has a lot of M. fascicularis and did not yet had data standard morphometry and weight, therefore it can be done research determination standardization of weight and morphometry in there.
The purpose of this study was to get a M. fascicularis basic standard characteristics of morphometrics and body weight. The number of animals observed were 698 consisting of 175 babies, 248 infants, 209 juveniles, and 66 sub-adults. The parameters were included body weight, body length, tail length, upper arm length, forearm length, thigh length, and calf length.
The Principal Component Analysis (PCA) showed that the individu of M. fascicularis of the babies and the infants age-group had the best forearm length parameter measurement standard, while the juveniles and the sub-adults age-group of M. fascicularis had the best upper arm length as their best parameter measurement standard. The result of processing data used T-test of mean of morphometrics and body weight indicated there was real significance of morphological differences between male and female individuals of M. fascicularis sub-adult age groups.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1605
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Arif Pambudi
"Bentang alam Karst Gunung Sewu merupakan bentang alam karst tropis yang telah mengalami karstifikasi lanjut. Tingginya porositas dan permeabilitas sekunder membuat keberadaan air permukaan sulit ditemukan. Namun demikian, di balik krisis air permukaan bentang alam Karst Gunung Sewu menyimpan potensi aliran air bawah tanah dan destinasi wisata minat khusus. Penelitian pola persebaran dan morfometri mulut gua di bentang alam Karst Gunung Sewu merupakan penelitian awal untuk mengungkap kedua potensi tersebut. Pola persebaran mulut gua di analisis menggunakan analisis tetangga terdekat dan analisis kelurusan. Morfometri mulut gua yang terdiri dari jenis, bentuk, dan ukuran mulut gua dibahas secara spasial deskriptif untuk mengetahui keterkaitannya terhadap struktur geologi dan imbuhan karst. Hasilnya, mulut gua vertikal dan horizontal memiliki pola persebaran mengelompok yang dipengaruhi oleh struktur geologi. Dibandingkan dengan pengaruh imbuhan karst, struktur geologi lebih dominan mempengaruhi bentuk dan ukuran pada mulut gua vertikal dan horizontal.

Gunung Sewu Karst Landscape is a tropical karst landscape that has advanced karstification. The high of secondary porosity and permeability make lack of surface water. However, in behind of surface water crisis, Gunung Sewu Karst Landscape has the potential of underground water and special interest tourism destination. This research is a preliminary study to reveal both of potency. The analytical method that used to determine of distribution pattern is nearest neighbour analysis and lineament analysis. Cave entrance morphometry that consists of type, shape, and measure is discussed in spatial descriptive to recognize of the relationship between cave morphometry with geological structure and karst recharge. The results of this research show that vertical and horizontal cave entrance has a clustered distribution pattern that affected by geological structure. Compared with karst recharge influence, geological structure is more dominant in influence the shape and size of the vertical and horizontal cave entrance.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>