Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yunita Kadarsih
"OBH quinqplex adalah sediaan Obat Batuk Hitam konsentrat dalam konsentrasi lima kali lebih pekat daripada sediaan Obat Batuk Hitam biasa. OBH quinqplex banyak dibuat sebagai sediaan di apotik maupun di rumah sakit, karena lebih menghemat waktu, tenaga, dan tempat, serta lebih praktis clan lebih memudahkan jika sewaktu - waktu dibutuhkan dalam waktu yang cepat danjumlah yang banyak. Dalam OBH quinqplex terdapat air dan Glicyrrhizae succus yang mengandung karbohidrat tinggi, sehingga dapat mempermudah pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme, akibatnya jumlah mikroorganisme dapat melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang diperbolehkan dalam sediaan oral cair, yaitu 100 kuman per mL. Penelitian mi dimaksudkan untuk memeriksa stabilitas mikrobiologis OBH quinqplex tanpa pengawet dan OBH quinqplex yang diberi pengawet nipagin dengan konsentrasi 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 %. Pemeriksaan stabilitas mikrobiologis dilakukan selama 6 bulan pada sampel OBH quinqplex tanpa pengawet dan OBH quinqplex yang diberi pengawet nipagin dalam konsentrasi 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 %, clan didapat hasil bahwa OBH quinqplex tanpa pengawet tidak stabil secara mikrobiologis, sedangkan OBH quinqplex yang diberi pengawet nipagin 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 % stabil secara mikrobiologis selama 6 bulan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa nipagin dengan konsentrasi 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 % efektif sebagai pengawet dalam sediaan OBH quinqplex.

Potio Nigra Contra Tussim quinqplex is a concentrate preparation of Potio Nigra Contra Tussim in five times concentration of regular Potio Nigra Contra Tussim. In hospital and dispensary, Potio Nigra Contra Tussim quinqplex is made as a stock of pharmaceutical preparation, because it can save time, energy, and place, beside it is more practice and easier if anytime it is needed quickly and in a large number of quantities. In Potio Nigra Contra Tussim quinqplex, there are water and Glicyrrhizae succus which consists of carbohydrate in high concentrate, so it can facilitate the growth of microorganisms and it can rise the number of microorganisms over maximum limits of acceptance microbial contamination in liquid oral dosage form i.e. 100 microorganisms per mL. The purpose of this study is to determine the microbiological stability of regular Potio Nigra Contra Tussim quinqplex and Potio Nigra Contra Tussim quinqplex with nipagin as preservative in concentration of 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 %. The study of microbiological stability has been done for six months and the result showed that Potio Nigra Contra Tussim without preservative was unstable in microbiological stability, while the one which was added by nipagin in concentration of 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, and 0,25 % were stable. From this study, we can say that nipagin in concentration of 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, and 0,25 % are effective as preservative in Potio Nigra Contra Tussim quinqplex."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almadinah Hakim
"

Hazard mikrobiologis, khusunya virus, memiliki kontribusi yang cukup besar pada penyakit, terlebih lagi dengan ukurannya yang mikroskopik. Penilaian risiko mikrobiologis merupakan cara untuk mengestimasi probabilitas suatu virus menyebabkan suatu efek pada manusia, dan sebagai rujukan untuk melakukan manajemen risiko yang sesuai dan tepat. Namun, pelaksanaan penilaian risiko mikrobiologi s lebih kompleks karena sifat mikroorganisme yang berbeda dengan hazard kimia. Kajian ini bertujuan untuk mengumpulkan dan mesintesis informasi terkait penilaian risiko mikrobiologis dengan menggunakan metode kajian kepustakaan naratif. Hasil kajian menunjukkan bahwa penilaian risiko dilakukan berdasar tujuan manajemennya. Penilaian risiko kualitatif dan semi-kuantitatif dapat dilakukan untuk sebagai awalan sebelum melakukan penilaian kuantitatif, karena pelaksanaannya yang cepat dan sederhana. Penilaian kuantitatif juga disesuaikan dengan konteks penelitian untuk perhitungan exposure assessment dan dose-response. Manejemen risiko dari hasil penilaian juga perlu diverifikasi dengan kembali melaksanakan penilaian risiko.

 


Microbiological hazard, particularly virus, contributing highly in disease, moreover with its microscopic size. Microbial risk assessment is a tool to estimate a probability of virus causing effect to human body, and as reference to generate appropriate and precise risk management. However, conducting microbial risk assessment is more complex because of its microorganism nature that is different from chemical hazard. This review aims to collect and synthesize information regarding microbial risk assessment using narrative literature review method. This review suggests that microbial risk assessment conducted based on its management purpose. Qualitative and semi-quantitative risk assessment can be performed for initial assessment before assessing quantitatively, due to its speed and simplicity. Quantitative assessment also executed based on its context for quantifying the exposure assessment and dose-response. Risk management from risk assessment result needs to be verified by reenacting risk assessment.

 

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharyono
"LATAR BELAKANG PENELITIAN
Penyakit diare akut atau gastroenteritis akut merupakan satu penyakit penting di Indonesia yang masih merupakan sebab utama kesakitan dan kematian anak. Fenomena ini tercermin dalam laporan rumah-rumah sakit mengenai angka kesakitan dan kematian penderita diare di Bangsal Anak yang jauh melebihi penderita penyakit lain, yaitu sebanyak masing-masing 20 - 40 % dari jumlah bayi dan anak yang dirawat dan 10 - 20 % dari jumlah penderita diare yang dirawat.
Pada tahun 1967 dirawat sebanyak 2.085 penderita diare di Bangsal Anak R S Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta yang merupakan 37,2 % dari seluruh penderita anak (5.606) yang dirawat pada masa itu. Pada tahun 1974 dirawat sebanyak 1.233 anak dengan diare di bangsal yang sama, yaitu 27,2 % dari seluruh penderita anak (4.529) yang dirawat.
Pada Seminar Nasional Rehidrasi ke-I tahun 1974 dilaporkan tentang suatu penelitian longitudinal dan menyebutkan serangan diare dalam komunitas ialah 400 per tiap 1.000 penduduk setiap tahun dan kebanyakan (70 - 80 %) terdapat pada anak di bawah umur 5 tahun (Brotowasisto,. 1975). Banyak faktor, di antaranya kesehatan lingkungan, higene perorangan, keadaan gizi, faktor sosioekonomi, edukasi akan menentukan jumlah serangan diare ini. Walaupun hanya sebagian kasus diare akan mengalami dehidrasi, namun banyak kasus akan meninggal bila tidak dilakukan tindakan-tindakan seperlunya.
Pada tahun 1975 diperkirakan terdapatnya sebanyak 500 juta serangan diare pada anak Asia, Afrika dan Amerika Latin yang mengakibatkan 5 sampai 18 juta kematian (Rohde dan Northrup, 1976). Angka kematian kasus diare yang dirawat di rumah sakit (sebelum tahun 1974) masih sangat tinggi, yaitu di atas 15 % di pelbagai rumah sakit di Indonesia; Sutejo dkk. (1961) melaporkan kematian sebesar 20,2 %; bahkan sampai tahun 1974, sebelum diadakan Seminar Nasional Rehidrasi ke-I pada tahun 1974, angka kematian masih tinggi seperti dilaporkan oleh Taslim dkk. (1974) sebesar 26,4 %; demikian Pula angka kematian oleh sebab diare karena Kolera seperti. dilaporkan oleh Ismoediyanto dan Haroen Noerasid (1963) sebesar 46,2 %.
Pengelolaan diare akut pada bayi dan anak telah mengalami kemajuan pesat sejak ditingkatkannya pengetahuan tentang faktor-faktor yang menjadi penyulit (komplikasi) diare akut, Sejak sebelum tahun 1960 pada waktu angka kematian diare akut di Bangsal Anak RSCM/FKUI masih 60,2 %; diketahui bahwa komplikasi diare akut berupa asidosis merupakan salah satu penyebab utama kematian; maka cairan intravena yang semula terdiri dari glukosa dan NaCl 0,9 % dimodifikasi dengan menambahkan Nalaktat. Penggunaan cairan baru tersebut menyebabkan penurunan angka kematian dari 60,2 % menjadi 20,2 % (Sutejo dkk., 1961)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-6907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahju Tri Susilawati
"Kejadian luar biasa diare di Indonesia angkanya cukup tinggi lebih kurang 26 per 1000 penduduk per tahun. Prevalensi penyakit diare berkisar antara 20-49 penderita per 1000 anggota rumah tangga dan angka kematian pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 134 per 100.000 penduduk dan merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah pnemonia.
Pemukiman pinggir Sungai Ciliwung adalah salah satu wilayah yang potensial terjangkit penyakit diare akibat penduduknya padat, kumuh serta memilikki sarana air bersih buruk. Salah satu pemukiman Sungai Ciliwung adalah RW 10, 11 dan 12 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kondisi dan hubungan kualitas Mikrobiologis sumber air bersih responden dan faktor lain seperti sarana kesehatan lingkungan, higiene ibu, imunisasi balita, kualitas gizi balita dan karakter sosial ekonomi responden terhadap terjadinya penyakit diare balita di lokasi penelitian. Desain penelitian responden terhadap terjadinya penyakit diare balita di lokasi penelitian. Desain penelitian ini adalah kasus-kontrol dengan perbandingan 1:1 dan jumlah 125:125. Kasus dipilih adalah balita yang datang ke posyandu dan menderita diare, sedangkan kasus dipilih adalah balita datang ke posyandu tidak diare dan berlokasi dekat dengan balita diare sebagai kasus. Analisis yang digunakan uji univariat, bivariat dengan uji chi-square dan uji multivariat dengan uji regresi logistik ganda.
Hasil penelitian didapatkan hubungan bermakna dengan p<0,05 pada higiene ibu, kualitas gizi balita, sarana kesehatan lingkungan dan kualitas mikrobiologis sumber air bersih responden. Hasil uji multivariat dihasilkan model akhir yaitu: Logit y = 2,193 + (-1,248 Sarana Pembuangan Sampah)+(-2364 Sarana Jamban)+(-3831 Sarana Mnecuci) + 2,890 Sarana PAL + (-1,189 higiene ibu)+(-0,718 Kualitas Mikrobiologis Sumber Air Responden). Dalam model tersebut jika semua variabel kondisinya bagus akan memberikan resiko logit y 2,193 atau sebesar 0,78. Variabel dominan yaitu Sarana PAL dengan OR 17,987 pada CI 95% 2,514-127,295
Disimpulkan bahwa 86,5% kualitas mikrobiologis sumber air bersih responden buruk, namun tidak menjadi faktor dominan terhadap terjadinya penyakit diare balita karena dimungkinkan responden memasak airnya secara benar. Saran sebaiknya pihak-pihak terkait yang turut membantu pembangunan sarana kesehatan lingkungan pemukiman kumuh dan padat di perkotaan supaya mengikutkan warganya agar memiliki kepedulian dan pembangunan sarana tersebut tidak sia-sia.

Diarhoe diseease outbreak in Indonesia is very high, aroun 26 per 1000 people per year (Indonesia Health Profile, 2000). Diarhoe disease prevalence is around 20-49 per 1000 household member and moralitiy at age 1-4 years old ara 134 per 100.000, which is the second highest disease that causes death.
The diarhoe at children under 5 years old still high because there one still a lot of unhealthy resident in the urban area, like resident Ciliwung river, Kelurahan Bukit Duri RW 10, 11, and 12 which resident a crowded, dirty, and a few facilitu clean water cause poluted from microbiologis Ciliwung river.
The purpose of this study is to know the condition and the association of quality microbiologis source clean water, another factor ex; facility environment health, higiene mother children, imunisasi chiren, quality nutrition chidren and social economi household. This study is case-control with 125 case and 125 control. Case is children at age 1-5 years old and disease diarhoe. Control is children at age 1-5 years old which living near children disease diarhoe. This study did two weeks. Result of this study from univariat analysis, bivariat analysis with chi-square and multivariat analysisi with regresion logistic.
Bivariat analiysis test showed that there is significant relation between using of higiene mother children, quality nutrion children, facility environment health and quality water microbiologis, with OR 17,987 CI 95% of variabel dominant SPAL Finisihing model multivariat analysis showed logit y = 2,193+(-1,248 Facility garbage)+(-2,364 Facility latrien)+(3,831 facility wash)+2,890 Fasility gutter+(-1,189 higiene mother children)+(-0,718 quality microbiologis sourcer water respondent). It means good variability, which variabilt give point zero then prediction diarhoe disease children 0,78
It is concluded that quality mcrobiologis water with risk 0,448 althought 85,6% quality microbiologis water bad. This is cause respondent understand good cooking drinking water.
Need to be continuing study about quality microbiologis water by season to know spread diarhoe disease chidren at age 1-5 years old"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Engga Rahmawati
"Peternakan ayam PT Indocentral telah berdiri sejak tahun 1979. Beberapa waktu lalu, peternakan ini mendapat protes dari masyarakat di sekitarnya akibat gangguan bau dan lalat yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh peternakan ayam ini terhadap kualitas udara mikrobiologis dan kesehatan pekerja serta masyarakat di sekitarnya.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang melibatkan 38 responden dan pengukuran kualitas udara mikrobiologis dengan menggunakan metode Environmental Microbial Sampler sebanyak 12 sampel. Kualitas udara mikrobiologis dilihat berdasarkan konsentrasi jamur dan bakteri. Pengaruh kesehatan yang dilihat berupa gejala umum yang diderita akibat paparan mikrobiologis di udara yang akan dianalisis dengan korelasi rank Spearman. Rata-rata konsentrasi jamur di udara pada peternakan ayam PT Indocentral sebesar 28,17x103 CFU/m3 dan bakteri sebesar 23,98x103 CFU/m3.
Berdasarkan hasil pengukuran di lokasi bedeng, didapatkan konsentrasi jamur maksimum di udara sebesar 44,73x103 CFU/m3 yang berada pada bedeng 1 dan konsentrasi bakteri maksimum sebesar 12,19x103 CFU/m3 berada pada bedeng 2. Berdasarkan jenis kandang, didapatkan bahwa konsentrasi bakteri yang lebih kecil berada pada jenis kandang cage-housed daripada floor-housed. Sedangkan konsentrasi jamur yang didapatkan lebih besar berada pada kandang ayam dewasa jenis kandang cage-housed daripada kandang ayam kecil jenis kandang floor-housed.
Konsentrasi jamur dan bakteri di udara mengalami kenaikan seiring bertambahnya umur ayam. Konsentrasi bakteri di udara semakin menurun seiring semakin jauhnya lokasi pengukuran dari kandang ayam. Sedangkan konsentrasi jamur menurun dari lokasi pengukuran yang berada pada tengah kandang hingga jarak 10 m dari kandang ayam, namun kemudian mengalami kenaikan pada jarak 19 m dari kandang ayam dan jarak 25 m dari kandang ayam.
Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara kualitas udara mikrobiologis dengan kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar peternakan ayam PT Indocentral. Upaya untuk meminimalisasi resiko terpaparnya mikroba udara yang mengganggu kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar peternakan meliputi pemberantasan bibit penyakit dari sumbernya, pengendalian penyakit pada media penularan atau transmisi, pengendalian proses pajanan dan pengobatan penyakit.

PT Indocentral poultry farming has been established in 1979. Several years ago, this farming had protests from the community surrounding caused of odor and flies coming from this farm. Therefore, this research conducted to determine the influence of this farm to microbiological air quality and the health of employees and people surrounding.
The study is quantitative research utilized 38 respondents and measured of microbiological air quality by using Environmental Microbial Sampler method as many as 12 samples. Microbiological air quality can be seen based on concentrations of fungi and bacteria. Their influence to the human health can be seen as general symptoms were suffered caused of microbiological exposure in the air, then will be analized by rank Spearman?s correlation. The average concentration of fungi in the air on PT Indocentral poultry farming was 28.17x103 CFU/m3 and average concentration of bacteria was 23.98x103 CFU/m3.
Based on measuring results at worker houses, were obtained maximum concentration of fungi 44.73x103 CFU/m3 around worker house 1 and maximum concentration of bacteria as big as 12.19x103 CFU /m3 around worker house 2. Based on type of cage, concentration of bacteria on cage-housed was fewer than floor-housed. On the other hand, concentration of fungi which obtained on cage-housed for adult hen was bigger than floor-housed for little hen.
Concentration of bacteria and fungi in the air increased along with hen age. Concentration of bacteria in the air decreases along with distance location of the measurement from hen cage. On the other hand, concentration of fungi in the air decreased from location of measurement on the middle cage until 10 meters from hen cage, but afterwards concentration of fungi increased on location of measurement 19 meters from hen cage and 25 meters from hen cage.
The results showed no significant correlations between microbiological air quality with health workers and communities around PT Indocentral poultry farm. Effort to minimize risk exposure caused of microorganism in air which had negative influence to worker and community health such as removal germ at the source, controlling disease in spreading media or transmision, controlling exposure process and medical treatment.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S1032
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Denas Tiarawati
"Pencemaran udara mikrobiologis di dalam ruangan merupakan salah satu masalah pencemaran yang mulai banyak mendapat sorotan. Salah satu ruangan yang berpotensi tinggi untuk mengalami masalah pencemaran udara mikrobiologis adalah ruang tahanan. Kondisi ruang tahanan yang jauh dari layak dengan ventilasi yang buruk, kepadatan yang tinggi serta perilaku tahanan membuat ruang tahanan rentan mengalami pencemaran udara mikrobiologis. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara mikrobiologis, didapatkan jumlah rata-rata total koloni jamur pada ruang tahanan Rutan Salemba saat keadaan kosong sebesar 3392 CFU/m3 dan saat keadaan isi sebesar 3063 CFU/m3. Sedangkan jumlah rata-rata total koloni bakteri saat keadaan kosong sebesar 2968 CFU/m3 dan saat keadaan isi sebesar 2966 CFU/m3.
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, total koloni jamur dan bakteri pada kedua ruang tahanan telah melewati baku mutu. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya pencemaran mikrobiologis di ruang tahanan Rutan Salemba, diantaranya meliputi kelembaban dan suhu udara, ventilasi, kepadatan penghuni, material bangunan dan perawatan bangunan. Berdasarkan Uji Fisher, disimpulkan tidak terdapat hubungan antara gejala awal penyakit (kesehatan) dengan pencemaran mikrobiologis yang terjadi di kedua ruang yang dijadikan sampel. Secara umum,dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pencemaran udara mikrobiologis yang mempengaruhi kualitas udara di dalam ruang tahanan Rutan Salemba dan diperlukan beberapa upaya pengendalian pencemaran yang terjadi.

Indoor air microbiological contamination is one of pollution issue that started being discussed and become an attention. One of the rooms that potential to have microbiological air pollution problem is the detention room. The conditions of detention rooms that not suitable for living with poor ventilation, high density and behavior of inmates, make this room susceptible for indoor air microbiological pollution. Based on the results of microbiological air quality measurements, obtained the average number of total fungal colonies at Rutan Salemba's detention room when empty (no inmates) is 3392 CFU/m3 and 3063 CFU/m3 when the inmates was present. While the average total number of bacterial colonies when the detention rooms was empty is 2968 CFU/m3. And 2966 CFU/m3 when the inmates was present.
Based on the result of the measurements, the number of total fungal and bacterial colonies in Rutan Salemba's detention rooms is exceed some microbiological indoor air standard. The results also indicate there are several factors that influence the occurrence of microbiological contaminant in Rutan Salemba's detention rooms include humidity and air temperature, ventilation, occupant density, building materials and building maintenance. Based on the Fisher Test, concluded there was no relationship between early symptoms of disease (health) with microbiological contamination that occurred in the detention rooms that being sampled. In general, the conclusion of this research is there has been an indoor air microbiological pollution that affects microbiological air quality in Rutan Salemba's detention rooms and required some effort to control pollution that occurs.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S992
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Ruth Maharini
"Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia seringkali belum memenuhi standar operasional, higienis dan sanitasi yang berlaku. Dengan demikian, hal tersebut dapat menimbulkan risiko pencemaran udara mikrobiologis oleh bakteri dan jamur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas udara mikrobiologis pada RPH, serta pengaruh parameter fisik lingkungan dan jumlah hewan ternak terhadap konsentrasi mikroba di udara dengan parameter bakteri, jamur, dan bakteri E. coli. Pengambilan sampel udara mikrobiologis dilakukan sebanyak 5 kali. Sampel diambil diambil menggunakan alat EMS Bioaerosol Sampler, dengan menggunakan media TSA untuk bakteri, media MEA untuk jamur, dan media EA untuk E. coli, serta dilakukan secara triplo. Kemudian, hubungan antara jumlah hewan ternak dalam kandang hewan dan konsentrasi mikroba di udara akan dianalisis menggunakan uji statistik parametris dengan uji korelasi. Hasil pengukuran sampel menunjukkan konsentrasi bakteri dan jamur yang sebagian besar belum memenuhi baku mutu indoor Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/SK/XI/2002, sementara baku mutu outdoor Polish Standard PN-Z-04111-02:1989 telah terpenuhi pada dua lokasi outdoor. Konsentrasi mikroba indoor rata-rata 2.565 CFU/m3 dan seluruh lokasi tidak memenuhi baku mutu, dan konsentrasi mikroba outdoor rata-rata 2.983 CFU/m3 . Hasil korelasi statistik menunjukkan korelasi yang kuat antara peningkatan jumlah hewan ternak dengan konsentrasi mikroba di udara dengan nilai korelasi rata-rata diatas 0,5.

Abattoirs (RPH) in Indonesia often do not meet operational standards, hygienic and sanitary regulations. Thus, it can pose a risk of microbiological air contamination by bacteria and fungi. This study aims to determine the microbiological air quality at the abattoir, also the influences of the physical parameters of the environment and the number of cattle on the concentration of airborne microbes with the parameters of bacteria, fungi, and E. coli. Microbiological air sampling was performed 5 times. Samples were taken using EMS Bioaerosol Sampler, using medium TSA for bacteria, MEA medium for fungi, and EA medium for E. coli, the samples were taken in triplo. Then, the correlations between the number of cattles and microbial air concentration were analyzed with statistic parametric test using the correlation test. The samples measurement showed that most of the concentrations of bacteria and fungi haven?t meet the indoor microbial air quality standard (Kemenkes No. 1405/Menkes/SK/XI/2002) and outdoor microbial air quality standard (Polish Standard PN-Z-04111-02: 1989) that has been fulfilled by two outdoor locations, with the average concentration of indoor microbial air concentration at 2.565 CFU/m3, and the average of outdoor microbial air concentration at 2.983 CFU/m3. Statistical correlation analysis showed a strong correlation between the increase of the number of cattles along with microbial air concentration by the average correlation values of above 0.5."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Media Sukmalia Adibah
"ABSTRAK
Latar Belakang: Perawatan implan dental sudah berkembang menjadi pilihan yang dapat diterima luas masyarakat. Rumah Sakit Khusus Gigi dan Mulut Fakultas Kedoketran Gigi Universitas Indonesia sudah melaksanakan perawtan implan gigi sejak tahun 2009 dan belum ada evaluasi mengenai implan gigi tersebut. Porphyromonas gingivalis diketahui menjadi salah satu bakteri yang sering digunakan dalam evaluasi jaringan periimplan.
Tujuan: Mengevaluasi jaringan periimplan melalui kuantifikasi bakteri Porphyromonas gingivalis.
Material dan metode: Dua puluh sembilan sampel implan gigi, lima sampel gigi sehat serta tujuh sampel periodontitis diambil plak subgingiva untuk menghitung Porphyromonas gingivalis melalui Real Time PCR.
Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna antara kuantitatif P. gingivalis pada sampel periimplan dengan gigi sehat. Terdapat perbedaan bermakna antara kuantitatif P. gingivalis periimplan dengan sampel periodontitis.
Kesimpulan: Kuantitatif P.gingivalis gigi sehat menyerupai dengan level kuantitatif pada jaringan periimplan.

ABSTRACT
Background: Dental implants has an excellent results in terms of survival and success rates of oral rehabilitation. Rumah Sakit Khusus Gigi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia (RSKGM FKG UI) is one of leading dental hospital which offer dental implant since 2009 and yet there is no evaluation of dental implant treatment.
Aim: The aim of this study was to evaluate periimplant tissue by quantification of bacteria Porphyromonas gingivalis. Materials and Methods: Twenty nine samples periimplant were taken from patient in Periodontal Clinic RSKGM FKG UI. All implants were placed from 2009-2014. Plaque samples were obtained in each dental implant using implant probe. Baseline group was measured in healthy teeth and periodontitis teeth which samples plaque were also taken respectively. All samples were subjected to microbiological analysis using quantification of bacteria Porphyromonas gingivalis with real time PCR.
Results: There were no significant differences in number of P. gingivalis between the periimplant groups compared to healthy tooth group (P value >0.05). Meanwhile, there were significant differences between the periimplant group compared to periodontitis teeth (P value < 0.05).
Conclusion: Quantification of P.gingivalis in periimplant has a similar result to healthy teeth."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Dhairyanto
"Latar Belakang: Artritis septik merupakan inflamasi pada sendi akibat inokulasi mikroorganisme. Artritis septik dapat menimbulkan luaran buruk berupa sepsis, amputasi, hingga kematian. Namun belum ada penelitian yang meneliti faktor-faktor yang memengaruhi luaran buruk artritis septik di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil artritis septik dan luaran buruk di RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana data diperoleh dari rekam medis RSCM tahun 2017 – 2023. Luaran buruk didefinisikan sebagai kematian, sepsis, atau amputasi selama rawat inap. Hasil: Terdapat 74 subjek penelitian yang diikutkan pada analisis data.Didapatkan sebagian besar subjek penelitian (61 subjek (82,44%)) berusia <65 tahun, berjenis kelamin laki-laki (44 subjek (59,46%)), terkena di genu unilateral (51 subjek (68,92%)), memiliki hasil kultur cairan sendi steril (32 subjek (43,24%) dimana bakteri yang paling banyak ditemukan adalah S. aureus (11 subjek (14,86%)), tidak memiliki komorbiditas (36 subjek (48,65%)) dimana komorbiditas terbanyak adalah hipertensi (26 subjek (35,14%)), tidak memiliki penyakit lain sendi (55 subjek (74,33%)) dimana penyakit lain sendi terbanyak adalah gout (8 subjek (10,81%)). Didapatkan luaran buruk pada 11 subjek (14,86%) dimana semuanya mengalami sepsis dan 4 (5,41%) di antaranya meninggal dunia. Tidak didapatkan subjek yang mengalami amputasi. Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, proporsi luaran buruk sebesar 14,86%. Sebagian besar subjek penelitian berusia <65 tahun, berjenis kelamin laki-laki, terkena di genu, memiliki hasil kultur cairan sendi steril, tidak memiliki komorbiditas dimana komorbiditas paling banyak adalah hipertensi, dan tidak memiliki penyakit lain sendi dimana penyakit lain sendi paling banyak adalah gout. Luaran buruk terbanyak adalah sepsis.

Background: Septic arthritis is inflammation of the joints due to inoculation of microorganisms. Septic arthritis can lead to various poor outcomes such as sepsis, amputation, and even death. However, there has been no research examining the factors influencing the poor outcomes of septic arthritis in Indonesia. Objective: This study aims to determine the septic arthritis profile and its poor outcomes in RSCM. Methods: This research is a descriptive study where data was obtained from RSCM medical records from 2017 to 2023. The profiles examined are age, comorbidities, microbiological profile, and prior other joint diseases. Poor outcomes were defined as death, sepsis, or amputation during hospitalization. Results: There were 74 research subjects included in the data analysis. %. Most of the research subjects (61 subjects (82.44%)) were <65 years old, male (44 subjects (59.46%)), affected in the one knee joint (51 subjects (68.92%)), had sterile synovial fluid culture (32 subjects (43.24%) in which the most common bacteria found was S. aureus (11 subjects (14.86%)), had no comorbidities (36 subjects (48.65%)) in which the most common comorbidities were hypertension (26 subjects (35.14%)), without prior other joint disease (55 subjects (74.33%)) in which the most common prior other joint diseases were gout (8 subjects (10.81%)). Poor outcome was observed in 11 subjects (14,86%) whereas all experienced sepsis, of which 4 subjects (5.41%) died. There were no subjects who had undergone amputation. Conclusion: In conclusion, the proportion of poor outcome was 14.86%. Subjects were predominantly <65 years old, male, affected in one knee joint, had no comorbidities whereas hypertension was the most common comorbidity, had a sterile synovial joint culture, and had no prior other joint diseases whereas gout was the most common prior other joint disease. Most of the poor outcome is sepsis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amalia Kusuma
"ABSTRAK
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung, Depok, yang berada di daerah pemukiman warga tentu saja memberikan dampak bagi kehidupan warga sekitar, salah satunya ialah pencemaran udara baik karena bau yang ditimbulkan maupun mikroba yang berasal dari tumpukan sampah yang ada di TPA Cipayung, Depok tersebut. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melihat kualitas udara mikrobiologis yang dilakukan di 3 lokasi sampling di daerah sekitar TPA Cipayung, Depok.
Konsentrasi jamur maksimum yang didapat dari 3 lokasi sampling ialah sebanyak 4099 CFU/m3 dan minimum sebanyak 848 CFU/m3. Sedangkan untuk bakteri, konsentrasi maksimumnya ialah sebanyak 14276 CFU/m3 dan minimumnya ialah sebanyak 890 CFU/m3. Jika mengacu kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Shelton et al., 2002 untuk jamur dan Folmsbee & Strevett, 1999 untuk bakteri maka sebagian besar konsentrasi jamur dan bakteri di 3 lokasi sampling di daerah sekitar TPA Cipayung, Depok melebihi hasil penelitian tersebut, sehingga bisa menyebabkan dampak lebih lanjut bagi masyarakat sekitar.
Upaya untuk mencegah agar udara yang berasal dari tumpukan sampah di TPA Cipayung, Depok tidak masuk ke pemukiman warga ialah dengan memasang ventilasi gas serta green barrier di wilayah TPA Cipayung, Depok.

ABSTRACT
Place of End Processing (TPA) Cipayung, Depok, which located in residential areas certainly impact the lives of people around, one of which is either due to air pollution and microbial odor that generated from the waste pile at the landfill Cipayung, Depok. Therefore, the study was conducted to look at microbiological air quality at three locations in the area around the Cipayung, Depok landfill.
The maximum concentration of fungal that obtained from 3 sampling locations area is 4099 CFU/m3 and the minimum concentration is 848 CFU/m3 For bacterial, the maximum concentration is 14276 CFU/m3 and the minimum concentration is 890 CFU/m3. Referring to the results of research conducted by Shelton et al., 2002 for fungal and Folmsbee & Strevett, 1999 for bacterial, that the most concentration of fungal and bacterial in the three sampling locations area around the Cipayung, Depok landfill are exceed the results, which can cause further impact to the surrounding community.
Efforts to prevent the spread of air pollution from waste in the Cipayung, Depok landfill are by using gas vents and green barrier around the Cipayung, Depok landfill area."
2012
S42107
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>