Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi Damayanti
Abstrak :
Suku Dayak di Pegunungan Borneo atau disebut dengan Dayak Meratus sudah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Meratus, bukan satu-satunya daerah yang berangsur berubah. Bukan karena dirinya sendiri namun karena desakan eksplorasi alam dan berbagai alasan modernitas. Arus globalisasi dengan watak modernisme telah mengepung dan menggempur kehidupan mereka. Tanah dan sumber daya alam, juga hutan tropis, kini nyaris lenyap dicaplok perusahaan kayu, pekebunan sawit, atas nama kapitalisme modal. Gempuran kapitalis dan modernsasi ini menjadikan mereka tercerabut dari akar alam, akar budaya dan identitas jati diri, lekang oleh ketamakan kapitalisme. Devi Damayanti melalui buku ini memberi potret persoalan yang sudah di alami Meratus. Sebuah studi lapangan yang jeli memotret pelbagai perubahan dan memudarnya identitas jati diri mereka, bahkan martabat mereka pun digerus oleh pelbagai kepentingan kapitalisme. Studi yang cukup komprehensif ini berhasil memberikan gambaran perihal kebudayaan tradisional Meratus mulai dari situasi ekonomi, agama, sistem kekerabatan, bahasa dan sastra lisan, serta masalah-masalah sosial yang berdampak pada kesulitan masyarakat Meratus menanggapi perubahan, dengan semakin pudarnya talitemali adat-istiadat, kegiatan budaya dan maknanya yang tak lagi menjadi role model di kalangan generasi muda. Meratus kini berada di ujung kepunahan. Sebuah entitas kekayaan budaya Indonesia yang kehilangan roh dan spirit kearifan. Pemerintah yang merupakan perpanjangantangan Negara, nyaris tak pernah menjamah dan melindungi mereka. Meratus bagai nyanyi sunyi yang hanya bergaung di belantara pegunungan Borneo, Kalimantan. Tak ada pilihan lain bagi Meratus, mereka harus menolong diri sendiri.
Yogyakarta: Lamalera, 2016
306.409 598 DEV m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Betty Tiominar
Abstrak :
Kerangka kerja ekologi politik feminis bisa digunakan untuk melihat konstruksi ruang dan gender dalam suatu wilayah terkait penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pertanian dan hutan. Pada masyarakat yang memiliki pola ladang gilir balik, fungsi dan pemanfaatan ruang sumber daya pertaniannya bisa berbeda pada waktu-waktu tertentu dan ini tidak mudah untuk digambarkan dalam kartografi karena itu perlu narasi untuk menjelaskannya. Berdasarkan aturan adat masyarakat Meratus, tidak ada perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki terkait dengan penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya pertanian dan hutan. Terkait pembagian peran dan kerja dalam keluarga dan masyarakat, posisi perempuan bisa berbeda. Di dalam keluarga, perempuan berperan untuk mengurus rumah dan anak, sementara untuk laki-laki adalah mencari nafkah. Di dalam kegiatan bersama di dalam balai adat, saat pelaksaan aruh, posisi perempuan dan laki-laki adalah sama. Mereka bekerja sama untuk mempersiapkan semua keperluan perlengkapan aruh dan sajian yang akan dimakan bersama-sama. Domestikasi peran perempuan dalam keluarga membuat perempuan sulit menjadi pemimpin atau menempati posisi penting dalam kelembagaan adat. ......The feminist political ecology framework can be used to look at the spatial and gender constructions in an area related to the control, use, and management of agricultural and forest resources. In a society that has a pattern of shifting cultivation, the function and spatial use of agricultural resources can be different at certain times and this is not easy to describe in cartography therefore it needs a narrative to explain it. Based on the customary rules or the adat law of the Meratus community, there is no difference in rights between women and men regarding the control, utilization, and management of agricultural and forest resources. Regarding the division of roles and work in the family and society, the position of women can be different. In the family, women have a role to take care of the house and children, while for men it is to earn a living. In joint activities in the traditional hall, during the implementation of aruh, the position of women and men is the same. They work together to prepare all the necessities of spirit equipment and dishes that will be eaten together. Domestication of women's roles in the family has made it difficult for women to become leaders or occupy important positions in customary institutions
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahbidin
Abstrak :
Salah satu wadah perlindungan bagi sumber daya alam dan keanekaragamana hayati yang kita miliki adalah hutan lindung Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang cukup mengesankan. Di hutan lindung Meratus terdapat berbagai fauna : 29 spesies mamalia, 62 spesies burung, dan 6 spesies reptilia, dimana 38 spesies diantaranya adalah jenis spesies yang dilindungi. Juga ditumbuhi flora : 141 jenis potion, 17 jenis rotan, 8 jenis palem-paleman, semua itu termasuk ke dalam 41 famili, yang terbanyak adalah famili dipterocarpaceae, kemudian famili graminea (rotan). Sebagian dari jenis diatas adalah flora endemik Pulau Kalimantan. Selain itu hutan lindung ini juga memiliki fungsi hidrologi bagi daerah-daerah di bawahnya seperti kota Barabai dan kota Birayang. Di sisi hutan lindung Meratus ini terdapat pemukiman penduduk yang telah lama menetap secara turun temurun, jauh sebelum status hutan lindung diberikan, yakni Batu Perahu. Pemukiman penduduk ini secara administratif diakui sebagai desa, yang berarti keberadaan mereka disana adalah legal (bukan sebagai perambah). Kondisi desa Batu Perahu masih memprihatinkan, miskin secara ekonomi, kualitas sumber daya manusia dewasa (angkatan kerja) sebagian besar masih buta huruf, masih terisolir dan hanya dicapai dengan berjalan kaki di jalan setapak.

Hutan lindung Meratus juga mempunyai fungsi hidrologi bagi daerah bawahannya seperti kota Barabai dan kota Birayang. Jika hutan ini rusak, maka kedua kota akan berada dalam ancaman bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Di sisi/tepi hutan lindung Meratus ini terdapat pemukiman penduduk yang telah lama menetap secara turun temurun, jauh sebelum status hutan lindung diberikan, yakni Batu Perahu. Pemukiman penduduk ini secara administratif diakui sebagai desa. Kondisi desa Batu Perahu masih memprihatinkan, miskin secara ekonomi, kualitas sumber daya manusia sebagian besar masih buta huruf, masih terisolir dan hanya dicapai dengan berjalan kaki di jalan setapak.

Para stakeholder memiliki dua kepentingan berbeda, pertama, membuka isolasi desa Batu Perahu. Kedua, mempertahankan kelestarian dan meningkatkan status hutan lindung Meratus menjadi taman nasional. Permasalahan muncul, karena beberapa pihak meragukan kemampuan pemerintah daerah menjaga kelestarian hutan lindung Meratus, jika jalan dibangun ke desa Batu Perahu. Alasannya sederhana, seandainya jalan telah dibangun, maka akses bagi penebang liar untuk masuk dan menebang kayu di hutan lindung akan lebih mudah. Para penebang liar biasanya memanfaatkan jalan umum untuk mengangkut kayu tebangan dengan menggunakan mobil truk atau mobil jeep. Disaat jalan tidak tersedia, maka akses penebang liar untuk mengangkut kayunya juga tertutup, dan hutan lindung akan aman dari penebang liar.

Melalui penelitian menggunakan Arialitycal Hierarchy Process (AHP), dengan beberapa kelompok : kelompok responden masyarakat lokal desa Batu Perahu diwakili Kepala Desa Batu Perahu, Sekretaris Desa Batu Perahu, dan Kepala Balai Adat Batu Perahu, Kelompok responden masyarakat kota diwakiii oleh Sekretaris Kecamatan Barabai, Lurah Barabai Barat, dan Ketua.Kelompok Tani Desa Wawai. Kelompok Kelompok responden LSM diwakiii ketua umum LSM Pecinta Pegunungan Meratus, dan Kelompok responden Pemda diwakili oleh Bappeda, Dinas Hutbun, Dinas Pertanian, dan Dinas PU dan Bangwil.

Hasil penelitian menunjukkan alternatif kebijakan yang paling tinggi bobotnya yakni 0,407 sebagai prioritas pertama adalah Pembangunan jalan skala roda dua & peningkatan hutan lindung menjadi taman nasional (R2&TN). Sedangkan alternatif kebijakan Peningkatan hutan lindung menjadi taman nasional (TN) dengan bobot 0,261 sebagai prioritas kedua, alternatif kebijakan Status quo (SQ) dengan bobot 0,203 sebagai prioritas ketiga, dan pembangunan jalan skala roda empat (R4) dengan bobot 0,129 sebagai alternatif terakhir.

Alternatif R2&TN dinilai sebagai win-win solution bagi stakeholder yang memiliki kepentingan. Alternatif ini bisa diterima oleh semua stakeholder.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T15305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Swarna Maharani
Abstrak :
Balian adalah istilah yang umum digunakan dalam budaya masyarakat Dayak untuk merujuk pada dua pengertian, yakni sebagai ritual adat yang biasanya ditujukan untuk mengusir penyakit atau sebagai bentuk syukur, dan balian sebagai pemangku ritual adat tersebut. Adalah novel Lampau karya Sandi Firly yang diterbitkan oleh GagasMedia pada 2013 yang menceritakan kisah tentang seorang anak Dayak Meratus dalam perjalanannya dalam mengejar mimpi. Novel tersebut mengangkat tradisi dan figur balian sebagai pemantik konflik para tokohnya yang kurang lebih menyoroti tentang terbatasnya pilihan hidup keturunan balian dan peran perempuan menjadi figur balian. Ditemukan rumusan masalah berupa gambaran representasi tokoh dan ritual balian yang terdapat di dalam novel ini. Penelitian ini menggunakan teori representasi dengan pendekatan sosiologi sastra dan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil dari penelitian ini ialah penggambaran tentang tokoh utama novel Lampau yang pada akhirnya memilih untuk mengikuti jalannya tradisi walau tidak sesuai dengan apa yang ia yakini selama ini. ......Balian is a term that is frequently used in the culture of the Dayak people and has two meanings: it can refer to either the leader of a traditional rite or the ritual itself that is typically performed to banish disease and as a sign of gratitude. A novel titled Lampau by Sandi Firly, which was published by GagasMedia in 2013, tells the story about a Dayak Meratus youngster who attempts to pursue his dream. The depiction of balian as a ritual and a figure in this novel is used to raise the conflict, which circulated between the limitation of life a balian descendant should face and the role played by woman in the balian ritual. The representation of balian in the novel as a ritual and as a figure is the issue that is explored in this paper. This paper used qualitative research with a descriptive methodology combined with theory of representation in literary sociology approach. The paper’s concluded in the depiction of the main character who ultimately decides to follow the route of tradition even though it is not accordance to what he believes all this time.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library