Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwina Dian Rianti
"Salah satu sumber yang dapai mendatangkan masalah yang seringkali menjadi momok bagi pasangan beda agama adalah kehadiran seorang anak (Blood&Blood, 1978). Seperti yang diketahui, agama mempunyai peran penting dalam kehidupan anak. Agama yang diturunkan orangtua pada anak akan menentukan apa yang akan diseleksi oleh anak dari pengaruh lingkungan yang diterimanya, juga akan memberikan identitas diri yang dibutuhkan oleh anak (Barns, 1997). Dalam keluarga beda agama, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana mereka akan membesarkan anak tersebut, dengan aturan agama siapa anak akan dibesarkon, berpartisipasi, dan diidentifikasikan (Blood & Blood, 1978). Keputusan yang akan dibuat oleh pasangan beda agama ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Pada dasarnya, individu, baik pihak ayah maupun ibu, selalu ingin agar anaknya dibesarkan menurut agamanya masing-masing, karena bagaimanapun juga agama merupakan bagian yang sangat mendasar dalam identitas tiap pihak orangtua, dan sangatlah sulit untuk melepaskan identitas diri seseorang (Heins, 2001 dolom vvww.parentkidsright.com). Belum lagi bila keluarga besar dan tiap pasangan ikut campur dan memberi tekanan pada individu agar anaknya dibesarkan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dengan melihat keadaan diatas, dapat dikatakan bahwa individu yang menikah beda agama dalam menentukan agama anaknya dapat mengalami konflik. Kontlik ini dapat menimbulkan stress, penderitaan hingga mengganggu aktivitas individu. Atas dasar itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran konflik yang dialami individu dalam proses menentukan agama anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi sebagai penunjang. Penelitian dilakukan terhadap tiga orang subyek, dan dianalisa berdasarkan data yang didapat dari hasil wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga subyek mempunyai keinginan agar anak beragama sama dengan dirinya, Adapun tipe konflik yang dialami para subyek adalah konflik antara own need forces dengan Induced froces, dan konflik antara driving forces dengan restraining forces. Proses konflik yang dialami para subyek berbeda-beda, dan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara leaving the field, meruntuhkan induced forces dan menunggu induced forces melemah dengan sendirinya. Selain itu difemukan beberapa faktor yang turut mempengaruhi konflik ang dialami para subyek baik secara langsung maupun tidak, yaifu: faktor agama (penghayatan agama, pola asuh terutama disiplin dalam pendidikan agama yang diterapkan keluarga), faktor historis ada/tidaknya pasangan beda agama dalam keluarga, faktor penolakan keluarga terhadap perkawinan beda agama, dan faktor proses terjadinya kesepakatan (ada/tidaknya campur tangan orang lain, proses pembahasan, dan hasil kesepakatan).
Temuan lain adalah konflik tampaknya tidak terlalu terasa pada ketiga subyek pada saat kesepakatan dibuat. Konflik muncul kepermukaan pada saat kehadiran anak mulai dirasakan (saat kehamilan dan kelahlran). Konflik juga dapat menimbulkan kebimbangan, marah, stress hingga reaksi psikosomatis seperti sesak nafas."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2779
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library