Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufik Suprihatini
Abstrak :
Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai potensi untuk maju kearah modernisasi. Namun untuk mewujudkan negara yang dicita-citakan, banyak faktor-faktor yang menghambat misalnya: masalah pendidikan, ekonomi, sikap mental, masalah integrasi dengan lain penduduk, juga masalah bangsa yang beraneka warna. Dampak dari faktor-faktor diatas sangat terasa khususnya di dalam pembangunan di tingkat daerah.

Dalam masyarakat multimajemuk sebagaimana yang ada di Indonesia, interaksi sosial yang terjadi sering menimbulkan adanya ketegangan, pertentangan atau konflik. Apabila kondisi demikian ini tidak dicari jalan pemecahannya, niscaya integritas sebagai salah satu indikator untuk menuju pada tingkat modernisasi sulit dapat terwujud.

Sebagai responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Jawa Nasional, masyarakat Jawa Islam, dan masyarakat Jawa Samin. Namun fokus penelitian lebih ditujukan kepada masyarakat Samin, dikarenakan adanya berbagai "Cap" yang diberikan oleh masyarakat luar kepada masyarakat Samin. Karena adanya berbagai "Cap" atau "label" pada masyarakat Samin, dalam penelitian ini ingin diketahui stereotip masing-masing kelompok terhadap kelompok lainnya; pendapat masing - masing kelompok mengenai jarak sosial diantara mereka; faktor-faktor yang mempengaruhi stereotip dan jarak sosial, dan ada tidaknya hubungan antara stereotip dan jarak sosial.

Berdasarkan observasi serta melihat kondisi masyarakat yang akan diteliti dimana mayoritas masyarakatnya berpendidikan rendah, memiliki adat istiadat dan nilai budaya yang berbeda, maka digunakan jenis penelitian yang sesuai yaitu metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan wawancara tak berstruktur dan mendalam terhadap informan non -Formal yang mempunyai peranan dan pengaruh pada warga desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa interaksi antara ketiga kelompok masyarakat tersebut diwarnai aleh adanya stereotip, rasa curiga dan etnasentris. stereotip - stereotip ini ternyata juga mempengaruhi jarak sosial diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut. Dalam arti keterdekatan hubungan atau penerimaan kelompok luar untuk menjadi anggauta kelompoknya secara tidak langsung disebabkan karena stereotip yang telah lama ada. Meskipun stereotip positip banyak diberikan kepada masyarakat Samin, namun hal ini tidak mempengaruhi keberhasilan komunikasi atau lebih jauh lagi keberhasilan program pembangunan. Hal ini disebabkan masing-masing kelompok kurang atau tidak mau memahami budaya kelompok lainnya, mempunyai persepsi yang berbeda, merasa lebih "superior" daripada kelompok lainnya.

Adanya stereotip dan jarak sosial juga menimbulkan adanya "jarak" yang cukup lebar diantara mereka, dalam arti jarak yang mengarah kepada ketidakintiman hubungan diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut . Dari hasil analisa, nampaknya masalah "agama" merupakan masalah utama, disamping masalah sikap, perilaku, Bahasa, pendidikan, adat istiadat, sistem nilai, pengalaman pribadi, pengalaman orang lain dan persepsi yang mempengaruhi adanya stereotip dan jarak sosial. Dampak dari adanya stereotip dan jarak sosial mengakibatkan adanya pertentangan diantara ketiga kelompok masyarakat tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Hasan
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1981
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gde Pujaastawa
Abstrak :
Tema kajian ekologi budaya umumnya mencoba menyimak hubungan antara fenomena-fenomena budaya dengan masalah-masalah lingkungan. Tidak sedikit dari kajian tersebut mengungkap tentang peran positif kebudayaan-kebudayaan tradisional bagi kelestarian lingkungan. Dalam berbagai sistem kepercayaan tradisional misalnya, kerap terungkap bentuk-bentuk kearifan ekologi yang berperan sebagai mekanisme kontrol yang efektif terhadap perilaku pemanfaatan lingkungan. Namun demikian, kepercayaan tradisional yang telah lama mengakar ada kalanya tidak sepenuhnya dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan. Munculnya tindakan konversi yang dilakukan oleh penduduk Dusun Taro Kaja terhadap Hutan Taro, merupakan kasus yang diharapkan cukup menarik untuk ditelaah di sini. Kawasan Hutan Taro dan lembu putih sebagai satwa penghuninya merupakan satu kesatuan ekosistem alami yang sangat terjaga kelestariannya. Penduduk setempat telah sejak lama memperlakukannya dengan sangat hormat dan pantang melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kelestariannya. Menurut kepercayaan mereka, kawasan hutan dan lembu putih tersebut diyakini sebagai suatu sistem lingkungan yang suci dan keramat milik dewa-dewa yang melindungi kehidupan mereka. Meskipun demikian, keberadaan hutan yang sekaligus merupakan habitat lembu putih itu pada akhirnya tak terhindar dari tindakan konversi yang justru dilakukan oleh para pendukung kepercayaan tersebut. Tindakan tersebut mengakibatkan berubahnya ekosistem alami Hutan Taro menjadi lahan pertanian (agroekosistem). Sedangkan lembu putih yang sebelumnya hidup secara liar kemudian dipelihara dalam sebuah kandang kolektif dengan sistem kereman dan keberadaannya tetap diyakini sebagai binatang suci milik dewa. Namun, berbeda dengan pemeliharaan ternak sapi umunya, berbagai macam pantangan yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap binatang suci itu mengakibatkan tidak nampak adanya manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung. Masalah tersebut akan dicoba dipahami dengan menjawab sejumlah pertanyaan yang diformulasikan sebagai berikut : (1) Mengapa penduduk Dusun Taro Kaja berani melakukan tindakan konversi terhadap Hutan Taro, padahal sejak lama mereka telah menjaga keberadaannya sebagai suatu ekosistem alami yang dianggap suci dan keramat?; (2) Bagaimana proses dan mekanisme berlangsungnya konversi Hutan Taro?; (3) Mengapa penduduk masih mempertahankan keberadaan lembu putih sebagai binatang suci dan memeliharanya dengan sistem kereman, padahal tidak nampak manfaat-manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung sebagaimana dalam pemeliharaan ternak sapi pada umumnya?. Masalah tersebut dijelaskan dengan berpijak pada pendekatan materialisme budaya yang cenderung melihat kondisi-kondisi material (infrastruktur) seperti teknologi, ekonomi, demografi, dan ekologi sebagai titik berangkat dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial budaya. Strategi teorotis materialisme budaya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan sosial budaya merupakan respon adaptif terhadap kondisi-kondisi infrastruktur yang menopang keberadaan suatu sistem sosial-budaya. Hal tersebut sesuai dengan konsep desa - kala - patra dan desa mawacara yang menyatakan variasi dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia sangat terkait dengan kondisi zaman dan lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan mengenai praktik kepercayaan yang terpelihara dalam masyarakat dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk respon adaptif terhadap kondisi-kondisi ekologi dan ekonomi. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut mengandung logika rasionalitas yang tersembunyi dan tidak disadari oleh sebagian besar pendukungnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, di mana pengumpulan data lebih banyak dilakukan dengan pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara langsung dalam kancah penelitian. Kajian ini melahirkan temuan dengan simpulan sebagai berikut: Meskipun keberadaan Hutan Taro dengan satwa lembu putihnya oleh penduduk setempat diyakini sebagai ekosistem yang suci dan keramat, namun keyakinan tersebut tidak sepenuhnya mampu mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestariannya. Meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan dan teknologi bercocok tanam yang masih bersifat tradisional, merupakan faktor-faktor relevan yang melatarbelakangi munculnya tindakan konversi hutan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat telah mengakibatkan terjadinya involusi dalam bidang pertanian dan fragmentasi tanah secara terselubung. Sementara itu, teknologi bercocok tanam yang diwarisi secara turun-temurun tidak mengajarkan mereka tentang bagaimana meningkatkan hasil produksi melalui bercocok tanam secara intensif. Hal tersebut mengakibatkan mereka terbelenggu dalam kondisi-kondisi kemiskinan. Kenyataan-kenyataan tersebut akhirnya mendorong mereka untuk memberanikan diri mengalihfungsikan Hutan Taro menjadi tanah tegalan, walaupun tindakan tersebut diyakini penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Di samping itu, mencuatnya isu land reform disertai agitasi-agitasi politik yang bertemakan "tanah untuk petani" merupakan faktor yang sangat mendukung bagi terwujudnya gagasan konversi. Sementara di sisi lain, keberadaan lembu putih tetap diyakini sebagai binatang suci dan keramat, serta dijaga kelestariannya dengan pemeliharaan sistem kereman. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut sesungguhnya mengandung sejumlah manfaat, yaitu : (1) mengatur dan melegitimasi pemanfaatan faktor-faktor produksi, khususnya tanah pertanian; (2) melindungi tanaman budidaya dari kemungkinan serangan mamalia besar khususnya satwa lembu putih; (3) mencegah terjadinya kontak seksual antara lembu putih dengan sapi-sapi lokal peliharaan penduduk, sehingga kemurnian genetik masing-masing jenis tetap terjaga; dan (4) keberadaan lembu putih sebagai satwa endemik disertai dengan berbagai bentuk tradisi yang dilandasi kepercayaan terhadap lembu putih sebagai binatang suci, cukup potensial bagi pengembangan pariwisata setempat.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan Listyo Bimantoro
Abstrak :
Obyek wisata yang ada di Magelang memberikan dampak perubahan terhadap penggunaan tanah dan fungsi bangunan di sekitar obyek wisata. Tidak hanya penggunaan tanah dan fungsi bangunan tetapi juga berdampak pada perubahan jumlah dan mata pencaharian penduduknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan penggunaan tanah dan fungsi bangunan di sekitar obyek wisata di Magelang meliputi obyek wisata Candi Borobudur dan Taman Kyai Langgeng. Penggunaan tanah dan fungsi bangunan yang diteliti adalah penggunaan tanah dan fungsi bangunan di sekitar obyek wisata Candi Borobudur dan Taman Kyai Langgeng. Variabel pendukung lain yang digunakan adalah jumlah dan mata pencaharian penduduk di sekitar obyek wisata. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis deskriptif dengan pendekatan keruangan. Hasil dari penelitian ini adalah perubahan penggunaan tanah dan fungsi bangunan semakin besar apabila mendekati obyek wisata dan pusat kegiatan ekonomi. Perubahan jumlah dan mata pencaharian penduduk semakin besar seiring dengan perubahan penggunaan tanah dan fungsi bangunan di sekitar obyek wisata.
Abstract
Vacation place in Magelang gives the impact for the landuse and function of building change around that vacation place. Not only it but also gives the impact for changing of population and livelihood. The aim of this research is to know the landuse and function of building change in the Magelang as the vacation place. The places which are the object of research are in the Candi Borobudur and Taman Kyai Langgeng area. The variables that are used in this research are the population and the livelihood of the people there. The analysis method that is used in this research is descriptive analysis method with the spatial approach. The result of this research is the landuse and the function of building change will be bigger if the area is closer with the vacation area and the economical centre. The changing of population and livelihood are equal with the landuse and the function of building change in the vacation area.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1661
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library