Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riza Primahendra
Abstrak :
As a discourse, the existence of civil society can be traced ever since four centuries ago, and it is still under process up to this day. In recent perspective, civil society is idealised as a precondition for the establishment of democracy and equal distribution of developmental benefits. It is clear that civil society is no panacea. Civil society has its own roles, primarily in initiating processes of catalyst of dialogue, balancing interest, picking up signals, and initiating collective action. These four roles can support the process of democratization and moving towards a better development; and therefore the empowerment of civil society is seen as a strategic action.
2003
CJCE-1-1-April2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aditya Kelana Dewantara
Abstrak :
Kompleksitas regulasi pemilu yang ada menghasilkan permasalahan serius diantaranya adanya tumpang tindih regulasi; pengulangan pengaturan; standar beda atas isu yang sama; dan tidak koheren dalam mengatur sistem pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Masalah-masalah tersebut menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum pemilu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut kelompok masyarakat sipil membentuk koalisi yang bernama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, mempunyai agenda menyatupadukan/kodifikasi regulasi pemilu demi menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Sebagaimana dijelaskan Reynolds (1997) penyusunan kerangka hukum pemilu merupakan salah satu aspek standar pemilu demokratis. Penelitian ini melihat bagaimana strategi advokasi yang dilakukan oleh koalisi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang merupakan proses pencarian dan pengungkapan, dilakukan dengan metode wawancara dengan aktor masyarakat sipil dan penentu kebijakan, mempelajari risalah-risalah pertemuan dan dokumen lainnya. Dalam mengadvokasi RUU Pemilu, pilihan strategi advokasi yang digunakan oleh koalisi masyarakat sipil berupa networking, lobbying dan media. Kesimpulan dari penelitian ini melihat kelompok masyarakat sipil bukanlah kelompok yang homogen, sehingga kelompok masyarakat sipil merupakan kekuatan yang terpecah/fragmentasi, sebagian kelompok tergabung dalam koalisi sekber, sebagian lainnya tergabung dalam tim perumus kebijakan yang mendorong perubahan dari dalam.
The complexity of the existing electoral regulations produces serious problems including overlapping regulations; repeat settings; different standards on the same issue; and incoherent in regulating the legislative and executive election systems. These problems cause uncertainty and unfairness of election law. To overcome these problems, civil society groups formed a coalition called the Joint Secretariat of the Election Law Codification, which had an agenda to integrate/codify election regulations in order to create legal certainty and justice. As Reynolds (1997) explained, the electoral legal framework is one aspect of standard democratic elections. This research looks at how the advocacy strategy carried out by the coalition in the formation of Law No. 7 of 2017 concerning Elections. The research approach used is a qualitative approach, this approach is used to obtain a comprehensive picture of the aspects studied. The data collection technique, which is a process of searching and disclosing, is carried out by means of interviews with civil society actors and policy makers, studying the minutes of meetings and other documents. In advocating for the Election Bill, the choice of advocacy strategies used by the civil society coalition in the form of networking, lobbying and the media. The conclusion of this study is that civil society groups are not homogeneous groups, so civil society groups are fragmented, some groups are part of the Joint Secretariat coalition, others are part of a policy-making team that encourages change from within.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Surya Culla
Abstrak :
Hubungan antara Walhi-YLBHI dan negara tidaklah sesederhana di permukaan. Konstalasi politik, interaksi antar-aktor individu dan institusi telah ?menyembunyikan rahasia? di balik dinamika itu yang mungkin tidak bisa dipahami hanya dengan semata melihatnya sebagai konflik atau hubungan dikhotomis antara masyarakat sipil dan niagara. Interaksi yang berlangsung justru ternyata saling terkait, dibangun secara rasional di antara pelaku yang terlibat, tidak hanya antara aktor ornop dan pemerintah, juga sektor internasional dan masyarakat sendiri dalam hubungan kompleks itu. Konteks itulah yang mempengaruhi tumbuhnya Walhi dan YLBHI sebagai masyarakat sipil. Berdasarkan konteks tersebut, sludi ini mengungkapkan beberapa temuan teoritis. Pertama, berkaitan dengan teori hubungan antara masyarakat sipil dengan ncgara. Menurut teori yang ada, masyarakat sipil dikonstruksi sebagai: (1) organisasi yang dibentuk oleh masyarakat di Iuar sektor negara", dan (2) ?domainnya terpisah dari atau di luar domain niagara. " Konstruksi ini temyata tidak sesuai dengan konteks kasus Walhi dan YLBHI, sehingga perlu dimodifikasi bahwa (1) ?masyarakat sipil merupakan kelompok yang dibentuk masyarakat sendiri atau masyarakat bersama negara dan (2) "domainnya terbentuk dan berkembang karena interaksinya dengan domain negara". Dengan modifikasi tersebut, studi ini melihat bahwa ?niagara dapat berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil", sedangkan teori yang ada cenderung mengkonstruksi ?peranan negara tidak sebagai faktor positif dan menentukan dalam pembentukam masyarakat sipil." Kedua, berkaitan dengan karakteristik masyarakat sipil, meliputi: autonomy, self supporting dan say generating Hasil studi ini mengungkapkan berdasarkan kasus spesifik Walhi dan YLBHI, karakteristik aranomy tampakrnya dapat diwujudkan, berbeda dcngan seff supporting dan self generating. Namun demikian, berkembangnya kriteria-kriteria tersebut tampaknya dipengaruhi oleh konstalasi interaksi antara; (1) unsur-unsur negara; (2) lembaga-lembaga intemasional; dan (3) masyarakat sendiri. Dengan konstruksi tersebut, maka hasil studi ini menambahkan sesuatu yang baru pada teori masyarakat sipil yang ada, bahwa ?(1) kebijakan politik akomodatif negara, (2) keterlibatan Iembaga-Iembaga internasional, dan (3) partisipasi masyarakat sendiri dari segi sumber daya - merupakan faktor faktor yang menentukan bagi proses terwujudnya karakteristik autonomy, self supparting, dan self generating masyarakat sipil?. Temuan ini memodifikasi teori masyarakat sipil yang ada yang cenderung "mengkonstruksi perwujudan ketiga karakteristik maayarakar sipil tersebut berdasarkan pada penekanan kemampuan potensial entitas masyarakat sipil sendiri, tidak melihat urgensi dukungan peranan sektor negara, internasional, dan masyarakat sendiri".
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D816
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Varshney, Ashutosh
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. Departemen Agama, 2009
303.6 VAR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jhamtani, Hira P.
Abstrak :
The World Social Forum (WSF), a gathering forum for civil society groups and social movements, held it's 3"' meeting at Porto Alegre, Brasil on January 23-28, 2003. The forum itself is known for its deep commitment towards building a world community based on good relationship between human and the environment. This paper is a reflection of the writers experience on that forum and will review of the history, goals and organisation of the WSF and its relevance to the social movements in Indonesia. The paper is intended to offer some insights about global social movements, which might be used as a reference for local social-movements
2003
CJCE-1-1-April2003-13
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ismail
Abstrak :
Sejak dekade terakhir, aksi gerakan sosial kian marak terjadi. Namun, yang unik adalah gerakan tersebut dilakukan dengan mengadopsi teknologi internet. Seperti apa yang terjadi di Mesir keruntuhan rezim Husni Mubarak, Gerakan antiwallstreet yang terjadi di Eropa dan Amerika, serta gerakan koin untuk Prita dan gerakan 1 juta facebookers mendukung pembebasan ketua KPK Bibit-Chandra. Hal itu menunjukkan bahwa gejala tersebut bukan hanya tentang inovasi teknologi internet semata, tetapi ini tentang masyarakat sipil dalam melakukan aktivisme. Inilah yang kemudian Hajal (2001) sebut bahwa lahirnya teknologi internet merupakan penemuan kembali masyarakat sipil. Namun bagi Nugroho (2011) gerakan yang dilakukan mengadopsi internet telah melahirkan apa yang disebut sebagai click aktivisme. Juga bagi Faisal (2008) gerakan yang dilakukan di internet hanya sekedar perlawanan simbolik semata. Tetapi apakah gerakan sosial yang dilakukan di internet hanya sebatas click aktivisme atau hanya sekedar perlawanan simbolik semata, atau bahkan bisa melampaui hal tersebut? Kasus dalam penelitian ini adalah Gerakan Akademi Berbagi yang berbasis di internet khususnya sosial media. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode connective ethnography, dan dilakukan selama 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan Gerakan Akademi Berbagi merupakan salahsatu bentuk manifestasi lahirnya masyarakat sipil. Gerakan yang mengombinasikan online dan offline telah memberikan konteks, validasi dan keterikatan partisipasi lebih oleh para relawan dalam melakukan gerakan sosial, sehingga melahirkan apa yang disebut "online social movements". Hal ini juga melengkapi konsep yang Nugroho (2011) sebut sebagai "click activism", dengan kasus gerakan yang diangkat dalam penelitian ini, gerakan sosial yang dilakukan di internet melebihi apa yang disebut dengan click activism, dan volunterism yang dilakukan lebih dari sekadar terlibat pada gerakan online, tetapi volunterism ini juga dilakukan dalam konteks offline, sehingga gerakan ini tidak hanya sekadar "click" tetapi juga melibatkan ruang real dalam melakukan gerakan. ......Social movement happened intensively since the last decade which its uniqueness is done by internet technology - for example, in the case of Husni Mubarak's regime collapse at Egypt, anti-Wall Street movement at Europe and America, "Koin untuk Prita" and other movement such as one million support of facebook user for Bibit-Chandra of KPK at Indonesia. What happened actually is not just about the innovation of internet technology "itself" - further more, it's about the civil activity that according to Hajal (2001) is the re-discovery of the civil society through internet technology. But to Nugroho (2011), internet adopting movement based gave birth to click aktivisme - also to Faisal (2008); internet movement is just a fighting symbol. Can it move further and over these opinions? Gerakan Akademi Berbagi which based their movement in internet -social media specifically- is the case for this thesis with the use of connective ethnography method for 5 months of research. The result described that Gerakan Akademi Berbagi is one of wide manifestation that raised the civil society by combining online and offline which contributes context, validation, and bond in participation for its volunteers that gave birth to what it called as "online social movements". This completes Nugroho's concept of "click activism" (2011) because it moved more than just in and an online movement - this offline context based volunterism activity is not just about "click", but it involved and moved the real space as well.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30007
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Sayyid Santoso Kristeva
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2022
303.484 NUR g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Korupsi, dewasa ini, merupakan masalah yang serius dan akut yang di hadapi oleh Bangsa Indonesia dalam rangka untuk mewujudlan tata pemerintahan yang baik....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Manuel
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang Demokrasi Deliberatif dan partisipasi Masyarakat sipil dalam proses pembentukan hukum di World Trade Organization (WTO). WTO didirikan untuk mengatur perdagangan internasional sesuai dengan WTO Agreement. WTO mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran perdagangan barang dan jasa. Namun sejak kelahirannya WTO telah mendapatkan resistensi yang sangat besar dari berbagai kalangan akar rumput. Hal tersebut dikarenakan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO telah menimbulkan norma-norma yang bersinggungan langsung dengan individu masyarakat. Keputusan-keputusan yang lahir dalam sistem hukum WTO adalah keputusan yang nyata memiliki dampak secara langsung. Walaupun secara normatif WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang lebih demokratis, namun dalam tataran praksis banyak sekali praktek-praktek pengambilan keputusan yang lebih bersifat oligarkis. Proses pengambilan keputusan di WTO melalui mekanisme konsensus sangatlah tidak transparan, selektif dan rahasia. WTO telah mengalienasikan dirinya dan menjadi otonom dari kepentingan masyarakat sipil. Padahal agar suatu pengambilan keputusan bersifat demokratis, maka proses pengambilan keputusan itu harus melibatkan pihak-pihak yang terkena akibat dari keputusan-keputusan tersebut, baik itu secara langsung maupun melalui perwakilannya masing-masing. Disamping itu, keputusan-keputusan tersebut juga harus dicapai sebagai suatu hasil dari adanya pertukaran argumentasi yang rasional, terbuka dan transparan. Penulis mencoba menawarkan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas sebagai jawaban dari permasalahan yang terjadi dalam proses pembentukan hukum di WTO. Demokrasi dapat disebut deliberatif jika proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek. Aspek tersebut adalah faktisitas hukum dan validitas hukum. Faktisitas hukum menekankan kepastian hukum demi rumusan yang ada pada pada hukum itu sendiri, sedangkan validitas hukum menekankan bahwa hukum harus dapat dilegitimasikan secara moral. Maka dari itu, sesungguhnya teori tersebut merupakan sebuah desakan bagi WTO untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis di dalam masyarakat, agar keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pembentukan hukum di WTO tidak teralienasikan dari masyarakat sipil dan menimbulkan kurangnya legitimasi. ...... This theses elaborates the deliberative democracy and participation of civil society in the law-making process at the World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) was established to regulate international trade in accordance with the WTO Agreement. WTO encourages the flow of international trading, by reducing and removing barriers that may interfere the accelerations of trade in goods and services. But since the establishment of the WTO has gained enormous resistance from various grassroots. That is because the law of international trade within the WTO framework has led to the norms that interact directly with individual communities. The decisions that were taken in the WTO legal system is the decisions that have a direct impact. Although normatively WTO is considered as an international organization that is more democratic, but in a many practical level, decision-making practices in WTO are more oligarchic. The decision making process in the WTO through a consensus mechanism is not transparent, selective and confidential. WTO has alienated himself and become autonomous from the interests of civil society. And to a democratic decision-making, then the decision-making process must involve the affected parties as a result of these decisions, either directly or through their respective representation. In addition, these decisions should also be achieved as a result of an exchange of arguments were rational, open and transparent. The author tries to offer a theory of deliberative democracy initiated by Jurgen Habermas as an answer to the problems that occur in the WTO law-making process. Democracy can be called deliberative if the process of giving a reason on a public policy candidate tested in advance through public consultation or through public discourse. According to Habermas, politics is always influenced by two aspects. These aspects are legal facticity and legal validity. Legal facticity emphasizes the rule of law toward the formulas that exist in the law itself, while the legal validity emphasizes that law must be legitimized morally. Therefore, the theory actually is an insistence for the WTO to open spaces and channels of political communication in the community, so that the decisions taken in the law-making process in the WTO is not alienated from civil society and causing a lack of legitimacy.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>