Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulia Muliati Harun
"Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) berjumlah 17.500 pulau dengan 555 suku bangsa dan spesifikasi pengetahuan tradisional penunjang kehidupannya, sehingga tercermin dalam keanekaragaman budayanya. Indonesia diapit oleh lempeng bumi Asia Australia dan Pasifik yang masih bergerak dinamis sehingga dikelilingi oleh cincin api. Indonesia juga diapit 2 samudera Lautan Hindia dan Lautan Pasifik serta 2 benua Asia dan Australia dan negeri ini terletak di khatulistiwa dengan dua musin hujan dan kemarau dan bermandi sinar matahari sepanjang tahun. Indonesia memiliki Iahan yang subur dari perut bumi dan Iautan tropis yang Iuas menghasilkan keanekaragaman ekosistem beserta sumberdaya alam yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pengetahuan dan kebudayaannya merupakan hasil interaksi yang dlperoleh dalam kurun waktu yang sangat Iama diwariskan turun temurun sangat jarang terdokumentasi dalam bentuk tertufns. Kearifan lingkungan merupakan bagian dari kebudayaan yang merupakan perpaduan sumber daya alam dan kulturnya. Kulmr merupakan kesatuan sistem antara: norma - kelembagaan - artefak.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah kearifan lingkungan yang dimiliki masyarakat tradisional daerah Bali. Sikap dan perilaku masyarakat yang menerapkan kearifan lingkungan dalam bentuk rasa hormat pada alam dan penciptaNya telah mendorong terwujudnya keselarasan hubungan manusia dengan lingkungannya yang tercermin dalam Elsafatnya Tri Hita Karavia.
Penelitian bertujuan untuk mengkaji keberlanjutan subak yang tetap bertahan sampai saat ini dan mengetahui kelenturan nilai-nilai kearifan lingkungan yang berkelanjutan. Kelenturan dalam pengertian adaptasi terhadap perubahan-perubahan kelembagaan subak karena pengaruh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi. Memperoleh konsep baru dalam menyusun sirategi pembangunan pertanian berkelanjutan masyarakat tradisional.
Metode penelitian adalah kualitatif yaitu melalui pengamatan lapangan, penelaahan dokumen, wawancara dan diskusi kelompok. Metode bertujuan unmk memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau kelompok atas nilai-nilai kearifan lingkungan berupa subak dan pengaruh modernisasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memahami nilai-nilai kearifan lingkungan sistem subak dan tetap mempertahankannya sesuai dengan dinamika masyarakat. Masyarakat Bali telah memiliki nilai-nilai kearifan lingkungan yang menyatu dalam berbagai aspek kehidupan sehingga pemanfaatannya brsifat berkelanjutan. Pemerintah diharapkan mendukung keberlanjutan nilai-nilai tersebut melalui berbagai kebijakan melalui instansi terkait.

Indonesia is an archipelago of 17,500 islands and 555 ethnic groups with traditional knowledge to support their life reflecting diverse local cultures. Knowledge is transfer from generation to another, and is rarely recorded in the form of written documents. Traditional knowledge are immanent in maintaining livelihoods and adapting their flexibility to using eflicient simple technologies. The environmental wisdom of Bali's irrigation system of subak survive a millennium as it as based on the philosophy of life of Toi Hita Karana. For the past two decades the roles of subak has been degrading because of increasing shihs of land use and other causes.
Understanding the environmental wisdom held by traditional communities is expected to enable us to formulate strategies for integrating natural, social and building environmenus One particular issues sturned in the research was the traditional community's environmental wisdom- attitude and behavior of peoples in applying the wisdom of protecting the environment by paying respect to the nature and Creator to promote a harmonized relation between human and the environment.
The research aimed at studying the still existing subak and identifying its flexibility of sustainable environmental wisdom values. What it means by flexibility is the people s ability to adapt to subak institutional changes resulting from the rapid progress of science and technology, particularly those relating to information. It also aimed finding out a new concept of fomrulating traditional community s sustainable environmental wisdom Strategies.
The research was conducted using qualitative method; i.e. through field observation, documents studies, interviews and group discussions in other to understand the attitude, insight, perception and behavior of individuals or groups.
The research results indicated that the community understand the values of the environmental wisdom of subak, and maintain them to meet beyond going dynamics of urbanization. The community expected the govemment to play a role in sustaining the values by making a number of policies on related institutions.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
D861
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 14 (1-4) 2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Muflih Mappaujung
"Masyarakat petani di Segeri dapat dikategorikan sebagai petani pedesaan (rural cultivator) karena praktik kegiatan pertaniannya masih sangat dipengaruhi oleh eksistensi praktik ritual lokal-tradisional. Namun sejak tahun 2017, para petani telah mengalami perubahan keyakinan serta pandangan terhadap cara mereka mempersepsikan praktik ritual. Kelompok petani yang menjadi informan utama dalam penelitian ini ialah para petani yang sawahnya digunakan oleh pihak adat sebagai arena untuk melaksanakan kegiatan ritual adat. Sebelumnya, sawah petani ini bukan merupakan sawah adat. Namun, lepasnya kepemilikan sawah adat membuat pihak adat memindahkan status sawah adat ke sawah petani tersebut. Saat ini, para petani dibebani oleh kewajiban mengikuti sistem ritual, yakni petani tidak boleh turun sawah sebelum ritual adat dilaksanakan. Melalui kerangka konsep resistensi dan sekularisasi, penelitian ini akan melihat dinamika religiusitas masyarakat petani Segeri yang mulai menyangkal keterikatan kegiatan pertanian dengan praktik ritual, mempertanyakan signifikansi praksis ritual terhadap kegiatan pertanian, hingga mewacanakan akan meninggalkan tradisi turun sawah yang merupakan lambang kearifan lokal mereka dan masyarakat Segeri. Penelitian ini menemukan bahwa perlawanan petani justru tidak berimplikasi terhadap rusaknya tatanan simbol dan praksis sistem ritual adat, melainkan membuat petani bertumbuh menjadi petani yang lebih rasional. Dengan melepaskan sebagian besar keyakinan mereka terhadap ritual adat, para petani kini lebih sadar akan penerapan rekomendasi teknis, lebih menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanian, serta tidak lagi sepenuhnya menumpukan keberhasilan panen dari kesakralan ritual adat.

Peasant society in Segeri can be categorized as rural cultivators because their agricultural practices are still strongly influenced by the existence of local ritual practices. However, since 2017, the peasants have experienced a change in their beliefs and views on the way they perceive ritual practices. The peasants who became the main informants in this study were peasants whose fields are used by adat parties as an arena to perform traditional ritual activities. Previously, these pessants’ fields were not adat rice fields. However, the loss of ownership of rice fields made the adat party transfer the status of adat rice fields to these peasants' fields. Currently, peasants are burdened with the obligation to follow a ritual system, which the peasants are not allowed to plant before the traditional rituals are carried out. Through the framework of resistance and secularization, this research will look at the dynamics of the religiosity of peasant society in Segeri which denies the attachment of agricultural activities to ritual system, questioning the significance of ritual praxis, and amplifying disobedience that they will leave the tradition that had become a symbol of their local wisdom and also the Segeri society. This study found that peasant resistance did not have implications for the destruction of symbol and praxis of the ritual system, but instead making peasants to grow up to become more rational human beings. By relieving most of their beliefs in adat rituals, the peasants are now more aware of implementing recommendations, using a more scientific approach to solving problems, and no longer relying entirely on the sacred aspects of this adat rites."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Maghfira
"Program pembangunan yang dituangkan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat kerap dipandang sebagai hal positif untuk kesejahteraan umum. Salah satu wujudnya adalah MBKM Desa Cemara, program magang di lapangan dengan konsep utamanya mahasiswa menjadi ‘aktor kolabotor’ dalam proses pembangunan, yakni menyusun, merencanakan, dan melaksanakan program intervensi di desa sasaran dengan pendekatan ‘tidak biasa’ atau pendekatan Cemara (Cerdas, Mandiri, Sejahtera). Namun, terkadang memang realita tidak selalu sesuai harapan. Pengalaman sebagai pemagang di MBKM Desa Cemara, menggugah sikap untuk berkontemplasi dan berpikir ulang bagaimana proses pembangunan sosial atau pemberdayaan masyarakat berlangsung. Terdapat paradoks dalam pembangunan yang dapat dilihat secara Antropologis, yakni proses rendering-technical yang diargumentasikan oleh Tania Li. Perspektif yang melihat bagaimana kompleksnya permasalahan sosial, manusia dan penghidupannya diupayakan dapat diselesaikan dalam suatu program yang teknis dan sistematis, dikoordinasikan sedemikian rupa agar sesuai target atau capaian tertentu, tetapi dengan standar para ahli atau di luar komunitas/masyarakat. Melalui program intervensi yang dilaksanakan, muncul gambaran proses pemberdayaan masyarakat yang mencerminkan bagaimana benang merah antara kapabilitas mahasiswa, kesiapan materi dan nonmateri, kondisi desa sasaran, serta stakeholder lainnya melewati arah yang berliku. Pada makalah ilmiah akhir ini, saya berupaya menuangkan pandangan, refleksi dan otokritik sebagai aktor kolaborator dalam mengikuti MBKM Desa Cemara batch 3 pada Januari-Juni 2023. Beberapa hal yang ditangkap adalah konsep ‘kesejahteraan’ yang cukup berbeda dalam beberapa komunitas, praktik rendering technical dalam perancangan program intervensi, konsep desa, kondisi desa sasaran, dan pelaksanaan program intervensi yang berhubungan dengan petani; local development actors; monitoring dan evaluasi; serta Antropologi tentang pembangunan.

Development programs held in the form of community empowerments are often seen as positive things for people's welfare. One form of this is “MBKM Desa Cemara”, a field internship program whose central concept is students becoming 'collaborative actors' in the development process: researching, designing, planning, and implementing intervention programs in a targeted village with an 'unusual' approach or called “Cemara” (Cerdas, Mandiri, Sejahtera or Smart, Independent, and Prosperous). However, sometimes reality hits expectations. My experience as an intern at “MBKM Desa Cemara” intrigued me to contemplate, rethink, and relearn how social development or community empowerment occurs. Moreover, from an Anthropological perspective, a paradox in development can be seen; it is called the “rendering-technical” process, a term presented by Tania Li. A perspective highlighting how the complexity of social problems, humans, and livelihood are sought to be resolved technically and systematically in a program, coordinated in a straight and handy way to reach certain targets, goals, or indicators, yet with the standards of experts or outside the community/society itself. Through the intervention program implementation process, a condition where the community empowerment process reflected how the thread between students' capabilities, material and non-material preparation, conditions of the targeted village, and other stakeholders considered as ‘fishing in troubled waters’. In this paper, I attempt to deliver my thoughts, perspectives, reflections, and self-criticism as a collaborator actor in participating in MBKM Desa Cemara Batch 3 in January-June 2023. Throughout the journey, I learned several things I captured such as the diversities of concepts and mindsets of 'welfare' in several communities, rendering technical practices in designing intervention programs, village conception, conditions of the targeted village, and an intervention program related to farmers; local development actors; monitoring and evaluation; Anthropology and Development"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library