Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bushar Muhammad
Jakarta: Balai Pustaka, 2013
340.57 BUS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Warsito
"Penulisan tesis ini berangkat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 terkait uji meteri beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan karena dianggap bertentangan dengan ketentuanketentuan yang ada dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu putusan penting Mahkamah Konstitusi adalah mengubah Pasal 1 angka 6 dengan menghapus kata "negara" sehingga menjadi ?hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat?. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, status hutan adat dipulihkan kembali menjadi salah satu obyek hak ulayat dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dengan banyaknya pengakuan atau klaim dari masyarakat hukum adat atas hutan adat, maka diperlukan analisis mengenai pemulihan hutan adat sebagai hak ulayat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, khususnya terkait kriteria kepemilikan hutan adat sebagai hak ulayat dalam konsep negara kesatuan, status kepemilikan atas tanah dan izin pada hutan adat serta mekanisme dan peran pemerintah dalam rangka pemulihan hutan adat sebagai hak ulayat. Metodologi yang digunakan yaitu studi normatif dan empiris dengan model deskriptif kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa untuk membuktikan kepemilikan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat diperlukan penelitian terhadap keberlangsungan penguasaan dan penggunaan hutan adat baik sebagai tempat tinggal maupun tempat memenuhi kebutuhan hidup seharihari dan tidak hanya sekedar pengakuan atau klaim semata. Hasil penelitian tersebut merupakan salah satu dasar pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah, dan selanjutnya menjadi rujukan bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan penetapan hutan adat sebagai hak ulayat tidak ternyata menghapus hak-hak pihak lain atas tanah maupun izin yang diperoleh sebelum penetapan hutan adat. Kesimpulan penting dari hasil analisis yaitu penetapan hutan adat sebagai hak ulayat harus sesuai prinsip-prinsip negara kesatuan dengan batasanbatasan yang telah ditentukan baik dalam UU Kehutanan maupun UU tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

This thesis departs from the decision of the Constitutional Court number 35/PUU-X/2012 related judicial test several articles in Law No. 41 of 1999 on Forestry because it is contrary to the provisions contained in the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945. With the decision of the Constitutional Court, the status of indigenous forests restored into one of the objects within the jurisdiction of communal rights of indigenous peoples. With so many confessions or claims of indigenous people on indigenous forests, it would require an analysis of the recovery of the communal rights of indigenous forest after the Constitutional Court decision number 35/PUU-X/2012, particularly related to the ownership criteria as communal rights of indigenous forest in the concept of the unitary state, status of land ownership and permissions on indigenous forests and the mechanisms and the role of government in order to recovery the communal rights of indigenous forest. The methodology used is normative study with qualitative descriptive models. The results of the study showed that to prove ownership of indigenous forests as communal rights of indigenous people needed research on the sustainability of communal tenure and forest use either as a residence or a place to meet the needs of everyday life and not just a mere acknowledgment or claim. The results of these studies is one of the basic recognition of customary laws and communal rights by local governments through local legislation, and subsequently became a reference for the central government to establish communal rights of indigenous forest as indigenous peoples. The determination of customary rights of indigenous forest as it turns out doesn?t remove the rights of other to land and permission obtained before the establishment of indigenous forests. Important conclusion from the analysis is the determination of the communal rights of indigenous forest should be according to the principles of the unitary state with the limits specified either in the forestry laws and regulation laws on agrarian basis points.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Iqbalsyah Nouval Muktiajie
"Hutan seharusnya dapat dikelola dengan melibatkan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan, secara khusus termasuk pula masyarakat hukum adat yang telah ada sebelum masa kemerdekaan Indonesia dan masih eksis hingga saat ini. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam kegiatan pengelolaan hutan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang mana dalam proses pemenuhannya dilakukan melalui serangkaian prosedur dan persyaratan. Dalam kenyatannya masih banyak wilayah hutan Masyarakat Hukum Adat yang masih belum diakui. Satu diantara sekian banyak wilayah adat, ditemukan kasus keberadaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Sinar Resmi yang terletak di Kabupaten Sukabumi belum mendapatkan pengakuan negara sehingga Hak Pengelolaan Hutannya belum dipenuhi.
Penelitian ini akan mencoba menguraikan permasalahan tersebut dan menguraikan prosedur dan prasyarat pemenuhan Hak Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat, khususnya Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Sinar Resmi. Metode penulisan dalam skripsi ini adalah yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa prosedur dan prasyarat pemenuhan Hak Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Sinar Resmi masih terdapat ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan yang ada.

Forests should be managed by involving communities living around forest areas, specifically including Adat Law Community that have existed before Indonesian independence until present day. The existence Adat Law Community in forest management activities has been regulated in Law No. 41 of 1999 on Forestry, which in the compliance process is done through series of procedures and requirements. Yet, thousand hectar areas adat law communitys areas still unrecognized by the government. It is discovered that the existence of Kasepuhan Sinar Resmi Adat Law Community has not gained state recognition, in which, leads to its Forest Management Rights has not been fulfilled.
This study attempts to elaborate on the issue and outline the shortcomings in regulation regarding the procedures and prerequisites for the fulfillment of the Forest Management Rights of Adat Law Community. The method of writing in this thesis is juridical normative.The results of this study indicate that procedures and prerequisites for the fulfillment of the Forest Management Rights of Adat Law Community existing in Indonesian legislation are not synchronized with one another.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hellin Septhreananda Damus
"Hukum adat menjadi pedoman yang penting bagi masyarakat adat untuk mengamankan keberadaan mereka dan sumber daya alam yang berada di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan yang berlebihan baik dari pihak-pihak luar atapun dari masyarakat adat itu sendiri. Implementasi dari peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berjalan dengan baik, Pemerintah masih memandang kawasan hutan adat sebagai salah satu sumber terbesar untuk perkembangan perekonomian Indonesia dengan menggunakan kebijakan pemerintah yang bersifat mengeksploitasi sumber daya alam dalam kawasan hutan adat yang dapat mengganggu hingga membahayakan kehidupan masyarakat adat disekitarnya. Pokok permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah pengakuan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat hukum adat Dayak Lundayeh di Kabupaten Malinau Kalimantan Utara dan bagaimanakah peran dan tanggung jawab PPAT dalam sengketa hak atas tanah yang terjadi antar masyarakat adat Dayak Lundayeh di Kabupaten Malinau Kalimantan Utara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum Empiris dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan wawancara. Implementasi peraturan-peraturan yang ada terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat di Kabupaten Malinau Kalimantan Utara belum dilakukan secara baik. Pemerintah hingga masyarakat Kabupaten Malinau mengakui keberadaan masyarakat hukum adat hingga wilayahnya, namun kurang memperhatikan hak-hak dari masyarakat hukum adat tersebut terutama hak ulayat dari masyarakat hukum adat itu. Dalam menjamin kepastian hukum untuk masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak atas tanah bagi tanah milik mereka masing-masing maka haruslah dilakukan pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah pertama kali bagi mereka yang belum mendaftarkan tanahnya. Dalam kasus yang diangkat di penelitian ini, peran utama seorang PPAT adalah membantu dan mendukung proses kegiatan pendaftaran pertama kali bagi para pihak yang berkepentingan atau para pemegang hak atas tanah tersebut.

Customary law is an important guideline for indigenous peoples to secure their existence and natural resources within customary forest areas from excessive use either from outside parties or from the indigenous peoples themselves. The implementation of the applicable laws and regulations has not gone well, the Government still views customary forest areas as one of the biggest sources for Indonesia's economic development by using government policies that exploit natural resources in customary forest areas which can disrupt and endanger the lives of indigenous peoples surrounding. The main issues raised are how the recognition and protection of land rights of the Dayak Lundayeh customary law community in Malinau District, North Kalimantan and what are the roles and responsibilities of the PPAT in land rights disputes that occur between indigenous Dayak Lundayeh communities in Malinau District, North Kalimantan. This study uses empirical legal research methods using data collection tools in the form of literature studies and interviews. The implementation of existing regulations regarding the customary rights of customary law communities in Malinau District, North Kalimantan, has not been carried out properly. The government and the people of Malinau Regency recognize the existence of customary law communities and their territory, but pay little attention to the rights of these customary law communities, especially the ulayat rights of these customary law communities. In guaranteeing legal certainty for customary law communities as holders of land rights for their respective lands, land registration must be carried out. Land registration activities for the first time for those who have not registered their land. In the case raised in this study, the main role of a PPAT is to assist and support the process of first-time registration of interested parties or holders of land rights."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Diyana Kusumawardani
"Tesis ini membahas proses pemberian HGU terhadap Iahan garapan penduduk desa, perlindungan dalam peraturan pertanahan terhadap lahan garapan penduduk desa dan solusi guna menyeimbangkan kepentingan penduduk desa dengan perusahaan. Tidak berjalannya dengan baik proses perolehan hak atas tanah dalam pemberian izin HGU, tidak adanya kesigapan dari pemerintah yang berwenang untuk dengan segera menuntaskan kasus ini, menyebabkan konflik sengketa lahan antara penduduk desa setempat dengan PT BSMI di daerah Mesuji, Lampung terus berlanjut sampai dengan saat ini.
Penelitian ini bersifat deskriptif dan preskriptif Hasil penelitian menyarankan bahwa diperlukan pengawasan dan keterlibatan yang intensif dari pemerintah dalarn pelaksanaan proses perolehan hak atas tanah, pemberian pemahaman kepada penduduk desa rnengenai pentingnya tanda bukti hak atas tanah dan itikad baik dari para pihak dalam pelaksanaan proses perolehan hak atas tanah.

This thesis discussed the granting process of land-cultivation title (HGU) to villagers utilized land, protection in land regulation towards villagers utilized land and the solution to balance the interest of villagers with the company. The inexistence of a proper process to acquire land title regarding land-use title permit granting, inexistence of a quick government reaction as the authorized party to immediately solve the problem, resulting conflict of land dispute between villagers and PT BSMI in Mesuji, Lamptmg continues until today.
The research in this thesis is descriptive and prescriptive. The conclusion of research suggest that intensive control and involvement from the government is deemed necessary in the process of land title acquirement, transfer of understanding to the villagers regarding the importance of land title documentary evidence, and good faith from all parties in the process of land title acquiring."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30292
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Giovanno
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai peran dari masyarakat hukum adat dalam
mengelola hutan di Indonesia dan penyelenggaraan pemenuhan hak masyarakat
hukum adat untuk dapat mengelola hutan oleh negara. Selain itu, dibahas juga
terkait dengan sejarah hukum pengelolaan hutan dan paradigma pengelolaan hutan
di Indonesia sebagai analisis atas kebijakan kehutanan yang diterbitkan oleh
Pemerintah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi
atas kondisi pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the role of customary law communities in forest
management in Indonesia and organizing the fulfillment of rights of indigenous
people to manage forests by the state. In addition, also discussed related to the
legal history of forest management and forest management paradigm in Indonesia
as an analysis of forest policy issued by the Government. The main objective of
this study is to provide a description of the condition of forest management by
indigenous people in Indonesia."
Lengkap +
2016
S65735
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Puteri Aliya Iskandar
"ABSTRAK
Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di wilayah nusantara sedari dulu telah mendapatkan perhatian khusus para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya ketentuan Pasal 18 adalah wujud nyata pengakuan negara terhadap daerah-daerah yang memiliki keistimewaan dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sesuai asal-usul masing-masing wilayah. Eksistensi tersebut tidak terlepas dari peran lembaga dan hukum adat yang menjalankan fungsinya pada masing-masing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Acehadalah salah satu daerah yang bersifat istimewa sertamemiliki Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Dalam rangka menjalankan keistimewaan tersebut, Pemerintah Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh kemudian membentuk Qanun Lembaga Wali Nanggroe. Skripsi ini kemudian akan memberikan gambaran untuk mengetahui bagaimana kedudukan lembaga adat di Indonesia serta Lembaga Wali Nanggroe di Aceh. Kesimpulan: Setelah diberlakukan Undang-Undang Desa yang terbaru, kedudukan lembaga adat di Indonesia adalah sebagai mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa, menyelenggarakan fungsi adat istiadat serta berperan dalam membantu Pemerintah Desa sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa. Sementara kedudukan Lembaga Wali Nanggroe adalah mitra pemerintah daerah sebagai lembaga kepemimpinan adat yang bersifat istimewa. Kata kunci: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Desa dan Desa Adat, Lembaga Adat, Keistimewaan, Lembaga Wali Nanggroe

ABSTRACT
The existence of Indigenous PeopleUnity in the Indonesia had always been a special concern of the founders of the Unitary of Indonesian Republic. The birth of provisions of Article 18 is the real form of state recognition of the regions that have the privilege and theIndigenous People Unity in accordance with origin of each region. The existence is highly influenced by the role of institutions and customary laws which carry out its own function. Aceh is one special region which own Indigenous Peoples Unity. In carrying out its function, Local Government jointly with Aceh rsquo s House of Representatives then forms Qanun of Wali Nanggroe Institute. This thesis will provide an overview on how the position of indigeneous institute in Indonesia as well as the Wali Nanggroe institute in Aceh. Conclusion After the latest legislation of village is recently applied, the position of indigenous institute in Indonesiais as a partner of Village Government and other Village institute in empowering the Village community, perform the functions of customs in assisting the Village Government as a form recognition of the customs of the Village community while the position of the Wali Nanggroe institute is as the partner of Local Government as an institute of indigeneous leadership with a previlege.Keywords Unity of Indigenous People, the Village and the IndigeneousVillage, Indigeneous Institute, Previlege, Wali Nanggroe Institute. "
Lengkap +
2017
S68971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiputra
"

Penatalayanan lingkungan pada hakekatnya merupakan penggunaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dengan cara yang memperhitungkan kepentingan masyarakat, generasi mendatang, dan spesies lainnya, serta kebutuhan pribadi, dan menerima tanggung jawab yang signifikan kepada masyarakat. Salah satu aktor penatalayanan lingkunga yang paling “terkenal” tidaklah lain selain masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat dalam praktiknya selalu dianggap sebagai sekelompok manusia yang sangat amat mencintai bumi, masyarakat hukum adat dalam praktik yang mereka lakukan selalu dikaitkan dengan betapa mereka sangat menjaga kelestarian alam. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidalah selalu sejalan dengan realitas hukumnya. Sebagai contohnya, Masyarakat Hukum Adat Bali dalam menjalankan upacara agamanya, membutuhkan daging penyu hijau yang mana termasuk kedalam hewan langka. Hal tersebut membangkitkan pertanyaan utama dimana benarkah masyarakat hukum adat merupakan actor penatalayanan lingkungan. Terhadap permasalahan tersebut, dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan metode yuridis normative. Seharusnya, Masyarakat hukum adat, sebagai kumpulan manusia haruslah dipandang sebagai manusia biasa yang tidaklah sempurna dan juga bisa berbuat kerusakan.


Environmental stewardship is essentially a responsible use of natural resources in a way that takes into account the interests of the community, future generations, and other species, as well as personal needs, and accepts significant responsibilities to the community. One of the most "well-known" environmental stewardship actors is nothing but indigenous peoples. Indigenous peoples in practice is always regarded as a group of people who really love the earth, indigenous peoples in their practice is always associated with how they are very preserve nature. However, this statement is not always in line with its legal reality. For example, the Balinese indigenous peoples in carrying out its religious ceremonies, requires green turtle meat which is included in rare animals. This raises the main question where is it true that indigenous people are environmental stewardship actors. Against these problems, in this paper the author conducts research with normative juridical methods. Supposedly, the customary law community, as a collection of people must be seen as ordinary human beings who are not perfect and can also do damage.

"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle
"Peradilan adat adalah salah satu bukti hidupnya penegakan hukum adat di dalam masyarakat Indonesia. Terlepas dari berbagai peraturan perundang-undangan di masa lalu yang berupaya untuk menghapuskan peradilan adat, pada kenyataannya berbagai kesatuan masyarakat hukum adat memiliki pranata sosial yang menjalankan fungsi peradilan sampai dengan saat ini, seperti Saniri Ria Muni pada masyarakat Nuaulu di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Melalui studi dokumen hukum, tulisan ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana sejarah serta perkembangan kedudukan dan kewenangan peradilan adat dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang Kekuasaan Kehakiman dan Pemerintahan Daerah atau Desa. Dengan melakukan penelitian sosio-legal seperti wawancara dan observasi di Negeri (Desa) Nua Nea dan Negeri Sepa, tulisan ini kemudian bertujuan untuk menganalisis bagaimana legitimasi lembaga peradilan adat Saniri Ria Muni dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nuaulu yang tinggal di dua Negeri tersebut. Hasil penelitian ini menemukan bahwa peradilan adat tidak memiliki kedudukan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, namun lembaga-lembaga adat diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa oleh berbagai peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai bentuk pelaksanaan hak otonomi “Desa”.  Terkait dengan legitimasi Saniri Ria Muni, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Nuaulu memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap putusan-putusan peradilan adat, di antaranya, karena masyarakat melihat bahwa penegak hukum mampu memberikan hasil yang diharapkan, diberikan hak untuk bersuara dan menunjukkan bukti, dan penegak hukum memperlakukan para pihak yang terlibat secara terhormat dan mendengarkan serta mempertimbangkan penjelasan mereka yang dapat dipercaya.

Indigenous juridical system is one proof of the persistence of indigenous/customary laws enforcement in Indonesia. Despite laws and regulations implemented in the past aiming for its abolishment, in reality hitherto many indigenous communities have social institutions that function like a court, for example the Saniri Ria Muni of the Nuaulu community in Seram Island, Central Maluku District. Through documentary legal research, this paper aims to explore the history and development of the position and authority granted to indigenous juridical systems in the Indonesian juridical power system by legal documents on juridical power and regional autonomy. By conducting a socio-legal research in Negeri (village) Nua Nea and Negeri Sepa, this paper continues to seek and analyze the legitimacy of the Saniri Ria Muni as an indigenous juridical court in the lives of the Nuaulu community residing in both said villages. The findings of this research shows that indigenous juridical system or courts do not have a legally regulated position in the Indonesian juridical power system, however indigenous institutions are given the authority to resolve disputes by legal documents on regional or village autonomy as a form of their rights. In regards to the legitimacy of Saniri Ria Muni, this research found that the people of Nuaulu have a strong degree of compliance to its decisions because, among others, the society perceives that the authorities were able to provide desired outcomes, allow people to speak and present evidence, and treat people with dignity and respect to explain judgments that they are trustworthy."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>