Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Wilsa Prisanty
Abstrak :
ABSTRAK
Masa dewasa merupakan tahap perkembangan manusia yang memiliki rentang terpanjang, Salah satu tugas perkembangan yang dianggap penting dalam masa ini adalah membina keluarga, yang tentunya diawali dengan pernikahan. Karena dianggap penting, maka tidaklah mengherankan bila kebanyakan masyarakat mengharapkan seorang individu yang sudah mencapai usia tertentu untuk menikah. Menurut Hogan (dalam Craig,1986) tugas perkembangan selalu dikaitkan dengan social clock, yaitu semacam waktu yang seolah-olah memberi tahu apakah seseorang itu lerlalu cepat atau lambat menyelesaikan tugas perkembangannya. Selain itu Hurlock (1980) mengemukakan bahwa terdapat ?bahaya? yang bersifat personal dan sosial pada mana dewasa yang berasal dari kegagalan dalam menyelesaikan atau menguasai tugas perkembangan, yang mengakibatkan individu tampak belum matang dibandingkan dengan individu lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bila seorang individu dewasa belum menjalani tugas perkembangannya sesuai dengan usia (social clock), maka ia akan cenderung mengalami masalah pribadi dan sosial.

Bila melihat gejala sosial yang ada saat ini, individu-individu yang belum menyelesaikan salah satu tugas perkembangan masa dewasa (menikah), walaupun sudah mencapai usia 30-aan semakin banyak jumlahnya. Terdapat kecenderungan di masyarakat Indonesia untuk lebih memperhatikan wanita yang belum menikah dibandingan pria. Biasanya usia wanita yang sudah diangqap melewati adalah usia 30 tahun. Walaupun sudah terdapat kemajuan pola berpikir masyarakat seiring dengan meningkatnya pendidikan, tetap saja wanita yang tidak menikah belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Adanya anggapan-anggapan yang negatif mengenai wanita lajang (Stein, 1976, Papalia & Olds, 1992) menunjukkan bahwa masyarakat kurang menyetujui bila seorang wanita itu tidak menikah. Pkunas (1976) mengemukakan bahwa individu yang melajang sering mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Menurut Hurlock (1974) agar seseorang dapat memiliki penyesesuaian diri dan sosial yang baik,maka pertama-tama ia harus merasa nyaman terhadap dirinya sendiri dengan kata lain adanya penerimaan diri yang positif. Menurut Jahoda (1958) bila seseorang memiliki penerimaan diri yang baik berarti ia dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada dirinya.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana penerimaan diri wanita lajang Indonesia yang bekerja ?. Penerimaan diri yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah penerimaan diri terhadap kemampuannya secara intelektual, karir, hubungan sosialnya, fisiknya dan status lajangnya. Karakteristik sampel yang diambil adalah wanita lajang usia 30 sampai 40 tahun, bekerja, pendidikan minimal SMU. Pengambilan subyek dilakukan dengan teknik accidental dan pengambilan data dilakukan dengan kuesioner.

Adapun hasil penelitian ini adalah wanita lajang yang bekerja memiliki penerimaan diri terhdapa aspek kemampuan, akrir, hubungan sosial, status lajang dan fisik yang cenderung positif. Dengan demikian artinya mereka dapat hidup dengan nyaman dan menerima segala kelebihan dan kekurangannya dalam aspek-aspek kehidupannya tersebut.
1997
S2288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ranindya Pramudita Aranira
Abstrak :
Jumlah warga Negara Indonesia yang melakukan bunuh diri adalah sebesar 11 juta orang dengan memiliki latar belakang depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebanyak 50% orang yang mengalami adverse childhood experience akan berakhir memiliki gejala depresi di masa dewasa. Jenis attachment style di masa dewasa juga berhubungan dengan adverse childhood experience dan berkontribusi dalam memunculkan gejala depresi. Penelitian kali ini mencoba melihat hubungan antara adverse childhood experience, jenis attachment style di masa dewasa, dan gejala depresi. Gejala depresi diukur menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experience diukur dengan menggunakan Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), dan attachment style di masa dewasa diukur dengan menggunakan Adult Attachment Scale (AAS). Penelitian kali ini dilakukan terhadap 482 orang dewasa muda di jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara adverse childhood experience (r = 0,388, n = 482, p < 0,01). Adverse childhood experience memiliki hubungan yang signifikan dan paling besar dengan anxious attachment style di masa dewasa dibandingkan dengan jenis attachment lain (r = 0,271, n = 482, p < 0,01). Anxious attachment style di masa dewasa juga memiliki hubungan yang signifikan dan paling tinggi dengan gejala depresi dibandingkan dengan jenis attachment lainnya (r = 0,486, n = 482, p < 0,01). Penelitian ini memiliki limitasi yakni kriteria partisipan yang kurang terfokus terhadap orang-orang yang pernah mengalami adverse childhood experience dan proporsi sampel yang kurang merata. ......The number of Indonesian citizens who commit suicide is 11 million people with a background of depression. Previous research has shown that as many as 50% of people who experience bad childhood experiences end up with depressive symptoms in adulthood. This type of stylistic attachment in adulthood is also associated with adverse childhood experiences and contributes to depressive symptoms. The current study looks at the relationship between adverse childhood experiences, types of attachment styles in adulthood, and symptoms of depression. Depressive symptoms were measured using the Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experiences as measured using the Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), and attachment style in adulthood measured using the Adult Attachment Scale (AAS). The current research was conducted on 482 young adults in Jabodetabek. The results showed that there was a positive and significant relationship between bad experiences during childhood (r = 0.388, n = 482, p <0.01). Adverse childhood experiences had a significant and greatest association with anxious attachment style in adulthood compared with other attachment types (r = 0.271, n = 482, p <0.01). Anxious attachment style in adulthood also had a significant and highest association with depressive symptoms compared to other types of attachments (r = 0.486, n = 482, p <0.01). The limitations of this study are, the criteria of participants are less focused on people who have experienced adverse childhood experience and the proportion of the sample is not evenly distributed.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavia Risna Damayanti
Abstrak :
Dalam dunia ini, manusia diciptakan sebagai mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, seperti yang dikatakan oleh Turner dan Helms (1995) bahwa mencari dan menjalin hubungan dengan orang lain adalah naluri seorang manusia. Jalaludin Rakhmat (1988) dalam bukunya Psikologi Komunikasi menyebutkan pula bahwa manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga selalu ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Ternyata, tidak semua orang dapat memiliki kehidupan sosial yang mulus. Cutrona (dalam Peplau dan Perlman, 1982) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa keadaan loneliness, merupakan keadaan yang dapat dihasilkan akibat ketidakterpenuhinya kebutuhan interaksi seorang individu. Loneliness, dapat menyebabkan akibat yang buruk seperti alkoholisme, bunuh diri dan berbagai gejala penyakit (Perlman dan Peplau, 1982). Kebutuhan interaksi yang intim seorang individu dapat dipenuhi lewat lembaga perkawinan, dimana disebutkan oleh Cox (dalam Brehm, 1992) bahwa interaksi sosial dalam perkawinan merupakan bentuk interaksi yang mempunyai sifat paling intim bila dibandingkan dengan bentuk interaksi lain. Menurut penelitian Freedman (dalam Brehm, 1992), dalam suatu perkawinan para istri mengalami loneliness lebih besar daripada para suami. Menurut Fischer dn Philip (dalam Brehm, 1992), wanitalah yang rentan terhadap loneliness apabila ikatan intim atau pernikahan tersebut mengurangi akses mereka pada jaringan sosial yang lebih luas. lnilah yang disebut sebagai isolasi sosial, dimana salah satu kelompok istri yang mengalaminya adalah mereka yang tidak bekerja atau yang lazim disebut ibu rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran loneliness pada ibu rumah tangga tengah baya yang tidak bekerja. Subyek yang dipilih adalah mereka dengan usia 40-60 tahun atau pada masa middle adulthood dan tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif, dengan menggunakan alat Revised UCLA Loneliness Scale yang terdiri dari 20 item. Alat ini mengandalkan penilaian subyek terhadap dirinya sendiri yang berarti memiliki kelemahan dapat terjadi kemungkinan faking good atau subyek berusaha terlihat baik di mata orang lain. Hasil penelitian yang didapatkan ternyata, rata-rata dari 80 orang ibu rumah tangga tengah baya yang tidak bekerja tersebut mengalami loneliness, hanya saja pada tingkat yang rendah atau kadar loneliness-nya rendah. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan hasil penelitian ini, tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang relevan. Penjelasan pertama, wanita memfokuskan perkembangan dirinya pada perkembangan keluarganya (Kelly & Noen dalam Turner & Helms, 1995), sehingga kesuksesan anggota keluarganya merupakan kesuksesan bagi dirinya, hal tersebut dapat menjadi penyebab rendahnya tingkat loneliness pada rata-rata subyek. Penjelasan kedua, seperti diungkapkan Frieze (1978), wanita masih menilai sumber kepuasannya adalah perkawinan dan anak-anaknya sehingga tanpa bekerjapun mereka telah memperoleh kepuasan hidup. Memiliki anak, dapat menjadi penjelasan selanjutnya, dengan demikian salah satu tugas perkembangannya, yaitu membantu anak-anaknya yang sedang bertumbuh menjadi orang dewasa yang matang secara sosial (Duvall dalarn Pikunas, 1976) dapat terlaksana dengan baik. Peningkatan kualitas dalam pernikahan yang umumnya terjadi pada masa ini seperti yang diungkapkan oleh Pikunas (1976), merupakan penjelasan selanjutnya, sebab dengan demikian perasaan lonely seseorang cenderung dapat terobati. 80 % subyek mengikuti aktivitas di luar rumah juga dapat menjadi penjelasan terhadap hasil penelitian, sebab, aktivitas tersebut dapat membantu subyek menjaga jaringan sosialnya dengan masyarakat di sekitarnya. Hal selanjutnya yang dapat pula menjadi penjelasan adalah tingkat pendidikan subyek yang mayoritas atau 61.25 % adalah lulusan SLTA, karena menurut Peplau dan Perlman (1982) seseorang yang berpendidikan rendah akan cenderung terisolir.
Depok: Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia, 2000
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library