Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Woodfin, Rupert
Singapore: Rupert Woodfin, 2004
335.4 WOO i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pustaka - Pen, 2001
335 ASA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ghanim Abduh
Bangil: Al-Izzah, 2003
335.4 Abd k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mandel, Ernest
Yogyakarta: Resist Book, 2006
301.152 MAN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Franz Magnis-Suseno
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016
100 FRA d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Utoyo
Abstrak :
Pokok masalah skripsi ini adalah menentukan kedudukan estetika dengan kesenian sebagai aplikasinya, didalam kerangka teori Marxisme, sebagai berikut: (1) Karl Marx Muda terheran-heran akan sifat kesenian (ia mengambil contoh kesenian Yunani Purba) yang transhistorical dan eternal charm. Hal ini disebabkan kesenian ternyata tidak termasuk dan berasal dari infra-struktur; aktifitas kesenian tidak sejalan dengan sejarah perkembangan material. (2) Marxisme sebagai ideologi menempatkan kesenian pada infra-struktur, sebagai alat propaganda politik revolusioner: Menyuarakan kepentingan Kelas Universal (Buruh) yang teralienasi. (3) Marcuse, seperti halnya Marxisme percaya bahwa alienasi manusia harus dilenyapkan dengan revolusi. Revolusi harus dilakukan karena arah perkembangan material (Materialisme Historis) telah diketahui sebelumnya, oleh karena itu perlu diantisipasi. Masalahnya bagi Marcuse adalah bagaimana menempatkan kesenian dalam revolusi politik ini, karena sifat kesenian itu apolitik. Dasar Teoritis: (1) Karl Marx Muda berpendapat, bahwa tidak seperti halnya dengan agama yang suatu waktu akan hilang, kesenian adalah kebutuhan hakiki bagi aktualisasi diri dan kemanusiaan; jadi kesenian disini bersifat antropologis.(2) Marxisme berpendapat bahwa kesenian mempunyai kebebasan yang relatif karena pada saat ini, kesenian harus mempropagandakan tujuan-tujuan politis mereka. (3) Marcuse yang ditopang oieh teori Freud tentang pleasure principle versus reality principle, Kant tentang Of Beauty as the Symbol of Morality, Schiller yang menjembatani sensuous impulse versus form-impulse dengan play-impulse, berpendapat bahwa terdapat hubungan yang mendasar antara Truth, Freedom, Beauty, Art, Sensuousness dan Pleasure. Analisis Harcuse, Marcuse sependapat dengan Marx bahwa keterasingan pada manusia (alienasi) merupakan kondisi yang tidak normal, oleh karena itu perlu dilenyapkan secara revolusioner. Analisis Marcuse terhadap affluent society pada abad ini menunjukkan bahwa Kelas Buruh tidak lagi revolusioner karena mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya teralienasi. Manusia pada dasarnya cenderung mencari kesenangan tanpa batas (pleasure principle). Pada affluent society, pleasure principle ini dapat diwujudkan yaitu dengan instinctual liberation. Berdasarkan Critique of Judgement (Rant), sensuous impulse (Schiller) merupakan pusat karena mempunyai daya pertimbangan terhadap causality dan freedom: ia menuntun manusia dari hukum kasualitas menuju kebebasan. Ciri dari sensuous impulse yang merupakan bagian dari life instinct 'naluri akan kehidupan' ini adalah play impulse. Play impulse ini terdapat pada kesenian dan bersifat kreatif, produktif dan hidup. Jadi akar dari kesenian itu adalah kehidupan yang bersifat erotis (erotogenic); tetapi kesenian tidak lantas menjadi happy ending karena di dalam estetika terdapat dialektika yang abadi antara Eros 'kehidupan'dan Thanatos 'kematian'(masalah-masalah meta-sosial). Kecemasan manusia akan waktu dan kematian dapat dihilangkan dengan abolishing time in time lewat play impulse sehingga pekerjaan dan waktu santai menjadi dis-play (Schein): hal ini dapat terjadi pada affluent society dimana art liberation dipadukan dengan teknologi yang telah dihilangkan sifat-sifat destruktifnya (gaya scienza) dapat membawa manusia pada kebehagiaan yang teraga. Kesimpulan, justru karena sifat kesenian (anti--art) yang otonom itulah, kesenian mempunyai kemampuan subversif terhadap tatanan mapan yang mengasingkan manusia. Estetika dapat menjadi prinsip reality baru, yaitu realita yang didasari oleh life-instinct 'naluri kehidupan'. Terdapat hubungan yang hakiki antara pleasure, sensuousness, beauty, truth, art and freedom, hal ini tercermin pada seni kontemporer (anti-art) sehingga seni menjadi seni pembebasan.
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S16020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Dwiyanti
Abstrak :
ABSTRAK
Washington Consensus pertama kali dicetuskan oleh John Williamson untuk mendeskripsikan sepuluh kebijakan yang mendapatkan konsensus di Washington. Washington Consensus ternyata mengundang banyak kritik dari kalangan akademisi. Tugas Karya Akhir TKA ini melakukan tinjauan literatur mengenai perdebatan Washington Consensus dari tahun 1990 sampai 2016. Literatur-literatur tersebut kemudian dikelompokkan sesuai dengan ideologi ekonomi politik internasional, yaitu liberalisme, nasionalisme, dan marxisme. Dalam liberalisme, terdapat dua kelompok pemikiran yang saling bertolak belakang, yaitu pemikiran yang mendukung dan mengkritik Washington Consensus. Di sisi lain, argumen utama dari nasionalisme adalah bahwa Washington Consensus tidak berhasil meningkatkan kinerja ekonomi negara-negara berkembang dan peran negara yang aktif dibutuhkan. Penulis-penulis marxis berargumen bahwa Washington Consensus bersifat reduksionis karena mengabaikan relasi power. Dalam perdebatan ini, muncul beberapa rekomendasi kebijakan untuk menggantikan Washington Consensus. TKA ini merefleksikan bahwa rekomendasi kebijakan pembangunan bertahan dalam perdebatan apabila didukung oleh kekuatan politik. Refleksi ini merupakan sebuah agenda penelitian yang dapat dilaksanakan di masa depan agar korelasi antara dukungan politik dan daya tahan endurance rekomendasi kebijakan pembangunan dapat dibuktikan.
ABSTRACT
Washington Consensus was first coined by John Williamson to describe ten policies which command consensus in Washington. The emergence of Washington Consensus invites numerous critics from scholars. This writing aims to review literatures about the debate on Washington Consensus from 1990 to 2016. These literatures are grouped based on ideologies in international political economy, namely liberalism, nationalism, and marxism. There are two contrasting divisions in liberalism. One supports Washington Consensus while the other criticizes it. On the other hand, the main argument of nationalism is that Washington Consensus has failed to improve the economic performance of developing countries and the active role of state is needed. Marxist scholars argue that Washington Consensus is reductionist because it ignores power relations. From this debate, there are several policy recommendations. This writing infers that development policy recommendation will endure if it is supported by political power. This reflection is a potential research agenda to be conducted in the future so that correlation between political support and endurance of development policy recommendation can be proven.
2017
TA-Pdf;
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Pramoedya Ananta Toer adalah sosok fenomenal yang sangat menarik untuk diteliti. Karya-karyanya mampu memberi semangat bagi para pejuang hak asasi manusia dan sebaliknya kadang-kadang ia menjadi momok bagi pemerintah.
490 KAN 7:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Satriono Priyo Utomo
Abstrak :
ABSTRAK Penulisan tesis ini mengkaji biografi pemikiran Aidit 1946-1965 yang mencakup pertama, perjalanan hidup Aidit yang melahirkan dan membentuk pemikiran-pemikirannya, kedua, menjelaskan tentang pemikiran-pemikiran politik revolusioner dan eksperimentasi-eksperimentasi pemikiran Aidit atas Marxisme-Leninisme, dan menjelaskan dampak atas relasi pemikiran-pemikiran Aidit dengan strategi dan sikap politik Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam konstelasi politik nasional pada masa Demokrasi Parlementer hingga Demokrasi Terpimpin. Aidit adalah manusia politik yang tumbuh dan berkembang dalam dua pengalaman yang dinamis yaitu empirisme Belitung dan pergaulan politik Jakarta. Pemikiran-pemikiran Aidit muda dipandang oleh Soe Hok Gie yang menyebutnya sebagai tipe pemikir Indonesia yang masih muda, dan tulisan-tulisannya pada masa awal revolusi merupakan sumber kekecewaan generasi muda. Saat Aidit mencapai kedudukan sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada awal tahun 1950-an sampai akhir hidupnya. Aidit tampil seperti yang disampaikan oleh Justus M. van Der Kroef sebagai ahli taktik, organisator dan teoritikus. Melalui metode historiografi, pendekatan sejarah pemikiran dan teori hermeneutik Wiliam Dilthey, pemikiran-pemikiran politik Aidit berdinamika dalam tiga fase yaitu eksplorasi (1946-1947), konsolidasi (1951-1956) dan eksperimentasi (1957-1965). Di fase eksplorasi, Aidit muda menggunakan Marxisme-Leninisme sebagai pisau analisa memahami Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Saat berusia 23 tahun, Aidit menulis dengan cara pandang progresif yang meyakini bahwa revolusi Indonesia adalah bagian daripada revolusi dunia. Pemikiran-pemikiran politiknya terus berkembang bersama PKI. Dalam fase konsolidasi Aidit melahirkan buah pemikiran tentang konsepsi partai komunis di Indonesia yaitu partai massa sekaligus partai kader, dengan melibatkan kaum tani bersama kaum buruh menjadi motor penggerak perubahan dengan menempuh jalan damai. Kemudian sistem politik nasional pada masa awal Demokrasi Terpimpin mendorong Aidit berpikir progresif. Pada fase eksperimentasi Aidit menganalisis sejarah perkembangan masyarakat dan merumuskan kelas-kelas sosial di Indonesia. Aidit menggagas dua tahapan revolusi yaitu nasional dan demokratis, dengan semangat melenyapkan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme. Titik pertemuan revolusi dua tahap itu adalah perjuangan agraria. Perjuangan tersebut menempuh jalan yang disebut Aidit sebagai Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) yang berisi perjuangan gerilya di desa-desa, aksi-aksi revolusioner, bekerja baik dan intensif di kalangan kekuatan bersenjata.
ABSTRACT The writing of this thesis examines the biography of Aidit's thoughts from 1946-1965 which included the first, Aidit's life journey which gave birth to and formed his thoughts, secondly, explained revolutionary political thoughts and Aidit's thought experiments on Marxism-Leninism, and explained the impact on relations Aidit's ideas with the strategy and political attitude of the Indonesian Communist Party (PKI) in the national political constellation during the period of Parliamentary Democracy to Guided Democracy. Aidit is a political man who grew and developed in two dynamic experiences, namely Belitung's empiricism and Jakarta's political association. Young Aidit's ideas were seen by Soe Hok Gie who called him the young type of Indonesian thinker, and his writings in the early days of the revolution were a source of disappointment for the younger generation. When Aidit reached the position of head of the Indonesian Communist Party (PKI) in the early 1950s until the end of his life. Aidit appeared as presented by Justus M. van Der Kroef as a tactician, organizer and theorist. Through historiography methods, the approach of history of William Dilthey's thought and hermeneutic theory, Aidit's political thoughts were dynamic in three phases, namely exploration (1946-1947), consolidation (1951-1956) and experimentation (1957-1965). In the exploration phase, young Aidit used Marxism-Leninism as an analytical knife to understand Indonesia that had just been proclaimed. When he was 23 years old, Aidit wrote in a progressive perspective that believed that the Indonesian revolution was part of the world revolution. His political thoughts continued to develop with the PKI. In the consolidation phase Aidit gave birth to ideas about the conception of the communist party in Indonesia, namely the mass party as well as the cadre party, by involving the peasants with the workers to become the driving force of change by taking a peaceful path. Then the national political system in the early days of Guided Democracy encouraged Aidit to think progressively. In the experimental phase Aidit analyzed the history of community development and formulated social classes in Indonesia. Aidit initiated two stages of the revolution, national and democratic, in the spirit of eliminating the remnants of feudalism and imperialism. The meeting point of the two-stage revolution is the agrarian struggle. The struggle took a path called Aidit as the Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) which contained guerrilla struggles in the villages, revolutionary actions, worked well and intensely in the armed forces.

 

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T52125
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerung, Rocky
Abstrak :
Teori kritis Jurgen Habermas merupakan suatub proyek teori yang memadukan analisis sosiologi dan kritik filosofi untuk menjelaskan susunan masyarakat kapitalis kontemporer, dan merancang sutau disain teori yang bertujuan mengemansipasikan susunan masyarakat yang dominatif itu. Tesis yang ingin dipertahankan Habermas adalah bahwa emansipasi dimungkinkan karena di dalam wilayah praxis manusia, terdapat sutau jenis rasionalitas dalam tindakan komunikasi. Komunikasi selalu bertujuan mencapai pemahaman intersubyektif atas dasar konsensus rasional. Di dalam perspektif studi Marxis. Teori kritis Habermas meneruskan tradisi penelitian Marxisme kultural (Cultural Marxism), yang mengarahkan perhatiannya pada problem bangunan atas (Superstructure). Perspektif ini merupakan kritik atas Maexisme Ortodoks yang bersifat mekanistik deterministik dan dogmatik.
Jurgen Habermas's critical theory is a theoretical project that combines sociological analysis and philosophical criticism to explain the structure of contemporary capitalist society, and design a theoretical design that aims to emancipate the dominative structure of society. The thesis that Habermas wants to maintain is that emancipation is possible because in the area of human praxis, there is a type of rationality in the act of communication. Communication always aims to achieve an intersubjective understanding on the basis of rational consensus. In the perspective of Marxist studies. Habermas's critical theory continues the tradition of cultural Marxism research (Cultural Marxism), which directs its attention to the problem of the superstructure. This perspective is a critique of Orthodox Maexism which is deterministic and dogmatic in nature.
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S69956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library