Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Affin Bahtiar
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai pendekatan kesejahteraan yang dapat dijadikan kebijakan untuk melepaskan-ikatan (disengagement) antara mantan narapidana teroris dengan kelompok terorisme. Banyak pelaku terorisme di Indonesia yang tertangkap dan dihukum. Namun, penanggulangan terorisme di dalam penjara maupun di luar penjara belum terlaksana dengan maksimal. Banyak mantan narapidana teroris yang sudah menjalani hukuman ternyata terlibat residivis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan Metode Delphi. Menggunakan konsep pendekatan yang bersifat soft approach, salah satu bentuknya adalah disengagement. Dalam hal ini peneliti lebih berfokus pada pendekatan kesejahteraan terutama kepada mantan narapidana teroris. Hasil penelitian ini bahwa pendekatan kesejahteraan kepada mantan narapidana teroris sebagai upaya pelepasan ikatan (disengagement) dari kelompok teroris memang perlu dilakukan mengingat adanya program deradikalisasi yang belum maksimal sehingga menimbulkan residivisme. Pendekatan kesejahteraan ini perlu mempertimbangkan aspek latar belakang sosial dan sejauh mana keterlibatannya di dalam kelompok terorisme. Pendekatan kesejahteraan berdasarkan penelitian ini akan berhasil dan berjalan baik jika diberikan kepada mantan narapidana teroris yang memiliki kategori tingkatan komitmen pada level passive supporters atau simpatisan serta pendekatan ini perlu pembinaan yang berkesinambungan. ......This research discusses the welfare approach that can be used to release the policy bonding (disengagement) between the ex-convict terrorists and the terrorist groups. Many perpetrators of terrorism in Indonesia is caught and punished. However, the counter-terrorism in and outside the prison has not been implemented to the fullest. In fact, many of the ex-convict terrorists turn to be involved in the recidivists. This research used a qualitative approach with Delphi Method. It utilized the soft approaches concept in which disengagement concept was applied. In this case, the researcher focused more on welfare approach, especially to the ex-convict terrorists. As the results, since the de-radicalization programs that have not been maximized can cause recidivism, the welfare approach to the ex-convict terrorists is necessary to be done as a bond release (disengagement) from the terrorist groups. This approach needs to take into account the welfare of the social background and the extent of its involvement in the terrorist groups. According to the research, the welfare approach will work well if it is given to the ex-convict terrorists who have the category-level commitment of passive supporters or sympathizers. Therefore, a continuous coaching to this approach is highly suggested.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aysha Rizki Ramadhyas
Abstrak :
ABSTRAK
Fenomena perempuan dalam terorisme diibaratkan seperti dua sisi koin mata uang. Di satu sisi, perempuan dapat berperan secara aktif sebagai pendukung hingga pelaku aksi terorisme. Namun, di sisi lain dapat berperan sebagai pencegah atau membantu melunakkan ideologi kekerasan yang dimiliki oleh suaminya. Penelitian ini menggunakan teori pemberdayaan perempuan dan beberapa konsep seperti terorisme, deradikalisasi serta kapital sosial sebagai dasar analisis. Tujuan penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1). menganalisis program pemberdayaan istri mantan narapidana terorisme yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Institute for Society Empowerment Program (INSEP) dan Pusat Riset Ilmu Kepolisian-Kajian Terorisme (PRIK-KT), Universitas Indonesia). 2). menguraikan upaya yang dilakukan oleh istri mantan narapidana terorisme proses deradikalisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur, studi literatur dan dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1). Keberadaan program pemberdayaan istri mantan narapidana terorisme yang diselenggarakan oleh BNPT, INSEP dan PRIK-KT UI dapat menjadi modal sosial dalam memutus rantai radikalisme di keluarga. 2). Istri yang telah mengikuti program pemberdayaan dapat hidup mandiri dan berperan dalam proses deradikalisasi di keluarga seperti mengedukasi anak dan suami. 3). Pelibatan masyarakat dapat meningkatkan kelekatan sosial para istri dengan lembaga-lembaga pemberdayaan sehingga istri dapat berperan secara maksimal dalam proses deradikalisasi.
ABSTRACT
Women-related phenomenons in the realm of terrorism can be understood from two different point of views. Women can definitely be supporters of terrorism. On the other hand, they can also be the agents of deradicalization by preventing the ideology of violence possessed by their husbands from spreading even further. This study uses the theory of women's empowerment and several concepts such as terrorism, deradicalization and social capital as the basis for analysis. The main purposes of this study are 1). to analyze the empowerment program of ex-convicted terrorism wives carried out by the National Counter Terrorism Agency (BNPT), the Institute for Society Empowerment Program (INSEP) and the Research Center for Police Science-Terrorism Studies (PRIK- KT), University of Indonesia). 2). to describe the efforts initiated by the wives of former terrorists in promoting deradicalization. This research uses a qualitative method with a case study approach. Data were collected from multiple sources such as; unstructured interviews, literature studies and documents. The results of this study indicate that; 1). the existence of the empowerment program for the wives of former terrorists organized by BNPT, INSEP and PRIK-KT UI can be a modal capital in countering radicalization in the family. 2). Wives who have participated in an empowerment program can live independently and supporting the process of deradicalization in the family such as to educate their children and husband. 3). Community involvement can increase the social bond between wives, BNPT, INSEP dan PRIK-KT UI so that the wives can play a maximum role in the deradicalization process.
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tan Evi
Abstrak :
Terorisme masih menjadi ancaman bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Penanggulangan terorisme di Indonesia dengan metode deradikalisasi yang efekif telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini dikarenakan masih adanya tindakan teror oleh para pelaku baru dan lama yang terkait dengan jaringan atau kelompok. Teori identitas sosial dipilih untuk mengkaji bagaimana proses seorang teroris meninggalkan jalan terornya dan bahkan menjadi aktor perubahan yang turut terlibat melakukan program deradikalisasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, studi kasus, survei lapangan, wawancara, dokumentasi dan studi literatur. Penulis mengkaji seorang mantan narapidana teroris yang menyadari kesalahannya sebagai seorang teroris. Mantan Narapidana tersebut bernama Khairul Ghazali. Sejak keluar dari penjara, Khairul Ghazali mendirikan Pondok Pesantren Al-HIdayah khusus untuk anak-anak dari napiter dan mantan napiter di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang, Medan. Sumatera Utara. Murid-murid di Pesantren ini selain dihuni oleh santri dan santriwati dari anak-anak mantan narapidana terorisme juga ada murid-murid dari lingkungan setempat. Yang membedakan pesantren ini dengan pesantren lainnya adalah “Kurikulum Deradikalisme”. Tujuannya menerima murid selain anak-anak dari teroris dan mantan teroris adalah agar mereka dapat berbaur dengan lingkungan. Hal ini menjadi salah satu langkah untuk menghilangkan trauma sebagai anak mantan teroris. Penulis berhipotesa bahwa keberhasilan dari deradikalisasi Khairul Ghazali adalah dari kurikulum “deradikalisme”. Mereka dapat menangkal paham-paham radikal sehingga tidak mengikuti jejak orang tuanya. ......Terrorism is still a threat to the world community, including Indonesia. Counter terrorism in Indonesia with an effective method of deradicalization has become a very urgent need. This is because there are still acts of terror by new and old perpetrators related to the network or group. Social identity theory was chosen to examine how the process of a terrorist leaves the path of terror and even becomes an agent of change who is involved in the de-radicalization program. This research uses qualitative research methods, case studies, surveys, interviews, documentation and literature studies. Researcher examine an Ex-terrorist convict who realized his mistake as a terrorist. The Ex-terrorist was named Khairul Ghazali. Since being released from prison, Khairul Ghazali established Al-Hidayah Islamic Boarding School specifically for children from terrorists or ex-terrorists in Sei Mencirim Village, Kutalimbaru District, Deli Serdang, Medan. North Sumatra. Students in the Pesantren are not only inhabited by female and female students of children of ex-convicts of terrorism, there are also students from the local environment. What distinguishes this pesantren from other pesantren is the "Deradicalism Curriculum". The purpose of accepting students other than children from terrorists and ex-terrorists is so that they can blend in with the environment. This is one step to eliminate trauma as a child of a former terrorist. Researchers hypothesize that the success of Khairul Ghazali's deradicalization is from the curriculum of "deradicalism". They can ward off radical notions so they don't follow their parents.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Apolinaria Gracia Jenahat
Abstrak :
ABSTRAK
Peningkatan kepadatan populasi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh tindak kriminal yang semakin meningkat dan ditambah rendahnya tingkat pemberdayaan mantan narapidana, terutama dalam hal pekerjaan; yang mendorong mereka untuk mejadi residivis. Para mantan narapidana ini umumnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan, mengingat adanya status mantan narapidana yang kurang diminati oleh pemberi kerja. Sebagai jaring pengaman, negara memberikan perlindungan yuridis untuk menghindari terjadinya diskriminasi yang ditujukan kepada mantan narapidana ini dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan. Meskipun demikian, kenyataannya diskriminasi terhadap calon pekerja dengan status mantan narapidana tetap terjadi. Berdasarkan hal tersebut, akan dilakukan analisa dengan metode penelitian yuridis-normatif, yakni dengan membandingkan peraturan di Indonesia dengan peraturan terkait di Australia, sebagai negara yang memiliki tingkat kepadatan populasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan yang lebih rendah dari Indonesia. Hasil dari penelitian skripsi ini didapatkan kesimpulan bahwa memang terdapat berbagai perbedaan dalam ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia dengan Australia, dimana di Australia status ldquo;riwayat kriminal rdquo; dijadikan salah satu karakteristik yang dijadikan subjek diskriminasi. Hal yang demikian menjadikan pembedaan perlakuan di sektor ketenagakerjaan yang didasarkan pada riwayat kriminal seseorang merupakan suatu wujud diskriminasi. Sedangkan di Indonesia pembedaan perlakuan yang didasarkan pada riwayat kriminal bukanlah suatu bentuk diskriminasi.
ABSTRACT
Increased population density of inmates in Penitentiary in Indonesia is influenced by increasing crime rate, plus low level of empowerment for ex prisoners especially in work field which encourages them to become recidivists. These former inmates are generally difficult to get jobs, given the status of ex inmates that the employers are not interested in. As a safety net, the state provides juridical protection to avoid discrimination directed against these former inmates in employment opportunities. However, in reality, discrimination against prospective workers with ex prisoner status still persists. Based on this, an analysis, with juridical normative research methods, will be conducted by comparing Indonesian regulations with related regulations in Australia, as a countries with lower levels of population density of inmates from Indonesia. The results of this thesis study concluded that there are indeed differences in the prevailing laws and regulations in Indonesia with Australia, where in Australia the criminal history status is one of the characteristics of discrimination. This thus makes the distinction of treatment in the employment sector based on a person 39 s criminal history is a form of discrimination. While in Indonesia the distinction of treatment based on criminal history is not a form of discrimination.
2017
S69194
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Haryono
Abstrak :
Tahap akhir dari deradikalisasi yaitu reintegrasi sosial. Rentegrasi sosial bertujuan untuk membantu mantan narapidana terorisme untuk kembali ke masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis persepsi masyarakat Bekasi dalam menerima mantan narapidana terorisme serta untuk memberikan rekomendasi bagi instansi terkait terorisme serta masyarakat terkait pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mendukung program reintegrasi sosial bagi mantan narapidana terorisme. Kota Bekasi dipilih karena banyak mantan narapidana terorisme yang bebas dari lapas khusus kelas IIB Sentul pulang ke Bekasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah mixed methods. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama yang berada di tiga kelurahan di Kota/Kabupaten Bekasi. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada 100 responden yang berada di Kota Bekasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa reintegrasi sosial mantan narapidana terorisme dapat terhambat dikarenakan masih adanya pelabelan dan penolakan dari masyarakat terhadap mantan narapidana terorisme. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat guna mendukung program reintegrasi sosial mantan narapidana terorisme dapat dilakukan dengan membuat pelabelan lanjutan yang positif berdasarkan teori pelabelan, meningkatkan pertahanan diri dari dalam dan pertahanan diri dari luar mantan narapidana terorisme berdasarkan teori pertahanan dan melakukan penguatan terhadap ikatan sosial antara mantan narapidana terorisme baik dengan keluarga maupun dengan masyarakat berdasarkan teori ikatan sosial atau kontrol sosial. .....The final stage of deradicalization is social reintegration. Social reintegrasion aims to helps former terrorism convicts to return to society. The purpose of this research is to analyze the perception of Bekasi society in accepting former terrorism convicts and to provide recommendations for terrorism-related agencies and the community regarding the importance of increasing public awareness in supporting social reintegration programs for former terrorism convicts. Bekasi was chosen because many former terrorism convicts who were released from Sentul Class IIB Special Prison returned there. This study is used by mixed methods. The qualitative method was carried out through interviews with community leaders and religious leaders in 3 sub-districts in Bekasi City/Regency. The quantitative method was carried out by distributing questionnaires to 100 respondents in Bekasi City. The results of this study show that the social reintegration of former terrorism convicts can be hampered because there is still labeling and rejection from society of former terrorism convicts. Therefore, to increase public awareness to support the social reintegration program of former terrorism convicts can be done by creating new positive labeling based on labeling theory, strengthening inner containment and outer containment of former terrorism convicts based on containment theory and strengthening social bond between former terrorism convicts both with their families and the society based on the theory of social bond.

 

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nidia Masithoh
Abstrak :
Reintegrasi mantan narapidana terorisme harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari intervensi pembinaan dan pemberdayaan dalam Lapas dengan inisiatif program paska-rilis. Keterlibatan inisiatif mantan narapidana teror dalam reintegrasi luar Lapas mendapat atensi cukup besar beberapa tahun terakhir. Pelibatan yayasan mantan narapidana teror dalam skema asistensi dan supervisi dilakukan untuk membangun ruang dukungan sosial sebagai upaya pencegahan residivisme. Umumnya mantan narapidana teror mengalami risiko dan tantangan paska-rilis yang melekat seperti stigmatisasi, ketidakpercayaan dan ekslusi terhadap akses sosioekonomi. Mengingat hal ini, periode transisi menjadi masa krusial dalam menentukan keberhasilan program pencegahan. Yayasan mantan narapidana teror menginisiasi program pendampingan dan pengawasan berbasis komunitas dengan mendorong kemandirian finansial, mengubah cara pandang ke arah moderat melalui kajian dan dialog serta memastikan penerimaan komunitas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menggambarkan intervensi yayasan mantan narapidana teror dalam skema reintegrasi lanjutan dengan menekankan pada risiko krusial periode transisi sebagai urgensi keterlibatan inisiatif yayasan. Teori Ikatan Sosial digunakan untuk mengetahui unsur pencegah kembalinya binaan melakukan kejahatan teror. Penelitian ini menemukan bahwa Yayasan Lingkar Perdamaian memberikan bantuan moril dan materil sebagai bentuk dukungan sosial bagi mantan narapidana teror yang menjalani masa Cuti Menjelang Bebas. Yayasan Lingkar Perdamaian juga memastikan penerimaan komunitas terhadap reintegrasi mantan narapidan teror di wilayahnya. ......Ex-terrorist reintegration must be carried out in an integrated way from in-prison empowerments with post-release program initiatives. The involvement of formers in reintegration has received considerable attention in recent years. The involvement of formers foundations in the assistance and supervision is to build a social support to prevent recidivism. Usually, ex-terrorist experience inherent post-release risks and challenges such as stigmatization, mistrust and socioeconomic exclusions. Transition period is a crucial in determining the success of prevention program. Formers foundation initiates community-based assistance and supervision by encouraging financial independence, changing perspectives towards moderation through discussion and dialogue and ensuring community acceptance in the first place. This study uses a descriptive qualitative method to describe the intervention of formers foundation in reintegration scheme by emphasizing the crucial risks of the transition period. Social Bond Theory is used to find out the elements of preventing ex-terrorist from re-committing terrorism. This research found that Yayasan Lingkar Perdamaian as formers foundation provides assistance on moral and material for ex-terrorist on their conditional release. Yayasan Lingkar Perdamaian also ensures acceptance of community for ex-terrorist reintegration in their area.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isharen Gina Namira
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan shame proneness dan guilt proneness pada narapidana residivis dan mantan narapidana non-residivis. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara guilt proneness dengan perilaku residivisme, namun tidak ada hubungan yang signifikan antara shame proneness dengan perilaku residivisme. Oleh karena adanya perbedaan budaya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini ingin melihat perbandingan shame proneness dan guilt proneness pada narapidana di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan memberikan alat ukur TOSCA-SD dalam Bahasa Indonesia kepada 39 narapidana residivis dan 30 mantan narapidana non-residivis. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara shame proneness dan guilt proneness dengan tindak residivisme. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku residivisme dipengaruhi oleh banyak faktor lain di luar emosi malu dan bersalah. ......This research aims to compare shame proneness and guilt proneness among recidivist inmates and non-recidivist ex-inmates. The previous research shows that there is a relation between guilt proneness and recidivism, however there is no relation between shame proneness and recidivism. Due to cultural differences with previous research, this research aimed to compare shame and guilt proneness in Indonesian inmates. The research is done by assigning 39 recidivist inmates and 30 non-recidivist ex-inmates to fill in TOSCA-SD questionnaire in Bahasa Indonesia. The result of this research shows that there is no significant relation between shame and guilt proneness with recidivism. This result shows that there is another factor other than shame and guilt which affect recidivism.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S61924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library