Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yani Silfariani
Abstrak :
Hutan Angke Kapuk merupakan kawasan hutan mangrove yang berlokasi di DKI Jakarta. Seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk, perkembangan industri yang semakin cepat menimbulkan dampak negatif pada Hutan Angke Kapuk yang merupakan kawasan hijau bagi kehidupan penduduk DKI Jakarta. Melihat kondisi tersebut maka penelitian ini menitikberatkan pada aspek sosial ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada kondisi Hutan Angke Kapuk yang saat ini cukup memprihatinkan keberadaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranserta masyarakat sekitar hutan mangrove dalam menunjang keberadaan kawasan Hutan Angke Kapuk. Selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi penentu kebijakan dalam pengambilan keputusan untuk penkembangan pembangunan yang berwawasan lingkungan Selain itu juga dtharapkan dapat meningkatkan nilai tambah baik bagi Hutan Angke Kapuk itu sendiri maupun masyarakat sekitar. Berdasarkan permasalahan diatas, dapat disusun hipotesis sebagai berikut Ho : Tinggi rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat tidak mempengaruhi tingkat peranserta masyarakat terhadap Hutan Angke Kapuk Ha,: Tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat mempengaruhi tingkat peranserta masyarakat terhadap Hutan Angke Kapuk Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus. Untuk menguji hipotesis digunakan tes signifikansi Uji Kai Kuadrat dan Analisis Regresi dengan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 10.00. Data dikumpulkan melalui studi literatur, observasi, dan wawancara dengan berpedoman pada kuesioner dengan masyarakat sekitar kawasan Hutan Angke Kapuk. Hasil dari penelitian ini adalah: Pendidikan dan pendapatan ternyata tidak mempengaruhi tingkat peranserta dari masyarakat sekitar Hutan Angke Kapuk, jadi Ho tidak ditolak. Bagi warga sekitar Hutan Angke Kapuk baik yang tingkat pendidikannya tinggi maupun rendah dan tingkat pendapatannya tinggi maupun rendah tidak mempengaruhi mereka untuk melakukan peranserta dalam pengelolaan Hutan Angke Kapuk. Saran-saran dari penelitian ini adalah: Sebaiknya dilakukan penyuluhan yang intensif dengan melibatkan masyarakat sekitar, misalnya anggota Karang Taruna sehingga menimbulkan rasa tanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan di sekitarnya yang kemudian menimbulkan keinginan untuk berperanserta. Tapi semua ini tidak dapat terlepas dari peran pemerintah dan LSM untuk ikut mendorong masyarakat sekitar kawasan Hutan Angke Kapuk dalam berpartisipasi. Daftar Kepustakaan : 31 (1978-2001)
Angke Kapuk Forest is a mangrove forest area which is located in Province of DKI Jakarta. The growth Ievel of population and industry which happen faster nowadays have caused negative impacts to Angke Kapuk Forest which is a green zone for people's live at DKI Jakarta. Because of this forest plays an important role for DKI Jakarta development then there is special emphasis in implementation of policy and regulation/laws between central and local government especially for regional development which balances between local mangrove forest conservation and coastal area developing activity. Based on the statement above, this research is focus on the aspect of social economy from the society surronding Angke Kapuk Forest which influences indirectly to the condition of Angke Kapuk Forest where for nowadays its existence has really been not good. This purpose of this research is to know people participation surrounding Angke Kapuk Forest in order to support the existence of area management of Angke Kapuk Forest. Also, this research can be used as an input for decision makers in deciding to expand sustainable development which has environment perception. Beside that, it is hoped that it can increase added value for this forest itself and people surrounding it. This hypotheses of this research are stated below: Ho : low or high education level and people income will not influence people participation level to Angke Kapuk Forest Ha: low or high education level and people income will influence people participation level to Angke Kapuk Forest Method of this research is descriptive with type of this research is case study. To test the hypotheses above, it is used chi quadrate test signification by using statistical product and service solutions (SPSS) version 10.00. Data are collected from literature study, observation, and deep interview with use questionnaires to people surrounding Angke Kapuk Forest. The results and conclusion of this research are education and income level actullay are not influencing people participation level at surrounding Angke Kapuk Forest, so Ho is accepted. People at surrounding Angke Kapuk Forest both low and high education and income level is not influencing them to participate in Angke Kapuk Forest management. The suggestions of this research are: It is better to do an intensive guidance which involves people at surrounding forest, such as Karang Tanzna so people has responsible feel for environmental preservation and then people desires to participate. But this whole things need government and non-government organization role to support people at surrounding Angke Kapuk Forest to be participated. Number References : 31 (1978-2001
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 8594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Meissarah
Abstrak :
Mitigasi perubahan iklim terkait dengan pengelolaan hutan mangrove telah mendapat perhatian yang signifikan di dunia internasional selama dekade terakhir namun mengalami kesulitan akibat kurangnya data yang dapat diandalkan untuk melakukan kuantifikasi seberapa banyak kandungan karbon yang ada. Hutan mangrove di Provinsi Bali terbagi menjadi 3 jenis habitat yaitu teluk terbuka yang terletak di Taman Nasional Bali Barat, teluk semi tertutup yang berada di Tahura Ngurah Rai dan pulau kecil yang berada di Hutan Lindung Nusa Lembongan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kandungan karbon hutan mangrove dengan tipe dan morfologi habitat hutan mangrove yang berbeda. Perhitungan biomassa dilakukan dengan menggunakan rumus alometrik namun persamaan alometrik yang sama dapat menghasilkan akurasi yang berbeda pada lokasi habitat yang berbeda. Perhitungan kandungan karbon hutan mangrove untuk tipe habitat teluk semi tertutup memiliki nilai estimasi tertinggi yaitu 51,35 ton/ha dengan pola hubungan positif sebesar 60%, sedangkan nilai estimasi karbon terendah berada pada habitat teluk terbuka sebesar 26,28 ton/ha dengan pola hubungan positif sebesar 48%. Penelitian ini menunjukkan bahwa setiap tipe habitat hutan mangrove memiliki karakteristiknya sendiri terhadap ekosistem yang hidup di wilayahnya dan hal ini berpengaruh terhadap nilai karbon yang dikandungnya.
Climate change mitigation regarding mangrove forest management has received significantly in international attention over the past decade, but it is lack of reliable data to quantify how much carbon stock is available. The mangrove forest in Bali Province is divided into three habitat types such as open bay beach located in West Bali National Park, semi closed bay beach located in Tahura Ngurah Rai and small island beach located in protected forest of Nusa Lembongan. The research aim is to analyze the relationship between carbon stock characteristics of mangrove forest with the different type and morphology of mangrove forest habitat. Biomass calculations was carried out using the allometric formula, however the similar allometric equations can produce different accuracy at different locations. The calculation of mangrove forest carbon stock for semi closed bay beach habitat has the highest estimation value of 51.35 tons/ha with a positive relationship pattern of 60%, in the other hand, the lowest carbon stock value is in open bay beach is 26.28 tons/ha with positive pattern of relation equal to 48%. This study indicates that each type of mangrove forest habitat has it's own charasteristics to the living ecosystem in it's territory and this affects to the carbon value.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T48431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Marzuki
Abstrak :
Hutan mangrove merupalan ekosistem hutan yang khas terutama karena posisinya sebagai peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem taut. Kondisi lingkungan fisiknya yang sangat khusus menyebabkan ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang terbatas dan ekosistem ini sangat rentan terhadap adanya pengaruh luar terutama karena species biota pada hutan mangrove memiliki toleransi yang sempit terhadap adanya perubahan dari luar. Hutan mangrove di Indonesia saat ini tinggal 3,24 juta hektar (Yayasan Mangrove, 1993). Sulawesi Tengah salah satu propinsi yang memiliki luas hutan mangrove hanya 28.000 ha, namun ancaman untuk eksploitasi menjadi tambak dan kegiatan Iainnya cukup tinggi. Hutan mangrove di Banawa Selatan yang luasnya 1167 hektar pada tahun 1973 dan pada tahun 1998 tersisa 167 hektar. Penurunan jumlah tersebut disebabkan beberapa faktor yakni :
  1. Konversi hutan mangrove
    Kawasan pesisir Banawa Selatan yang ditumbuhi oleh hutan mangrove telah di dikonversi menjadi tambak udang dan ikan bandeng.
  2. Areal Permukiman
    Bertambahnya jumlah penduduk baik karena pertumbuhan alamiah maupun karena migrasi telah mendorong meningkatnya permintaan akan areal permukiman.
  3. Sistem Pertanian
    Sistem pertanian yang dikembangkan di Banawa Selatan sangat variatif mulai dari perladangan berpindah, pertanian menetap, maupun pertanian tambak telah mendorong meningkatnya tekanan terhadap hutan mangrove.
  4. Pengelolaan tataguna lahan
    Pengelolaan tataguna lahan yang tidak memperhitungkan daya dukung dan kesesuaiannya, telah menyebabkan zona lindung pun telah berubah fungsi menjadi areal permukiman dan pertanian.
  5. Perubahan struktur mata pencaharian
    Perubahan struktur mata pencaharian dialami oleh etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde sebagai peladang dan nelayan tradisional menjadi petani tambak, menyebabkan degradasi hutan mangrove terus meningkat.
Kelima faktor tersebut menjadi dasar pertimbangan penulis melakukan penelitian dengan judul Perubahan Pofa Adaptasi Etnik Kaili Dalam Pengelolaan Mangrove, Studi kasus etnik Kalil Data dan Kaili Unde di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesi Tengah. Maksud dilaksanakannya penelitian ini untuk menyusun tesis sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Magister Sain (M.Si) Ilmu Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah urrtuk memperoleh gambaran kaitan antara perubahan pola adaptasi dan degradasi hutan mangrove, serta menghasilkan suatu konsep pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan di Banawa Selalan. Gambaran hubungan perubahan pola adaptasi etnik Kaili dalam pengelolaan hutan mangrove di Banawa Selatan dan pola pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan sebagai berikut :
  1. Hubungan perubahan pola adaptasi dengan eksploitasi hutan mangrove. Eksploitasi hutan mangrove terjadi pada akhir tahun 1970-an dan mencapai puncaknya pada awal 1990-an, ini terjadi karena masuknya kaum migran Bugis, Toraja dan Mandar yang mulai memanfaatkan hutan mangrove sebagai kawasan pemukiman dan areal tambak. Sementara bagi etnik Kaili hutan mangrove adalah kawasan yang terlarang untuk kegiatan pertanian dan permukiman, sebab ada nilai magis yang dikandungnya. Namun akibat proses interaksi dengan kaum migrant, lambat laun etnik Kaili mulai terlibat memanfaatkan hutan mangrove untuk pemukiman dan kegiatan pertanian tambak.
  2. Penabahan pola adaptasi terhadap perubahan fungsi hutan menjadi lahan permukiman.
    Konsepsi etnik Kaili Da'a dan Kaili Uncle yang memagiskan kawasan hutan mangrove untuk kegiatan permukiman berubah, bersamaan dengan masuknya kaum migran Bugis, Toraja dan Mandar yang telah memanfaatkan hutan mangrove untuk perrnukiman tetapi tidak mengalami gangguan apa pun seperti wabah penyakit.
  3. Perubahan pola adaptasi terhadap sistem pertanian. Erik Kaili Da'a dan Kaili Linde adalah peladang dan nelayan tradisional yang cenderung menjauhi hutan mangrove sebagai csmber mata pencaharian.
    Perubahan terjadi saat ini peladang menjadi petani tambak, maka yang terjadi adalah sistem perladangan tebang-bakar ditransformasikan dalam kegiatan pertanian tambak.
  4. Perubahan pola adaptasi dengan pendapatan dan kesejahteraan.
    Berubahnya mata pencaharian dari peladang dan nelayan tradisional menyebabkan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan etnik Kalil Da'a dan Kaili Uncle pada sisi yang lain menjadi faktor penekan yang potensial terhadap eksploitasi hutan mangrove karena meningkatnya pendapatan akan meningkat pula akses modal terhadap hutan mangrove.
  5. Sistem Empang Parit sebagai bentuk pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan.
    Berangkat dari empat fenomena yang tergambar di atas, maka penerapan sistem empang parit, yakni suatu model empang/tambak yang tetap mempertahankan ekosistem mangrove antara 30 -- 70 % peneliti yakin dapat mempertahankan ekosistem mangrove yang ada, serta dapat mempertahankan fungsi daya dukung dari hutan mangrove baik dari sudut fisik ekologis maupun dari fungsi sosial ekonominya.
Berdasarkan temuan tersebut maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
  1. Ekosistem hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian telah mengalami penurunan luasan dari 1167 hektar pada tahun 1973, tersisa 167 hektar pada tahun 1998.
  2. Perubahan lingkungan hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak udang dan bandeng oleh para migran merupakan salah satu faktor perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde. Perubahan pola adaptasi tersebut dalam hal memanfaatkan hutan tidak hanya sebagai sumber bahan ramuan rumah tinggal, namun diolah menjadi areal tambak.
  3. Cara pandang dan persepsi tentang kawasan hutan mangrove yang tidak lagi magis, salah satu faktor perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kaili Unde dari menjauhi kawasan hutan mangrove menjadi memanfaatkan kawasan hutan mangrove untuk pemukiman.
  4. Perubahan pola adaptasi etnik Kaili Da'a dan Kalil Unde juga terjadi pada sistem budidaya perladangan yang berpindah-pindah menjadi petani menetap baik pada sistem budidaya teresterial maupun pada sistem budidaya aquatik.
  5. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan menjadi faktor daya tarik bagi etnik lokal untuk memanfaatkan hutan mangrove yang berasal dari pembagian hak ulayat seluas 2 (dua) hektar, sebagai sumber pendapatan dan ekonomi keluarga.
  6. Untuk mencegah berlanjutnya konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan yang tidak ramah lingkungan, maka penerapan sistem pengelolaan tambak yang ramah Iingkungan mendesak untuk dilaksanakan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan untuk :
  1. Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala perlu segera mendata kembali luas kawasan yang tersisa, selanjutnya mengeluarkan peraturan daerah tentang penetapan kawasan lindung pada kawasan yang tersisa tersebut.
  2. Segera menerapkan sistern budidaya empang parit (silvofishery) pada kawasan yang telah berubah menjadi areal tambak.
  3. Meningkatkan peran lembaga adat bagi masyarakat lokal setempat.
  4. Perlu dilakukan suatu studi antropologis yang Iebih komprehensif, terutama menyangkut nilai dan tradisi masyarakat setempat.

Change in Adaptation Patterns in Mangrove Management.Mangrove forest is a special forest ecosystem due to, mainly, its position as a transition zone between terresterial ecosystem and a marine ecosystem. Its special physical environmental conditions have caused the mangrove ecosystem to possess limited biodiversity. This ecosystem is very susceptible to the presence of external influences, especially since the biota species in the mangrove forest have limited tolerant changes from outside. Mangrove forests in Indonesia currently cover 3,24 million hectares (Yayasan Mangove, 1993). Central Sulawesi is one of the provinces that has mangrove forests, about 28.000 hectares, but exploitation by conversion to fishponds and other activities is quite high. South Banawa had 1167 hectares of mangrove, but when this research was conducted only 167 hectares remained. This decrease is due to some factors as follows :
  1. Conversion.
    The coastal area of South Banawa planted to mangrove forest has been changed into areas of milk fish and shrimp ponds.
  2. Settlement Area.
    Increasing population both naturally and by migration has led to an expansion of settlement area.
  3. Agriculture System.
    The agriculture system in South Banawa including shifting cultivation, permanent cultivation and fish pond culture, has led to increased pressure on the mangrove forest.
  4. Land Use Management.
    Land use management without concern for its carrying capacity has caused the alteration of protected areas into settlement and agriculture areas.
  5. The alteration of livelihood source structure.
    The conversion of the Kaili Da'a and Kalil Unde peoples from field farmer and traditional fishers to fish pond farmers has degraded the mangrove forest significantly.
This research was aimed at descriptively obtaining the relationship between change of adaptation patterns and mangrove forest degradation and to produce a concept of sustainable mangrove forest management for South Banawa. Changes in the adaptation patterns of the Kaili people in mangrove management can be described as follows :
  1. The relationship between changes of adaptation pattern with mangrove forest exploitation :
    The exploitation of mangrove forests has occurred since the end of the 1970's and reached its peak in the early of 1990's. This Is caused by the coming of Bug is, Toraja and Mandar people to South Banawa where they converted mangrove Forest into settlements and fish pond. For the Kalil people the mangrove forest was considered forbidden for any activity including agriculture and settlement However, through the interaction process between them and the newcomer groups they slowly have become involved in converting mangrove forests into settlement and fishpond areas.
  2. Change of adaptation pattern in the change of forest function into settlement area :
    The concept of Kalil Da'a and Kalil Untie people, who originally considered the mangrove forest as a forbidden zone, has changed simultaneously with the coming of Bugis, Toraja and Mandar ethnic groups to South Banawa. These newcomer groups have converted mangrove forests into settlement areas without ever experiencing any problems such as disease epidemics.
  3. Change of adaptation pattern in agriculture systems :
    Kaili Da'a and Kalil Untie people were farmers and traditional fishermen who tended to avoid the mangrove forests as their livelihood source but since they have been influenced by other ethnic groups, from they have converted cut-andbum farming to fishpond culture.
  4. Change of adaptation patterns with income and prosperity.
    Change of livelihood source from farming and traditional fishing has increased their income and prosperity but on the other hand this is a potential pressure factor on the existing mangrove forest.
  5. The application of the ditch-embankment (sllvofishery) system as one type of sustainable mangrove forest management.
    The application of the ditch-embankment system (a model of embankment that maintains 30-70 % of the original mangrove ecosystem) can preserve the existing mangrove ecosystem and its carrying capacity both ecologically or economically.
Based on the research result, it can be concluded that :
  1. Mangrove forest in the research field has decreased its width from 1167 hectares in 1973 into 167 hectares in 1998.
  2. Change of physic environment has caused Kalil Da'a and Kaili Untie people after their adaptation pattern from exploiting mangrove forest as housing materials to becoming fish farmers that converting mangrove forest into open fishpond areas.
  3. The new perspective and perception of Kaili Da'a and Kaili Untie people about the mangrove forest zone, i.e. that the mangrove forest has no magic value, again hs pushed them to convert mangrove forest to settlement areas.
  4. Their relationship with Bugis, Toraja, Mandar and Javanese people since 20 years ago has stimulated the conversions of their cultivation system into fish pond farming in the mangrove forest.
  5. The increase of income and prosperity of Kaili Da'a and Kaili Untie people has raised pressure to exploit the existing natural resource including mangrove forests.
  6. To prevent the exploitation of mangrove forest continuously both by migrants and by local peoples, sustainable mangrove forest management with a ditch-embankment should be applied.
Therefore some suggestions are :
  1. The local government (Donggala Regency) must resurvey existing areas of mangrove forest and then make a regional regulation about protecting this area.
  2. The ditch-embankment system should be applied immediately within fish pond areas.
  3. Increase the role of custom any institutions in the area.
  4. Conduct a comprehensive anthropology study, focused on the culture system, a specially on local environmental knowledge and practices.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T4570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Sudiana
Abstrak :
Ekosistem Hutan Mangrove Segara Anakan terdiri dari berbagai komponen sumber daya alam berupa bentang alam, flora, fauna, dan masyarakat setempat, komponen itu satu dengan lainnya berinteraksi membentuk satu kesatuan ekosistem. Saat ini, ekosistem hutan mangrove tersebut mengalami tekanan dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari berupa pengambilan sumber daya hutan mangrove seperti flora dan fauna. Untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan tersebut maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekoturisme merupakan salah satu alternatif program yang dapat diterapkan. Permasalahannya adalah apakah ekosistem hutan mangrove Segara Anakan memiliki sumberdaya dan lingkungan untuk pengembangan ekoturisme? Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi obyek dan daya tarik ekoturisme, persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat setempat, aksesibilitas dan sarana prasarana, lembaga pengelolaan, faktor internal dan eksternal, dan merumuskan strategi pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan. Metode yang digunakan adalah adalah metode kualitatif dan desknptif dengan jenis studi kasus. Analisis pengembangan menggunakan analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT). Data dikumpulkan melalui studi literatur, observasi, dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Hasil-hasil dari penelitian adalah: 1. Pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan telah sesuai dengan arahan pembangunan nasional yang diimplementasikan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004. Pada kebijaksanaan tingkat daerah pengembangan kegiatan ekoturisme telah sesuai dengan kebijaksanaan daerah yang dijabarkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Segara Anakan Kabupaten Cilacap tahun 1999/2000-2009/2010. 2.Ekosistem hutan mangrove Segara Anakan memitiki potensi sumber daya alam berupa bentang alam, flora, fauna dan kegiatan sosial ekonomi sebagai obyek dan daya tarik ekoturisme. 3.Kegiatan ekoturisme yang dapat dilakukan di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan meliputi memancing, menikmati bentang alam, pengamatan burung, pengamatan vegetasi hutan mangrove. 4.Sebagian besar responden (97%) menyatakan setuju terhadap rencana pengembangan ekosistem hutan mangrove bagi kegiatan ekoturisme. Peran serta yang diinginkan secara berurutan adalah kegiatan usaha makanan dan minuman, menyewakan perahu, pemandu wisata, usaha penginapan dan menjadi pegawai kantor pengelola; 5.Sarana dan prasarana pengelolaan serta pelayanan pengunjung yang dibutuhkan untuk pengembangan ekoturisme saat ini belum memadai; 6.Segara Anakan memiliki tingkat aksesibilitas yang baik melalui jalur penyeberangan yang menghubungkan wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. 7.Lembaga pengelolaan untuk pengembangan ekoturisme di Ekosistem Hutan Mangrove Segara Anakan belum tersedia. 8. Faktor internal dan Eksternal pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan adalah: ?Kekuatan terdiri dari : keanekaragaman jenis dan kelimpahan ikan, keindahan bentang alam, keanekaragaman jenis dan perilaku fauna, struktur vegetasi dan keanekaragaman jenis flora, dan tanggapan positif masyarakat setempat. ?Kelemahan terdiri dari : lembaga pengelola belum ada, fasilitas pengelolaan dan pelayanan pengunjung belum ada, dan tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat setempat masih rendah. ?Peluang terdiri dari : arah kebijaksanaan di tingkat nasional dan daerah sudah ada, Segara Anakan sebagai koridor pariwisata di antara obyek wisata di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sarana transportasi ke lokasi memadai. ?Ancaman terdiri dari : tingginya tingkat sedimentasi di perairan Segara Anakan, tekanan masyarakat di luar terhadap hutan mangrove. 9. Strategi yang diusulkan untuk pengembangan ekoturisme meliputi penanganan sedimentasi, pengembangan peran serta masyarakat setempat, pengembangan obyek dan daya tank ekoturisme, pengembangan sarana dan prasarana ekoturisme, dan pengembangan lembaga pengelolaan. Saran-saran dari penelitian ini adalah: 1.Keberhasilan pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan sangat ditentukan oleh keutuhan dan keaslian hutan mangrove di lokasi Segara Anakan. Oleh karena itu program perlindungan dan pelestarian ekosistem hutan mangrove harus dilakukan terus-menerus, yaitu program penanganan sedimentasi dan program pengembangan peran serta masyarakat; 2.Program penanganan sedimentasi disarankan melalui dua pendekatan yaitu menurunkan tingkat erosi di daerah hulu Sungai Citanduy dan mengurangi proses sedimentasi di perairan Segara Anakan. Untuk merealisasikannya perlu kerjasama yang kuat antara Pemda Jawa Banat dan Jawa Tengah; 3.Program peran serta masyarakat setempat dalam ekoturisme disarankan melalui dua pendekatan yaitu pengembangan peran serta secara aktif berupa pelibatan masyarakat setempat pada setiap tahapan kegiatan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengelolaan dan evaluasinya. Pengembangan peran serta secara pasif dilakukan melalui program pendidikan dan latihan, pembinaan, dan pendampingan pada aspek pelestarian hutan mangrove dan bidang-bidang usaha makanan dan minuman, penginapan, pemandu, dan jasa wisata lainnya. 4. Penelitian ini ditekankan pada masalah potensi kawasan sebagai obyek dan daya tarik ekoturisme. Untuk menyempurnakan kajian pengembangan dari aspek pemasaran dan promosinya maka perlu adanya penelitian lanjutan mengenai potensi pasar terhadap upaya pengembangan ekoturisme di ekosistem hutan mangrove Segara Anakan. Daftar Kepustakaan: 56 (1971.2000)
Study of Ecotourism Development in A Mangrove Forest Ecosystem (A Case Study of the Segara Anakan Mangrove Forest Ecosystem, Cilacap, Central Java).The Segara Anakan mangrove forest ecosystem consists of several natural resources components, i.e. flora, fauna, local people, land, terrestrial and water landscape, which interacted with one another as one ecosystem. Recently, it has been exploited by people surrounding the ecosystem to fulfill their basic needs. Increasing local people's income is an alternative solution to prevent mangrove forest ecosystem degradation. This could be achieved by the application of ecotourism concepts. The problem faced is whether The Segara Anakan mangrove forest ecosystem has the resources and environment necessary for the development of ecotourism. The purpose of this study was to identify tourism potential and natural resource attractions, perceptions and level of participation of the local people, accessibility and facilities, management institutions, internal and external factors, and the formulation of ecotourism development strategy for the Segara Anakan mangrove forest. Qualitative and descriptive methods were used in the research which was a case study. Analysis used a SWOT approach.. Data were collected using three techniques: literature review, observation or fieldwork, and in depth interviews with local people. The study showed that: 1.Segara Anakan ecotourism development is consistent with the State Development Policy that was included in the National Development Program (PROPENAS) for 2000-2004, At the local government policy level it is supported by The Segara Anakan Spatial Plan for 199912000-2009/2010. 2.The Segara Anakan mangrove forest ecosystem has environment and natural resources, including, landscape, flora, fauna and socio-economic activities as object potential attraction. 3.Ecotourism activities that would be carried out in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem include fishing, enjoyment of the landscape, bird watching, and mangrove forest vegetation observation. 4.Most of the people interviewed (97%) agreed with planning for Segara Anakan mangrove forest ecosystem development for tourism. Therefore they want to participate; by opening drink and food shops, restaurants, fishing and working as recreation guides, renting boats, cottage, and working as management staff. 5.Management and visitors facilities that are needed for ecotourism development have not yet been provided in the location. 6.Segara Anakan has a high level of accessibility due to its location on the route between West Java and Central Java. 7.Management Institutions that are needed for ecotourism development have not yet been provided in the location. 8.The internal and external factors of the ecotourism development in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem are : ? Strengths include: species diversity and abundance of fish, landscape beauty, species diversity and behavioral of fauna, vegetation structure and species diversity of flora, and positive response from the local people.  Weaknesses include: lack of management institution, unavailability of management and visitors facilities, and the low education level of the local people.  Opportunities include: the availability of policy direction at the National and regional level, the location of Segara Anakan on the route between tourism destinations in West Java and Central Java, and the availability of local transportation facilities.  Threats include: The high level of sedimentation in the Segara Anakan waters, and external community pressure on the mangrove forest. 9. The strategies proposed for the development of ecotourism include sedimentation management, development of local people?s participation, development of natural resources and other attractions, development of ecotourism facilities, and development of management institutions. Recommendations of the research include: 1. The success of ecotourism development in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem will strongly depend on the integrity, uniqueness and condition of mangrove forest ecosystem in Segara Anakan. Therefore, its protection and preservation has to be done continuously through sedimentation management program and development of indigenous people participation program. 2.The proposed approach for sedimentation management includes reduction of erosion levels in the upland area of The Citanduy River Basin and reduction of sedimentation process in the Segara Anakan waters. The implementation should be conducted through strong collaboration with local Governments of West Java and Central Java. 3.The proposed approach for the development of local peoples participation includes the development of active participation of local people in every step of the activity from planning, to implementation, management and evaluation step. Development of passive participation will take place education and training, coaching and assistance in mangrove forest conservation and also in the area of food and drinks, accommodation, guiding and other tourism services. 4.The study focuses on the identification of problems related to ecotourism attraction. A complete study of the whole area of ecotourism has to include marketing and promotion aspects; therefore a study of the potential of the market for ecotourism development in the Segara Anakan mangrove forest ecosystem is also required. References: 56 (1971-2000).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T8593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamakaula, Yohanes
Abstrak :
Salah satu kekayaan sumberdaya hayati Indonesia adalah hutan mangrove. Provinsi Papua memiliki 77,1% dari seluruh luasan hutan mangove di Indonesia. Kota Sorong dan Kabupaten Sorong adalah dua wilayah yang terdapat di provinsi tersebut, yang memiliki hutan mangrove seluas 10.354 km2. Kawasan hutan mangrove di wilayah ini semula dimanfaatkan oleh masyarakat setempat secara subsistem. Selaras dengan perkembangan penduduk dan pembangunan serta perubahan corak ekonomi masyarakat, maka kawasan ini mendapat tekanan yang cenderung semakin meningkat, dengan meningkatnya permintaan terhadap hasil-hasil kawasan hutan mangrove baik berupa kayu maupun non kayu. Namun pengambilan hasil hutan mangrove tersebut menunjukkan tendensi lebih cepat daripada kemampuan regenerasinya. Kondisi ini dalam j angka waktu tertentu, akan menimbulkan dampak negatif yang semakin meluas bagi kawasan ekosistem hutan mangrove setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi masyarakat setempat dengan- kawasan hutan mangrove, ketergantungan ekonomi masyarakat setempat dan faktor sosial ekonomi masyarakat sebagai pemicu terhadap pemanfaatan kawasan hutan mangrove. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai informasi ilmiah dan sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan perencanaan pengelolaan lingkungan. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan studi kasus. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara dengan responder sebanyak 60 KK. Penelitian dilaksanakan sejak bulan September-Desember 2003 di Kelurahan Remu Selatan, Kota Sorong dan tiga kampung di Kabupaten Sorong yakni; Kampung Konda, Wersar dan Seyolo. Analisis data yang digunakan adalah tabulasi, uji Chi Square dan koefisien kontingensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tentang kawasan hutan mangrove 43,33 % menyatakan agak rusak dimana kerusakan tersebut 65,% disebabkan oleh manusia. Hasil tangkapan masyarakat terutama ikan dan kepiting mengalami penurunan. Masyarakat setempat/lokal masih menghormati lingkungan alam karena kehidupannya tergantung pada alam sekitarnya/kawasan hutan mangrove. Interaksi masyarakat lokal dengan kawasan hutan mangrove 50,% tergolong dalam kategori sedang. Faktor sosial ekonomi seperti jumlah tenaga kerja keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan formal, dan pasar memiliki nilai hitung lebih tinggi daripada nilai tabel X2. Sedang fait-tor jumlah anggota keluarga dan keari.fan tradisional nilai hitungnya lebih rendah daripada nilai tabel X2. Kesimpulan hasil penelitian adalah; (1) Interaksi masyarakat di Kota Sorong dan Kabupaten Sorong terhadap kawasan hutan mangrove tergolong sedang; (2) Perekonomian masyarakat lokal masih tergantung pada kawasan hutan mangrove yang ada di sekitar tempat tinggalnya; (3) Ketergantungan perekonomian masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan hutan mangrove terbagi menjadi tiga yakni; (a) ketergantungan terbatas (Kota Sorong); (b) ketergantungan penuh (Kabupaten Sorong); dan (c) tidak mempunyai ketergantungan (Kepulauan Raja Ampat) dan (4) Jumlah tenaga kerja keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan formal, dan pasar memiliki dependensi terhadap interaksi masyarakat dengan hutan mangrove. Sedang jumlah anggota keluarga dan kearifan tradisional tidak memiliki dependensi terhadap Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan mangrove.
Interaction of People with Mangrove Forest Areas (Case Study in Sorong Town and Sorong Regency of Papua Province)One of the richness of Indonesia's biological resources are the mangrove forests. Papua Province has 77.1% of all mangrove forest in Indonesia. Sorong Town and Sorong Regency are two areas existing in the said province, having mangrove forests as large as 10,354 km2. Mangrove forests in this area initially were used by the local people for their subsistence. In line with the progress of population and development as well as changes on the economic pattern of the people, this area is incurred with pressure and then tend to increase caused , by the increased on demands for the mangrove forest products such as wood or non-wooden products. Nevertheless the taking of the said mangrove forest products showed a faster tendency beyond the regenerating capability of mangrove. This condition at certain periods of time, will result in the widening the negative impacts to the local mangrove forest ecosystem. This research aims at a study of the interaction of the local people with the mangrove the forest area. Studied the economic dependency of the local people on the mangrove forests and the social economic factors of the people, as triggerred by the use of mangrove forest areas. The benefits expected from this research is scientific information and as the substance of consideration for the local government in making policies for regional planning and environmental management. This research is descriptive and uses the case study approach. The data collecting techniques used questionnaires and interviews to 60 KK (head a families).respondents. This research was carried are since the month of September to December 2003 at kelurahan/sub-district of Remu Selatan, the town of Sorong and three villages in the Sorong Regency being: Konda, Wersar and Seyolo. The data analysis studied used tabulations, Chi- square test and contingency coeficient. The research results show that 44.33 percent of the respondents had perception on mangrove forests, being sufficiently damaged; where of 65.00 percent the said damage was said to be the result of human being using carelessly of the surroundings. The results of people's catch ( especially fish and prawns) is decrease. The local people still respect the natural environment because their lives depend on the natural surrounding mangrove forest area. The interaction of the local people with the mangrove forest area 50.00 percent is categories on medium. The social economic factor such as the number of family workforce, family income, formal education and market, have been calculated valued as higher than the value of table X2. As for the factor on the number of the family members and traditional wisdom, this study calculated the value give by the respondent is lower than the value in the table X2. The conclusions as a result of the study are; (1) Interaction of the people in town of Sorong and Sorong Regency towards the mangrove forest has to be categorized as medium; (2) Economic the local people depend on the mangrove forest area existing around their homes; (3) The economic dependency of the local people living around the mangrove forests is divided into three categories being; (a) limited dependency (town of Sorong); (b) full dependency (Sorong Regency); and (c) not at all dependent (Raja Ampat/Four Kings Islands); (4) The number of a family workforce, family income, formal education and market influence the interaction of people with their mangrove forests. As for the number of family members and traditional wisdom there seems to be no influence on the interaction of people with mangrove forest areas.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11927
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuapattinaja, Maureen A.
Abstrak :
Penelitian mengenai Polychaeta di hutan mangrove, perairan Teluk Kotania, Seram Barat telah dilakukan pada bulan Februari 1996. Dari sampel yang telah dikumpulkan diketahui bahwa di lokasi Teluk Kotania terdapat 40 jenis Polychaeta yang digolongkan ke dalam 36 marga dan 13 suku. Dua jenis di antaranya mempunyai frekwensi kehadiran yang tinggi yaitu Pulliella sp dan Armandia intermedia masing-masing (89%). Rata-rata kepadatan individu Polychaeta di lima lokasi berkisar antara 12.102 individu/m3 - 21.307 individu/m3 , keanekaragaman jenis berkisar antara 2,44 - 3,78 dan kemerataan jenis berkisar antara 0,56 - 0,78. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis di lima lokasi penelitian sangat ditentukan oleh kontribusi Pulliella sp dan Armandia intermedia. Hasil pengukuran terhadap faktor fisik lingkungan diperoleh kisaran nilai rata-rata salinitas 22,50/00 - 27°loo; suhu 29,5°C - 31°C dan pH 7,8 - 8,4. Sedangkan hasil analisis terhadap tekstur sedimen menunjukkan bahwa umumnya lokasi penelitian bersubstrat pasir sangat kasar, kecuali Pulau Burung didominasi oleh pasir sedang. Hasil analisis cluster dan analisis diskriminan di lima lokasi membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri atas Pulau Tatumbu dan Pulau Burung, sedangkan kelompok II terdiri dari Pelita Jaya 2, Pulau Buntal, dan Pelita Jaya I. Pengelompokan tersebut berdasarkan kepadatan jenis dan substrat. Janis Polychaeta yang menyebar pada jarak 0 - 45 m adalah Armandia intermedia, Pulliella sp dan Aphelia sp. Hasil analisis koresponden mendapatkan bahwa pengelompokan terbentuk berdasarkan kepadatan dan spesifikasi jenis di lokasi tertentu.
Polychaeta is a group of invertebrates which is important in the marine food chain, particularly for demersal fishes, shrimps, and crabs. Polychaeta lives in various habitats, in muddy, sandy, and stony bottoms. Information about Polychaeta in Indonesian waters, especially in Maluku waters, has not yet been known well. Based on those fact, a research on the community structure and distribution of Polychaeta of mangrove forest in the waters of Kotania Bay was conducted in February 1996. Samples were collected from five stations using a transect method. The aim of the study was to find out the relationship of Polychaeta community structure with the environmental factors in Kotania Bay. The distribution of Polychaeta of mangrove forest in Kotania Bay was also studied. Hopefully, the results of this study can be used as basic information for futher research. During the study, 40 species of Polychaeta belonging to 36 genera of 13 families were collected from the locality. Two species showed high frequency of occurrence (89%), i.e. Pa/lie/la sp and Armandia infermedia. This indicated that the two species were common and distributed more widely than the others. The highest' density of Polychaeta was in Burung Island (21.307 indlm3) and the lowest was in Pelita Jaya 1 (12.102.ind/m3). The highest density of Polychaeta in Burung Island was mainly due to the highest density of Pulliella sp, Armandia intermedia, and A. lepfocirrus. The highest diversity and evenness indeces of Polychaeta species were found in Buntal island. Tatumbu Island and Burung Island had the highest similarity index. The water conditions of Kotania Bay showed that salinity ranged from 22,5°100 to 27°1°0, temperature ranged from 29,5°C to 31°C, and pH varied between 7,8 and 8,4. Substrates mostly contained sand with the very high percentage of very coarse sand. Cluster analysis divided the five station into two groups : Group 1, defined by Tatumbu Island and Burung Island, and Group II, defined by Pelita Jaya 2, Buntal Island, and Pelita Jaya 1. Discriminant analysis also divided the stations into two groups. Medium sand in the substrat was responsible in separating the five stations into two different communities. Factorial Correspondence Analysis (CA) classified the species of Polychaeta into four group based on species densities and specification of species in the location.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
T9331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suri Nurul Alida
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai biomassa dan cadangan karbon hutan magrove, nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove, dan untuk mengidentifikasi kontribusinya terhadap masyarakat di kawasan ekosisten hutan mangrove serta untuk menganalisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan potensi hutan magrove di Gampong Kuala Langsa, Kabupaten Langsa Barat, Kota Langsa, Aceh. Penelitian ini dilakukan pada November 2016 sampai dengan Februari 2017. Cadangan karbon dihitung dengan menggunakan persamaan alometrik umum untuk tanaman mangrove. Nilai ekonomi total diterapkan untuk memperkirakan nilai ekonomi berdasarkan manfaat ekosistem hutan mangrove. Hasil penghitungan kandungan karbon diketahui bahwa ekosistem hutan mangrove Kuala Langsa menyimpan 1.119.791,32 ton C/ha, dengan 99 cadangan karbon tersimpan di dalam tanah. Hasil perhitungan nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove Kuala Langsa didapatkan nilai sebesar Rp.233.917.708.451 ndash; Rp.309.475.627.768 per tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa interpretasi skor tingkat persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan potensi hutan mangrove tergolong sangat baik 81,78, yang artinya masyarakat sudah sangat memahami manfaat akan keberadaan hutan mangrove dan pentingnya hutan mangrove karena fungsi ekosistemnya dan ketergantungan masyarakat terhadap hasil sumberdaya alamnya, seperti ikan, tiram, kerang, kepiting, dan udang guna kepentingan pasar dan konsumsi pribadi.
The purpose of this study is to estimate the economics value of mangrove forest ecosystem, and to identify its contribution to the society and to analyze local people rsquo s perception on the excistence and the potential of mangrove forest ecosytem in Gampong Kuala Langsa, District of West Langsa, Langsa City, Aceh. This study has been conducted in November 2016 until February 2017. The calculation of carbon content is known Kuala Langsa mangrove ecosystem which is maintained 1,119,791,32 ton C ha. The method of economic valuation was applied to estimate the economic value based on the benefits of mangroves forest ecosystem. The calculation result of economic value of mangrove forest ecosystems was about Rp.233.917.708.451 Rp.309.475.627.768 per year. The result of community perception analysis shows that the perception of public perception score on the existence and potential of mangrove forest is very good 81,78 . This mangrove forest ecosystem also has a large contribution to the community in this area as residential areas and sources of income such as oysters, shellfish, crabs, and shrimp. They were already aware the importance to protect mangrove forests because of its ecosystem function as land protection and their dependency on the natural resources potential of mangrove ecosystem, such as oysters, clams, crabs, and shrimps for market purpose or private consumption.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T50270
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
The ecological role of mangrove ecosystem is economically, socially and physically, highly significant. Despite the many benefits provided by mangroves, they tend to be under intense pressure from competing resource used by local vullagers, in particular, as firewood, or charcoal. The ecosystem is typically crucial, hence the benefits and values need to identify and estimate economically. The objectives of this research are: (1) to identify economic values of mangroves based on ecosystem benefits; and (2) to estimate total economic value (TEV) of "use-value" and "non-use value" of mangroves. The method of economic valuation was applied to estimate TEV based on the benefits of mangroves ecosystem (direct-use value, indirect-use, option use, and existence use values). Results of this research are as follows. (1) Functions and benefits of the mangrove ecosystem in the village of Tawiri Consisted of direct-use (fuel wood collection for the subsistence needs of local villagers, wild animals used by humans for subsistence purposes, near by fishing activities); indirect-use (natural barrier to shoreline erosion, highly nutritious food source for animals in the mangrove area), option use (biodiversity bnfits), and existence use (WTP). (2) The TEV of mangrove was Rp 24,887,887 per year, consisting of direct-use value of Rp 11,299,500 per year (45.40%), indirect-value of Rp 9,098,077 per year (36.56%), exixtence value of Rp 4,083,750 per year (16.41%) and optionvalue of Rp 406,560 per year (1.63%).
JUORMAN
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>