Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugit Nugraha
"Latar Belakang
Kebisingan dalam suatu industri merupakan masalah dalam lingkungan kerja yang bisa menyebabkan gangguan pendengaran ( auditory ) dan di luar pendengaran ( non auditory ). Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa kebisingan bisa meningkatkan risiko hipertensi.
Metode
Disain studi komparatif cross sectional dengan membandingkan dua kelompok yaitu kelompok pajanan bising (> 85 dB ) dan non bising ( < 85 dB ) di plant 3-4 Fri", Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2004.
Hasil
Dengan jumlah sampel masing-masing 100, didapatkan sebanyak 13% menderita hipertensi pada pekerja non bising, sedang pada pekerja yang terpajan bising 30% (lebih dua kali lipat daripada yang non bising). Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah kebisingan (OR 2,2 Cl 1,4 - 5,9), indek masa tubuh (OR 2 CI 1,2 - 9,1) dan faktor pemakaian APD (OR 3,6 CI 1,4 - 9,5). Faktor usia, masa kerja, kebisaan hidup ( merokok, minum alkohol dan olahraga ) tidak terbukti berhubungan dengan tekanan darah.
Kesimpulan
Kebisingan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi. Pengetahuan tidak berhubungan dengan perilaku pemakaian APD. Pekerja yang tidak memakai APD mempunyai risiko 3,6 kali terkena hipertensi daripada yang memakai APD_Pemakaian APD dianjurkan mulai pada intensitas suara 65 dB dan pemeriksaan tekanan darah para. pekerja yang terpajan bising dilakukan 6 bulan sekali.

Background
The noise in industrial are the problem of work-environment that cause the hearing loss (auditory) and non auditory problem. Many research showed that the noise increased risk of hypertension.
Method
The research design was a compararative cross sectional study of group with high exposure of noise ( > 85 dB ) and group with low exposure of noise ( < 85 dB) in 34t plant of PT"I".
Result
The number of sample are 100, prevalence of hypertension was 13 % on worker at low exposure of noise, but prevalence of hyppertension was 30% on worker at high exposure (twice more than low exposure of noise). Statistical test showed a significant relationship between hypertension and high exposure of noise (OR 2,2 CI 1,4 - 5,9), body mass index (OR 2,0 CI 1,2 - 9,1), used ear protection (OR 3,6 CI 1,4 - 9,5). There was not a significant relationship between hipertension and age, work period, habit (alkoholism, smoking and sport).
Conclusion
High exposure of noise in environment is a risk factor of hipertension. Knowledge and using ear protection has no relationship in this study. Worker not using ear protection will have a 3.6 risk to hypertension. Recommendation to use ear protection at sound pressure level 65 dB and blood pressure examination each 6 month is needed for worker who are high exposure of noise.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 13649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Baktiansyah
"Ruang lingkup dan metodologi.
Telah banyak bukti yang menggambarkan dampak buruk dari kebiasaan merokok. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa kebiasan merokok mungkin berhubungan dengan gangguan pendengaran, hal yang umum terjadi pada usia tua. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan melibatkan total populasi pekerja di tempat penelitian. Peserta penelitian adalah 118 dari 142 (83.10%) orang pekerja di lokasi kerja dari PT-X, dengan rentang usia 23 - 56 tahun.
Wilayah penelitian ini mempunyai latar belakang bising 60 - 70 dB, masih lebih rendah dari nilai ambang batas bising 85 dB untuk 8 jam kerja. Paparan dialami pekerja selama 24 jam seharinya dalam waktu dua minggu kerja. Ditetapkan bahwa gangguan pendengaran adalah rata-rata nada murni pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz, yaitu lebih besar dari 25 dB pada telinga yang terburuk hasilnya. Data didapatkan dari hasil pemeriksaan kesehatan berkala tahun 2003, termasuk hasil audiogram, informasi kebiasaan merokok dan faktor risiko lainnya. Regresi log istik digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan gangguan pendengaran.
Hasil dan Kesimpulan.
Dari populasi penelitian, 58 orang (49.2%) adalah perokok dari segala klasifikasi berdasarkan indek Brikmann, dan 45 orang (38.1%) mempunyai tingkat pendengaran lebih dari 25 dB. Setelah dilakukan analisis multivariat, perokok dengan klasifikasi sedang-berat mempunyai risiko 5.4 kali lebih besar dibandingkan dengan perokok ringan (95% confidence interval, 1.50 - 19.28 dan p = 0.007). Di samping itu, beberapa faktor risiko lainnya mempunyai hubungan yang berrnakna dengan gangguan pendengaran, yaitu faktor usia (OR=38.808, 95% confidence interval 3,84 - 392.7 dan p = 0.002) dan indek masa tubuh (OR=2.90, 95% confidence interval 1.12 - 7.52 dan p = 0.028). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa merokok, terutama sedang-berat memainkan peranan panting dalam terjadinya gangguan pendengaran.

Scope and methodology.
Evidence was accumulated concerning the adverse effects of smoking habits. Studies have suggested that cigarette smoking may be associated with hearing loss, a common condition affecting older adults. This study was population-based and retrospective. The selected participants were 118 from 142 (83.10%) workers of PT-X who ranged in age from 23 to 56 years. This area has background noise of 60 - 70 db, lower than 85 dB TLV (8), Exposure to these noise levels was for 24 hours a day during a two-week period. Hearing loss was defined as a pure-tone average (500, 1000, 2000 and 4000 Hz) greater than 25 dB hearing level in worse ear. Data used were derived from periodic health examinations in 2003, including audiometry testing, information on smoking habits, and other risk factors. Logistic regression was used to examine the association among all risk factors and hearing loss.
Results and Conclusion.
We found that 58 workers (49.2 %) were smokers from any classification based on the Brikrnann index, and 45 workers (38.1 %) had a hearing level of more than 25 dB from audiogram. After conducting multivariate analyses, current smokers classified as moderate-severe, were 5.4 times more likely to experience hearing loss than mild smokers (95% confidence interval, 1.50 -19.28 and p = 0.007).
In addition, several risk factors were also directly related to hearing loss, such as age (OR=38.808, 95% confidence interval 3.84 - 392.7 and p = 0.002) and body mass index (OR=2.90, 95% confidence interval 1.12 - 7.52 and p = 0.028). From this study it was concluded that smoking, especially to a moderate-severe degree, may play a significant role in hearing loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Sofrina
"Latar Belakang dan Tujuan
Berbagai masalah kesehatan telah diketahui sebagai dampak dari kerja gilir dan stres kerja. Pabrik semen merupakan salah satu industri yang menerapkan kerja gilir bagi karyawannya untuk meningkatkan produktivitas. Di pabrik semen keluhan camas dan tegang ditemukan pada pekerja gilir. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kerja gilir dengan stres kerja dan faktor-faktor lain yang juga dapat mernpengaruhi stres kerja.
Metode
Penelitian menggunakan disain potong melintang dengan analisis perbandingan internal. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi responden, karakteristik lingkungan kerja dan pengukuran stres kerja dengan kuesioner survai diagnosis stres.
Hasil
Dari 160 orang responden yang terdiri dari 80 orang pekerja gilir dan 80 orang bukan pekerja gilir didapatkan prevalensi stres kerja sebesar 73,25% pada pekerja gilir dan 52,5% pada bukan pekerja gilir. Terdapat hubungan yang bermakna antara kerja gilir dan stres kerja (p= 0,01; OR 2,5; 95% CI 1,3-4,9). Konflik peran merupakan stresor kerja yang dominan (p=0,025; OR 27,8). Bising kerja secara bermakna berhubungan dengan timbulnya stres kerja pada pekerja gilir(p-0.04; OR 2,3)
Kesimpulan
Kerja gilir berhubungan bermakna dengan timbulnya stres kerja (OR 2,5; 95% CI 1,3-4,9). Prevalensi stres kerja pada pekerja gilir lebih tinggi daripada bukan pekerja gilir. Konflik peran merupakan sires kerja dominan (OR 27,8). Rising kerja berhubungan bermakna dengan stres kerja (OR 2,3).

Analysis of the Relationship Between Shift Work and Job Stress Among Male Worker At Cement Factory "X" in West JavaBackground and Objectives
Various health problems have been known as the impact of shift work and job stress. Cement factory represent one of the industry applying shift work to its employees to increase productivity. In this cement factory, anxiety and tense complaints found at shift workers_ Therefore, the objectives of this study is to identify the relationship between shift work and job stress, and other factors that can also influence job stress.
Methods
This study used a cross sectional design with internal comparative. The data collected were respondent's characteristic of sociodemography, work environment's characteristic, measurement of job stress by using survey diagnostic stress questionnaire.
Results
Among the 160 respondents, consisting at 80 shift workers and 80 non shift workers, revealed that the prevalence of job stress is 73,8% at shift workers and 52,5% at non shift workers. There is a significant correlation between shift work and job stress (p),001; OR 2,5; 95% CI 1,3-4,9). Role conflict is a dominant job stressor (p-0,025; OR 27,8). Working noise is the work environment's characteristic that has a significant relationship to job stress at shift workers (p=0,04; OR 2,3),
Conclusion
Shift work was relation to the occurence of job stress (OR 2,5; 95% CI 1,3-4,9). Shift work's prevalence of job stress is higher than non shift work's. Role conflict is a dominant job stressor (OR 27,8). Working noise has a significant relationship to job stress (OR 2,3).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T 13639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harefa, Tetty Ernawati
"Tujuan: Mengetahui kadar vitamin E plasma, malondialdehida plasma dan kebiasaan merokok pekerja laki-laki. Hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar memperbaiki pola hidup untuk menurunkan risiko aterosklerosis pada perokok dan bukan perokok.
Tempat: PT. Nasional Gobel - Bogor Jawa Barat.
Metodologi: Penelitian dengan desain cross sectional pada 115 pekerja laki-laki, yang merokok dan tidak merokok, berusia 20-55 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan, dan terpilih secara simple random sampling, menggunakan tabel bilangan acak. Data yang dikumpulkan meliputi : umur, pendidikan, penghasilan, IMT, persentase lemak tubuh, asupan lemak, asupan serat, asupan vitamin E, kadar vitamin E plasma dan MDA plasma.
Hasil: Median kadar vitamin E plasma subyek yang tidak merokok [24,76 (I8,89-50,61) μmol/L] lebih tinggi dari subyek yang merokok [23,80 (12,25-38,14) μunol/L]. Median kadar MDA plasma subyek yang tidak merokok [0,61 (0,22-4,75) nmol/mL] lebih rendah dari subyek yang merokok [0,68 (0,32-3,01) nmol/mL]. Tidak didapat hubungan yang bermakna (p > 0,05) antara asupan vitamin E, kadar vitamin E plasma, kadar MDA plasma dengan kebiasaan merokok. Terdapat korelasi positif yang bermakna (p < 0,05) antara IMT (r = 0,28), persentase massa lemak tubuh (r = 0,25) dengan kadar vitamin E plasma. Didapatkan korelasi negatif yang sangat lemah (r = -0,11) antara kadar vitamin E dengan MDA plasma pada subyek penelitian yang tidak merokok dan pada subyek yang merokok hampir tidak didapat korelasi (r = -0,07) dan tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar vitamin E plasma dengan kadar MDA plasma pada pekerja laki-laki yang tidak merokok dan yang merokok.

Objective: To study plasma vitamin E concentration, MDA concentration and smoking habit male workers. The results are expected to be used as one of the basis to enhance life pattern, and to decrease the risk of atherosclerosis.
Place: PT. National Gabel Bogor, West Java.
Method: A cross sectional study was carried out among 115 male smoking workers and non smoking workers, age 20-55 years old, who fulfilled the inclusion and exclusion criteria selected by simple random sampling using random table. Data collection consist of age, education, income, body mass index, fat mass percentage, fat intake, vitamin E intake, plasma vitamin E and MDA concentrations.
Results: Median of plasma vitamin E concentration among non smokers was higher [24,76(18,89-50,61) μmol/L] than smokers [23,80(12,25-38,14) μmol/L]. While median of plasma MDA concentration among non smokers [0,61(0,22-4,75) μmol/L] was lower than smokers [0,68(0,32-3,01) μmol/mL]. There were no significant relationship (p>0,05) between vitamin E intake, plasma vitamin E concentration, plasma MDA concentration and smoking. There were significant (p<0,05) positive correlation between body mass index (r=0,28), fat mass percentage (r=0,25) and plasma vitamin E concentration. Weak negative correlation was found between plasma vitamin E and MDA concentration.
Conclusions: There was weak negative correlation but not significant between plasma vitamin E and MDA concentration in smoking workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rahayu Sudiman
"Batas kemampuan angkut mengangkut berat beban merupakan salah satu contoh dari sekian banyak sistem kerja yang masih perlu diperhatikan. Granjean (1985) menganjurkan berat beban angkut 50-60 kg. Sedangkan ILO (1985) memuat nilai ambang batas angkut dari banyak negara dengan berat bervariasi. Berat beban angkut yang banyak beredar dimasyarakat saat ini rata-rata tiap karung sekitar 100 kg. dimana hal ini melewati batas kewajaran. Yang mendorong dilakukan penelitian ini adalah sampai sekarang Indonesia belum mempunyai nilai ambang batas berat beban angkut, agar supaya para pekerja dapat terlindungi kesehatan kerjanya dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam rangka meningkatkan produktifitas dan prestasi kerja bangsa.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan berat beban angkut yang serasi dengan kemampuan kerja fisik tenaga kerja laki-laki serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ditemukannya berat beban angkut akan merupakan langkah penting dalam penerapan ergonomi dalam sistem kerja angkut. Penelitian ini dilakukan di kawasan pergudangan beras Depot Logistik Jakarta Raya dengan dasar pertimbangan tingginya intensitas pekerjaan mengangkut baik dari gudang ke truk maupun sebaliknya. Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental Design. Pengolahan dan analisa data univariat, bivariat dan multivariat menggunakan program komputer SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan angkut optimal tenaga kerja laki-laki di Dolog Jaya adalah 58,12 kg. Dari analisa bivariat diketahui umur, status gizi, kesegaran jasmani berpengaruh terhadap kemampuan angkut optimal, sedangkan merokok tidak berpengaruh yang dalam hal ini kemungkinan disebabkan sampel hampir homogen. Dari analisa multivariat ternyata hanya umur dan status gizi yang berpengaruh terhadap kemampuan angkut optimal, setiap kenaikan umur 1 tahun diikuti penurunan kemampuan angkut optimal sebesar 0,09 kg dan setiap kenaikan nilai status gizi 1 kg/m2 diikuti kenaikan kemampuan angkut optimal sebesar 0,98 kg. Status gizi pengaruhnya paling dominan diantara variabel independen lainnya (Beta= 0,279032). Garis regresi dapat menerangkan 44% dan variasi variabel. Untuk menentukan nilai ambang batas dari kemampuan angkut optimal diperlukan faktor-faktor kekuatan, frekuensi angkut, lama angkut dan posisi angkut. Saat penelitian ini Baru sampai tahap kekuatan, sehingga disarankan kelanjutan dalam penelitian ini.

The limit to carry heavy load is one of the many work system which still need to be paid attention. Granjean (1985) suggested that 50-60 kg. load is the appropriate limit. While the ILO (International Labor Organization) (1988) determined the threshold value of many countries with varying weights. The existing load which is 100 kg. on the average has exceeded the limit as recommended by Granjean. The reason which prompted this research is that up to now permissible limit has not been set up yet, which is important in protecting workers' health.
The objective of this research is to obtain a right load which is in line with the physical capacity of the male workers, and the factors which influence it. The finding of the right load will be an important step in the application of ergonomics in the work system. This research was performed in a rice storage area of Jakarta Logistic Depot with consideration that work intensity of moving the load from the storage to the trucks and vice versa is high. This research is a Quasi Experimental Design. The analysis of univariate, bivariate and multivariate data analysis is done by using the SASS computer program.
The result of the research indicate that the average load of the male workers of Jakarta Logistic Depot is 58,12 kg. From bivariate analysis we know that age, nutritional status level, physical fitness have impact toward the optimum carrying capacity, while smoking does not have impact, probably due to nearly homogenous samples. From multivariate analysis it turn out that only age and nutritional status level influence the optimum carrying capacity, where for an increase of age by one year is followed by a decrease of the optimum carrying capacity by 0,09 kg. and an increase of nutritional status level by 1 kg/ m2 followed by an increase of the optimum carrying capacity by 0,98 kg. The nutritional status level is the most dominant factor among the other independent variables (Beta= 0,279). The regression line is able to explain a 44% of the variable variations. In order to determine the threshold value of the optimum carrying capacity we need to examine others factors such as force, frequency, duration and posture of the carrying. The present research examined force only.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library