Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Yahya Ayyash
"Latar belakang: Di Indonesia pedikulosis yang disebabkan oleh Pediculus humanus capitis (kutu kepala) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, namun tidak ada program penanganan khusus untuk memberantas pedikulosis tersebut Selama ini pengobatan pedikulosis menggunakan permetrin 1%, namun di berbagai negara dilaporkan bahwa P.h. capitis sudah mengembangkan resistensi terhadap permetrin. Pada penelitian ini akan dibandingkan efektivitas permetrin dengan efektivitas malation berdasarkan kemampuannya menghambat kerja enzim detoksifikasi pada P.h. capitis. Metode: : Stadium dewasa P. h. capitis dipaparkan dengan kertas filter yang ditetesi larutan permetrin (0,25%; 0,5%; dan 1%) dan malation (0,5%; 1% dan; 1,5%). Bioassay in vitro dilakukan selama 10, 20, 30, 45 dan 60 menit pada suhu ruang. Aktivitas asetilkolinesterase (AChE), glutation-S-transferase (GST), dan oksidase dianalisis menggunakan metode CDC (Centers for Disease Control). Hasil: Selama 60 menit, 100% (90/90) P. h. capitis mati dengan permetrin pada konsentrasi 0,25%; 0,5%; 1%. Sedangkan pada malation tidak mati sama sekali (0,0%). Dalam 60 menit P. h. capitis memiliki LT50 dan LT90 terendah pada permetrin dengan konsentrasi 1%. juga bahwa permetrin dengan aktifitas AChE, GST, dan oksidase menurun pada kelompok permetrin, sedangkan pada kelompok malation aktifitas AChE, GST, dan oksidase meningkat. Kesimpulan: Permetrin memiliki efikasi terhadap P. h. capitis yang lebih baik dibandingkan malation dan permetrin masih dapat digunakan sebagai pediculosida.

Background: In Indonesia, pediculosis caused by Pediculus humanus capitis (head louse) is still a public health problem, but there is no special treatment program to eradicate this pediculosis. So far, pediculosis is treated using 1% permethrin, but in various countries it has been reported that P.h. capitis has developed resistance to permethrin. In this study, we will compare the effectiveness of permethrin with the effectiveness of malathion based on its ability to inhibit the action of detoxification enzymes on P.h. capitis. Methods: Adult stage P. h. capitis exposed with filter paper dripped with a solution of permetrin (0,25%; 0,5%; and 1%) and malation (0,5%; 1%; and 1,5%). In vitro bioassays were carried out for 10, 20, 30, 45 and 60 minutes at room temperature. The activities of acetylcholinesterase (AChE), glutathione-S-transferase (GST), and oxidase were analyzed using the CDC (Centers for Disease Control) method. Results: For 60 minutes, 100% (90/90) P. h. capitis died with permethrin at a concentration of 0,25%; 0,5%; 1%. While the malation does not die at all (0.0%). In 60 minutes P. h. capitis had the lowest LT50 and LT90 in permethrin with a concentration of 1%. also that permethrin with AChE, GST, and oxidase activity decreased in the permethrin group, whereas in the malathion group the activity of AChE, GST, and oxidase increased. Conclusion: Permetrin has efficacy against P. h. capitis which is better than malation and permetrin can still be used as a pediculoside."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Varalisa Rahmawati
"

Pendahuluan: Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan masih menjadi perhatian di Indonesia. Sampai saat ini, pengendalian vektor menjadi upaya pencegahan utama karena belum adanya vaksin DBD di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada penelitian terkait aktivitas insektisida deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histologi midgut Ae.aegypti. Objektif: Studi ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas larvisidal deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histopatologi midgut larva Ae.aegypti. Metode: Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental. Sampel penelitian ini berupa larva instar III-IV Ae. aegypti. Aktivitas larvasidal deltametrin dan malation diketahui dengan bioassay sesuai protocol WHO selama 24 jam pada lima konsentrasi berbeda dari tiap insektisida dan lima kali ulangan. Larva yang mati akan diamati dengan mikroskop diseksi untuk mengetahui morfologinya. Selain itu, larva yang mati akan dibuat potongan sediaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Data mortalitas larva selanjutnya akan diolah dengan SPSS untuk menganalisis korelasi konsentrasi dengan mortalitas larva serta menentukan konsentrasi letal insektisida (LC50 dan LC99). Hasil: Larva pada kontrol tidak ada yang mati dan tidak ditemukan adanya perubahan morfologi maupun histologi. Persentase mortalitas larva Ae.aegypti setelah paparan deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan, 15,2-100% dan 4,8-100%. LC50 dan LC99 deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan adalah 0,007 ppm (95% Cl=0,006-0,009) dan 0,312 ppm (95% Cl=0,203-0,529); serta 0,053 ppm (95% Cl=0,045-0,062) dan 0,915 ppm (95% Cl=0,652-1,398). Deltametrin menyebabkan terjadinya kerusakan di toraks, abdomen, sifon, dan insang anal, serta terlepasnya setae, dan penipisan kutikula.   Sedangkan, malation menyebabkan terjadinya kerusakan di kepala, toraks, abdomen, sifon, insang anal, dan kutikula serta terlepasnya setae. Nekrosis sel epitel gastrointestinal adalah perubahan histopatologis midgut utama yang ditemukan pada larva Ae.aegypti baik setelah paparan deltametrin maupun malation. Kesimpulan: Deltametrin dan malation efektif membunuh larva Ae.aegypti dengan efektivitas deltametrin yang lebih tinggi dibandingkan malation. Aktivitas larvisidal deltametrin dan malation menyebabkan perubahan morfologi dan histopatologi midgut larva melalui mekanisme yang berbeda. Sasaran kerja deltametrin dan malation untuk kerusakan morfologis meliputi kutikula, setae, segmen anal, saluran pencernaan dan pernapasan. Malation juga menyebabkan kerusakan di kepala larva. Sedangkan sasaran kerusakan histopatologisnya pada struktur midgut oleh deltametrin dan malation adalah lapisan epitel gastrointestinalnya, sel epitel, dan mikrovili.

 


Introduction: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a vector-borne disease that is still a concern in Indonesia. Until now, vector control has become the main prevention effort because there is no dengue vaccine in Indonesia. However, there are no studies that discuss the insecticidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histology of Ae.aegypti midgut. Objective: This study aims to determine the larvicidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histopathology of midgut larvae of Ae.aegypti. Method: The design used in this study is experimental. The sample of this research is larvae instar III-IV Ae. aegypti. The larvicidal activity of deltamethrin and malathion was determined by the bioassay technique according to WHO protocol for 24 hours at five different concentrations of each insecticide and five replications. The dead larvae was observed under a dissecting microscope to find out their morphology. Also, the dead larvae was made into pieces of anatomical pathology with hematoxylin-eosin staining. The larval mortality data was processed with SPSS to analyze the correlation between concentration and larval mortality and to determine the lethal concentration of insecticides (LC50 and LC99). Results: None of the larvae in the control died and no morphological or histological changes were found. The mortality percentage of Ae.aegypti larvae after 24 hours of deltamethrin and malathion exposure was 15.2-100% and 4.8-100%. LC50 and LC99 deltamethrin and malathion for 24 hours, respectively 0.007 ppm (95% Cl = 0.006-0.009) and 0.312 ppm (95% Cl = 0.203-0.529); and 0.053 ppm (95% Cl = 0.045-0.062) and 0.915 ppm (95% Cl = 0.652-1.398). Deltamethrin causes damage to the thorax, abdomen, siphons, and anal gills, as well as detachment of setae, and thinning of the cuticles. Meanwhile, malathion causes damage to the head, thorax, abdomen, siphons, anal gills, and cuticles as well as detachment of the setae. Gastrointestinal epithelial cell necrosis is the main midgut histopathological change found in Ae.aegypti larvae either after exposure to deltamethrin or malathion. Conclusion: Deltamethrin and malathion were effective in killing Ae.aegypti larvae with higher effectiveness of deltamethrin than malathion. The larvicidal activities of deltamethrin and malathion cause morphological and histopathological effects in the midgut larvae through different mechanisms. The targets of action of deltamethrin and malathion for morphological damage include cuticles, setae, anal segment, gastrointestinal and respiratory tract. Malathion also causes damage to the head of the larva. Meanwhile, the targets of histopathological damage to the midgut structure by deltamethrin and malathion are the gastrointestinal epithelial layer, epithelial cells, and microvilli.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakinah Rahma Sari
"Latar belakang: Nyamuk Culex sp. merupakan nyamuk yang berperan dalam penyebaran berbagai penyakit, seperti filariasis, Japanese encephalitis, St. Louis encephalitis, dan West Nile Fever. Indonesia sebagai salah satu negara endemis filariasis memiliki program eliminasi filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor filariasis menggunakan insektisida. Seiring dengan semakin seringnya digunakan insektisida untuk mengendalikan vektor nyamuk lainnya, dikhawatirkan terjadi resistensi pada Cx. quenquefasciatus terutama terhadap insektisida yang sering digunakan. Resistensi metabolik dan modifikasi situs target dapat diamati dengan adanya peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase karena enzim asetilkolinesterase merupakan target kerja dari insektisida golongan organofosfat, seperti malation.7 Di Jakarta, belum dilakukan penelitian mengenai tingkat resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap malation dan deltametrin beserta aktivitas enzim asetilkolinesterase.
Tujuan: Menganalisis efektivitas malation dan deltametrin pada larva Cx. quinquefasciatus.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Sampel penelitian merupakan larva tahap III-IV Cx. quinquefasciatus yang diambil menggunakan teknik random sampling. Sampel akan dipaparkan dengan insektisida deltametrin dan malation dengan lima konsentrasi yang berbeda selama 24 jam. Kelompok larva mati dan hidup selanjutnya akan digunakan untuk uji biokimia enzim asetilkolinesterase menggunakan spektofotometri.
Hasil: Mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,25 ppm) kelompok perlakuan deltametrin adalah 96,8%. Sedangkan mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,5 ppm) kelompok perlakuan malation adalah 100%. LC50 dan LC90 pada deltametrin terhadap larva Cx. quinquefasciatus secara berurutan adalah 0,015 ppm dan 0,106 ppm. Sedangkan LC50 dan LC90 malation secara berurutan adalah 0,052 ppm dan 0,173 ppm. Absorbansi pada uji aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi deltametrin secara berurutan adalah 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. Sedangkan absorbansi pada uji biokimia aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi malation secara berurutan adalah 0,405 ± 0,009 dan 0,237 ± 0,003.
Kesimpulan: Deltametrin dan malation memperlihatkan aktivitas larvisida terhadap larva Cx.quinquefasciatus. Berdasarkan nilai LC50 dan LC90 menyimpulkan deltametrin lebih efektif dibandingkan dengan malation. Malation menghambat aktivitas asetilkolinesterase pada larva Cx. quinquefasciatus, sedangkan deltametrin tidak menghambat aktivitas asetilkolinesterase tersebut.

Background: Culex sp. plays an important role as a vector in spreading various diseases such as filariasis, Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, and West Nile Fever. Indonesia as one of the countries endemic in filariasis, has a program in eliminating filariasis, with one of the program done by controlling vector using insecticide. Insecticides used in eliminating vector of filariasis, Cx. quinquefasciatus, are used concurrently in order to eliminate another vector such as Anopheles sp. and Aedes sp. The escalation of insecticide utilization leads to the concern of Cx. quinquefasciatus being resistance against insecticides, especially insecticides that are often used. Metabolic resistance and target site modification in Cx. quinquefasciatus as the proposed mechanisms in insecticide resistance can be seen by observing the activity of acetylcholinesterase due to its role as a target site for organophosphat such as malathion. Currently in Jakarta, there’s no research established regarding Cx. quinquefasciatus resistance against malathion and deltamethrin along with their acetylcholinesterase activity.
Objective: Analyzing effectivity of malathion and delamethrin in Cx. quinquefasciatus.
Method: The design study used in this research was experimental. Larva Instar stage III-IV Cx. quinquefasciatus was used as samples and chosen with random sampling technique. Samples was exposed to deltamethrin and malathion with 5 different concentrations for 24 hours. Both samples, alive and dead, after the exposure, were assessed for their acetylcholinesterase activity using spectophotometry.
Result: Mortality from the highest concentration in deltametrhin-induced group was 96,8%. Meanwhile, mortality from the highest concentration in malathioninduced group was 100%. LC50 and LC90 of deltamethrin was 0,015 ppm and 0,106 ppm while LC50 and LC90 of malathion was higher (0,052 ppm and 0,173 ppm). Absorbance in acetylcholine esterase activity assay in the group of alive and dead larva induced by deltametrhin was 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. While the absorbance in malathion-induced group was lower with the result of 0,405 ± 0,009 in the group of alive larva and 0,237 ± 0,003 in the group of dead larva.
Conclusion: Deltamethrin dan malathion both showed larvacidal activity in Cx. quinquefasciatus. According to LC50 and LC90 we can conclude that deltamethrine was more effective than malathion.From the acetylcholinesterase activity assay, we can see that there was inhibition from malathion against acetylcholinesterase while we see no effect against acetylcholinesterase activity from deltamethrin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Puspa Nur Hidayati
"Pencegahan penyakit tular vektor nyamuk kini dipersulit dengan munculnya resistensi vektor terhadap insektisida. Insektisida organofosfat (OP)-malation merupakan salah satu insektisida yang masih digunakan di Indonesia, oleh karena itu pengawasan status resistensi vektor terhadap insektisida tersebut perlu dilakukan. Dua mekanisme utama yang mendasari resistensi vektor terhadap malation adalah peningkatan enzim metabolik esterase dan insensitif enzim asetilkolinesterase (AChE). Penelitian sebelumnya di Indonesia telah melaporkan keterlibatan enzim esterase pada resistensi vektor terhadap malation, namun peran insensitif AChE belum diketahui jelas.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan nyamuk Aedes aegypti dari Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan April-Oktober 2013 di Lembaga Eijkman. Aedes aegypti sensitif dan resistan malation hasil bioassay dianalisis secara molekuler untuk mengetahui aktivitas enzim AChE yang tersisa setelah dihambat oleh malation. Selain itu, tiga mutasi titik (G119S, F290V, dan F455W) pada gen Ace1 juga dideteksi untuk melihat pengaruh ada tidaknya ketiga mutasi tersebut terhadap aktivitas enzim AChE setelah dihambat oleh malation. Aktivitas enzim AChE ditentukan berdasarkan metode Ellman, sedangkan deteksi mutasi G119S dengan metode PCR-RFLP, dan mutasi F290V-F455W dengan metode PCR-Sequencing.
Tidak ada perbedaan "aktivitas sisa" enzim AChE yang bermakna dan tidak ditemukan mutasi G119S, F290V, dan F455W pada Ae. aegypti resistan. Hasil ini menandakan bahwa mekanisme insensitif AChE tidak mendasari resistensi Ae. aegypti terhadap malation di Jawa Tengah. Walaupun demikian, terdapat peningkatan "aktivitas sisa" AChE yang tidak bermakna pada Ae. aegypti resistan dibanding Ae. aegypti sensitif. Hasil ini menandakan bahwa kemungkinan terdapat peran enzim lain yang dapat memetabolisme malation lebih cepat atau terjadi peningkatan produksi AChE pada nyamuk resistan sehingga AChE tetap dapat menghidrolisis substratnya (asetilkolin). Mekanisme insensitif AChE belum terlibat penuh dalam mendasari resistensi Ae. aegypti terhadap malation di Jawa Tengah, namun kemungkinan mekanisme ini terlibat dapat diteliti lebih lanjut dengan menganalisis peningkatan produksi enzim AChE yang juga dapat memengaruhi aktivitas AChE selain mutasi gen Ace1.

The prevention of mosquito-borne diseases becomes difficult to overcome since the vectors have developed resistance to insecticides. The molecular basis of resistance to insecticides therefore need to be explored to determine the resistance status earlier. In Indonesia, organophosphate (OP)-malathion insecticide has been widely used to control vector population and therefore the resistance status to this insecticide should be under control. Two main mechanisms have known to be associated with resistance to malathion, previous studies in Indonesia reported that esterase responsible in resistance to malathion, however the insensitive AChE-based mechanism remain to be determined.
Descriptive study was conducted at Eijkman Institute during April to October 2013 using Aedes aegypti from Central Java. Malathion sensitive and resistant Ae. aegypti from bioassay were subjected to molecular analysis to compare the remaining activitiy of AChE between those mosquitoes after inhibited by malathion. The presence of three point mutations (G119S, F290V, and F455W) in the Ace1 gene associated with resistance to malathion were also detected to see the effect of the absence or presence of those mutations to AChE activity.
The results showed that AChE remaining activities in the resistant Ae. aegypti have no significantly different compare to those in the sensitive Ae. aegypti. No associated mutations found in the Ace1 gene (G119S, F290V, or F455W) as well. These results indicated that insensitive AChE-based mechanism is not involved in Ae. aegypti resistance to malathion in Central Java. However, we noticed that the remaining activities of AChE are increased insignificantly in resistant Ae. aegypti, suggesting the possibilities of metabolic enzyme which can degrade insecticide faster or could be due to overproduction of AChE enzyme which may increase the hydrolizing process of acetylcholine (ACh). Insensitive AChE-based mechanism is still not fully involved in Ae. aegypti resistance to malathion in Central Java, however the potency of its involvement should be further analyzed by considering the overproduction of AChE enzyme itself which could contribute in AChE activity enhancement other than Ace1 gene mutation."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T59116
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library