Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
L. Ratna Kartika Wulan
"Pesatnya perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi serta meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, mengakibatkan perubahan sistem penilaian masyarakat yang menuntut pelayanan kesehatan yang bermutu. Salah satu parameter untuk menentukan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah kelengkapan pengisian formulir Informed Consent. Indikator Informed Consent yang lengkap adalah kelengkapan pengisian tanda tangan Informed Consent oleh dokter dan keluarga pasien. RSU Karawang adalah rumah sakit kelas C dan rumah sakit pendukung industri kelas B, seyogyanya petugas yang menangani tindakan bedah menyelenggarakan pelayanan dengan baik.
Untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kelengkapan penandatanganan Informed Consent untuk tindakan bedah besar di RSU Karawang telah dilakukan penelitian cross sectional dengan telaah berkas formulir Informed Consent dari tanggal 1 Januari 1997 sampai dengan tanggal 31 Desember 1997 secara retrospektif untuk memperoleh gambaran kelengkapan Informed Consent serta wawancara dengan dokter spesialis.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa didapatkan pengisian Informed Consent yang tidak lengkap sebesar 76,8% untuk jenis tindakan bedah besar di RSU Karawang. Hal ini disebabkan oleh karena tidak lengkapnya pengisian tanda tangan dokter (69%) dan pengisian tanda tangan keluarga pasien (23,2%). Karakteristik dokter yang berhubungan dengan kelengkapan Informed Consent adalah pendelegasian wewenang dengan beban kerja jumlah pasien yang ditangani operasi tiap bulan.
Perlu adanya peraturan tentang tata tertib Informed Consent di RSU Karawang yang dapat membantu penyelenggaraan kelengkapan Informed Consent. Penandatanganan Wormed Consent tidak boleh dilakukan pendelegasian oleh dokter ke perawat, Wormed Consent harus ditandatangani dokter dan keluarga pasien adalah bukti pertanggungjawaban hukum jika nantinya ada gugatan dari keluarga pasien.

Factors Correlated with Signature Completed of Informed Consent Form in Major Surgery, Karawang Hospital, January 1- December 31, 1997. Rapid advances in the medical science and technology and improvement in social economic conditions and education increase public awareness for high quality health care. Good health care quality in hospital is reflected by signature completed of Informed Consent form, Signature in Informed Consent form must be completed from physician and patient family. Karawang Hospital is a class C and hospital of industry support in class B, it should maintain in high completed Informed Consent.
To obtain overview correlating factors of signature completed of Wormed Consent to major surgery in Karawang hospital. A cross sectional retrospective study of the Informed Consent performed from January 1 through December 31, 1997. This effort is directed towards determining the correlation between signature completed of Informed Consent form and the characteristics of health personnel involved (physician).
It is concluded from study that about 76,8% Informed Consent form the signature not completed, majority of which (69%) is caused by physician and 23,2% by patient family. Characteristics of physician, correlated with completed of Informed Consent form is delegating with workload physician in surgery every month.
It is recommanded that there should be a rule of Informed Consent in Karawang Hospital can help Informed Consent completed. The signature of Informed Consent form don't delegated from physician to nurse. Informed Consent should be completed by physician and patient family , because Informed Consent is an evidence of legal accountability is tomorrow has plaintiff from patient family.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Asylia Dinakrisma
"Latar Belakang: Delirium pasca operasi merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dan berdampak pada banyak luaran buruk. Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) dan stratifikasi risiko perioperatif pasien geriatri diperlukan sebagai strategi awal pencegahan serta model prediktor prognosis yang efisien dan aplikatif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian delirium pasca operasi dan mengembangkan model prediksi delirium pasca operasi elektif mayor non kardiak pada pasien lanjut usia berdasarkan faktor prediktor.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien lanjut usia rawat inap yang menjalani pembedahan mayor elektif non kardiak di RS Cipto Mangunkusumo periode Januari 2020-Juni 2023.
Hasil: Didapatkan 370 subjek memenuhi kriteria dan dilakukan analisis. Kejadian delirium pasca operasi pada penelitian ini adalah 6,8% (IK 95%, 4,4%-9,8%). Faktor prediktor yang dianalisis yakni usia (HR=3,43; IK95% 1,544-7,635), status kognitif (HR=2,74; IK95% 1,156-6,492), dan status nutrisi (HR=3,35; IK95% 1,459-7,679). Model prediksi komplikasi delirium pasca operasi memiliki kalibrasi yang baik (p>0,05) dan performa skor sedang untuk memprediksi kejadian delirium pasien geriatri [AUC 0,750 (p<0,001; IK 95% 0,640-0,860)].
Simpulan: Usia, status kognitif, dan status nutrisi merupakan prediktor kuat delirium pasca operasi pada pasien lanjut usia yang menjalani pembedahan elektif mayor non kardiak.

Background : Postoperative delirium is one the most common complications and will impact many adverse outcomes. Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) and perioperative risk stratification of geriatric patients are needed as an initial prevention strategy as well as an efficient and applicable prognosis predictor model.
Objective: This study aims to determine the incidence of post-operative delirium and develop a prediction model for delirium in elderly patients after major non-cardiac elective surgery based on predictor factors.
Methods: This research is a retrospective cohort study using secondary data from medical records of elderly inpatients who underwent major elective non-cardiac surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2020-March 2023.
Result: Total of 370 subjects that met the criteria were analyzed. The incidence of post-operative delirium was 6.8% ( 95% CI, 4,4% - 9,8%). The predictor factors analyzed were age (HR=3.43; 95%CI 1.544-7.635), cognitive status (HR=2.74; 95%CI 1.156-6.492), and nutritional status (HR=3.35; 95%CI 1.459- 7,679). The postoperative delirium complication prediction model had good calibration (p>0.05) and moderate score performance for predicting the incidence of delirium in geriatric patients [AUC 0.750 (p<0.001; 95%CI 0.640-0.860)].
Conclusion: Age, cognitive status, and nutritional status are strong predictors of postoperative delirium in elderly patients undergoing major non-cardiac elective surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nurul Kirana
"Latar Belakang: Kejadian malnutrisi pada pasien pembedahan mayor dilaporkan sebanyak 40% yang berhubungan dengan penurunan asupan akibat dari gejala yang dialami dan inflamasi pascaoperasi.1,2Kehilangan massa otot pascaoperasi dapat terjadi mulai dari lima hari pascaoperasi dan hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pascaoperasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan protein pascaoperasi dengan perubahan Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) pada pasien yang menjalani pembedahan mayor.
Metode: Penelitian prospektif observasional dilakukan pada pasien yang menjalani pembedahan mayor di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Analisis asupan protein dilakukan selama lima hari pascaoperasi. Perubahan ASMI didapatkan dari pemeriksaan praoperasi dan lima hari pascaoperasi. Analisis data dilakukan menggunakan uji Mann-Whitney dan uji t tidak berpasangan (p < 0,05).
Hasil: Penelitian ini melibatkan 110 subjek yang didominasi subjek perempuan dengan median usia 50 tahun. Terdapat 51 subjek dengan asupan protein pascaoperasi < 0,6 g/kgBB/hari dan 59 subjek dengan asupan protein pascaoperasi ≥ 0,6 g/kgBB/hari. Hasil perubahan ASMI dalam rentang -3,9 sampai 2,5 kg/m2. Setelah dilakukan analisis statistik didapatkan perbedaan bermakna rerata perubahan ASMI antara subjek dengan asupan protein pascaoperasi < 0,6 g/kgBB/hari dengan asupan protein pascaoperasi ≥ 0,6 g/kgBB/hari.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara asupan protein pascaoperasi dengan perubahan ASMI pada pasien pembedahan mayor. Hal ini menunjukkan pentingnya pemberian protein pascaoperasi yang optimal untuk mempertahankan massa otot.

Background: The incidence of malnutrition in major surgical patients is reported to be as high as 40%, associated with reduced intake due to symptoms experienced and postoperative inflammation. Postoperative muscle mass loss can begin as early as five days after surgery and may increase the risk of postoperative complications. This study aims to investigate the relationship between postoperative protein intake and changes in the Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) in patients undergoing major surgery.
Methods: A prospective observational study was conducted on patients undergoing major surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. Protein intake analysis was performed over five days postoperatively. Changes in ASMI were assessed through preoperative and five-day postoperative examinations. Data analysis was conducted using the Mann-Whitney test and independent t-test (p < 0.05).
Results: The study involved 110 subjects, predominantly female, with a median age of 50 years. There were 51 subjects with postoperative protein intake < 0.6 g/kgBW/day and 59 subjects with postoperative protein intake ≥ 0.6 g/kgBW/day. The range of ASMI changes was -3.9 to 2.5 kg/m . Statistical analysis revealed a significant difference in the mean ASMI change between subjects with postoperative protein intake < 0.6 g/kgBW/day and those with intake ≥ 0.6 g/kgBW/day.
Conclusion: There is a significant relationship between postoperative protein intake and changes in ASMI in major surgical patients. This highlights the importance of optimal postoperative protein provision to maintain muscle mass.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library