Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Gaffar
"Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil SKRT tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan umur dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Diperkirakan 450.000' kasus baru tuberkulosis setiap tahun, dimana 1/3 penduduk terdapat disekitar Puskesmas, 1/3 lagi ditemukan pada pelayanan Rumah Sakit/Klinik Pemerintah dan Swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan dengan kematian diperkirakan 175.000 setiap tahun.
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilakukan pada semua desa (20 desa) dalam wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan dari bulan Maret 2000 sampai dengan April 2000.
Penelitian ini menggunakan metode disain Cross Sectional . Sampel adalah seluruh tersangka penderita TB Paru yang ditemukan melalui skrining sebanyak 435 penderita. Pada tersangka penderita TB Paru dilakukan wawancara melalui kuesioner untuk mengetahui kemungkinan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru.
Hasil yang diperoleh yaitu tindakan pertama perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru 73,33 % ke fasilitas pelayanan pengobatan moderen (swasta dan pemerintah), 26,67 % ke fasilitas pelayanan tidak moderen (tidak berobat, mengobati sendiri dan pengobatan tradisional). Faktor persepsi akibat, persepsi kegawatan dan tingkat pendidikan berhubungan dengan perilaku pencarian pertolongan pengobatan tersangka penderita TB Paru di wilayah kecamatan Banggai kabupaten Banggai Kepulauan. Selanjutnya yang dapat disarankan adalah penyuluhan tentang TB Paru (gejala-gejala, cara penularan, akibat yang dapat ditimbulkan dan pengobatan) di masyarakat perlu ditingkatkan, juga dalam pelaksanaan program P2 TB Paru selain fasilitas pelayanan pemerintah juga perlu melibatkan fasilitas pelayanan swasta (dokter praktek swasta dan Paramedis/Bidan praktek swasta)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Pito Supeni
"Tujuan Penelitian: Penelitian ini mengukur rata-rata kinerja petugas dengan melakukan pengamatan terhadap penampilan kerja petugas pengelola program TB Paru di Puskesmas, dan kemudian melihat hubungannya dengan faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi. Pengumpulan data selain dengan pengamatan juga dilakukan wawancara untuk mengetahui faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi.
Metode Penelitian: Desain studi crossectional. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan menggunakan checklist dan wawancara menggunakan kuesioner.
Hasil Penelitian: Hasil dari penelitian ini adalah rata-rata kinerja petugas pengelola TB Paru mencapai skor 45,54. Dalam faktor individu penghasilan berhubungan bermakna dengan kinerja petugas demikian juga kemampuan berhubungan bermakna dengan kinerja petugas. Sedangkan dalam faktor psikologis motivasi dan persepsi peran keduanya berhubungan bermakna dengan kinerja petugas. Adapun faktor organisasi, sumberdaya dan struktur organisasi berhubungan dengan kinerja petugas. Analisa multivariat menghasilkan model dimana kemampuan, sumberdaya, motivasi, struktur, penghasilan dan interaksi sumberdaya dan motivasi berhubungan dengan kinerja petugas secara bersama-sama. Model yang dihasilkan bermakna dengan nilai p pada uji F kurang dari 0,05 dan R square sebesar 0,782.
Rekomendasi : Melihat rata-rata kinerja yang baru mencapai 45,54 maka masih perlu ditingkatkan lagi. Peningkatan kinerja dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan, sumberdaya, motivasi dan penghasilan. Perlu dilakukan peningkatan kemampuan teknis petugas Kabupaten, pedoman supervisi dan advokasi kepada pengambilan keputusan di daerah.

Objectives: This research has objectives to measured provider?s performance by making observation to such on lung tuberculoses program at health center and then examines correlations between the individual, the psychology and the organization factors.
Method: Study design in this research is crossectional study. Collecting the data has been done by observation which the checklist used and interview which questionnaire used.
Result: This research show that the averages score of performance as much as 45.541. On the individual factor, level of income variables correlations significantly performance, so do with the level of competency show significant correlations. Furthermore motivation and perception (Psychology factors) correlation significantly to the provider's performance. Within the organization factor, variable of resources and organizational structure are significantly correlated. The multivariate analysis showed variables of competency, resources, motivation and income together explain the performance significantly with p value on the F test less of 0,05 and adjusted R Square of 0.773.
Recommendation: Considering low provider's performance it is suggested that specific intervention should bee done on improving provider's competency, providing adequate resources, improving motivation level, and providing attractive incentive for the providers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Juwita Nelwan
"Latar Belakang Indonesia memiliki insidern kasus TB tertinggi di dunia setelah India dan Cina serta prevalensi kasus DM yang semakin meningkat. Infeksi aktif TB sangat ditentukan oleh status imun. Pada kondisi imunokompromis seperti adanya diabetes melitus akan didapatkan risiko TB yang lebih tinggi. Penelitian ini ingin mendapatkan perbedaan respons IFN-y pada pasien TB dengan DM (TB-DM) dibandingkan dengan pasien TB tidak DM (TB) dan responden sehat.
Metodologi Secara potong lintang, pada pasien TB paru kasus baru BTA positif, dilakukan penapisan adanya diabetes melitus dan didapatkan 23 orang pasien TB-DM, dari pasien TB-DM ini, didapatkan kontrol 34 orang pasien TB dan 37 orang responden sehat yang secara umur dan jenis kelamin. Pada seluruh pasien dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratoriurn. Untuk mendapatkan respons IFN-y pasien TB-DM, TB, dan responden sehat dilakukan pengambilan darah pagi hari yang kemudian distimulasi secara in vitro dengan M.tuberculosis (MTB) yang mati, lipopolisakarida (LPS) dan phytohaemagglutinin (PHA). Setelah diinkubasi pada 37°C selama 22-24 jam, lalu dilakukan disentrifugasi dan kadar IFN-y diukur dari supernatan yang didapat dengan metode ELISA.
Hasil Karakteristik klinis pasien TB-DM dan TB secara proporsi tidak berbeda bermakna. Didapatkan derajat infeksi TB pada pasien dengan DM lebih ringan dibandingkan pasien TB tidak DM. Respons IFN-y setelah stimulasi MTB didapatkan rendah pada pasien TB dibandingkan TB-DM dan responden sehat (secara statistik tidak bermakna), pada stimulasi PHA, sebagai kontrol positif didapatkan respons lebih rendah pada pasien TB-DM dibandingkan pasien TB dan responden sehat (berbeda bermakna antara ketiga kelompok yang diuji, p<4,41).
Kesimpulan. Pasien TB-DM memiliki respons IFN-y lebih tinggi dibandingkan pasien TB, hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat beratnya infeksi TB pasien DM dan tidak DM.

Background Indonesia has the highest incidence of tuberculosis (TB) cases after India and China, also the fifth highest prevalence of diabetic cases in the world. Active tuberculosis infection is determined by host immune response, and in immunocompromized condition such as diabetic, the risk of having active TB is high. Our study objective looked on the response of IFN-y between diabetic lung TB patients compare to non diabetic lung TB and healthy controls.
Methodology Among new cases of lung TB patients with positive AFB, we performed screening of diabetes mellitus and included 23 TB-diabetic patients, thirty four lung TB patients and 37 healthy controls matched for age and sex. We perform clinical and laboratories examinations. To identify IFN-y response of diabetic lung TB patients, TB and healthy controls, we drain morning blood and stimulated in vitro with sonicated M. tuberculosis (MTB), lipopolysaccharide (LPS) and phytohaemagglutinin (PHA). After incubation at 37°C for 22-24 hours, we centrifuged and IFN-y response was evaluated from the supernatant with ELISA.
Results Clinical characteristic of TB-diabetic patients and TB patients was similar Severity of TB infections among diabetics were less severe compared to non diabetic. Lung TB patients have the lowest IFN-y response after MTB stimulation compared to diabetic lung TB and healthy controls (not statistically significant). And after PHA stimulation, diabetic lung TB patients have the lowest response compared to other groups (significant between all groups, p < 0.01).
Conclusions Diabetic lung TB patients have higher IFN-y response than non diabetic TB patients, this might due to difference of disease severity among TB infection of diabetics and non diabetic. This difference was statistically not significant and co-morbidity of diabetes mellitus among moderately ill TB patients showed similar response as advance ill TB patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fran Desmon
"Tuberkulosis (TB) merupakan penyakil infeksi bersifat kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Tabun 2003 Word Health Organisation (WHO) mencanangkan kedaduratan global penyakit tuberkulosis karena pada sebagian besar negara di dunia penyakil ini tidak terkendali. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB paru terbanyak dengan menyumbang kasus sebesar 10% dari seluruh kasus TB paru di dunia, setelah India dan China, Menurut 1-I.L Blum, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang adalah 1ingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Beberapa penelitian di beberapa negara lain menunjukkan bahwa perilaku mcrokok, polusi udara di dalam rumah yang berasal dari penggunaan bahan bakar kayo dan kondisi runlah mempunyai hbungan yang bermakna dengan kejadian TB para.
Studi ini merupakan penelitian analitik dengan ra ncangan desain kasus kontrol menggunakan data sekunder basil Survci Sosial Ekonom Nasional (SUSENAS) tahun 2004. Kasus adalah responden yang telah beruimir 15 tahun ke alas telah diciiagnosa secara klinis dan laboratorium dengan basil BTA positif sebanyak 156 orang. Studi ini menggunakan dug jenis kelompok kontrol yakni : kontrol kelompok pertama adalah responden yang telah benrmur 15 tahun ke alas yang babas dari gejala utama TB paru sebanyak 624 orang dan kontrol kelompok kedua adalah responden yang telab berumur 15 tahun ke alas yang basil pemeriksaan menunjukkan basil BTA negatif sebanyak 156 orang. Analisis data yang dilakukan meliputi deskriptif, chi square, regresi logistik multivariat dan ukuran dampak.
Model akhir basil analisis regresi logistik multivariat pada kelompok kasus kontrol pertama mendapatkan perilaku merokok mempunyai peluang 1,91 kali (95% CI 1,18 ; 3,09) untuk menderita penyakit tuberkulosis paru dibandingkan dengan yang tidak merokok setelah dikontrol oleh jenis kelamin dan mar, Responder yang menggunakan bahan bakar kayu dirumahnya mempunyai peluang 2,02 kali (95% CI 1,38 ; 2,97) untuk menderita penyakit tuberkulosis paiir dibandingkan dengan yang tidak menggunakan bahan bakar kayu setelah dikontrol oleh umwu- dan kondisi rurnali. Responden yang tinggal pada kondisi rumahnya tidak sehat mempunyai peluang 1,93 kali (95% CI 1.32 ; 2,84) untuk menderita penyakit tuberkulosis paru clibandingkan dengan yang tinggal di kondisi rumah yang sehat setelah dikontrol oleh variahel amnia Pada kelompok kasus kontrol yang kedua responden yang merokok mempunyai peluang 1,77 kali (95% CI 1,11 ; 2,82) untuk menderita penyakit tuberkulosis paru dibandingkan dengan yang tidak merokok setelah dikontrol oleh umur. Responden yang menggunakan bahan bakar kayu dirumahnya mempunyai peluang 3,96 kali (95% CI 2,36 ; 6,32) untuk menderita penyakit tuberkulosis paru dibandingkan dengan yang tidak setelah dikontrol oleh perilaku merokok. Responden yang tinggal pada kondisi rumah yang tidak sehat mempunyai peluang 1,79 kali (95% CI 1,12 ; 2,86) untuk menderita penyakit tuberkulosis pare dibandingkan dengan yang tinggal diiumah dengan kondisi yang sehat setelah dikontrol oleh pendapatan.
Disarankan untuk melakukan komunikasi, informasi dan edukasi tentang bahaya merokok bagi kesehatan terutarna terhadap penyakit tuberkulosis paru kepada generasi muda, sosialisasi rnengenai pentingnya saluran pembuangan asap dari dapur atau membangun dapur yang terpisah dari rumah bagi yang menggunakan bahan bakar kayu untuk keperluan memasak untuk keschatan dan pcningkatan kondisi pcrumahan melalui sosialisasi rumah sehat.

Tuberculosis is a cronic infection diseases which because of mycobacterium tuberculosis. In 2003 Word Health Organisation ( W1-lO) cymbal the global emergency of lung tuberculosis because in most countries in the world lung tuberculosis don't in control. Indonesia representing country with the most amount cases of lung tuberculosis by contributing 10% cases from all cases of lung tuberculosis in the world, after India and China. According to I-I.L Blum, factors playing a part and influencing degree of health of someone is environment, behavioral, health service and hercditcry. Some former research in some other countries indicate that smoking, indoor pollution from usage solid fuel and house condition have relation with lung tuberculosis.
This study is an analytical research with case control study and using raw data National Survey of Social Economics (SUSI:NAS) 2004. Case is responder which [5 year or more with positive result in clinical and laboratory diagnosed. Amount of case is 156 responders. Two groups of control is, first, responder which have 15 year or more and don't have especial symptom of lung tuberculosis, amount of control is 624 responders and second is responder which have 15 year or more and pursuant to result of inspection show result of negative BTA amount of control is 156 responders. Data analysis which is descriptiv, chi square test, logistics regretion of multivariate and impact fraction.
Final model result of analysis of regresi logistics of multivariat at first control case group get behavior smoke to have opportunity 1,9] times (95% Cl 1,18 ; 3,09) to suffer from lung tuberculosis compared to which don't smoke after controlled by gender and age. Using its house wood fuel have opportunity 2,02 times ( 95% CI 1,38 ; 2,97) to suffer from lung tuberculosis compared to which don't use wood fuel after controlled by age and condition of house and who live in house which condition of its under the way house have opportunity 1,93 times ( 95% CI 1,32 ; 2,84) to suffer from lung tuberculosis compared to who live in house of is condition of healthy house after controlled by age. At second control case group is one who smoke to have opportunity 1,77 times ( 95% CI 1,11 ; 2,82) to suffer from lung tuberculosis compared to which don't smoke after controlled by age, who use its house wood fuel have opportunity 3,96 times ( 95% CI 2,36 ; 6,32) to suffer from lung tuberculosis compared to which don't use wood fuel after controlled by variable smoke and one who live in indisposed house have opportunity 1,79 times ( 95% CI 1,12 ; 2,86) to suffer from lung tuberculosis compared to which remain at home with condition of healthy after controlled by earnings.
Is suggested to do communications, information and education about danger smoke to disease of lung tuberculosis to the rising generation, socialization about important hitting of channel him dismissal of smoke of kitchen or build separated from kitchen is house to using wood fuel for cooking for healthy and make-up of condition of housing through healthy house socialization.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Rosalia Indah
"Masyarakat perkotaan berisiko mengalami masalah kesehatan karena adanya gaya hidup dan lingkungan yang buruk. Salah satu penyakit yang dipengaruhi kedua faktor terebut yaitu tuberkulosis paru. Selain menimbulkan dampak fisik, tuberkulosis paru juga menimbulkan dampak psikososial. Masalah psikososial yang paling sering ditemui yaitu ansietas. Akibat ansietas jika tidak teratasi dapat menimbulkan depresi dan ketidakpatuhan pengobatan sehingga memperburuk prognosa. Karya Ilmiah Akhir Ners ini melaporkan hasil praktik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan terkait asuhan keperawatan pada klien ansietas dengan tuberkulosis paru.

Urban community has risk health problems because of their unhealthy lifestyle and environment. One the health diseases that influenced by those factors is lung tuberculosis. Tuberculosis do not only cause in physical but also psychosocial problems. Anxiety is one of the psychosocial problems that most often found. Hospitalization and the tuberculosis symptoms experienced by the client is the causes of anxiety. Anxiety that is not resolved can lead to depression and non compliance which may worsen the prognosis. This final scientific task is to report nursing care plan in urban community nursing to a client with anxiety associated with lung tuberculosis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Amaliya
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan masalah kesehatan yang masih dihadapi di Indonesia. Hiperglikemia menyebabkan risiko komorbiditas meningkat salah satunya tuberkulosis paru. Pasien DM dengan TB paru meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Dukungan nutrisi dilakukan untuk membantu memperbaiki kadar glukosa darah. Energi yang mencukupi dan pemberian serat merupakan tatalaksana gizi yang dapat membantu memperbaiki kadar glukosa darah. Serial kasus ini melaporkan empat pasien diabetes melitus tipe 2 dengan tuberkulosis paru yang memiliki rentang usia 49-57 tahun dan status gizi yang bervariasi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan rekomendasi nutrisi untuk pasien diabetes melitus. Pemenuhan kebutuhan mikronutrien diberikan dengan suplementasi. Hasilnya yaitu kadar glukosa darah dua orang pasien dalam rentang normal 140-180 mg/dl, dengan asupan sesuai target kebutuhan dan komposisi protein 16-20%, lemak 20-18%, karbohidrat 52-64% dan serat 10-20 g/hari. Namun dua pasien dengan status gizi obes kadar glukosa darah masih belum terkontrol dan asupan energi belum mencapai target kebutuhan karena anoreksia dan infeksi yang belum teratasi. Kesimpulannya dukungan nutrisi dengan energi dan serat sesuai rekomendasi dapat membantu memperbaiki kadar glukosa darah.

Type 2 diabetes still a major health problem in Indonesia. Hyperglycemia increase the risk of comorbidity include lung tuberculosis. Since morbidity and mortality of patients with type 2 diabetes and lung tuberculosis increase, nutrition therapy may improve blood glucose level. Provide adequate energy and fiber as a part of medical nutrition therapy for maintain the blood glucose level. This is a case series of four patients with type 2 diabetes and lung tuberculosis, age 49-57 years old, having various nutritional status. The medical nutritional therapy was given to patients according to the diabetes mellitus guidelines. Supplementation were administered to fulfill their requirement. Result: the blood glucose level of two patients within normal range 140-180 mg/dl, with adequate energy intake, protein 16-20%, fat 20-28%, and carbohydrate 52-64% and fiber 10-20 g/day. However the others with obesity remains uncontrolled glucose level, despite of their low intake of energy. It occured due to anorexia and untreated infection. Conclusion: Medical nutritional therapy with adequate energy and fiber may improve the blood glucose level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kolanda Maria Septauli
"Latar belakang: Sebagian besar penderita TB paru memiliki kebiasaan merokok. Merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru, juga mempengaruhi manifestasi klinis, keberhasilan pengobatan, dan mortalitas pada penderita TB paru. Selain itu, diketahui bahwa sebagian besar penderita TB paru akan berhenti merokok saat terdiagnosis TB paru, tetapi akan kembali merokok seiring berjalannya waktu jika keluhan sudah mulai berkurang. Program berhenti merokok untuk penderita TB paru seharusnya mendampingi pengobatan TB paru. Program berhenti merokok yang biasa dilaksanakan di Indonesia adalah dengan pendekatan 4T (Tanya,Telaah,Tolong nasehati, dan Tindak lanjut).
Metode penelitian: Uji acak terkontrol pada 43 penderita TB paru berjenis kelamin laki- laki yang merokok. Kelompok perlakuan diberikan pendekatan 4T berupa edukasi, konseling, dan motivasi selama 3 bulan dengan 5 kali pertemuan. Kelompok kontrol hanya diberikan self-help leaflet untuk berhenti merokok saat rekrutmen. Pada awal penelitian, data dasar kedua kelompok dikumpulkan, yakni identitas, status merokok, skala ketergantungan nikotin (fargerstrom), CO ekshalasi, dan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dasar. Selanjutnya akan dilakukan follow-up pada bulan ke-1, 2 dan 3 setelah berhenti merokok, dengan pemeriksaan catatan harian berhenti merokok, pengukuran CO ekshalasi, Arus Puncak Ekspirasi (APE), skala motivasi, dan skala Minnesota Withdrawal Scale (MNWS).
Hasil: Persentase subjek yang masih berhenti merokok atau Continuous Abstinence Rate (CAR) bulan I, II, dan III lebih baik pada kelompok perlakuan dibandingkan pada kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan, persentase berhenti merokok hingga 1 bulan (CAR I) sebesar 66,7%, hingga 2 bulan (CAR II) sebesar 57,1%, dan hingga 3 bulan (CAR III) sebesar 52,4%. Sedangkan pada kelompok kontrol, persentase berhenti merokok hingga 1 bulan (CAR I) sebesar 54,5%, hingga 2 bulan (CAR II) sebesar 45,5%, dan hingga 3 bulan (CAR III) sebesar 45,5%. Jumlah relapse pada akhir penelitian lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 18,2% dibandingkan 14,3% pada kelompok perlakuan. Subjek yang tetap merokok hingga akhir penelitian lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 18,2% dibandingkan 9,5% pada kelompok perlakuan. Gejala withdrawal yang paling banyak ditemukan adalah peningkatan nafsu makan (44,1%), mengidam rokok (6,9%), gelisah (2,3%), sulit tidur (2,3%) dan tidak sabar (2,3%). Pada akhir penelitian, tidak ada perbedaan terkait skala withdrawal pada kedua kelompok (p=0.788). Skala motivasi untuk berhenti merokok pada CAR II lebih baik pada kelompok perlakuan. (p=0,043).
Kesimpulan: Pendekatan 4T yang efektif penting untuk mempertahankan abstinence hingga bulan 1, 2, dan 3 setelah subjek memutuskan berhenti merokok (CAR I, II, III). Sebaiknya program berhenti merokok diberikan bersama dengan pengobatan TB untuk membantu penderita TB berhenti merokok dan mengurangi angka relapse merokok.

Background: Smoking increases the risk of lung tuberculosis (TB) infection and influences its clinical manifestation, treatment success rate, and mortality. Most of smoking TB patients cease to smoke when they are firstly diagnosed, but clinical symptoms improvement could suggest them to continue smoking. Smoking cessation program in TB patients were applied in Indonesia, dubbed as the 4T approach (Tanya (Ask), Telaah (Asses), Tolong nasehati (Advise and Advice), and Tindak lanjut (Arrange))
Method: We performed a randomized controlled trial in 43 male and smoking TB patients. Trial group received 4T approach consisting of education, counseling, and motivation to stop smoking for three months consisted in five session of meetings. Control group received a self-help leaflet for smoking cessation. Smoking status, Fagerström nicotine dependence scale, exhaled CO level, and peak expiratory flow rate were collected. Subjects were observed at month 1, 2 and, 3 after quit smoking. Motivation scale and Minnesota Withdrawal Scale (MNWS) were also reported during the follow-ups.
Results: Smoking cessation level during month I, II, and III (Continuous Abstinence Rate I, II and III) were higher in trial group than in control group. In trial group, the percentage of smoking cessation until 4 weeks (CAR I) was 66.7%, until 8 weeks (CAR II) was 57.1%, and until 12 weeks (CAR III) was 52.4%. In control group, the percentage of smoking cessation until 4 weeks (CAR I) was 54.5%, until 8 weeks (CAR II) was 45.5%, and until 12 weeks (CAR III) was 45.5%. The number of smoking relapses after the end of the research was higher in control group than trial group that was 18.2% compared to the trial group 14.3%. The number of still smoking also higher in control group that was 18.2% compared to trial group 9.5%. Withdrawal symptoms were increase of appetite (44.1%), cigarette cravings (6.9%), agitation (2.3%), insomnia (2.3%) and irritability (2.3%). At the end of the trial, there were no differences of withdrawal scale between groups (p=0.788). Motivation scale to stop smoking of CAR II in trial group was better than control group (p=0.043).
Conclusion: The 4T approach is effective to maintain the abstinence rate in lung TB patients until month 1, 2, and 3 (CAR I, II, and III) after quit smoking. It is advisable to
employ smoking cessation program during TB treatment to help TB patients quit smoking and reduce the rate of smoking relapse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elyu Chomisah
"Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 450.000 kasus baru dengan kematian 175.000 orang setiap tahunnya. Hasil SKRT 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian ketiga setelah kadiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Propinsi Sumatera Selatan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru dengan strategi DOTS dimulai pada tahun 1995, data dari kabupaten / kota didapat angka kesembuhan 82,98 % dan angka cakupan penemuan penderita 26,7 %, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang pada tahun 1998/1999 angka konversi 84,16 % melebihi angka nasional 80%, tetapi angka kesembuhan hanya 76,19 %, dibawah angka nasional 85%. Ketidakpatuhan berobat merupakan salah satu penyebab kegagalan penanggulangan program TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif di RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang Tahun 1998 -2000. Disain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel 186 responden, kriteria sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA Positif Kategori 1, 2 yang telah selesai makan obat dan berumur lebih dari 14 tahun, terdaftar dari bulan Agustus 1998 sampai dengan Desember 2000 di Bagian Penyakit Dalam Poliklinik DOTS RSUP Dr. Moehamad Hoesin Palembang. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang adalah Rumah Sakit yang pertama di Propinsi Sumatera Selatan melaksanakan Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru dengan strategi DOTS.
Hasil penelitian analisis - univariat dari 186 responden yang patuh 124 (66,7%) dan tidak patuh 62 ( 33,3%), laki-laki 130 (69,9%), umur produktif (16-45) tahun 135 orang ( 71,8%), pendidikan rendah 114 orang (61,3%), bekerja 100 (53,8%). Pada basil bivariat dari sepuluh variabel independen ternyata hanya empat variabel yang dianggap potensial sebagai faktor resiko (p< 0,25), Hasil analisis multivariat dengan metode Regresi logistik dari empat variabel independen diambil sebagai model, ternyata hanya satu variabel yang mempunyai hubungan bermakna yang paling kuat (p<0,05), yaitu pengawas menelan obat (PMO),OR =3.457. 95 5 : 1,644- 7.269, P value (Sig) = 0,0011.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa faktor - faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru BTA positif di Rumah Sakit Dr.Moehamad Hoesin tahun 1998 - 2000 adalah faktor PMO dan faktor penyuluhan kesehatan oleh petugas mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p < 0,05) dengan kepatuhan berobat penderita TB Pam dan yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel dependen adalah faktor Pengawas Menelan Obat (PMO).
Selanjutnya dapat disarankan kiranya faktor pengawas menelan obat (PMO) tetap dipertahankan dan dilakukan pelatihan bagi kader, keluarga, PKK KotafKecamatan 1 Kelurahan, petugas kesehatan secara berkesinambungan dan meningkatkan terns kemampuan pengelola program TB Pam di RSUP Dr.Moehamad Hoesin Palembang, Untuk penyuluhan kesehatan oleh petugas kepada penderita, masyarakat tentang penyakit TB Paru hendaknya tetap diberikan secara berkesinambungan dengan menggunakan poster, leaflet, buku pedoman. Untuk Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan agar tetap menyediakan obat anti Tuberkulosa kategori 1, 2, dan 3.

Lung Tuberculosis (Lung TB) still remains a community health problem, WHO estimates that in Indonesia, there are approximately 450,000 new cases annually with 175,000 death every year SKRT results of 1995 show that tuberculosis is the third cause of death following cardiovascular and respiratory disease and it is of the first cause of infection diseases. In South Sumatera Province, Lung TB Eradication Program with DOTS strategy has been introduced in the province since 1995. Data gathered from districts/cities indicate that the figure of healing is 82.98°/° and the figure of identified patients is 26.7%, At Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital of Palembang of 1998/1999, the conversion figure of 84,16% is higher than the national figure of 80%.However the figure of healing is only 76.19%, below the national figure of 85%. Disobedience to undertaking medical treatment is reportedly to be the cause of failure of Lung TB Eradication Program.
This study is aimed at investigating factors that correlate with patients' obedience to undertaking treatment of Lung TB Positive BTA in Dr.Moehamad Hoesin Central General Hospital in Palembang in 1998 - 2000. The study design employed was controlled case with sample of 186 respondents. The sample criteria used were those samples were Lung TB Positive BTA patients of Category 1 and 2 who had taken their medicines and aged more than 14. registered since August 1998 until December 2000 in Internal Diseases Unit of Polyclinic of the hospital, Dr. Moehamad Hoesin Central General Hospital is the first hospital in the South Sumatera province introducing Lung TB Eradication Program with DOTS strategy.
Result of univariat analysis shows that of 186 respondents, 124 patients (66.7%) were obedient and 62 (333%) were disobedient. The respondents consisted of 130 males (69.9%), 135 (71.8%) patients of productive age (16-45), poorly educated people of 146 (61.3%), working people of 100 (53.8%). The bivariat result indicates that of ten independent variables, only four variables considered potential as risk factor (p<0.25).The multivariat result shows that by using Logistic Regression method, of the four independent variables taken as models, only one variable proven to have the most significant correlation (p<0.05), which was supervisor taking medicine (PMO) OR=3.457.95%: 1.644-7.269, p value = 0, 0011.
It may be concluded that factors that correlate with patients' obedience to undertaking Lung TB positive BTA treatment at the hospital during 1998 - 2000 are PMO factor and health education by health worker; these are having statistically significant correlation (p<0.05) with the patients' obedience to undertaking Lung TB treatment. While the most significant influence on the dependent variable was the supervisor-taking-medicine (PMO) factor.
It may be recommended that the supervisor-taking-medicine factor be sustained; continuous training be provided for cadres, family members, Woman's Club of the city/district/village, and health workers; and management skills of officials in Lung TB Program of the hospital be improved continuously. The health education by health workers for patients and community on Lung TB disease should be sustainable provided by means of poster, flyers, manual book. The health department of South Sumatera Province should keep providing anti Tuberculosis medicines of category 1, 2, and 3."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T1239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. M. Hamdi
"Prevalensi penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka saat ini masih cukup tinggi, sehingga untuk menanggulangi penyakit tersebut mulai tahun 1997/1998 Kabupaten Majalengka telah melaksanakan intensifikasi program penanggulangan tuberkulosis paru menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang merupakan bagian dari proyek intensifikasi pemberantasan penyakit menular atau intensified communicable disease control (ICDC). Target yang diharapkan dari program tersebut adalah penemuan kasus baru sebesar 70 % secara bertahap, angka konversi 80 %, dan angka kesembuhan sebesar 85 %.
Dari hasil evaluasi program penangulangan tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka tahun 1997-2000, ternyata dari indikator keberhasilan program, yaitu angka konversi dan angka kesembuhan belum mencapai target, sehingga perlu dilakukan tindak lanjut. Belum tercapainya angka tersebut dapat disebabkan atau ada hubungannya dengan ketidakpatuhan berobat penderita seperti hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa kesembuhan ditentukan juga oleh keteraturan/kepatuhan berobat. Hal tersebut didukung oleh angka ketidakpatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Majalengka yang masih cukup tinggi, yaitu tahun 1997/1998 sebesar 19 %, tahun 1998/1999 sebesar 16 %, dan tahun 1999/2000 sebesar 14 %.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kepatuhan berobat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru pada fase intensif di Kabupaten Majalengka tahun 1997-2000. Disain penelitian yang digunakan adalah disain/rancangan cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 380 orang yang menggunakan tehnik pengambilan sampel stratified random sampling/ proportional stratified sampling.
Hasil yang diperoleh, yaitu dari 380 responden terdapat 57,4 % yang patuh berobat dan variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru pada fase intensif adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap penderita, biaya transportasi, efek samping, peran pengawas menelan obat (PMO), dan sikap petugas. Dari ketujuh variabel tersebut, ternyata variabel yang paling kuat/erat adalah peran pengawas menelan obat (PMO) dan variabel efek samping,
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka untuk mengoptimalkan peranannya, PMO perlu dibekali dengan buku saku yang berisi tentang penyakit tuberkulosis dan pengobatannya serta untuk mendeteksi gejala efek samping dan melakukan penanganan sedini mungkin, sebaiknya kader dan PMO diberikan prosedur tetap (protap) cara mendeteksi dan melakukan penanganan efek samping obat anti tuberkulosis. Selain itu perlu penelitian lebih jauh mengenai kualifikasi PMO yang lebih cocok/diterima oleh penderita tuberkulosis.

Factors Related to Treatment Compliance the Patient of the Lung Tuberculosis at the Intensive Phase in the Regency of Majalengka in 1997-2000Lung tuberculosis prevalence in the regency of Majalengka is high. For disease control, since 1997/1998 regency of Majalengka has done intensified lung tuberculosis program used DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy which part intensified communicable disease control (ICDC). The target of program is case finding rate 70 %, conversion rate 80 %, and cure rate 85 %.
From result of evaluation lung tuberculosis control program in the regency of Majalengka in 1997-2000, in fact from indicator success program, namely conversion rate and cure rate have not got the target yet. So that need follow up. They caused by treatment incompliance like the result of the research whish said that the cure defined by treatment compliance. That matter is supported by treatment incompliance rate the patient of the lung tuberculosis in Majalengka regency is still high, namely in 1997-1998 was 19 %, 1998/1999 was 16 %, and 1999/2000 14 %.
This research aims to know the proportion treatment compliance and factors related to treatment compliance the patient of the lung tuberculosis at the intensive phase in the regency of Majalengka in 1997-2000. Cross sectional design was used in this study with 380 patients as the sample which was taken through a stratified random sampling/proportional stratified sampling method.
The result of this research, is from 380 patients is 57,4 % who obey to have treatment and variable that related to treatment compliance of the patient the lung tuberculosis at the intensive phase is level of education, knowledge about tuberculosis, attitude of patient, transportation cost, side effect, role of drug digestion observer, and attitude of health service. From the seventh variables, the role of drug digestion observer variable is very strong and side effect variable.
Based on the result of the research above, so for the maximum it's the role, drug digestion observer (DDO) is needed by hand book about the disease of tuberculosis and the cure, and for the detection of side effect and doing at first, it had better cadre and drug digestion observer a given a good procedure how to detection and doing side effect of the drug anti tuberculosis. Beside that it's needed longer research about the qualification of drug digestion observer better or received by tuberculosis patients.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T2757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Faradisa Hatta
"Mayoritas kasus tuberkulosis yang tidak terdiagnosis memiliki hasil sputum basil tahan asam negatif. Pembiakan Mycobacteria Growth Indicator Tube diperhitungkan sebagai penunjang pemeriksaan basil tahan asam dalam konfirmasi diagnosis tuberkulosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pewarnaan basil tahan asam terhadap BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960. Penelitian ini menggunakan studi uji diagnosis pada 188 sampel yang memenuhi kriteria penelitian dari Laboratorium Departemen Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo FKUI-RSCM. Data dianalisis secara komparatif kategorik berpasangan dengan uji McNemar. Dari 188 sampel 107 laki-laki dan 31 perempuan dengan median usia 35[17-76 tahun , hasil positif basil tahan asam scanty, 1 , 2 , 3 dan BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 berturut-turut adalah 32,9 62 sampel dan 59,6 112 sampel. Sensitivitas pewarnaan basil tahan asam terhadap BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 berbeda signifikan p=0,000 [8,1371e-13] . Melalui tabel 2x2 diketahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif pewarnaan basil tahan asam terhadap BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 berturut-turut adalah 52,7 ; 96,1 ; 95,1 ; dan 57,9 . Pemeriksaan BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih unggul daripada pemeriksaan BTA dan dapat digunakan untuk menunjang pemeriksaan BTA sebagai uji diagnostik TB.

The majority of undiagnosed tuberculosis cases have negative acid fast bacilli result. Culture with Mycobacteria Growth Indicator Tube is considered as a support to acid fast bacilli smear in confirmation of tuberculosis diagnosis. This study aims to determine the sensitivity and spesificity of acid fast bacilli smear against BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960. This study used a diagnostic test study in 188 samples that met the study criteria obtained from Clinical Microbiology Laboratory of Faculty of Medicine Universitas Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital FMUI RSCM . Data were analyzed with McNemar test. Out of 188 samples 107 males and 31 females with an average age of 35 17 76 years , positive results for acid fast bacilli scanty, 1 , 2 , 3 and BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 respectively were 32.9 62 samples and 59.6 112 samples. The sensitivity of acid fast bacilli smear against BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 is significantly different p 0,000 8,1371e 13 . Through the 2x2 table, the sensitivity, specificity, positive and negative predictive value respectively were 52.7 , 96.1 , 95.1 , and 57.9 . BACTEC Mycobacteria Growth Indicator Tube 960 has superior sensitivity than acid fast bacilli smear and can be used to support acid fast bacilli smear in diagnosing tuberculosis cases.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>