Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eddy
"Latar belakang: Saat ini debu tepung masih dianggap sebagai bahan yang tidak berbahaya/debu inert, sementara pada industri tepung terigu PT.ISM BSFM terdapat tendensi peningkatan gangguan saluran napas atas maupun saluran napas bawah. Penelitian bertujuan mencari hubungan antara gangguan faal paru pada pekerja dengan pajanan debu tepung dan faktor lain yang berhubungan, prevalensi keluhan serta prevalensi penyakit paru kerja.
Metode: Penelitian menggunakan desain studi Cross sectional internal kompartif terhadap dua kelompok pekerja yang terpajan rendah dan terpajan tinggi berdasarkan hasil pengukuran personal dust sampler(debu respirable). Studi dilakukan dengan mewawancarai 119 responden memakai kuesioner Pneumobile project Indonesia 1992, mengukur faal paru dengan spirometri dan pengukuran Arus puncak ekspirasi.
Hasil dan Kesimpulan: Kadar debu di bagian pengemasan dan penggilingan sangat tinggi mencapai 3 kali NAB. Terdapat penurunan faal paru berupa restriksi pada 37 % responden dan obstruksi 7,5%, di mana terdapat hubungan yang bermakna antara penurunan fungsi paru dengan status gizi, pekerja yang terpajan tinggi, lama merokok, umur dan lama kerja. Prevalensi keluhan batuk kronik 21,8 %, berdahak kronik 13,4 % dan sesak napas 18,5 %, sementara prevalensi penyakit paru kerja didapat 4,2 % responden yang menderita bronkitis kronik dan 14,3% asma di mana 1,7 % merupakan asma kerja.

Back ground: Today grain flour dust is still assumed as nontoxic dust, while several respiration disease (upper and low) are increase at PT.ISM BSFM the biggest grain mill in Indonesia. The goal of this study was to identify relation between the decrease of lung function and the exposure of grain flour dust, with some other related factor. To find prevalent of symptom and prevalent of occupational lung disease.
Method: Design of the study was a Cross-sectional study, with internal comparative of the two group workers (high exposure and low) that base on result of measurement of personal dust sampler (respirable dust). A simple working survey using Pneumobile Indonesia questioner was carrying out to 119 respondents, measurement lung function by spirometri and peak flow expiration.
Results and Conclusion: Study finding the high exposure of dust at the packing unit and milling unit, the concentration is 3 time greater than TLVs. Result of the lung function measurement found 37 % respondent were restriction and 7.5% obstruction, this respondent have significant relation with their body mass index, working in the high exposure place, length time of smoking, age and length time of working. Prevalent of chronic cough 21.8 %, chronic sputum 13.4 % and breathing difficulty 18.5 %, while prevalent of occupational lung disease were 4.2 % respondent with choric bronchitis and 14.3% asthma included 1.7 % occupational asthma.
"
Jakarta: Universitas Indonesia, 2002
T1704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhadi Raharjo
"Penyakit tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan dan pembangunan dimana Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus terbesar ke tiga di dunia. Cakupan program penanggulangan TBC di Kabupaten Cianjur masih rendah, sehingga Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Cianjur sebagai unit pelaksana di bidang kesehatan pare hares mampu bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur dalam menanggulangi masalah TBC paru di Kabupaten Cianjur. Agar penerapan DOTS di masa yang akan datang dapat berlangsung baik, perlu diketahui penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur saat ini. Penelitian bertujuan mengetahui penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang dibantu dengan analisis data sekunder. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu hasilnya tergantung pada sejauh mana informan memiliki pemahaman dan keterlibatan terhadap pelaksanaan penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur.
Dari basil penelitian diketahui penerapan dengan strategi DOTS di BP4 Cianjur belum optimal dan masih banyak permasalahan yang harus diperbaiki. Apabila dengan segera diperbaiki, BP4 Cianjur dapat menjadi unit pelayanan kesehatan paru yang baik di Kabupaten Cianjur karena BP4 Cianjur mempunyai peluang yang besar dalam penanganan TBC paru.
Dalam rangka perbaikan penerapan program di masa yang akan datang, peneliti menyarankan sebaiknya diagnosis disesuaikan dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yaitu dengan pemeriksaan dahak SPS. Dilakukan penambahan tenaga pelaksana yang jumlah dan jenisnya memerlukan kajian lebih lanjut. Dilakukan upaya peningkatan kemampuan manajemen BP4 Cianjur melalui pelatihan maupun pelimpahan wewenang yang lebih besar disertai dengan pembinaan teknis dan pengawasan yang memadai.. Penyuluhan sebaiknya dikelola dengan baik, perlu disiapkan tenaga khusus yang bertanggung jawab melaksanakan penyuluhan. Apabila memi-ingkinkan segera dibentuk Komite DOTS Kabupaten Cianjur sehingga diharapkan program penanggulangan TBC dapat terkoordinasi dengan baik dalam satu sistem yang terintegrasi.

Analysis on Implementation of Introduction DOTS Strategy in Cianjur Lung Clinic (BP4 Cianjur) to Fight Against Lung Tuberculosis in Cianjur District, 2003-2004 Tuberculosis still remains a major problem of health and development in Indonesia, which placed Indonesia in the third rank of lung tuberculosis cases in the world. Tuberculosis reduction program coverage in Cianjur district is still low, so the Cianjur Lung Clinic (BP4 Cianjur) should be able to collaborate with the Cianjur District Health Office to cope with the lung tuberculosis problem. To ensure the DOTS implementation could be working well, it needs to know how the DOTS implementation in BP4 Cianjur is carried out.
This is a qualitative approach study and supported by secondary data. This study has limitation on how the informan has the understanding and involvement on the execution of the DOTS strategy in BP4 Cianjur.
The result of this study show that implementation of the lung tuberculosis following the DOTS strategy is not optimal yet and still has a lot of problems that should be taken care. BP4 Cianjur could become the best lung clinic in Cianjur district because BP4 Cianjur has great potential in handling lung tuberculosis.
In order to enhance program implementation in the future based on this study, it recommend that the diagnostic of tuberculosis cases should be in compliance with the National Tuberculosis Handbook which uses sputum smear microscopy.. Recruiting more human resources with the numbers and types needs should be studied further. Any effort to improve the management ability of BP4 Cianjur through training and delegation of authority, including technical assistance and appropriate monitoring. Quality training for patients is therefore critical to success, it is important to assign a person who has the responsibility to train people. When it is possible, directly establish DOTS Committee in the Cianjur District, so the lung tuberculosis reduction program could be well organized and coordinated in one integrated system.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermawaty Rahmah
"Pencemaran udara ambien dari tahun ke tahun cenderung meningkat, terutama di Propinsi DKI Jakarta yang merupakan daerah industri dan wilayah dengan lalu lintas terpadat di Indonesia Karakteristik dari wilayah tersebut, memungkinkan konsentrasi SO2 dan PM10 udara ambien cenderung meningkat. Dampak dari konsentrasi S02 dan PM10 udara ambien yang tinggi merupakan salah satu dari meningkatnya penyakit saluran pemafasan atas atau disebut juga ISPA. Infeksi saluran pernafasan atas rnerupakan penyakit tertinggi dari sepuluh penyakit di kecamatan Cakung Jakarta Timur.
Wilayah kecamatan Cakung adalah wilayah yang sebagian besamya merupakan kegiatan industri. Dengan banyaknya jumlah industri dan padatnya aktivitas transportasi, diduga meningkatkan zat-zat pencemar, terutama debu atau PM10.
Adapun tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui hubungan konsentrasi S02 dan PM10 udara ambien dengan kasus ISPA di kelurahan-kelurahan yang ada di kecamatan Cakung. Populasi penelitian adalah kualitas udara di sekitar stasiun pemantau kualitas udara Kecamatan Cakung. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan metoda cross sectional yaitu dengan melihat rata-rata harian konsentrasi SO2 dan PM10 udara ambien dengan kasus ISPA pada bulan Januari 2001 sampai dengan bulan Juli 2002.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi S02 pada bulan Januari 2001 sampai dengan bulan Juli 2002 bila dibandingkan terhadap baku mutu udara ambien di wilayah Propinsi DKI Jakarta (Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta N0.55/ tahun 2001) masih berada di bawah baku mutu demikian pula dengan PMI0 bila dibandingkan terhadap baku mutu masih berada di bawah baku mutu. Kasus ISPA tertinggi terjadi di kelurahan Penggilingan sebesar 1.159 kasus, sedangkan kasus terendah di kelurahan Rawa Terate sebesar 251 kasus.
Berdasarkan hasil uji bivariat, hubungan konsentrasi PM1o udara ambien dengan kasus ISPA pada kelurahan-kelurahan yang ada di kecamatan Cakung tidak ada hubungannya secara statistik dengan α = 95%, kecuali pada kelurahan Palo Gebang terdapat hubungan yang kuat (r=0,585) antara konsentrasi PMI0 udara ambien dengan kasus ISPA. Sedangkan hubungan konsentrasi SO2 udara ambien dengan kasus ISPA pada kelurahan-kelurahan yang ada di keeamatan Cakung tidak ada hubungannya, kecuali pada kelurahan Cakung Barat terdapat hubungan yang kuat (r=0,473) antara konsentrasi S02 udara ambien dengan kasus ISPA."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Karnagi
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Kapas sebagai bahan dasar pembuatan tekstil masih tetap unggul karena ongkos tanam dan pengolahannya yang rendah. Debu kapas diketahui memberi dampak negatip pada paru manusia. Salah satu dampak negatip debu kapas pada paru manusia dikenal sebagai penyakit bisinosis.Dampak ini dapat diperkecil dengan penurunan konsentrasi debu kapas di lingkungan kerja pengolahan kapas dan pemantuan kesehatan pekerjanya secara teratur. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan prevalensi bisinosis dengan konsentrasi debu kapas di lingkungan kerja. Penelitian dilakukan pada sebuah pabrik tekstil di Jakarta dengan menggunakan metode kros seksional dengan jumlah sampel sebanyak 88 subyek yang terdiri dari 73 orang dari bagian spinning dan 15 orang dari bagian carding. Diperiksa konsentrasi debu kapas di lingkungan kerja bagian spinning dan carding kemudian dibandingkan prevalensi bisinosis batuk kronik, bronkitis kronik dan obstruksi akut serta obstruksi kronik serta kebiasaan merokok pekerja melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru.
Hasil dan kesimpulan : Konsentrasi debu di bagian spinning dan carding masing-masing 0,407 mg/M3 dan 0,396 mg/M3. Secara statistik hal ini tidak berbeda walaupun dengan NAB (0,2 mg/M3) berbeda sangat bermakna. Didapatkan prevalensi bisinosis sebesar 27,3 % ,batuk kronik 6,9%,bronkitis kronik 4.5 7. dan obstruksi akut 4,5 %. Tidak ditemukan perbedaan prevalensi bisinosis antara bagian spinning dan carding. Demikian juga prevalensi batuk kronik, bronkitis kronik, obstruksi akut. Tidak didapat hubungan yang bermakna antara bisinosis dengan bronkitis kronis dan obstruksi akut. Didapatkan hubungan bermakna antara bisinosis dan battik kronik dan kecenderungan pekerja yang mengalami bisinosis mempunyai risiko 6 X untuk mendapatkan battik kronik dibandingkan yang tidak mengalami bisinosis."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Arifin Nawas
"Berdasarkan SK Menkes Nomer : 552/Menkes/SK/VI/1994, dimana dalam misi khusus RSUP Persahabatan ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Nasional untuk Penyakit Paru. Pelayanan penyakit paru di RSUP Persahabatan sudah dimulai sejak awal berdirinya yaitu pada tahun 1965, pada masa itu masih ada dokter dan para medis Rusia. Kemudian RSUP Persahabatan berkembang menjadi RS Umum kelas B pedidikan, dimana dimulainya pendidikan dokter spesialis paru dan juga bedah paru dilakukan baik untuk pasien yang berasal dari Jakarta, maupun dan luar Jakarta. Apakah RSUP Persahabatan dengan melaksanakan pelayanan rujukan paru ini, sudah menggambarkan sebagai Pusat Rujukan Nasional Penyakit Paru, maka dilakukan penelitian ini. Masalah yang diteliti yaitu kompetensi teknis berupa kemampuan sumber daya manusia, sarana dan fasilitas, kemudian kemampuan manajerial dan tata laksana. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, pengumpulan data dengan wawancara dan data sekunder pada saat ini. Hasil yang diperoleh adalah RSUP Persahabatan mempunyai kompetensi sumber daya yang cukup untuk pelaksanaan Pelayanan Rujukan Nasional Penyakit Paru, sarana dan fasilitas cukup tersedia, kompetensi manajerial dan tata laksana, cukup baik, hanya pemasaran perlu ditingkatkan. Kesimpulan : RSUP persahabatan cukup kompeten sebagai Pusat Rujukan Nasional untuk Penyakit Paru. Saran : Peningkatan kualitas SDM dan pembinaan jaringan rujukan, serta meningkatkan pelayanan pemasaran.
Ministry of Health has decided, through his authoritative letter No. 552/ Menkes/SK/VI/1994, Persahabatan General hospital as the National Hospital for lung disease. Persahabatan General Hospital offered services for lung disease since its first operation in 1965 when there were still some Russian paramedic and doctors. The Hospital then was developed as a general Teaching Hospital lass B. The pulmonology and Thoracic Surgery department starting specialist program and rendering services not only for patients from Jakarta but also from the other regions. This study was conducted to ensure whether the Persahabatan Hospital cold play its role or not, as the national referral hospital for lung diseases. The study was focused on technical competence, such as human resources development, facilities, and managerial skill. The method used was qualitative descriptive based an data collected through interview and currently secondary data. The result was that Persahabatan General Hospital had sufficient human resources in rendering services for performing the national top referral hospital for lung diseases as well as facilities and managerial skill, but the marketing still needed some improvement. Conclusion : Persahabatan General Hospital was competent as the national top referral hospital for lung diseases. Recommendation : The quality of human resources due the fast changes in technology, referral network, and marketing still need some improvement."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Meily Kurniawidjaja
"Pendahuluan: Silikosis adalah penyakit paru interstitial yang diakibatkan oleh proses inflamasi kronik dan fibrosis jaringan paru. Terjadinya perubahan struktur patologik dan timbulnya gangguan fungsi para. TNF-α merupakan salah satu faktor yang berperanan dalam proses inflamasi. Kepekaan tubuh terhadap produksi TNF-α yang dipicu oleh inflamasi kronik, salah satunya, ditentukan oleh variasi genetik gen TNF-α pada posisi -308. Faktor lain yang ikut menentukan respons inflamasi sebagai akibat dan pajanan debu adalah kadar IL-10 yang merupakan sitokin anti-inflamasi, yang dikeluarkan setelah terjadi proses inflamasi. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian imunogenetik terhadap terjadinya silikosis pada pekerja pabrik semen, dengan mengkaji variasi genetik gen TNF-α pada posisi -308, dan dinamika interaksi sitokin proinflamasi TNF-α dengan sitokin anti-inflamasi IL-10.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan mengikutsertakan 6.069 orang yang merupakan pekerja yang sudah bekerja dan terdaftar di bagian personalia pada tanggal 31 Desember 1990, ditambah pekerja yang diterima pada tahun-tahun berikutnya sampai dengan 31 Desember 2003, di salah satu pabrik semen di Jawa Barat. Kontribusi variasi genetik terhadap kerentanan silikosis dilakukan melalui studi prospektif dengan desain tested case control pada 336 pekerja. Diagnosis silikosis menggunakan standar ILO kategori 0/1 atau lebih. Studi laboratoris pemeriksaan gen DNA dilakukan dengan teknik PCR-RFLP, dengan menggunakan enzim Ncol untuk melihat variasi genetik pada posisi -308. Kadar TNF-α dan IL-10 diperiksa dengan menggunakan teknik ELISA. Analisis statistik dengan komputer menggunakan perangkat Stata 7.0. Penilaian peranan faktor-faktor risiko terhadap terjadinya silikosis dan pembuatan model penskoran, dilakukan dengan analisis kesintasan dan analisis multivariat dengan regresi cox.
Telitian: Temuan penting dari penelitian ini adalah berikut: (1) di pabrik semen ditemukan silikosis/pneumokoniosis. Insiden kumulatif selama 13 tahun, jika digunakan kriteria ILO kategori >0/1, yaitu 2,899%; jika >1/1, yaitu 2,043%; tidak ditemukan kasus kategori >1/1; dengan densitas insiden, setiap tahun dan 10.000 orang pekerja sekitar 16 orang akan terkena silikosis/pneumokoniosis; (2) foto serial meningkatkan ketelitian diagnosis silikosis/pneumokoniosis; (3) bentuk klinis silikosis/ pneumokoniosis yang ditemukan adalah bentuk simpleks, yang menimbulkan bronkitis kronik simpleks, tanpa disertai sesak napas, tidak berhubungan dengan penyakit tuberkulosis paru, berhubungan dengan penurunan VEP, dan KVP yang lebih cepat; (4) penurunan VEP, (38,38±25,31 ml/thn.) dan KVP (36,76±26,37 ml/thn.) pekerja pabrik semen lebih cepat daripada orang Indonesia normal; (5) proporsi variasi genetik gen TNF-α pada posisi -308 di Indonesia lebih besar pada kasus silikosis (13,45%); (6) rasio TNF-αIL-10 temyata memegang peranan paling penting dalam terjadinya silikosis; TNF-α:IL-10>1 merupakan faktor risiko terhadap terjadinya silikosis di pabrik semen; pekerja dengan rasio >1 berisiko tiga kali lebih sering terjadi silikosis jika dibandingkan dengan yang <1; (7) umur pertama kali masuk kerja merupakan faktor yang ikut berperanan dalam terjadinya silikosis: umur >31 tahun mempunyai risiko dua kali lebih sering terkena silikosis jika dibandingkan dengan umur <31 tahun; (8) rasio TNF-αIL -I0 >I mengakibatkan penurunan fungsi paru KVP lebih cepat jika dibandingkan dengan nilai rasio <1; (9) dari temuan di atas dapat dibuat sistem penskoran untuk melakukan prediksi terjadinya silikosis pada pekerja semen.
Simpulan: Mekanisme terjadinya silikosis pada pabrik semen temyata sangat kompleks; terjadi interaksi antara variasi genetik, sistem imun, dan faktor lingkungan. Variasi genetik gen TNF-α pads posisi -308 menyebabkan risiko seseorang mendapatkan silikosis/pneumokoniosis lebih besar daripada orang yang tidak mempunyai variasi genetik tersebut. Rasio TNF-αIL-10 >1 mengakibatkan reaksi inflamasi yang berlebihan dan berakhir dengan fibrosis, kemudian ini akan mempengaruhi terjadinya penurunan fungsi paru yang lebih cepat. Diperlukan penelitian lebih lanjut, terutama analisis cost-benefit, untuk melihat bagaimana temuan ini dapat diterapkan di dalam pengambilan kebijakan di bidang kesehatan kerja. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gen, sitokin, dan debu fibrogenik lain yang diduga turut berperanan dalam terjadinya silikosis/pneumokoniosis pada pekerja semen.

Introduction: Silicosis is an interstitial lung disease caused by a chronic inflammation and fibrosis, causing a pathological structural alteration and lung function disorder. TNF-α is one of the factors responsible in inflammation. One factor determining body susceptibility toward TNF-α production stimulated by chronic inflammation is the genetic variation on TNF-α locus -308. The other factor that determines the response toward inflammation caused by mineral dust exposure is the IL-10 level that is the anti-inflammation cytokine secreted after the inflammation. The aim of this study is to analyze the immunogenetic factor on silicosis occurrence among cement factory workers, by examining the genetic variation on TNF-α locus -308, and the dynamic interaction of TNF-α as a pro-inflammation cytokine with the IL-10 as an anti-inflammation cytokine.
Method: This study is conducted with 6,069 workers who were registered in the cement factory during the period of 31 December 1990 to 31 December 2003; the factory is located in West Java province. A prospective study with Nested Case Control design is conducted on 336 workers to test the genetic variation contributed to silicosis susceptibility. Silicosis, is diagnosed by using the criteria 0/1 or higher of ILO standard. To examine the DNA, we use the PCR-RFLP technique using the NcoI enzyme to look at the genetic variation on locus -308. The TNFα and IL-10 levels are measured using the ELISA technique. Statistic analytical computation is using Stata 7.0 software. Silicosis's risk factors assessment and scoring model development are conducted by survival analysis and Cox regression multivariate analysis.
Result: The important findings from this study are: (1) the cumulative pneumoconiosis incidence in cement factory for the thirteen years duration, based on ILO criteria >0/1 is 2.899%; if based on > 1/1 the incidence is 2.043%; case of >1/1 was not found. The Incidence density is 16 silicosis cases per 10,000 workers per year; (2) serial photos taken using the ILO standard, improve the diagnosis; (3) the cases found are simple silicosis, causing simple chronic bronchitis, with no shortness of breath, not related to lung tuberculosis, but related to rapid decline of FEV1 and FVC; (4) FEV1 declining (38.38 ± 25.31 ml/year) and FVC declining (36.76 ± 26.37 ml/year) are faster than the Indonesia normal population; (5) the proportion of the genetic variation on TNF-a on locus -308 in Indonesia is higher on silicosis cases (13.45%), lower than the cases among coal-mining workers in South Africa or underground gold-mining workers in North America; (7) TNF-α IL-10 ratio observably plays a significant role in silicosis; the TNF-α IL-10 ratio >1 is a risk factor in silicosis in cement factory. Workers with the ratio of more than 1 have three times probability of silicosis incidence compared to those with less than 1 ratio; (8) the age when first entering the work force is a factor that plays a role in silicosis: the age of >31 years old has twice the risk to be affected by silicosis compared to those who are less than 31 years old. (7) The ratio of TNF-α IL-10> 1 causes a rapid decline of lung function compare to ratio <1. (8) From the above findings, the scoring system for predicting the silicosis among cement factory workers could be made.
Conclusion: The findings of this study prove that silicosis or pneumoconiosis occurs in cement factories in Indonesia with relatively low incidence, previously the data is not available. The mechanism of silicosis in cement factory is evidently very complex; there is the interaction among genetic variation, immune system, and environmental factors. The genetic variation of TNF-α locus -308 causes the risk factor of an individual is higher compared to others without that genetic variation. This happens due to individuals with the genetic variation on TNF-α locus -308 produces more TNF-αcytokine compared to individuals without that genetic variation, when exposed to mineral dust continuously. Thus, more TNF-α cytokine causes the ratio of TNF-α IL-10 (inflammation and anti-inflammation cytokines) is greater than 1, causing an inflammation over reaction and eventually causing fibrosis, and then this will affect a more rapid decline of lung function. A further study is required to consider how the findings from this study can be applied to the policy making in occupational health area by doing the cost-benefit analysis. Besides that, further study on other genes, cytokines and fibrogenic dust, which might play role in cement workers silicosis/pneumoconiosis, are needed to conduct.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
D582
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita R. M. Berliana S.
"Produksi semen telah diketahui menyebabkan pencemaran pada lingkungan termasuk tenaga kerja. Hasil sampingan saat diproduksinya semen adalah debu yang merugikan, secara pembangunan nasional meningkatnya produksi semen menguntungkan akan tetapi juga menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan para pekerja. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi gangguan fungsi paru pada karyawan dan faktor yang berhubungan. Penelitian bersifat deskriptif menggunakan disain cross sectional, data didapatkan melalui laporan observasi, kuesioner, pemeriksaan fisis, pengukuran kadar debu dan spirometri. Jumlah yang diperiksa sebanyak 138 karyawan, dilakukan analisa dan hasil yang didapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antar gangguan faal paru restriksi atau obstruksi dan umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, masa kerja, perokok dan penggunaan Alat Pelindung. Hubungan antara pajanan debu dengan gangguan fungsi paru tidak diidentifikasi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan Personal Dust Sampler serta pemeriksaan foto toraks.

Cement production was known as the source of pollution in the environment as well as to the workers. Cement dust is very hazardous which is one of the main side products of the factory while at the other side; cement production was really needed for the physical development of the country. The study was aiming to improve cement "col." factory's workers through identifying the lung function disorders and the related factors. The design of study was cross sectional and data were collected through observations report, questionnaires, physical examination, dust measuring and spirometer. There were 138 samples analyzed and results of study reported no significant relationship existed between lung obstruction and age, level of education, work status, duration of work, smoking behavior, and using of mask. Relationship between dust exposure and lung function disorders were not yet identified As suggested, extension of study should be done using personal dust samplers as well as photo thorax measurement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Memah
"Obstruksi paru sangat mempengaruhi aktivitas fisik, kesehatan dan produktivitas kerja. Petugas pemadam kebakaran yang mengalami gangguan obstruksi paru menghadapi masalah pernapasan seperti sesak, produksi dahak berlebihan dan kesulitan mencukupi tubuh akan oksigen. Tujuan penelitian meningkatkan derajat kesehatan petugas pemadam kebakaran melalui identifikasi gangguan obstruksi paru dan risiko yang mempengaruhinya serta mengupayakan pencegahan, menumbuhkan kesadaran untuk memperbaiki perilaku kerja sehat dan selamat. Metode penelitian potong lintang bersifat deskriptif analitik, mengukur gangguan obstruksi paru dengan responden petugas pemadam kebakaran kota Jakarta lima wilayah Suku Dinas. Data penelitian berupa observasi laporan, pengisian kuesioner, pemeriksaan fisis, ronsen dan sprirometri.Jumlah sampel n-357 responden. Hasilnya dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS 11,5, terdapat hubungan bermakna antara obstruksi paru dengan umur, yakni (p = 0,020) dengan OR 4,789 (CI 95%) dimana petugas pemadam kebakaran umur di atas 40 tahun risiko gangguan obstruksi paru 4,78 kali. Sementara faktor lain temyata tidak ada hubungan yang bermakna dengan obstruksi paru. Dari penelitian ini perlu dilakukan upaya mengatasi gangguan obstruksi paru dengan mengalihtugaskan atau mengurangi shift kerja di atas umur 40 tahun.

Pulmonary obstructive disorder largely affects physical activities, health and work productivity. The fire fighter suffering from pulmonary obstructive disorder has respiratory problems such as hard breathing, extensive mucus production etc. The objective of this study is to increase the fire fighters' health through, pulmonary obstructive identification and its risk factors. The research method was cross sectional descriptive analytic by measuring pulmonary obstructive disorder of respondents who were fire fighter in Jakarta. Data was obtained from observation, reports, filled questionnaires, physical examination, chest roentgen and spirometer. The number of samples analyzed was 357 respondents. The analyses of statistics used SPSS 11.5 and study results reported that there was significant relationship between pulmonary obstructive disturbance and respondents age (p = 0.05) with OR 4,748 (CI 95%: 0.98-19.6). The other independent factors i.e., level of education, work status, length of exposure, uration of work, frequency of fire extinguishing, smoking habit and using masks for body protection had no significant relationships with pulmonary obstruction. Suggestions were made to put workers in specific department considering their age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ratna Sari H.
"Latar Belakang : Dari data poliklinik PT.X didapatkan bahwa pekerja dipabrik tissu yang menderita bronkitis cukup tinggi (5,4%) dan ISPA 86,7%. Dari penelitian sebelumnya tentang pajanan debu uang kertas didapatkan prevalensi obstruksi paru 19,4%.
Metode Penelitian: Desain penelitian dilakukan secara kros seksional dengan jumlah sampel 108 orang melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spirometri dan pengukuran debu lingkungan kerja.
Hasil: Prevalensi bronkitis kronis didapatkan 9,26 %. Dan hasil analisis maka faktor umur, masa kerja, pendidikan, debu tissu, ventilasi, pemakaian APD dan kebiasaan merokok tidak ada hubungan bermakna dengan timbulnya bronkitis kronis. Hasil pengukuran debu lingkungan di bawah Nilai Ambang Batas. Dari analisa didapatkan kebiasaan merokok mempunyai risiko 2,81 kali lebih besar daripada yang perokok ringan dan bukan perokok.
Kesimpulan: Faktor risiko karakteristik pekerja dan faktor lingkungan tidak ada hubungan dengan timbulnya bronkitis kronis. Merokok merupakan faktor resiko pada pekerja.

Background : According to data from policlinic in tissue paper industry PT. X, much workers with chronic bronchitis (5,4%) and Upper Respiratory Diseases 86,7%. From the previous research about paper money dust exposure has found chronic obstruction disturbance 19,4 % prevalence.
Methodology : The relationship of environment dust and bronchitis chronic will found with cross sectional method, with 108 samples by interview, physic examination, and environment dust measurement.
Results and conclusion : Chronic bronchitis prevalence is 9,26 %. The analysis found that age, period of working, education, environment dust, ventilation, smoking and masker are not significant to prove bronchitis chronic. Total dust exposure has found lower from international standard. Smoking habits group have 2,81 more high risk than group without smoking.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16223
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Fahrudin
"Latar belakang: PT X adalah produsen tepung gandum, dimana dalam proses produksinya dihasilkan debu tepung yang mencemari lingkungan kerja. Debu tepung gandum yang masuk ke saluran nafas pekerja dapat menyebabkan penyakit pada saluran nafas yaitu Rinitis Akibat Kerja.
Metode: Tujuan dari penelitian ini yaitu diketahuinya faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan Rinitis Akibat Ketja. Penelitian ini dilakukan dengan desain studi kasus kontrol untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko pada pekerja dan terjadinya Rinitis Akibat Kerja. Responden adalah pekerja yang bekerja di bagian Pengepakan yang memenuhi syarat inkiusi, berjumlah 215 responden. Data yang dikumpulkan yaitu variabei babas (umur, masa kerja, pakai APD, riwayat atopi dan kebiasaan merokok) dan variabel iergantungnya Rinitis Akibat Kerja.
Hasil: Hasil pengukuran kadar debit personal melebihi NAB (4 mg/m3) yaitu di proses pengepakan sebesar 5.66 mglm3 dan proses pengayakan sebesar 15.12 mg/rn3. Dari 215 responder didapatkan 82 responden (38.1%) yang menderita Rinitis Akibat Kerja atau kasus dan 133 responden (61.9%) yang tidal( menderita Rinitis Akibat Kerja sebagai kontrol. Riwayat atopi dan Pemakaian Mat Pelindung Diri yang kurang baik, berhubungan dengan terjadinya Rinitis Akibat Kerja yaitu masing-masing dengan OR--4.24; p 0.00; 95% CI 2.35-7.66 dan OR 2.06; p 0.014; 95%CI 1.16-3.65.
Kesimpulan: Pajanan debu tepung di udara bagian Pengepakan melebihi Nilai Ambang Batas. Faktor yang berhubungan dengan Rinitis Akibat Kerja pada pekerja bagian Pengepakan adalah adanya riwayat atopi dan pemakaian Alat Peiindung Diri (masker) yang kurang baik.

Background: PT X is a factory produces whole-wheat flour which its process generates flour dust that contamined working environment especialy at packaging area Inhaled flour dust may affect to workers'respiratory tract, then included Occupational Rhinitis.
Method: This study was conducted by using ease control design to look at the relation between worker characteristics, length of service, atopic history, personal protection equipment use and smoking habit. 215 study subjects who work for Packaging Department and fulfilled inclution criteria were involved in this study. Collected data were consisted of Occupational Rhinitis as dependent variable and its risk factors as independent variables.
Result: The level of personal dust exposure were 5.66 mg/m3 at packaging area and 15.12 mg/m' at the filtering process which exceeded Treshold Limit Value of 4 mglm3. 82 subjects (38.1%) of 215 total respondent were diagnosed Occupational Rhinitis. In contrast 133 subjects (61.9%) were not Occupational Rhinitis as a control group. Statistical analysis shows that unappropriate use of personal protection equipment and atopic history have significant association with the risk of Occupational Rhinitis (OR 2.06; 95%Cl; 1.16-3.65 and OR 4.24; 95%Cl; 2.35-7.66).
Conclusion: The exposure levels of the flour dust in the air of Packaging Department were above Treshold Limit Value. Factors assosiated with the Occupational Rhinitis at the workers of the Department of Packaging are atopic history, and unappropriate use of personal protection equipment (masker).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>