Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Abstrak :
Governance implementation at central and local government, role of bureaucracy determines much the success of various development activities and programs. In fact governance bureaucracy hasn't been effective yet to make governance figure that is able to progress and increase community's standard of living. Furthermore, bureaucracy is concentrated to meaningfulness implementation on internal role of governance . As a consequence, service role to community conducted by governance bureaucracy isn't effective yet. A fundamental issue of governance governance isn't effective yet in case of service to community is not bureaucracy system that has been developing more considered as the most important to spell out the patterns of hierarchical , procedural and centralized power. To realize local governance bureaucracy who serve community needs reformation agenda on local governance to reform pattern of power that serves, reformation on bureaucracy system, hierarchical and procedural perofrmance and governance bureaucracy performance.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mustari Irawan
Abstrak :
Masalah desentralisasi di Indonesia berkaitan dengan pengalihan urusan ke daerah yang dimaknai dan diwujudkan dalam pembentukan organisasi perangkat daerah melalui regulasi lokal. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya mengakomodir prinsip dan karakter desentralisasi. Sebagai kota periphery dari Jakarta, kota Tangerang dijadikan sebagai city example. Organisasi Perangkat Daerah dianalisis dengan mengadopsi konsep hirarkhi proses kebijakan dari Broomley, berfokus pada analisis tiga level pelembagaan regulasi, regulasi nasional pada level makro, regulasi daerah pada level meso dan mikro. Soft Systems Methodology (SSM) digunakan sebagai analisis metodologi karena bersifat holistic serta pendekatan kualitatif dengan sumber data melalui wawancara terhadap beberapa key informant. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, analisis penataan ulang pembentukan organisasi perangkat daerah mengisyaratkan perlunya merevisi Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah terkait muatan tentang kelembagaan organisasi perangkat daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan Kota. Pada level meso, penerapan desentralisasi dilakukan dengan mengubah Peraturan Daerah sesuai dengan UU dan PP; pada level mikro-1, organisasi efektif dapat terbentuk apabila SKPD mampu bersifat adaptif, pimpinan yang memiliki kapabilitas dan kapasitas kompetensi dan manajemen kerja yang didukung SDM aparatur. Pada level mikro-2, peningkatan efektifitas organisasi dapat terbentuk apabila dilaksanakan optimalisasi struktur, tugas pokok dan fungsi organisasi yang adaptif terhadap kebutuhan lingkungan. Rekomendasi level makro adalah revisi dan pengesahan UU dan PP tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah; pada level meso Peraturan Daerah tentang SKPD segera disusun dan diformulasikan agar organisasi perangkat daerah dapat terbentuk sesuai dengan prinsip desentralisasi; pada level mikro-1, pengembangan struktur, tugas pokok dan fungsi secara organisasional dilakukan agar organisasi perangkat daerah dapat adaptif dengan dinamika perubahan; pada level mikro-2, dilakukan melalui penyusunan struktur, tugas pokok dan fungsi berdasarkan pada konsep local governance. ......The problem of decentralization in Indonesia is related to transfer of control to local government. This has been implemented by the formation of local government organization under various forms of local regulations. However, this formation has not yet in line with the principles and characteristics of decentralization. As the peripheral city, Tangerang was considered as a city example. The organization of local government was analyzed by adopting the Broomley?s hierarchy concept of policy process. It focused on three levels of institutional regulation, namely national regulation on macro level, and local regulation on mezzo and micro levels. Soft Systems Methodology (SSM) was used as the methodology analysis for its holistic nature. Qualitative method with data source from interviews of some key informant was also employed in this research. The research concluded that on macro level, the analysis of reconstructing the organization formation indicated that it is required to revise the Law on Local Government and the Government Regulation on Organization of Local Government in accordance with the needs of the city. On mezzo level, the implementation of decentralized system can be employed efficiently by revising Local Regulations in accordance with the Law and the Government Regulation; on micro-1 level, an effective formation of organization shall be formed when the local government is adaptive and that the senior officers in that organization obtain good capability and capacity. Moreover, they ought to develop work management which will be supported by their staffs. On micro-2 level, the effectiveness of organization shall be achieved when the structures, tasks and functions of organization is optimal and adaptive towards the environment. The recommendation of macro level is that there is a need of revising and stipulating of the Law and Government Regulation on the Formation of Local Government Organization; on mezzo level, it is concluded that the Local Regulation on the Local Government Organization needs to drafted and formulated so that it can be utilized in accordance with the principles of decentralization; on micro-1 level, the structures, tasks and functions development needs to organized so that it will be adaptive towards the dynamic changes; on micro-2 level, there is a need of revising structures, tasks, and functions that are based on the local governance concept.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2065
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
Abstrak :
Disertasi ini membahas ttg Desentralisasi yg merupakan modernisasi birokrsi yang dilakukan oleh Pemerintah Hidia Belanda. Kebijakan desentralisasi dikeluarkan karena adanya tuntutan perlunya partisipasi masyarakat dalan\m pengolaan negara. Landasan desentralisasi pertama undang2 desentralisasi tahun 1903, yg kemudian diperbaharui melalui undang2 pembahruan Pemerintah, tahun 1922.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
D1563
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Rika Valentina
Abstrak :
Abstract. So far an integrity system was designed by the State, followed by any kind of sanction, when an act of corruption had been committed; thus resulting in a systemic circle of corruption. Reconstructing corruption on the basis of text and theory cannot only be conducted editorially; but must also consider the emergent phenomena. There is something ”missed” by the State, i.e. anti corruption integrity can be initiated from local wisdoms of each region, by employing Model of National Integrity, as suggested by Jeremy Pope, and four indicators of OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) as mentioned in Components of Integrity: Data and Benchmarks for Tracking Trends in Government, adopted to generate a local-based model of national anti corruption integrity system on the lowest tier of government in West Sumatera, namely Nagari Kapau of Agam District and Nagari Ketaping of Padang Pariaman District. This research was conducted by employing the method of Grounded Theory. The result of this research shows that inside a Nagari, its apparatus, people and institutions can make join commitment by adopting the virtues of local culture in developing Nagari with integrity principle (anti corruption).

Abstrak. Selama ini sebuah sistem integritas yang dirancang oleh negara, ketika suatu korupsi sudah terjadi dan baru menetapkan bentuk sanksi yang menyertainya, sehingga membuat lingkaran korupsi menjadi sistemik. Merenkonstruksi korupsi berdasarkan teks, dan teori korupsi ternyata tidak hanya ditafsirkan secara redaksional tetapi juga bisa melihat fenomena yang berkembang. Ada sesuatu yang ”luput” dari perhatian negara bahwa integritas anti korupsi ternyata bisa bermula dari kearifan lokal budaya masing-masing daerah, dengan menggunakan Model Integritas nasional yang dikemukan oleh Jeremy Pope dan empat Indikator dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam dokumen Components of Integrity: Data and Benchmarks for Tracking Trends in Government, diadopsi untuk menciptakan sebuah model integritas nasional anti korupsi berbasis lokal pada pemerintahan terendah di Sumatera Barat yaitu Nagari Kapau Kabupaten Agam dan Nagari Ketaping Kabupaten Padang Pariaman. Penelitian ini menggunakan metode Grounded Theory. Hasil penelitian menyebutkan bahwa didalam nagari, perangkat nagari dan masyarakat serta lembaga nagari bias membuat komitmen bersama dengan mengadopsi nilai-nilai budaya lokal dalam membangun nagari dengan prinsip integritas (anti korupsi).
2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshikawa Kazuki
Abstrak :
In the eighteenth and nineteenth centuries, Vietnamese dynasties attempted to extend their reach to Vietnam’s northern uplands—one of the most important regions in the integration of the state. This study examines local governance in the northern uplands during the early Nguyễn period, through an analysis of official documents—particularly the report submitted by the governor-general of the northern provinces (tổng trấn Bắc Thành) in the tenth month of the tenth year of Gia Long (1811). During the eighteenth century, the Lê Dynasty (r. 1428–1527, 1533–1789) depended on local chieftains to administer tax collection and military service in each commune of the northern uplands. After occupying northern Vietnam, the Nguyễn Dynasty found it difficult to gather information on the local chieftains in the northern uplands. It was unable to allocate sufficient resources and manpower to gather this information. In addition, regional officials (such as the governor-general of the northern provinces) did not provide this information to the Nguyễn court, and only some local chieftains cooperated with the Nguyễn Dynasty. Until 1810, the number of chieftains who took on the responsibility of tax collection, drafting soldiers in each commune, and gathering information on the northern uplands—thus cooperating with the Nguyễn Dynasty’s local system of governance—was smaller than the number during the Lê Dynasty. In 1810 the Nguyễn court compiled a list of local chieftains in the northern uplands; this list included the chieftains’ names, the communes where they were registered, and the communes where they collected taxes and drafted soldiers. This indicates that the Nguyễn court attempted to govern the upland provinces by consolidating information on the chieftains. However, it was still difficult for the Nguyễn court to gain full information on the local chieftains since the governor-general of the northern provinces and provincial officials appointed them without reporting to the court. This continued until the Minh Mạng emperor’s (r. 1820–41) well-known reforms, including abolishing the post of governor-general of the northern provinces and the hereditary status of local chieftains. Thus, through examining the transitioning local governance in the northern uplands, this study clarifies the Nguyễn Dynasty’s difficulty in integrating the state during its early years.
Japan: Southeast Asian Studies, Kyoto University, 2023
330 JJSAS 60:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Riandy Laksono
Abstrak :
Peningkatan kesejahteraan dan perkembangan aktivitas ekonomi nonpertanian di perdesaan merupakan suatu indikator yang mencerminkan keberhasilan proses pembangunan di perdesaan. Penelitian ini memandang bahwa pencapaian tersebut tidak dapat tercipta dengan sendirinya; dibutuhkan suatu kebijakan pemerintah yang tepat sebagai landasannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih dalam kontribusi infrastruktur, sebagai suatu bentuk kebijakan pemerintah, dalam mendorong perkembangan aktivitas ekonomi non-pertanian dan pengentasan kemiskinan di perdesaan. Model regresi probit dan tobit digunakan untuk menganalisis pengaruh dari infrastruktur fisik, jasa, institusi dan indikator non-infrastruktur lainnya terhadap status kemiskinan dan perkembangan aktivitas ekonomi non-pertanian rumah tangga perdesaan, berdasarkan data cross section survey IFLS4 2007. Hasil regresi menunjukkan bahwa kelancaran proses pengentasan kemiskinan dan perkembangan aktivitas non-pertanian di perdesaan membutuhkan infrastruktur jalan yang berkualitas, sistem pasokan listrik yang handal, sistem irigasi yang modern, kualitas tata kelola pemerintahan kabupaten yang baik, dan tingkat pendidikan kepala keluarga yang memadai. Kepemilikan lahan dapat membuat rumah tangga di perdesaan terhindar dari kemiskinan, walaupun hal tersebut bukanlah suatu persyaratan untuk dapat terlibat dalam bisnis non-pertanian. Infrastruktur jasa memiliki peran yang bervariasi didalam pengentasan kemiskinan dan perkembangan aktivitas non-pertanian di perdesaan, sedangkan jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak dapat mendorong perkembangan sektor ekonomi non-pertanian di perdesaan. Penelitian ini juga berhasil mengkonfirmasi secara statistik keabsahan premis utama yang menyatakan bahwa partisipasi ke sektor non-pertanian dapat menjadi strategi yang tepat bagi rumah tangga di perdesaan agar terhindar dari kondisi kemiskinan. ...... The increased of general welfare and spreading of rural non-farm activity represent the triumph of development process in rural area. This study argues that such achievement needs appropriate policy intervention as its cornerstone. This research aims at analyzing the role of infrastructure, as a policy intervention, in stimulating the development of non-farm activity and poverty reduction in rural area. Probit and tobit regression are used to analyze the impact of physical, services, and institutional infrastructures as well as non-infrastructure variables on poverty status of the rural household and development of non-farm economy, based on cross sectional survey data of IFLS4 2007. The regression result suggests that the success of poverty reduction and development of non-farm activity in rural areas requires qualified road network, reliable electricity supply, advanced irrigation system, good corporate governance at municipality level, and higher education attainment of head of the rural household. The land ownership can keep the rural household out of poverty, though it is not a pre-requisite to participate in the non-farm economy. Services infrastructures have a mix impact on poverty reduction and rural non-farm activity, while the size of the household can support the development of rural non-farm economy. The study also statistically confirmed the validity of the basic premise that the participation of rural household into the non-farm economy would serve as a strategy to be spared out of poverty status.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Munandar
Abstrak :
Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi momentum bagi daerah untuk dapat lebih leluasa mengatur sendiri penyelenggaraan rumah tangganya berdasarkan aspirasi masyarakat lokal di daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat menentukan sendiri pekerjaannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu segera melengkapi dirinya dengan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Karena kelembagaan perangkat daerah adalah `tools' bagi pemerintahan daerah untuk dapat bergerak dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya itu. Dengan penataan kelembagaan perangkat daerah yang disesuaikan dengan yang dibutuhkan di Kota Bengkulu, diharapkan Pemerintah Kota Bengkulu dapat bekerja dengan lebih optimal, efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Kota Bengkulu. Agar dapat melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah maka diperlukan assesmen terhadap kebutuhan daerah itu sendiri. Dalam hal ini kebutuhan daerah ditentukan dari kebutuhan akan penyediaan pelayanan dasar (basic services) dan kebutuhan pengembangan potensi-potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan mengidentifikasi kebutuhan basic services dan core competencies pemerintah daerah dapat diketahui kewenangan rill pemerintah Kota Bengkulu, berupa jenis-jenis pelayanan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu yang selanjutnya akan menjadi rujukan untuk melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah. Basic services diidentifikasi dengan 5 indikator, yaitu : protective services, environmental services, personal services, recreation services dan commercial services. Dan core competencies diidentifikasi dengan melihat struktur mata pencaharian penduduk, struktur penggunaan lahan serta kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kota Bengkulu. Sementara penataan kelembagaan dioperasionalisasikan dengan merujuk kepada 5 komponen dasar organisasi, yaitu : strategic apex, middle line, techno-structure, support staff dan operating core. Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 3 pertanyaan penelitian, yaitu: 'Bentuk pelayanan apa saja yang dibutuhkan dan perlu diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu `Bagaimana format kelembagaan perangkat daerah yang sesuai untuk Kota Bengkulu berdasarkan kebutuhan tersebul T dan ' Apakah kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah sesuai dengan yang dibutuhkan ?' Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama adalah studi dokumen dan kepustakaan sedang untuk tahap kedua dilaksanakan studi lapangan dengan 'observasi non partisipan' dan `interview'. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif-deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendulum analisa. Dari proses analisa data diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kebutuhan di Kota Bengkulu terdiri dari 49 jenis urusan. Sementara berdasarkan karakteristik potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya, di Kota Bengkulu dibutuhkan pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan bidang usaha jasa, perdagangan dan pertanian. Setelah dikurangi dengan 8 jenis pelayanan yang telah diselenggarakan oleh pihak-pihak lain diluar Pemerintah Kota Bengkulu, diketahui bahwa pelayanan yang perlu diselenggarakan di Kota Bengkulu terdiri dari 41 jenis pelayanan. Dengan menggunakan teori-teori organisasi dan aturan-aturan norrnatif yang ada dirumuskan 3 alternatif bentuk kelembagaan untuk perangkat daerah Kota Bengkulu, Dan dari masing-masing alternatif itu dapat dibagi lagi ke dalam 2 altematif format susunan organisasi. Sehingga secara keseluruhan terdapat 6 alternatif kelembagaan perangkat daerah yang cukup sesuai untuk Kota Bengkulu. Dari keenam alternatif tersebut teridentifikasi bahwa format kelembagaan yang dinilai paling ideal untuk Kota Bengkulu adalah format kelembagaan yang terdiri dari 28 jenis lembaga dengan kedudukan Sekretaris Daerah yang `kuat'. Dan melalui proses komparasi diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup sesuai dengan yang dibutuhkan daerah, Ini terbukti dengan sudah tercakupnya semua unsur kebutuhan pelayanan oleh urusan-urusan yang diselenggarakan Perangkat Daerah Kota Bengkulu. Namun format kelembagaan yang telah dibentuk tersebut dinilai masih terlalu 'gemuk' dan tergolong cukup rawan untuk terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pejabat politis di daerah. Sehingga dalam rangka mendapatkan format kelembagaan yang lebih efisien dan ideal maka masih diperlukan perampingan dan penataan kembali terhadap susunan organisasi yang telah ada itu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library