Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ramzi
"Tujuan Mengetahui efektifitas krim EMLA dalam mengurangi kekerapan dan derajat nyeri saat dilakukan pungsi epidural.
Metode Up Klinik Acak Ganda Penelitian dilakukan di Insta1asi Bedah Pusat RSCM pada bulan Februari sampai dengan Maret 2006 dengan jumlah sampel 64 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dan anestesia epidural Pasien dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok 32 pasien mendapatkan 2 5 gram krim EMLA dioleskan pada daerah L45 90 menit sebelum dilakukan pungsi epidural dan 32 pasien lainnya mendapatkan 20 mg Lidokain infiltrast 2 menit sebelum pungsi epidural Dilakukan pencatatan nilai Visual Analogue Scale dan derajat nyeri secara obyektifsaatjarum epidural mencapai kedalaman 0 5 1 cm dan permukaan kulit dan pada saat engaged Analisa statistik untuk melihat perbedaan kekerapan antara kedua perlakuan menggunakan up Chi Square sedangkan untuk membandingkan derajat nyeri kedua perlakuan menggunakan up Kolmogorov Smirnov.
Hasil Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok perlakuan dalam hal kekerapan dan derajat nyeri yang dihasilkan saat pungsi epidural.

Objective To observe the effectiveness of EMLA cream in reducing the frequency and degree of pain in epidural puncture
Methods Non blinded randomized clinical trial The study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital Central Surgery Room from February until March 2006 to 64 adult patients who went to elective surgery and were planned to be under epidural anesthesia Patients were divided randomly into two groups The EMLA group was consist of thirty two patients rubbed with 25 gram EMLA cream on their L45 area ninety minutes before the epidural puncture began The other thirty two patients was infiltrated with 20 mg Lidocaine two minutes before the epidural puncture. When the epidural needle-puncture reached the depth 0f05 1 cm from the skin surface and when engaged Visual Analogue Scale and degree ofpazn was recorded objectively Chi Square method was performed to identify the frequency difference between the two groups While at the same time Kolmogorov-Smirnov method was also performed to identify the degree of pain difference between the two groups.
Conclusion There were no significant statistical differences between the two groups in a matter offrequency and degree ofpazn in epidural puncture"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan penelitian mengenai perbandingan
pemakaian infiltrasi antara lidokain 1% dengan campuran
lidokain 1% dan klonidin untuk mencegah nyeri pasca apendektomi
di instalasi bedah gawat darurat dan instalasi bedah
elektif Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusurao Jakarta.
Penderita yang diteliti berjumlah 40 orang yang dibagi
menjadi 2 kelompok, masing-masing terdiri dari 20 orang.
Kelompok A : mendapatkan infiltrasi 5 cc lidokain 1% (100 mg)
disekeliling luka insisi apendektomi yang panj ang insisi
antara 5 6 cm. Kelompok B : mendapatkan infiltrasi campuran
5 cc lidokain 1% dan klonidin 1 cc ( 150 ugr ) di sekeliling
luka apendektomi yang panjang insisi antara 5 6 cm.
Penelitian dilakukan secara acak tersamar, dan penilaian
statistik mempergunakan uji student t test dan chi square
P< 0,05 adalah perbedaan bermakna secara statistik. Penelit
ian bertujuan untuk membandingkan infiltrasi lidokain 1%
dengan campuran lidokain 1% dan klonidin, menilai keefektifan
klonidin dalam hal memperpanjang efek analgesia lidokain dan.
pengaruh campuran ini terhadap sistem kard iovaskular dan
respirasi.
Hasil penelitian menunjukkan kelompok yang mendapat
campuran lidokain 1% dan klonidin dapat memperpanj ang efek
analgesia lidokain 1% minimal sampai 8 jam, sedangkan kelompok
lidokain 1% efek analgesianya hanya 4 jam.
Efek campuran lidokain 1% dan klonidin terhadap kardiovaskular
dan respirasi minimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T58798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Fatma Suniarti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Lidokain adalah anestetik lokal yang banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi, karena mempunyai mula kerja cepat dan masa kerja lama dan jarang menimbulkan alergi. Anestetik lokal lidokain yang biasa digunakan adalah lidokain 2% dengan epinefrin 1 : 80.000. LC adalah lidokain Inpres yang dikeluhkan oleh dokter gigi Puskesmas mempunyai mula kerja lama dan masa kerja singkat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan mula kerja dan masa kerja LC dan PC (obat anestetik lokal standar) pada kasus pencabutan gigi molar satu atau molar dua rahang bawah.
Penelitian dilakukan terhadap 60 orang pasien, yaitu 30 orang mendapat LC dan 30 orang mendapat PC dengan Cara anestesi infiltrasi dan anestesi blok rahang hawah. Observasi mula kerja dilakukan dengan penusukan sonde lurus pada daerah separuh bibir, 2/3 anterior lidah ipsilateral dan mukosa pipi dan luksasi ringan gigi yang akan dicabut dengan interval 1 menit. Observasi masa kerja dilakukan dengan penusukan sonde pada daerah observasi dan soket bekas pencabutan gigi setelah 1 jam dan kemudian setiap 15 menit.
Hasil dan Kesimpulan: Mula kerja rata-rata LC 560,7 detik dan PC 254,8 detik. Masa kerja rata-rata LC 124,5 menit dan PC 170 menit. Mula kerja dan masa kerja LC dan PC berbeda bermakna dengan p <0,01. Perbedaan mula kerja dan masa kerja LC dan PC mungkin disebabkan perbedaan formulasi, yaitu perbedaan bahan baku dan zat penambah lain seperti vasokonstriktor, zat pengawet dan lain-lain.

Scope and Method of Study: Lidocain is currently a local anesthetic agent most widely used in dentistry, be-cause of its rapid onset, long duration of action and
safety. It is commonly used as a 2% solution containing 1: 80.000 adrenalin. Lidocain (LC) is a trade name for lidocain that is routinely used in Puskesmas (Inpres drug). Complaints about the insufficiency of LC are frequently reported by dentists who work at these local health centers. On the other hand, a large body of information revealed that dentists prefer to use another trade name of lidocain, namely "Pehacain" (PC) to LC.
The purpose of the present study is to compare the efficacy of LC vs PC in clinical use, i.e. in the extraction of the first or second molar of the mandible. A total of 60 patients is divided into two groups, consisting of 30 patients each. The first group was treated with LC and the second group with PC, each was locally injected as infiltration and block anesthesia. The onset of action of the drugs was determined by prickling of the lip, tongue and buccal mucosa with a sonde and by a slight luxation of the affected tooth, at an interval of 1 minute. The duration of action of the drugs was determined 1 hour after the onset of anesthesia, by prickling the anesthetized socket every 15 minutes.
Findings and Conclusions: The onset of action of LC was 566.7 ± 82.8 (mean ± SD) seconds, and that of PC was 259.8 ± 32.0 seconds. The duration of action of LC was 124.5 ± 13.5 minutes, while that of PC was 170 ± 9.1 minutes. The onset and duration of action of these two drugs differed significantly (p <0.01). The cause of the differences might lie in the differences in the constituents of the drugs, such as the reducing agents, type of preservation, the amount of vasoconstrictor added, etc.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D784
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
2006
D844
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria Gandasari S.
"Tujuan : Mengetahui efek penambahan premedikasi dexmedetomidin intravena dengan dosis rendah 0,3 μg/kg dibandingkan dengan lidokain intravena 1,5 mg/kg terhadap tanggapan kardiovaskular akibat tindakan laringoskopi dan intubasi orotrakea.
Metode : Uji klinik tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Desember 2004 sampai dengan Pebruari 2005, pada 90 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dengan anestesia umum dan fasilitasi intubasi orotrakea. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok; 45 pasien mendapat penambahan premedikasi dexmedetomidine intravena 0,3 µg/kg 10 menit sebelum intubasi dan 45 pasien lainnya mendapat penambahan premedikasi lidokain intravena 1,5 mg/kg 2 menit sebelum intubasi. Parameter kardiovaskular yang diukur yaitu tekanan darah sistolik - diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung. Analisa statistik melihat perbedaan pada dua data kategori digunakan uji chi-square. Perubahan kardiovaskular pada tiap kelompok dipakai uji wilcoxon, dan melihat perbedaan kardiovaskular antara kedua kelompok dipakai uji Mann-Whitney.
HasiI : Saat intubasi pada kedua kelompok terjadi peningkatan tanggapan kardiovaskular bermakna secara statistik dibandingkan dengan nilai sesaat sebelum intubasi. Tanggapan kardiovaskular pada kelompok dexmedetomidin lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok lidokain. Ini membuktikan bahwa baik dexmedetomidin maupun lidokain belum dapat mencegah tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi orotrakea, tetapi dexmedetomidin mempunyai efek yang lebih balk bennakna secara statistik dibandingkan dengan lidokain dalam hal mengurangi tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi. Ada 2 sampel yang dikeluarkan, masing-masing 1 sampel dari kelompok dexmedetomidin dan lidokain."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Astuti
"Latar Belakang: Propofol adalah salah satu agen induksi yang sering digunakan dalam anestesia umum. Efek samping yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien adalah nyeri injeksi. Telah dilakukan beberapa penelitian untuk mengatasi nyeri injeksi propofol. Lidokain 40 mg disertai dengan oklusi vena menggunakan turniket adalah metode yang banyak digunakan dan paling efektif. Ondansetron rutin digunakan sebagai pencegahan PONV pada pasien anestesia umum dan terbukti memiliki potensi analgesia serta efektif dalam mencegah nyeri injeksi propofol. Penelitian uji klinis acak tersamar ganda ini membandingkan efektivitas pemberian premedikasi lidokain 40 mg dengan ondansetron 8 mg disertai penggunaan turniket untuk mencegah nyeri injeksi propofol.
Metode: Penelitian ini bersifat uji klinis acak tersamar ganda pada pasien yang menjalani anesthesia umum di Instalasi Bedah Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent, sebanyak 104 subyek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Juli hingga September 2016. Setelah pemasangan turniket selama 60 detik diikuti dengan pemberian liodakin 40 mg atau ondansetron 8 mg, dilakukan penilaian nyeri menggunakan verbal rating scale pada detik 0 injeksi propofol 0,5 mg/kg dan 20 detik pascainjeksi propofol. Dengan menggunakan uji Chi square dengan alternatif fisher dilakukan perbandingan keefektifan antara kedua kelompok.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kekerapan nyeri injeksi propofol pada kelompok lidokain 40 mg disertai turniket dan ondanetron 8 mg disertai turniket pada detik 0 dan detik 20 pascainjeksi propofol p 0,051 dan p 0,062.
Simpulan: Pemberian ondansetron 8 mg intravena disertai dengan penggunaan turniket memiliki efektivitas yang sama dengan lidokain 40 mg intravena disertai dengan penggunaan turniket untuk mencegah nyeri injeksi propofol.

Background: Propofol is one of the induction agent that is often used in general anesthesia. Pain on injection propofol often cause discomfort in patient. A number of research has been done to solve this problem. Lidocaine 40 mg accompanied by venous occlusion using a tourniquet is a method that is widely used and most effective. Ondansetron routinely used as PONV prevention in patients with general anesthesia and shown to have analgesia potential as well as effective in preventing propofol injection pain. This randomized double blind clinical trial compared the effectiveness of premedication with lidocaine 40 mg ondansetron 8 mg with the use of a tourniquet to prevent pain on injection propofol.
Methods: This study was a double blind randomized clinical trial in patients undergoing general anesthesia in at Kirana surgical center Cipto Mangunkusumo. The study has been approved by FKUI RSCM Research Ethical Committee Jakarta. A total of 104 obtained by consecutive sampling in July until September 2016. After placement a tourniquet for 60 seconds followed by administration of 40 mg lidocaine or 8 mg ondansetron, an assessment of pain using a verbal rating scale is done at seconds 0 propofol injection of 0.5 mg kg and 20 seconds after the injection. By using the chi square test and fisher as an alternatives, were compared effectiveness between the two groups.
Result: There were no significant differences in the incidence of propofol injection pain in group lidocaine 40 mg with the use of tourniquet and 8 mg ondansetron with a tourniquet in seconds 0 and 20 seconds after injection of propofol p 0.051 and p 0.062.
Conclusion: Ondansetron 8 mg with the use of a tourniquet has the same effectiveness with Lidocaine 40 mg with the use of a tourniquet to prevent pain on injection propofol
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Aditya Toga Sumondang
"Pendahuluan. Stress pembedahan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keluaran pasca pembedahan ortopedi, khususnya pada populasi diabetes mellitus tipe dua dimana regulasi glukosa sangat penting baik sebelum maupun pasca bedah. Kadar glukosa dan C-reactive protein merupakan biomarker yang akan meningkat bila terjadi stress pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar rerata glukosa dan C-reactive protein pada subjek penelitian dengan diberikan lidokain intravena dan kontrol pada operasi ortopedi.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar yang mengikutsertakan 42 pasien yang menjalani pembedahan ortopedi. Sampel dilakukan pengelompokan dengan metode randomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah pasien yang diberikan lidokain intravena selama pembedahan dalam anestesia umum. Kelompok kedua adalah pasien dalam anestesia umum tanpa lidokain. Pada kedua kelompok dilakukan dua kali pemeriksaan sampel glukosa dan C-reactive protein pada sebelum operasi dan sesudah operasi. Kedua kelompok dilakukan uji hipotesis untuk melihat perbedaan rerata glukosa dan C-reactive protein dengan analisa statistik menggunakan software SPSS.
Hasil. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar glukosa dan C-reactive protein antara kelompok pasien dengan lidokain intravena dan kontrol. Rerata kadar glukosa pasca pembedahan lebih rendah pada kelompok lidokain dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda bermakna (p>0.05). Tidak terdapat perbedaan rerata C-reactive protein pada kelompok lidokain dan kelompok kontrol (p>0.05).
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kadar glukosa dan C-reactive protein yang bermakna antara kelompok lidokain dan kelompok kontrol pada operasi ortopedi dalam anestesia umum pada populasi dengan diabetes mellitus tipe dua.

Introduction. Surgical stress is a factor that can influence orthopaedic postoperative outcomes, particularly in the type two diabetes mellitus population where blood sugar regulation is critical both before and after surgery. Blood sugar levels and C-reactive protein are biomarkers that will increase in the event of surgical stress. This study aimed to compare the average levels of blood sugar and C-reactive protein in study subjects with intravenous lidocaine and control in orthopaedic surgery.
Methods. The study was a randomized clinical trial that included 42 patients undergoing orthopaedic surgery. Samples were grouped by randomization method into two groups. The first group were patients who were given lidocaine intravenously during surgery under general anaesthesia. The second group is patients under general anaesthesia without lidocaine. In both groups, two blood sugar and c-reactive protein samples were examined before surgery and after surgery. Both groups tested the hypothesis to see the difference in average blood sugar and C-reactive protein with statistical analysis using SPSS software.
Results. There were no significant differences between mean blood sugar levels and C-reactive protein between the intravenous and control lidocaine groups. Average postoperative blood sugar levels were lower in the lidocaine group than in the control group, but not significantly different (p>0.05). There was no difference in mean C-reactive protein in the lidocaine group and the control group (p>0.05).
Conclusions. There were no significant differences in blood sugar and C-reactive protein levels between the lidocaine group and the control group in orthopaedic surgery under general anaesthesia in the population with type two diabetes mellitus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nopian Hidayat
"Latar Belakang. Propofol merupakan obat anestesi intravena yang paling sering digunakan dalam pembiusan umum tetapi propofol dapat menimbulkan rasa nyeri pada lokasi injeksi dengan angka kejadian 28-90%. Pemberian lidokain sebelumnya paling sering digunakan untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan propofol, akan tetapi tingkat kegagalannya 13-32. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan pemberian pre-emptive ketamin 0,1 mg/kg dan lidokain 1 mg/kg untuk mengurangi derajat nyeri pada saat induksi anestesi menggunakan propofol.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar ganda, bersifat eksperimental. Pasien dengan kriteria klinis ASA I-II sejumlah 50 orang yang akan menjalani operasi elektif dengan pembiusan umum, dilakukan randomisasi sederhana menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I (lidokain 1 mg/kg) dan kelompok II (ketamin 0,1 mg/kg) yang diberikan 1 menit sebelum induksi propofol. Derajat nyeri dinilai berdasarkan Verbal Rating Scale (VRS).
Hasil. Penelitian menunjukkan pemberian pre-emptive ketamin dapat menurunkan derajat nyeri yang lebih baik (84% tidak nyeri, 16% nyeri ringan) dibandingkan kelompok pre-emptive lidokain (56% tidak nyeri, 28% nyeri ringan, 12% nyeri sedang dan 4% nyeri berat) dengan nilai p = 0.021 (p bermakna < 0.05) pada uji statistik menggunakan Mann Whitney.
Kesimpulan. Pemberian pre-emptive ketamin 0.1 mg/kg BB intravena lebih baik dibandingkan dengan pemberian pre-emptive lidokain 1 mg/kg BB untuk mengurangi derajat nyeri akibat penyuntikan propofol intravena.

Background. Propofol is a popular IV anesthetic induction drug that causes pain when given IV. The incidence of which is between 28-90%. Lidocaine pre-treatment has been commonly proposed to decrease propofol induced pain, but its failure rate is between 13-32%. The purpose of this study was to compare a pre-emptive ketamine 0,1 mg/kg and pre-emptive lidocaine 1 mg/kg to minimize the injection pain of propofol during anesthesia induction.
Methods. A comparative, randomized, double blind study of 50 patients (ASA I-II) scheduled surgery under general anesthesia were randomly allocated into two groups. Group I received lidocaine 1 mg/kg and group II received ketamine 0,1 mg/kg one minute before the anesthesia induction with propofol IV. Each patient’s pain score were evaluated by using Verbal Rating Scale (VRS)
Result. The result of this study described that pre-emptive ketamine had significantly lower incidence of pain and lower pain score (84% no pain, 16% mild pain) compared with pre-emptive lidocaine (56% no pain, 28% mild pain, 12% moderate pain and 4% severe pain) with p value = 0.021 (significant p < 0.05) using Mann Whitney statistic test.
Conclusion. Pre-emptive ketamine 0,1 mg/kg significantly in reducing degree of propofol pain injection compare with pre-emptive lidocaine 1 mg/kg IV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
"Rangkaian penelitian ini ditujukan untuk mengkaji alternatif operasi tanpa turniket melalui upaya untuk mengetahui efektivitas, keamanan, dan kemamputerapan larutan tumescent one-per-mil.
Desain penelitian merupakan penelitian eksperimental, uji acak buta ganda dan seri kasus klinis penggunaan larutan tumescent yang mengandung epinefrin 1 : 1.000.000 dan lidokain 0,2% yang dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RS Cipto Mangunkusumo selama periode Juli 2013-Desember 2017. Penelitian pada flap inguinal tikus Sprague-Dawley dilakukan untuk mengetahui kejelasan lapangan operasi, peran vasokompresi hidrostatik, dan kesintasan flap. Uji klinis dilakukan pada subjek normal melalui suntikan pada pulpa jari untuk mengetahui masa tunda optimal melalui pengukuran SpO2; serta mengenali peran vasokompresi hidrostatik. Terapan klinis operasi sadar penuh dikawal dengan uji klinis untuk mengetahui mula dan lama kerja lidokain. Kelompok seri kasus meliputi operasi tangan dan ekstremitas atas pada kelompok anak, operasi kontraktur pascaluka bakar, operasi yang melibatkan tulang dan sendi, operasi eksisi malformasi vaskular, rekonstruksi web dengan flap, serta operasi sadar penuh. Uji statistik dilakukan dengan metode Chi-square, Wilcoxon bertingkat, uji t-independen dan berpasangan, dan ANOVA. Tingkat kemaknaan ditetapkan sebagai p < 0,05.
Operasi pada flap inguinal tikus menghasilkan 63/63 lapangan operasi bebas perdarahan dengan 26/26 flap hidup walaupun diberi perlakuan iskemia sebelum disuntik. Tidak dijumpai perbedaan kesintasan flap antara teknik suntik acak dan teknik teratur. Walaupun kedua kelompok mengalami penurunan bermakna TcPO2, rerata TcPO2 pascaperlakuan iskemia kelompok tumescent lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol. Hasil uji klinis menunjukkan rerata delta SpO2 pada kelompok epinefrin lebih besar secara bermakna daripada kelompok salin normal. Epinefrin menunjukkan masa tunda optimal 13,9 (SB 5,38) menit. Mula kerja lidokain 5 (1-9) menit dengan lama kerja 186,8 (SD 44.02) menit. Seluruh operasi pada 77 subjek bedah tangan dapat dikerjakan tanpa konversi turniket. Operasi sadar penuh efektif pada 20 dari 24 kasus. Lapangan operasi bebas perdarahan dapat dicapai sebesar 38,7%, baik pada subjek dewasa maupun anak.
Epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik efektif dalam menghasilkan lapangan operasi bebas perdarahan pada tikus. Keberhasilan hidup 100% flap yang telah diberi perlakuan iskemia sebelumnya menunjukkan keamanan larutan one-per-mil. Nilai saturasi yang menurun namun masih dalam rentang normal menunjukkan tidak terjadinya efek iskemia pada jari. Hasil studi pada tikus maupun subjek normal menunjukkan bahwa epinefrin bersama-sama dengan efek vasokompresi hidrostatik berperan dalam penurunan perfusi tanpa mengakibatkan iskemia. Masa tunda optimal efek hiperfusi selama 14 menit menjadi referensi yang relevan untuk mendukung praktik klinis masa tunggu sebelum insisi selama 7-10 menit. Selain efektif, termasuk dalam operasi sadar penuh yang berlangsung tanpa konversi turniket, hasil pengamatan teknik tumescent one-per-mil pada operasi kontraktur pascaluka bakar mematahkan paradigma bahwa operasi harus dilakukan dengan turniket. Larutan one-per-mil juga aman diterapkan pada operasi kasus pediatrik dengan tidak dijumpainya nekrosis flap maupun jari anak. Berdasarkan evaluasi luaran fungsi pada seri kasus operasi pada kontraktur luka bakar dan spaghetti wrists, teknik tumescent one-per-mil menunjukkan potensinya untuk dapat diterapkan pada kasus-kasus kompleks.
Simpulan: Larutan tumescent one-per-mil aman, efektif, dan mampu terap untuk menggantikan turniket dalam operasi bedah tangan dan ekstremitas atas. Walaupun menyebabkan hipoperfusi, larutan one-per-mil tidak menyebabkan iskemia dan kematian jari. Masa tunda optimal sebelum insisi 13,9 menit, dengan mula dan lama kerja anestesi lokal masing-masing adalah 5 dan 186,8 menit.

The study series were aimed to delineate hand and upper extremity surgery without tourniquet by studying the efficacy, safety, and applicability of the one-per-mil tumescent solution.
Studies were designed as experimental studies, randomized clinical trials and clinical case series on the use of solution containing 1 : 1,000,000 epinephrine and 0.2% lidocaine. All the studies were conducted at Faculty of Medicine Universitas Indonesia and Cipto Mangunkusumo Hospital during the periode of July 2013-December 2017. Groin flaps in Sprague-Dawley rats were elevated to study the operative field clarity, the role of hydrostatic vasocompressive effect and flap survivals. Clinical trials were performed on normal subject’s fingers to know the optimal time delay by measuring SpO2, while also to delineate the role of vasocompressive effect. The practice of fully awake hand surgery was guided by clinical study to reveal the onset and duration of anaesthetic action. Case series were including grouped surgeries for the hand and upper extremity in children, post burn hand contractures, bone and joint related problems, vascular malformation, web reconstruction using flaps, and fully awake surgeries. Statistical analysis were performed using Chi-square test, Wilcoxon sign rank test, independent and pair t-test, and ANOVA. Significance was set at p < 0.05.
Studies on animal revealed 63/63 bloodless operative fields and 26/26 flaps survived even after given ischemic insult before injection. The random pattern injection technique was not significantly different from systematic pattern technique. The epinephrine group showed significantly lower TcPO2 than control group, although both experienced significant decrease of TcPO2. The mean delta of SpO2 of the epinephrine group was significantly higher than control group in the clinical study. Epinephrine showed optimal time delay 13.9 (SD 5.38) minutes. The average onset and duration of lidocaine actions were 5 (1-9) and 186.8 (SD 44.02) minutes respectively. Surgery on 77 subjects was successfully performed without tourniquet conversion. Fully awake surgery was effective in 20 out of 24 cases. Overall, bloodless operative field was achieved in 38.7%.
Epinephrine works together with hydrostatic vasocompressive effect in creating bloodless operative field in animal tissue. The safety was proven by the fact of 100% survival rate of flaps after surviving from ischemic insult. The decrease of SpO2, which was still within normal range, is an evidence of non-ischemic fingers. Both experimental and clinical studies showed that epinephrine and hydrostatic vasocompressive effect are responsible to create hypoperfusion without causing ischemia. The 14 minutes optimal time delay is relevant to the clinical practice of 7-10 minutes waiting time before incision. Besides its efficacy, the study outcome of one-per-mil tumescent technique to facilitate surgery on burn contracture breaks the old paradigm about surgery under tourniquet. The technique is also safe to be applied in paediatric patients as it showed no evidence of flap or finger necrosis. Based on the evaluation of functional outcome, one-per-mil tumescent technique is promising to be used in complicated surgeries.
In summary, one-per-mil tumescent solution is safe, effective and clinically applicable to substitute tourniquet in surgery for the hand and upper extremity. Although causing hypoperfusion, one-per-mil solution did not cause ischemia and subsequent finger necrosis. The optimal time delay is 13.9 minutes; the onset and duration of local anaesthesia is 5 and 186.8 minutes respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>