Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Kusumo Astuti
Abstrak :
Dalam hukum acara perdata Indonesia dikenal suatu asas umum “point de’ interent poin de’ action”. Asas tersebut mengandung pengertian bahwa setiap gugatan yang diajukan ke pengadilan haruslah berdasarkan atas suatu kepentingan dari pihak penggugat. Kepentingan itu dapat dilihat dengan adanya kerugian yang bersifat riil dan tangible pada diri penggugat. Dalam perkembangannya, terdapat gugatan yang diajukan dengan mengatasnamakan kepentingan umum, dimana penggugat dalam gugatan tersebut bukanlah pihak yang memiliki kepentingan secara langsung terhadap gugatan tersebut. Gugatan semacam ini dikenal dengan citizen lawsuit. Citizen lawsuit telah lazim diterapkan di beberapa negara yang menganut common law system. Di Indonesia, hingga kini pengajuan gugatan semacam ini masih menjadi bahan perdebatan. Hal itu disebabkan karena ketiadaan aturan yang mengatur mengenai masalah itu. Meskipun demikian, pada kenyataannya telah terdapat beberapa gugatan menggunakan mekanisme citizen lawsuit yang diajukan ke pengadilan, antara lain tercermin dalam Putusan No.178/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst dan Putusan No.28/Pdt.G/2003/ PN.Jkt.Pst. Skripsi ini akan mengulas mengenai konsep umum citizen lawsuit, bagaimana pengaturan citizen lawsuit di Indonesia, apa yang menjadi perbedaan antara citizen lawsuit dengan kumulasi gugatan, class action dan legal standing, serta hendak menganalisa Putusan No.28/Pdt.G/ 2003/PN.Jkt.Pst. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan yang menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen, dan juga menggunakan metode penelitian lapangan dengan alat pengumpulan data berupa wawancara dengan nara sumber. Tipologi penelitian dari skripsi ini adalah penelitian deskriptif, problem identification, dan berfokuskan masalah karena skripsi ini hendak memberikan gambaran mengenai konsep pengajuan gugatan dengan menggunakan mekanisme citizen lawsuit, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan masalah berkaitan dengan citizen lawsuit, serta mengkajinya secara lebih mendalam.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Budi Mastuti
Abstrak :
Tesis dengan judul "Penyelesaian Sengketa Partai Politik : Studi kasus terhadap sengketa partai politik setelah pemilu Tahun 2004" ini menggunakan metode penelitian normatif dan empiris dengan titik berat pada penelitian normatif. Seperti kita ketahui pembentukan Partai Politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga Negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan jaminan yang sangat tegas dalam hal ini. Partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Namun, apa yang terjadi di Indonesia, keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi ini belum dapat terwujudkan secara benar-benar. Hal ini karena banyak partai politik yang masih saja bersengketa demi mempertahankan dan melanggengkan "kekuasaan" mereka. Semenjak diberlakukan Undang-undang Nomor 31 tahun 2002' tentang Partai Politik, telah ada pengaturan mengenai peradilan perkara partai politik dan bagaimana penyelesaian sengketa dalam intern kepengurusan partai politik. Sengketa partai politik yang terjadi ini antara lain bisa mengenai sengketa yang terjadi intern partai politik, sengketa antara partai politik dan sengketa antara partai politik dengan pemerintah yang terkait dengan Tata Usaha Negara karena berobyek pada Keputusan Tata Usaha Negara yang konkret, individual dan final. Setelah pemilu tahun 2004 ternyata menyisakan beberapa permasalahan yaitu mengenai sengketa partai politik. Ada beberapa partai politik yang sampai saat ini masih terus ribut dan belum menyelesaikan sengketanya. Ada beberapa cara untuk menyelesaikan sengketa partai politik ini yaitu dengan cara litigasi dan non-litigas. Melalui litigasi ini dilakukan melalui pengadilan. Kompetensi pengadilan untuk menyelesaikan sengketa partai politik dalam hal sengketanya tidak berobyek Keputusan Tata Usaha Negara maka akan menjadi kompetensi Pengadilan Negeri tetapi apabila sengketanya berobyek Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final maka menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Kemudian melalui cara non-litigasi adalah melalui Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa(MAPS) atau ADR (Alternatif Dispute Resolution) seperti negosiasi, mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa partai politik ini adalah partai politik dalam hal sengketanya merupakan sengketa intern partai sendiri, pengadilan apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dalam intern partai mereka sehingga diajukan ke pengadilan. Pemerintah dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM RI (d/h} Departemen Kehakiman dan HAM RI tidak mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan sengketa intern partai politik karena Departemen Hukum dan HAM hanya mempunyai kewenangan pengawasan saja sesuai Pasal 23 huruf a,b,c dan d Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002. Adanya sengketa partai politik yang berlarut-larut akan berakibat tidak berjalannya fungsi-fungsi partai politik sehingga dapat menghambat jalannya proses demokrasi di Indonesia. Diperlukan kesadaran masing-masing pihak yang bersengketa agar tidak mementingkan egonya sendiri tetapi hendaknya memikirkan kepentingan lain yang lebih luas, yaitu berlangsungnya demokrasi di negara ini.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neilly Iralita Iswari
Abstrak :
Dalam pelaksanaan jasa konstruksi seringkali terjadi bentuk sengketa yang didalamnya terkait unsur teknis, administrasi dan segi hukum, oleh karena itu penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan pilihan yang tepat karena kerahasiaan dapat terjamin, hubungan antara penyedia jasa dan penguna jasa tetap baik dan dapat memilih arbiter yang menguasai bidangnya. Masalah yang timbul adalah pilihan forum dan acara arbitrase (arbitration rules) apa yang sebaiknya dipilih oleh para pihak dan bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi di Indonesia. Dalam menjawab permasalahan tersebut menggunakan tipe penelitian yang bersifat eksplanatoris dengan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: pertama, BANI berpengalaman dalam menyelesaikan sengketa jasa konstruksi karena hampir sepertiga (29%) dari seluruh sengketa yang diselesaikan BANI adalah dibidang jasa konstruksi; kedua, 90% putusan arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat dilaksanakan secara sukarela; ketiga, dari Putusan-putusan arbitrase yang sudah memperoleh eksekusi ditemui putusan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Pratama Jonaidi
Abstrak :
Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah untuk mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pihak yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah suatu kelaziman di banyak negara di seluruh dunia dewasa ini. Tak terkecuali Indonesia, pengajuan gugatan atas kerugian lingkungan hidup oleh pemerintah dalam satu dekade terakhir banyak dilakukan dan sebagian besar dikabulkan oleh pengadilan. Akan tetapi, hingga hari ini belum ada tindakan pemulihan apapun yang telah dilakukan oleh pemerintah sebagai penggugat atau oleh tergugat. Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan konseptual dan komparasi, penelitian ini membandingkan praktek pemulihan kerugian lingkungan di Amerika Serikat dengan pemulihan lingkungan hidup yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa dasar kewenangan pemerintah mengajukan gugatan ganti kerugian atas kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup dapat dibenarkan menurut beberapa teori yang berkembang dalam sistem common law, antara lain police power, states proprietary interest, parens patriae, dan public trust. Selain itu, ditemukan pula bahwa pemulihan kerugian lingkungan hidup di Indonesia menyimpan sejumlah persoalan seperti tidak adanya Rencana Pemulihan (Restoration Plan), perhitungan kerugian dengan menggunakan metode teoretis, dan tidak digunakannya seluruh biaya ganti rugi yang diterima oleh pemerintah dari tergugat untuk kepentingan pemulihan lingkungan hidup yang rusak dan/atau tercemar.
The authority given to the governments to file compensation claims against parties that cause pollution and/or environmental damage are prevalent in many countries throughout the world today. Indonesia is no exception, most of the lawsuits for environmental losses filed by the government in the last decade is granted by the court. However, to date, there has not been any restoration action taken by the government as a plaintiff or by the defendant. By using doctrinal legal research method with a conceptual and comparative approach, this study compares the practice of restoring environmental losses in the United States with environmental recovery implemented by the Indonesian government. This study found that the basis of government authority to file a claim for compensation for environmental damage can be justified according to a number of the common law theories, including police power, states proprietary interest, parens patriae, and public trust. In addition, it was also found that the recovery of environmental losses in Indonesia has a number of problems such as the absence of a Recovery Plan, calculation of losses using theoretical methods, and not using all costs received by the government from the defendant for recovering the damaged public natural resource.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Prihandini
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai penerapan Doktrin Citizen Lawsuit di pengadilan oleh kumpulan orang atau masyarakat sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dengan mengatasnamakan kepentingan umum dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif, dimana sumber data diperoleh dari data sekunder yang akan dianalisis secara kualitatif dan juga data primer dari hasil wawancara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Indonesia, meskipun Doktrin Citizen Lawsuit diterapkan pertama kalinya dalam perkara perdata, namun dalam prakteknya doktrin ini juga diterapkan dalam aspek hukum lainnya seperti aspek hukum pidana dan kemungkinan pula pada hukum konstitusi. Dengan adanya pengakuan terhadap doktrin ini, masyarakat mempunyai akses yang lebih dalam memperjuangkan kepentingannya melalui jalur pengadilan.
This thesis discusses about the implementation of the Citizen Lawsuit Doctrine in court by the group of persons or society as the third parties concerned in the name of the public interest to defend their rights. This research is a juridical-normative research, which the source of data obtained from secondary data that will be analyzed qualitatively and also primary data from interviews. Results of this research showed that in Indonesia, although Citizen Lawsuit doctrine implemented the first time in the civil case, but in practice this doctrine can be applied also in other aspects such as legal aspects of criminal law and possibility on constitutional law. With the recognition of the existence of this doctrine, people have more access to join into the fight for their interests through the courts.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22584
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ida Rojani
Abstrak :
Pajak bersifat memaksa dan dapat dipaksakan. Disamping kewajiban, Wajib Pajak juga diberikan hak-hak. Wajib Pajak mempunyai hak yang mendasar yaitu mengajukan Keberatan, Banding dan Gugatan. Gugatan diatur dalam pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Untuk petunjuk pelaksanaan diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011. Hal-hal yang dapat diajukan sebagai Gugatan diatur pada pasal 23 Undang- Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan yang memberikan secara luas kepada Wajib Pajak mengenai hal-hal yang dapat diajukan Gugatan. Sementara dalam PP No. 74 tahun 2011 sebagai Petunjuk Pelaksanaan dari Undang-Undang KUP tersebut dalam Pasal 37 menyebutkan tentang Gugatan yang tidak dapat diajukan atau adanya pembatasan mengenai hal-hal yang bisa diajukan Gugatan. Dengan demikian Undang-Undang sendiri memberikan rumusan yang lebih luas mengenai apa saja yang diajukan sebagai gugatan, tetapi di Peraturan Pemerintah dibatasi hal-hal yang tidak bisa diajukan sebagai Gugatan. ...... Taxation is coercive and can be enforced. Besides liability, the taxpayer is also granted rights. Taxpayers have a right fundamental objection is filed, Appeal and Lawsuit. The lawsuit provided for in article 23 of the Law on General Provisions and Tax Procedures. For guidelines set out in Article 37 of Government Regulation No. 74 of 2011. The things that can be submitted as stipulated in Article 23, Claims Act on General Rules of Taxation which gives broadly to taxpayers on matters that may be filed lawsuit. While the PP. 74 in 2011 as the directive implementation in Article 37 mentions the lawsuit can not be filed or the restriction of the things that can be filed lawsuit. Thus the Law itself provides a broadly defined as to what is proposed as a lawsuit, but in limited government regulation of things that can not be filed as a lawsuit.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34969
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, R. Dedy Rustam
Abstrak :
Pertanggungjawaban pemerintah kepada warganya khususnya dalam pemenuhan hak asasi dijamin sepenuhnya oleh Konstitusi. Pengalihan tanggung jawab ini yang kemudian dilakukan bentuk perjanjian pengalihan kepada pihak ketiga dalam hal pemenuhan hak asasi di bidang air minum menyebabkan permasalahan dengan tingginya harga air minum yang terjadi. Hal ini karena dalam perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan swasta tersebut, diberikan hak sepenuhnya kepada swasta untuk menetapkan harga jual air kepada konsumen sehingga yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah diambil alih oleh swasta dengan dasar perjanjian. Dan hal inilah yang menjadi dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa, sehingga pada saat hal tersebut dilakukan pengujian dengan cara digugat oleh beberapa warga negara dengan mekanisme citizen lawsuit, hakim yang menjadi penegak hukum khususnya dalam penegakan peraturan perundang-undangan memandang perlu untuk melakukan pembenaran atau pembetulan keadaan sehingga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya yang menyangkut mengenai pemenuhan kebutuhan air minum rakyat yang ada di Provinsi DKI Jakarta.
The Government's Accountability to its citizens especially in the fulfillment of the rights guaranteed by the Constitution completely. Transfer of this responsibility which is then in agreement to a third party in the event of the fulfilment of human rights in the field of drinking water causes problems with the high price of drinking water that is happening. This is because in the agreement made by the Government and the private sector, given the right entirely to the private sector to set the selling price of water to consumers so that Government authorities should be taken over by the private sector on the basis of the agreement. And this became the basis in tort by the ruler, so that by the time it is exercised by way of get sued by some citizens with mechanisms of citizen lawsuits, the judge became law enforcement the enforcement of legislation, especially in respect of the need to conduct a justification or rectification of circumstances so that compliance with the provisions of legislation specifically concerning about meeting the needs of people who are drinking water in DKI Jakarta Province.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T51319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avip Suchron Nur Hakim
Abstrak :
Arbitrase Islam telah ada sejak zaman Rasulullah SAW sampai kepemimpinan para sahabat yang disebut dengan hakam, fungsi hakam saat itu adalah sebagai penengah dalam penyelesaian suatu perkara, saat itu penamaan yang diberikan bukan arbitrase tetapi hakam. Di Indonesia sesuai dengan aktifitas bisnis syariah yang mengalami pertumbuhan sangat pesat membutuhkan suatu lembaga penyelesaian sengketa yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa tersebut dengan cepat dan final, karena dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan sangat memakan waktu yang lama, mahal, dan tidak pasti. Maka pada tahun 1993 didirikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mempunyai tujuan untuk menyelesaikan sengketa yang berdasarkan prinsip syariah. Dalam pelaksanaannya terlihat bahwa BAMUI hanya akan menyelesaikan sengketa-sengketa yang dalam perjanjian yang telah ditandatangani oleh para pihak menunjuk BAMUI sebagai badan yang akan menyelesaikan sengketa diantara mereka. BAMUI sebagai lembaga arbitrase Islam dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa yang diajukan oleh para pihak menggunakan suatu prosedur beracara tersendiri yang telah ditetapkan yakni Peraturan Prosedur BAMUI, dimana para pihak harus menjalani prosedur tersebut dengan baik dan benar agar penyelesaian sengketa dapat diselesaikan dengan baik dan menguntungkan kedua belah pihak, serta dapat dipatuhi dan dijalankan. Analisis yuridis terhadap kedua belas putusan BAMUI tersebut memperlihatkan bahwa sengketa yang terjadi adalah sengketa muamalah yang dilakukan oleh Badan Hukum Islam (BMI dan BPRS) dengan nasabahnya (kreditur), dan dalam pertimbangan hukum yang dicantumlan dalam Putusan tersebut mencantumkan beberapa ayat suci Al Quran yang berkenaan dengan Muamalah yakni Q.S. Albaqarah, Annisa, dan Al Maidah serta menggunakan kaidah hukum perdata, dan sesuai dengan Peraturan Prosedur BAMUI dan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dari keduabelas Putusan BAMUI tersebut yang menarik adalah ternyata ada dua putusan yang dikeluarkan para pihak yang bersengketa bukanlah badan hukum Islam tetapi mereka memperoleh penetapan dari PN untuk menyelesaikan perkara tersebut melalui BAMUI dan dalam dokumen kontrak mereka telah sepakat untuk menyelesaikan di BAMUI.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti Absyari
Abstrak :
Notaris adalah jabatan kepercayaan dan untuk kepentingan masyarakat, oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepadanya. Tindak lanjut dari tugas yang diemban oleh Notaris mempunyai dampak secara hukum, artinya setiap pembuatan akta Notaris dapat dijadikan sebagai alat pembuktian, apabila terjadi sengketa di antara para pihak. Persengketaan tersebut tidak menutup kemungkinan melibatkan Notaris untuk memberikan suatu kesaksian, namun terdapat permasalahan mengenai batasan hukum keterangan Notaris dalam proses hukum. Metode pendekatan yang digunakan dalam analisis data adalah metode kualitatif, yaitu dengan menyajikan dalam bentuk uraian dan konsep. Menurut ketentuan Pasal 1909 KUHPerdata, setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka Hakim. Bagi mereka yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut Undang﷓undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, dapat minta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya. Notaris sebagai Warga Negara Indonesia berkewajiban memberikan keterangan dalam proses hukum dengan persetujuan Majelis Pengawas daerah. Hal tersebut diatur berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 66 ayat (1) yang merupakan aplikasi dan Pasal 1909 KUHPerdata. Notaris pada waktu memberikan keterangan dalam proses peradilan, berhak untuk merahasiakan hal-hal yang berkaitan dimulai dari proses pembuatan hingga selesainya proses suatu akta, juga semua yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai Notaris, sebagaimana dinyatakan dalam sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (e) Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mewajibkan Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya. Kewajiban tersebut mengenyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata, untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dalam suatu akta.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholidin
Abstrak :
Sistem Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance) atau sering disingkat dengan MLA merupakan sistem kerjasama internasional dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan khususnya terhadap kejahatan lintas negara (transnasional crime). Sistem ini lahir dari kaidah-kaidah hubungan antarnegara yang telah diterapkan oleh Indonesia baik dengan perjanjian maupun tidak. Pada awal tahun 2006, Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Batik dalam Masalah Pidana, yang menjadikan payung hukum dalam penerapan sistem ini di Indonesia. Terkait kasus penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Pemerintah Indonesia sangat serius dalam menerapkan sistem ini dengan tujuan utama adalah dalam mencari, mengejar, dan menyita, serta mengembalikan aset-aset hasil korupsi di Indonesia, Berkenaan dengan penyusunan tesis ini, penulis mencoba melihat pelaksanaan sistem bantuan timbal balik antarnegara di Indonesia dari 4 (empat) aspek yaitu: Pertama, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang mendukung proses penegakan hukum; Kedua, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang lahir dari hubungan antarnegara yang lebih menekankan kepada prinsip kerjasama; Ketiga, Hubungan antar kewenangan penegakan hukum hams lebih sistematis dan terpadu untuk menerapkan sistem bantuan timbal balik sebagai upaya pemberantasan kejahatan yang luar biasa (extraordindry crime); dan Keempat, adalah bentuk sistem bantuan timbal batik yang menekankan pelaksanaannya pada perjanjian dan resiprositas sebagai perwujudan Good Governance. Pelaksanaan sistem bantuan timbal balik mendapat prediksi masalah yang akan muncul, mengingat sistem ini merupakan hal baru dalam mendukung Hukum Acara Pidana di Indonesia maka diperlukan kajian tentang bagaimana pelaksanaan sistem ini dapat menyesuaikan dengan pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum di Indonesia sehingga dapat dicapai suatu kesempurnaan dalam pelaksanaan sistem ini.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>