Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Feki Anrizal
Abstrak :
Tugas karya akhir ini membahas mengenai strategi Vietnam dalam menjaga keamanan Laut Tiongkok Selatan pada tahun 2011. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk membahas dan menganalisa strategi Vietnam dalam menjaga keamanan Laut Tiongkok Selatan pada tahun 2011. Strategi yang dilakukan Vietnam salah satunya dengan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat melalui penegasan MoU pada tahun 2011. Kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan militer Vietnam guna menjaga keamanan di Laut Tiongkok Selatan dari negara-negara yang bersengketa terutama Tiongkok, selaku pemilik kekuatan militer terbesar di kawasan tersebut. Hal ini menuntut Vietnam melakukan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat sebagai strategi extended deterrence dalam menjaga keamanan Vietnam di Laut Tiongkok Selatan. ......This thesis discusses Vietnam's efforts in maintaining the security in the South China Sea in 2011. This study uses explanative and qualitative methods. It to discuss and analyze strategies how Vietnam maintain the security in the South China Sea in 2011. One of the strategies is defense cooperation with United States through the signing of the MoU in 2011. The defense cooperation was expected to help to improve Vietnam’s military strength in order to maintain the security of the South China Sea against the threats produced by other claimants policy, especially China as the largest military forces in the region. Vietnam’s policy to embrace United States extended deterrence, in part was a reaction to China’s military posture.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kandar
Abstrak :
ABSTRAK
Perebutan pengaruh di LTS antara RRT yang menerapkan diplomasi ekonomi dan AS pada strategi keamanan telah menjadi perhatian serius bagi banyak negara termasuk Indonesia. Pemahaman terhadap konflik di LTS tersebut menjadi bahan bagi Indonesia untuk membuat strategi. Dengan pemilihan strategi yang tepat, Indonesia diharapkan tidak menjadi korban. Bahkan yang diharapkan Indonesia dapat mengambil manfaat dari konflik tersebut untuk kepentingan nasional dan berkontribusi untuk perdamaian kawasan. Melalui tulisan ini akan dibahas mengenai strategi Indonesia terhadap konflik antara RRT dan AS di LTS untuk kepentingan nasional.
Jakarta: Biro humas settama lemhanas RI, 2018
321 JKLHN 36 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Widian
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang topik kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Sejak tahun 1990an, Indonesia telah dan terus berperan sebagai fasilitator dialog dalam isu sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia selalu berusaha mengubah nuansa sengketa menjadi lebih kooperatif. Hal ini didukung oleh posisi dasar Indonesia yang bukan sebagai negara klaim di perairan tersebut. Namun, sejak tahun 2009, saat Tiongkok menegaskan klaimnya di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia terlihat menegaskan kebijakannya untuk menyatakan kedaulatannya di wilayahnya yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan, walaupun Indonesia tidak mengubah posisi dasarnya dalam isu sengketa tersebut. Hal ini mengindikasikan suatu persepsi ancaman yang dirasakan Indonesia akibat perilaku Tiongkok sehingga Indonesia merasa harus menegaskan kedaulatannya. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan apa saja faktor yang mungkin dapat mengancam Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Dalam menjawab pertanyaan ini, artikel ini akan merujuk pada teori Perimbangan Ancaman Balance of Threat oleh Steven Walt dan konsep Perimbangan Intensitas Ringan. Untuk mengaplikasikan teori dalam analisis, data-data dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Dalam analisis, penelitian ini menemukan bahwa perilaku Tiongkok di wilayah Indonesia yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 2009 memberikan persepsi ancaman bagi Indonesia terkait keamanan wilayahnya dan mendorong Indonesia melakukan perimbangan terhadap ancaman tersebut, walau Indonesia tetap memposisikan diri bukan sebagai negara klaim. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah melakukan perimbangan terhadap ancaman yang dihasilkan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.
ABSTRACT
AbstractThis research talk about Indonesian Policy in The South China Sea. Since 1990s, Indonesia has been played a role of dialogue falisitator in the South China Sea Disputes. Indonesia always tried to change the disputes environtment to become more cooperative. This role is supported by Indonesia rsquo a posisition as non claimant states in the issue. However, since 2009, when China rsquo s claim assertiveness rised, Indonesia seems to affirm its policy to assert its sovereignity in its territory that which intersects with The South China Sea, eventhough Indonesia still maintain its non claimant status. This indicated that Indonesia already feels some threat perseptions because of China rsquo s assertiveness and policy so that Indonesia urge to reaffirm its sovereignty in its territory. Seeing this, the question arises as to what factors might threaten Indonesia in the South China Sea and how these factors influence Indonesia 39 s policies in the South China Sea. In answering this question, this research will refer to the theory of the Balance of Threat by Steven Walt and the concept of Low Intensity Balancing. To apply the theory in analysis, the data in this research will use qualitative research method with deductive approach. In the process, the study found that China rsquo s behavior in Indonesian territory intersecting with the South China Sea since 2009 provided a threat perception for Indonesia and encouraged Indonesia to balance the threat, although Indonesia remained positioned as a non claimant country. Thus, this study concluded that Indonesia has use balancing policy to balance the threat produced by China in the South China Sea.
2018
T51184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Khadijah
Abstrak :
ABSTRAK
Pesatnya aktivitas pelayaran menyebabkan sengketa teritorial dan maritim yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya hak untuk berlayar, khususnya bagi kapal perang. Penguasaan secara de facto oleh Tiongkok atas fitur-fitur laut di Spartly, Paracel dan Scarborough Shoal dapat berimplikasi pada keberlakuan hukum domestik Tiongkok yang membatasi hak lintas damai kapal perang asing di laut teritorial dan aktivitas militer asing di ZEEnya. Klaim Tiongkok ini ditentang oleh Amerika dengan cara mengirimkan kapal perangnya untuk berlayar di perairan yang masih bersengketa tersebut di bawah misi FONOP. Dalam meneliti permasalahan ini, Penulis menggunakan metode penelitian berupa yuridis normatif. Adapun kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah klaim Tiongkok tidak dapat dibenarkan oleh hukum internasional, dengan demikian hak lintas damai tidak berlaku di perairan sekitar fitur-fitur yang diklaim negara tersebut dan kapal asing tetap dapat berlayar di bawah rezim kebebasan navigasi yang tertuang dalam Pasal 58 1 UNCLOS. Oleh sebab itu, seharusnya Amerika mengirimkan kapal perangnya untuk melakukan kebebasan navigasi. Selain itu, Tiongkok tidak berhak mengklaim ZEE dari fitur-fitur yang diklaimnya tersebut sehingga kebijakan atas aktivitas militer tidak dapat diterapkan. Tiongkok adalah negara yang telah meratifikasi UNCLOS, maka seyogyanya negara tersebut mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut.
ABSTRACT<>br> Territorial and maritime disputes occurring in the South China Sea have raised awareness among international communities regarding the impediment of navigational rights. China rsquo s de facto control on the sea features such as Spartly, Paracel and Scarborough Shoal possibly implies the enforcement of Chinese domestic laws that limit the innocent passage of foreign warships in territorial sea and foreign military activities in EEZ. However, America opposes Chinese claims by sending its warships to sail near disputed waters under FONOP mission. The research method used in this thesis is yuridis normatif. The conclusions derived from the problem are, Chinese claims cannot be justified by international law, therefore the right of innocent passage is not applicable in the waters surrounding the claimed features and foreign warships are able to sail under the regime of freedom of navigation provisioned in Article 58 1 UNCLOS. Therefore, America should have sent its warships under the freedom of navigation regime. On the other hand, China is not capable of claiming EEZ derived from the features, therefore the country cannot restrict military activities in the region. Moreover, as member of UNCLOS, China has obligation to follow the rules set up in the convention.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virdi Lagaida Umam
Abstrak :
Dalam proses menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan, agenda keamanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)—sebagai institusi internasional utama di Asia Tenggara—melibatkan negara-negara anggotanya serta negara mitra dari luar dalam kegiatan-kegiatannya. Dengan sengketa maritim yang belum terselesaikan, meningkatnya pengaruh dari negara-negara kuat di ambang perbatasannya, serta munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis yang diarahkan pada kemampuan institusi-institusi internasional, peran ASEAN dalam dimensi keamanan maritim lantas menjadi titik kritis secara akademik dan politik. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk menganalisis pemahaman akademis mengenai kerja sama keamanan maritim ASEAN secara kritis, serta menerapkan analisis tersebut pada konteks regional yang terus berkembang. Menggunakan 25 literatur serta metode taksonomi, artikel ini mengidentifikasi tiga titik fokus utama literatur: 1) ASEAN sebagai aktor dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan; 2) keamanan non-tradisional sebagai fokus utama keamanan maritim ASEAN; dan 3) analisis kritis mengenai kapabilitas dan agensi ASEAN sebagai institusi internasional. Tinjauan ini menemukan bahwa Tiongkok tetap menjadi faktor utama yang konstan dalam diskursus keamanan ASEAN, dan tindakannya di Laut Tiongkok Selatan menjadi tantangan keamanan utama bagi agenda keamanan ASEAN. Tinjauan ini juga menemukan bahwa diskursus akademik terpengaruh oleh interaksi antar-negara adidaya (great powers), khususnya kontestasi antara AS dan Tiongkok. Mengingat aspirasi ASEAN untuk mempertahankan sentralitasnya dalam menjamin perdamaian dan stabilitas kawasan, kajian literatur ini menyimpulkan bahwa ASEAN harus mengambil tindakan jika ingin mempertahankan sentralitas tersebut saat ini. ......The issue of maritime security cooperation has become one of considerable importance within the changing political context of the maritime Southeast Asia region. In the process of establishing and maintaining the region’s peace and stability, the security agendas of the Association of Southeast Asian Nation—acting as Southeast Asia’s premier international institution—sees active participation by both its member states within the region as well as partners from without. But how does it fare in the face of its changing security challenges? With unresolved maritime disputes within its borders, the growing influence of international powers, and critical questions poised at the capabilities of international institutions, ASEAN’s role within the dimension of maritime security becomes a critical academic and political juncture. This literature review aims to critically analyze current academic understanding of ASEAN maritime security cooperation, applying it to the changing regional context. Using 25 relevant academic articles, this article identifies three main focal points of literature: 1) ASEAN as an actor in the South China Sea disputes’ 2) non-traditional security as the primary focus of ASEAN maritime security; and 3) critical analyses regarding ASEAN’s institutional capability and agency. It finds that China remains a constant primary factor in ASEAN’s security discourse, and its actions in the South China Sea constitutes ASEAN’s main security challenge. It also finds that the academic discourse is subject to the encroachment of great power politics, particularly the US-China contestation. Considering ASEAN’s aspirations to maintain its centrality in guaranteeing the region’s peace and stability, this literature review concludes that ASEAN must take political and academic action if it seeks to maintain its current trajectory.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Abshar Arham
Abstrak :
Tesis ini menjelaskan mengapa kebijakan luar negeri suatu negara dapat bersifat ambivalen. Analisis yang dibangun dalam tesis ini menggunakan kerangka pemikiran realisme neoklasik untuk menjelaskan kebijakan luar negeri Tiongkok yang ambivalen terhadap Indonesia pada kasus Laut Natuna Utara ditengah eratnya hubungan kedua negara. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok tengah mengalami pergeseran. Sejak menjadi Presiden Tiongkok pada tahun 2013, Xi Jinping menyerukan semangat untuk “berjuang meraih prestasi” sehingga menghasilkan kebijakan luar negeri yang lebih asertif. Hal ini dipengaruhi oleh adanya tekanan sistemik yang dihadapi Tiongkok dan orientasi strategis Xi Jinping. Tekanan sistemik yang dihadapi Tiongkok adalah adanya upaya dari negara-negara pesaing Tiongkok, baik di level regional maupun global, untuk menghambat kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan global. Sementara itu, sejak dipimpin Xi Jinping orientasi strategis Tiongkok bersifat eksternal dengan tujuan untuk mewujudkan ambisi menjadi negara yang kuat, sehingga dapat memperluas pengaruh politik dan ekonominya. ......This thesis aims to explain why a country can produce an ambivalent foreign policy. This study utilizes the framework of neoclassical realism to explain China's ambivalent foreign policy towards Indonesia in the North Natuna Sea case amid the close relations between the two countries. The results of this study indicate that China's foreign policy is undergoing a shift. Since becoming President of China in 2013, Xi Jinping has called for a “striving for achievements” narative which resulted in a more assertive foreign policy. This is influenced by the existence of systemic pressures faced by China and Xi Jinping's strategic orientation. The systemic pressure faced by China is the strategy of China's adversaries, both at the regional and global levels, to contain China's rise as a global power. Meanwhile, since being led by Xi Jinping, China's strategic orientation has been external with the aim of realizing the ambition to become a strong country, so that it can expand its political and economic influence.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library