Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferucha Moulanda
"Trauma kepala merupakan penyebab tersering gangguan penghidu yang masih merupakan tantangan dikarenakan belum ditemukan tatalaksana yang definitif. Gangguan penghidu dapat berupa tipe konduktif dan/sensorineural dan dapat berupa penurunan kemampuan dalam mendeteksi odoran yang disebut hiposmia atau hilangnya kemampuan mendeteksi odoran yang disebut anosmia. Tatalaksana latihan penghidu dapat berupa Latihan Penghidu Orthonasal (LPO) yaitu dengan memberikan paparan odoran berulang dari anterior hidung dalam jangka waktu tertentu dan diharapkan dapat membangkitkan sensitifitasolfaktori dan memodulasi neuroplastisitas. Latihan Penghidu Retronasal (LPO) merupakan latihan yang mengintegrasikan sistem olfaktori, gustatori dan somatosensori yang bertujuan menciptakan cita rasa yang kuat dan dapat membangkitkan memori olfaktori. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan penghidu pasca cidera kepala dan mengetahui serta membandingkan efektifitas LPO dengan kombinasi LPO dan LPR. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol paralel 2 kelompok, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan April 2019 sampai dengan September 2019 terhadap pasien yang mengalami gangguan penghidu pasca cidera kepala usia 18-50 tahun. Dari penelitian ini diketahui latihan OOT dan kombinasi OOT dan ROT sama-sama dapat meningkatkan fungsi penghidu dan tidak terdapat perbedaan efektifitas latihan OOT dengan kombinasi latihan OOT dan ROT dalam meningkatkan fungsi penghidu pasien pasca trauma.

Head injury is a challenging cause of olfactory dysfunction due to limited definitive treatment of choice. Olfactory dysfunction can be divided into conductive and/sensorineural type and also based on decrease ability or inability to detect odoran called hyposmia and anosmia. Orthonasal olfactory training (OOT) is using repeated exposure of odoran form anterior nostril within certain period time to increase the olfactory sensitivity and modulate neuroplasticity. Retronasal olfactory training (ROT) is an integrated training of olfacoty, gustatory and somatosensory systems that create a strong flavour and evokes olfactory memory. This study aimed to identify type and grade of post traumatic olfactory dysfunction and to identify and compare the efficacy of OOT with combined OOT and ROT. This 2 groups randomized clinical trial study, conducted at the ORL-HNS polyclinic FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo on April 2019 to September 2019 of post traumatic olfactory dysfunction patients between 18-50 years old. This study showed that OOT and combined OOT and ROT were both effective and wasn’t different statistically in increasing olfactory function post head injury."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Mardhatillah
"Latar belakang : Gangguan penghidu saat ini lebih disadari oleh masyarakat akibat terjadinya pandemi COVID-19. Tatalaksana gangguan penghidu pasca-virus belum disepakati secara universal meskipun beberapa obat telah diuji coba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran jenis dan derajat gangguan penghidu pasca-virus serta efektifitas kombinasi latihan penghidu ortonasal (LPO) dan protokol terapi penghidu terhadap perbaikan fungsi penghidu pasca-virus. Metode: Penelitian dilakukan bulan Februari – Mei 2022 di poliklinik THT-KL RSCM. Desain penelitian yang digunakan uji kuasi eksperimental 1 grup pre dan post test dengan 12 subjek gangguan penghidu yang terjadi mendadak pasca infeksi virus. Subjek penelitian dilakukan penilaian fungsi penghidu dengan uji penghidu alkohol (UPA), uji penghidu intravena (UPI) dan sniffin stick test (SST). Subjek penelitian diberikan kombinasi LPO dan protokol terapi hidung yang terdiri dari irigasi hidung, steroid intranasal, dekongestan topikal, omega-3 dan oles balsam aromatik selama 6 minggu kemudian dilakukan penilaian statistik. Hasil: Didapatkan hiposmia 8 subjek dan ansomia 4 subjek. Pada subjek hiposmia terdapat 2 subjek pantosmia dan 3 subjek parosmia, sedangkan pada subjek anosmia didapatkan 1 subjek pantosmia. Pada penelitian ini didapatkan 9 subjek jenis sensorineural dan 3 subjek jenis konduksi. Setelah dilakukan terapi didapatkan hasil siginifikan berdasarkan pemeriksaan UPA, UPI, diskriminasi, identifikasi dan total ADI (p<0,05). Kesimpulan: Karakteristik gangguan penghidu pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural dan konduksi serta derajat anosmia dan hiposmia. Kombinasi LPO dan protokol terapi hidung selama 6 minggu terbukti efektif pada gangguan penghidu pasca-virus.

Background: Postviral olfactory dysfunction is becoming more aware of the public due to the COVID-19 pandemic. The management of chronic postviral olfactory dysfunction is still unknown, although several drugs have been tried, but the treatment is not universally agreed yet. Objective: This study was conducted to describe the types and degrees of postviral olfactory dysfunction and the effectiveness of the combination of orthonasal olfactory training and nasal protocols therapy on the improvement of postviral olfactory function. Methode: The research was conducted from February to May 2022 at ENT outpatient clinic Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The research design used was a quasi-experimental test with 1 pre and post-test group with 12 subjects with olfactory dysfunction that occurred suddenly after viral infection. The research subjects will be assessed for olfactory function using the alcohol sniff test (AST), the intravenous olfactory test (IOT) and the sniffin stick test (SST). Subjects will be given a combination of orthonasal olfactory training and a nasal protocol therapy consisting of nasal irrigation, intranasal steroids, topical decongestants, omega-3 and aromatic balsam for 6 weeks then statistical analysis was performed. Results: There were 8 subjects with hyposmia and 4 subjects with ansomia. In hyposmic subjects there are 2 phantosmia subjects and 3 parosmia subjects, while in anosmia subjects there are 1 subject with phantosmia. The types of post-viral olfactory disorders in this study were 9 sensorineural subjects and 3 conductive subjects. The results of statistical calculations of olfactory function after therapy were found to be significant based on AST, IOT, discrimination, identification and TDI (p<0.05). Conclusion: The characteristics of the olfactory dysfunction in this study are sensorineural and conduction olfactory dysfunction. The combination of orthonasal olfactory training and nasal protocol therapy for 6 weeks has been shown to be effective in improving olfactory function in postviral olfactory dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Ernaldy
"Latar Belakang: Penciuman adalah sistem sensorik yang penting. Gangguan penciuman mempengaruhi 3%-22% dari populasi umum, dengan penyebab mulai dari infeksi saluran pernapasan atas, penyakit sinonasal, trauma kepala, paparan bahan kimia beracun, kondisi neurodegeneratif, dan penyakit bawaan. Sindrom Kallmann adalah salah satu contoh gangguan penciuman bawaan. Saat ini, tidak ada pengobatan khusus untuk gangguan penciuman bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai diagnosis dan respons terhadap pelatihan penciuman berbasis metakognitif pada pasien gangguan penciuman bawaan dengan sindrom Kallmann. Tujuan:Mengetahui gambaran gangguan penghidu dan respon Latihan penghidu pada kelompok gangguan penciuman kongenital Kallmann Syndrome. Metode: Desain studi deskriptif analitik dengan kuasi eksperimental untuk melihat gambaran hasil pemeriksaan penghidu dan menilai respon latihan penghidu pada pasien Kallmann Syndrome di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Hasil: Respons penciuman dievaluasi menggunakan tes swab alkohol, tes penghidu intravena,, dan sniffin stick test setelah enam minggu pelatihan. Peningkatan yang signifikan dalam penciuman diamati dengan alcohol swab (pra-pelatihan 4,60±3,88; pasca-pelatihan 10,62±7,16; p=0,008) dan sniffin stick test (pra-pelatihan 12,17±4,43; pasca-pelatihan 14,52±3,11; p=0,025). Namun, tidak ada perubahan yang signifikan secara statistik yang ditemukan pada hasil tes penghidu intravena. Kesimpulan: Pelatihan penciuman berbasis metakognitif menghasilkan peningkatan fungsi penciuman pada pasien dengan gangguan penciuman bawaan, seperti yang ditunjukkan oleh skor tes swab alkohol dan sniffin stick test. Stimulasi trigeminal dapat berkontribusi pada perbaikan yang diamati ini.

Background: Smell is an important sensory system. Olfactory disorders affect 3%-22% of the general population, with causes ranging from upper respiratory tract infections, sinonasal disease, head trauma, exposure to toxic chemicals, neurodegenerative conditions, and congenital diseases. Kallmann syndrome is one example of an inherited olfactory disorder. Currently, there is no specific treatment for congenital olfactory disorders. This study aims to assess the diagnosis and response to metacognitive-based smell training in congenital smell disorder patients with Kallmann syndrome. Objective: To determine the description of smell disorders and the response to smell training in the congenital smell disorder group with Kallmann syndrome. Methods: Analytical descriptive study design with quasi-experimental to see the picture of the results of the smell examination and assess the response to smell training in patients with Kallmann Syndrome at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Results: Olfactory response was evaluated using alcohol swab test, intravenous sniff test, and sniffin stick test after six weeks of training. A significant improvement in olfaction was observed with the alcohol swab (pre-training 4.60±3.88; post-training 10.62±7.16; p=0.008) and sniffin stick test (pre-training 12.17±4.43; post-training 14.52±3.11; p=0.025). However, no statistically significant changes were found in the results of the intravenous sniff test. Conclusion: Metacognitive-based olfactory training resulted in improved olfactory function in patients with congenital olfactory impairment, as indicated by alcohol swab test and sniffin stick test scores. Trigeminal stimulation may contribute to these observed improvements"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library