Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inti Nusaida Awaningrum
"Kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang paling dapat menyebabkan stress (Papalia dkk, 2002). Pada lanjut usia, rasa duka yang mendalam lebih tampak karena hubungan dalam pernikahan yang telah terjalin lama dan lebih sulit untuk beradaptasi hidup tanpa pasangan (Archer, 1998). Menariknya, pada perempuan, tekanan akibat rasa kehilangan dapat menjadi media untuk instropeksi dan perkembangan, melalui aspek-aspek dari diri mereka serta belajar untuk berdiri sendiri (Lieberman, 1996 dalam Papalia, 2007). Hal tersebut berkaitan dengan psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1995), dimana individu dengan psychological-well being berarti tidak hanya terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif (bebas dari cemas atau depresi, merasa bahagia), akan tetapi juga mengetahui potensi-potensi positif yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mendapatkan gambaran psychological well-being perempuan lanjut usia yang mengalami grief karena kematian suami. Untuk tahapan grief yang dialami, akan ditelaah menggunakan tahapan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross. Penelitian ini dilakukan pada 3 orang subyek lanjut usia. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan observasi dengan harapan dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ketiga subyek memiliki enam dimensi psychological well-being yaitu dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Faktor-faktor yang paling mempengaruhi.

Death of spouse is a very stressful event (Papalia et al., 2002). In late adulthood, the deep anguish had shown more vivid because of the marital relationship that has occurred for a long time and would be more difficult to adapt without the spouse (Archer, 1998). The interesting thing is that in women, the pressure from the lost could be a media for them to look back and to stimulate growth and learn to stand by her self. (Lieberman, 1996 in Papalia, 2007). That matter is related with psychological well-being (Ryff, 1995), someone with psychological well-being is not only liberated from negative affect (liberated from anxiety or depression, feel happy), but also knows his or her positive affect. Because of that, researcher wants to have description of psychological well-being of late adulthood woman who deal with grief because of the death of spouse. The grief process will be reviewed with Kubler-Ross? grief process. This research is conducted to 3 late adult women. The method used to collect data is interview and observation. With interview and observation, researcher will have a full description. This research found that all of the participants have all of the dimensions of psychological well-being, which are self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, personal growth. The factors that influence them the most after the death of their spouse are social support and religious factor. Meanwhile the grief processes that all of 3 participants deal with are shock and disbelief, preoccupation with the memory of the dead person, resolution."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Mario Angelino
"Perdamaian merupakan suatu kebebasan dari perang/permusuhan yang dimiliki oleh suatu negara dengan negara lainnya. Sedangkan, sikap terhadap perdamaian merupakan suatu tanggapan dari ketidak beradaannya pertengkaran/kekerasan dalam bentuk apapun sebagai hasil kognitif, emotive, dan conative seseorang dalam caranya memandang dunia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan terkait sikap terhadap perdamaian antara kelompok usia emerging adulthood dan late adulthood, juga untuk melihat peran dimensi terhadap sikap terhadap perdamaian di masing-masing kelompok usia yang diteliti. Sikap terhadap perdamaian mengacu pada Peace Attitude Scale (PAS) yang terdiri dari 5 dimensi yaitu sociopolitical, personal well-being, ease with diversity, environmental attitude, dan caring. Alat ukur ini terdiri dari 22 item dan diisi menggunakan 7-point likert scale. Partisipan yang dituju merupakan populasi yang ada di kelompok usia emerging adulthood (18-25 tahun) dan late adulthood (di atas 65 tahun). Dari 5 dimensi yang ada, hanya terdapat 3 dimensi yang terbukti signifikan dengan p < .05 yaitu dimensi sociopolitical, personal well-being, dan ease with diversity. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan kelompok usia terhadap sikap terhadap perdamaian yang dimiliki oleh seseorang.

Peace is a freedom from war/hostility that is owned by a country with other countries. Meanwhile, the attitude towards peace is a response to the absence of fights/violence in any form as a cognitive, emotive, and conative result of a person's way of seeing the world. This study aims to see whether there are differences in attitudes towards peace between the age groups of emerging adulthood and late adulthood, as well as to see the role of dimensions towards attitudes towards peace in each of the age groups studied. Attitude towards peace refers to the Peace Attitude Scale (PAS) which consists of 5 dimensions, namely sociopolitical, personal well-being, ease with diversity, environmental attitude, and caring. This measuring instrument consists of 22 items and is filled out using a 7-point Likert scale. The intended participants are those in the age group of emerging adulthood (18-25 years) and late adulthood (over 65 years). Of the 5 dimensions, there are only 3 dimensions that are proven to be significant with p < .05, namely the sociopolitical, personal well-being, and ease with diversity dimensions. The results showed that there was no significant effect of age group differences on a person's attitude towards peace."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Suri Priyanggodo Putri
"Nitric Oxide (NO) merupakan molekul signaling multifungsi yang terlibat dalam menjaga proses fisiologis tubuh yang dapat ditemukan di dalam saliva dan dorsum lidah. Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang membandingkan konsentrasi nitric oxide pada sampel saliva dan usap lidah, serta hubungannya dengan status kebersihan mulut. Tujuan: Mengetahui perbedaan konsentrasi nitric oxide pada saliva dan usap lidah serta hubungannya dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S). Metode: Sampel yang diteliti adalah usap lidah dan saliva unstimulated, kemudian diukur dengan Griess reagent System yang diproduksi Promega© USA. Masing-masing sampel berjumlah 9 yang berasal dari kelompok umur dewasa akhir. Status kebersihan rongga mulut (OHI-S) diukur kemudian dikategorikan menjadi baik, sedang, dan buruk. Data dianalisis dengan uji statistik Mann-Whitney U, One-way ANOVA, dan korelasi Spearman. Hasil: Konsentrasi nitric oxide saliva lebih tinggi dari usap lidah dengan adanya perbedaan bermakna (p<0.05), namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) dengan status kebersihan mulut. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = 0.135, p >0.05) antara konsentrasi nitric oxide usap lidah dan status kebersihan rongga mulut, namun menunjukan tendensi positif. Sedangkan konsentrasi nitric oxide saliva dan status kebersihan rongga mulut juga tidak ada hubungan yang signifikan (r = -0.032, p >0.05), dengan tendensi negatif. Kesimpulan: Saliva merupakan sampel biologis yang potensial untuk menetapkan konsentrasi nitric oxide di rongga mulut. Konsentrasi nitric oxide tidak berhubungan dengan status klinis yaitu status kebersihan rongga mulut.

Background: Nitric Oxide (NO) is a multifunctional signaling molecule involved in maintaining the body's physiological processes that can be found in saliva and tongue dorsum. However, there have been no studies comparing saliva and tongue swab samples. Objective: To determine the difference in nitric oxide concentration in saliva and tongue swabs and its relationship with oral hygiene status (OHI-S). Methods: The samples studied were tongue swabs and unstimulated saliva, then measured with the Griess reagent System produced by Promega© USA. Each sample amounted to 9 people from the late adult age group. Oral hygiene status (OHI-S) was measured and then categorized into good, moderate, and poor. Data were analyzed using Mann-Whitney U, One-way ANOVA and Spearman correlation statistical tests. Results: Salivary nitric oxide concentration was higher than tongue swab with a significant difference (p<0.05), but there was no significant difference (p>0.05) with oral hygiene status. There is no significant relationship (r = 0.135, p>0.05) between tongue swab nitric oxide concentration and oral hygiene status, but shows a positive tendency. While salivary nitric oxide concentration and oral hygiene status also had no significant relationship (r = - 0.032, p>0.05), with a negative tendency. Conclusion: Saliva is a potential biological sample to determine the concentration of nitric oxide. Nitric oxide concentration is not associated with clinical status, namely oral hygiene status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library