Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Reza
"ABSTRAK
Latar belakang. Cedera inhalasi dapat terjadi saluran napas atas hingga bawah. Sebagai prediktor diagnosis cedera inhalasi di instalasi gawat darurat IGD masih terbatas pada temuan klinis adanya edema laring pada saluran napas atas. Bronkoskopi sebagai baku emas diagnostik cedera inhalasi belum dapat dilakukan di IGD. Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara temuan klinis edema laring dengan temuan bronkoskopi pada pasien luka bakar dengan cedera inhalasi.Metode. Studi potong lintang retrospektif pada 18 subjek. Di IGD dilakukan laringoskopi untuk menilai adanya edema laring. Hanya subjek yang dilakukan pemasangan selang endotrakeal dan dilakukan bronkoskopi dimasukkan sebagai kriteria inklusi, sedangkan derajat cedera inhalasi dibagi menurut kriteria Chou yang diamati melalui bronkoskopi.Hasil. Subjek terbanyak pria yaitu 16 subjek. Usia berkisar antara 19-56 tahun. Luas luka bakar berkisar antara 5-95 . Dari 14 subjek didapatkan adanya edema laring. Dari 14 subjek yang didapatkan edema laring, 13 subjek terdapat cedera inhalasi. Hubungan antara temuan klinis edema laring dengan adanya cedera inhalasi yang diamati melalui bronkoskopi memiliki nilai sensitivitas 76,4 , spesifitas 0 .Kesimpulan. Adanya edema laring berhubungan dengan cedera inhalasi pada saluran napas bawah meski secara statistik belum signifikan serta belum mampu menunjukkan akurasi derajat cedera inhalasi.

ABSTRACT
Background. Inhalation injury may occur from the upper until the lower respiratory tract. In the ER, diagnose of inhalation injury only suspected from the presence of laryngeal edema based on laryngoscopy. Bronchoscopy as a gold standard diagnostic of inhalation injury could not been done in the ER. This study was conducted to determine the association between clinical findings of laryngeal edema and bronchoscopic findings in burns which is suspected inhalation injury.Objectives. This study was conducted to determine the association between clinical findings of laryngeal edema and bronchoscopic findings in burns which is suspected inhalation injury.Materials and Methods. A retrospective cross sectional study was conducted in 18 subjects. In the ER laryngoscopy was performed to assess the presence of laryngeal edema. Only subjects which is intubated and bronchoscopy were included as inclusion. The degree of inhalation injury was divided according to the Chou criteria which is observed through bronchoscopy.Results. Subjects most are men 16 subjects. Age ranges from 19 56 years. Burns range between 5 95 . 14 subjects presences larygeal edema. Of the 14 subjects who had laryngeal edema, 13 subjects had inhalation injury. The association between laryngeal edema in the presence of inhaled injury observed through bronchoscopy has a sensitivity value of 76.4 , a specificity of 0 .Conclusions. In this study The presence of laryngeal edema associated with inhalation injury in the lower airway although not statistically significant and has not been able to show the accuracy of the degree of inhalation injury. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mefri Yulia
"Latar Belakang. Laringoskopi dan intubasi dilakukan untuk memfasilitasi tindakan anestesia umum. Prosedur ini mengakibatkan nyeri dan memicu pelepasan katekolamin yang dapat menimbulkan respon hemodinamik berupa hipertensi dan takikardia. Berbagai macam obat digunakan untuk menekan respon hemodinamik salah satunya lidokain namun masih tidak dapat meniadakan respon hemodinamik. MgSO4 memiliki banyak manfaat salah satunya untuk menekan hipertensi dan takikardia yang dicetuskan oleh tindakan intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas MgSO4 dibandingkan lidokain dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda, dengan 42 pasien yang menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu MgSO4 dan lidokain. Kriteria inklusi adalah usia 18-65 tahun dengan status klinis ASA 1-2. MgSO4 25 mg/kg intravena diberikan dengan syringe pump selama 10 menit sebelum induksi dan lidokain 1,5 mg/kg diberikan secara bolus setelah pemberian atrakurium. Respon hemodinamik diukur pada saat awal, pasca induksi, saat intubasi, menit ke-1,3 dan 5 setelah intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dari nilai pasca induksi dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil. Uji General Linear Model menunjukkan MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi dinilai dari sistolik, diastolik, MAP dan laju jantung dengan p > 0,05 pada saat intubasi dan menit ke-1,3,5 setelah intubasi dibandingkan nilai pasca induksi pada semua variabel hemodinamik antara kedua kelompok.
Simpulan. MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.

Background. Laringoscopy and intubation is performed for facilitating general anesthesia procedure. This procedure induces pain and stimulate cathecolamine release which gives rise to a hemodynamic response such as hypertension and tachycardia. Many methods has been used to prevent this response such as lidocain, but still there is no method that can eliminate the hemodynamic response. MgSO4 has a lot of benefit effect including supressing hypertension and tachycardia which is induced by intubation procedure. This study aims to compare the effectiveness of MgSO4 with lidocain in supressing hemodynamic response during intubation.
Methods. This study is double blind clinical study on 42 patients undergoing general anesthesia with endotracheal intubation and is divided into two groups: MgSO4 and lidocaine. Inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1-2. Intravenous MgSO4 25 mg/kg was given by syringe pump for 10 minutes before induction and lidocaine 1,5 mg/kg was given by bolus injection after atrakurium was administered. Hemodynamic response were recorded at baseline, post induction, intubation, 1,3,5 minutes after intubation. Hemodynamic data is determined by the difference from the post induction value and is compared between two groups.
Results. General Linear Model Test shows intravenous MgSO4 25 mg/kg is not more effective than intravenous lidokain 1,5 mg/kg in supressing hemodynamic response during intubation from systolic, diatolic, MAP and heart rate variable with p > 0,05 during intubation, and 1,3,5 mintues after intubation between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
"Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring.
Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak.
Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring.
Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01).
Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.

Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux.
Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME.
Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not.
Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01).
Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library