Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riyadh Firdaus
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui keefeletifan parecoxib 40 mg intravena dibandingkan dengan morfin 5 mg intravena sebagai analgesik pada 24 jam pertama pascalaparotomi ginekologi. Enampuluh empat pasien laparotomi ginekologi mendapatkan intervensi parecoxib 40 mg iv atau morfin 5 mg iv pascabedah. Nilai VAS, waktu untuk kebutuhan petidin pertama, jumlah kebutuhan petidin dan efek samping opioid dicatat sampai 24 jam setelah intervensi.
Didapatkan nilai rerata penurunan intensitas nyeri (PID) antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05), dengan rerata PID 0-6 jam sebesar 33,3 (SE 3,3) untuk? kelompok parecoxib dan 38,4 (SE 4,2) untuk kelompok morfin. Rerata waktu pemberian petidin pertama tidak berbeda bermakna yaitu 2 jam 53 menit (parecoxib) dan 1 jam 44 menit (morfin); p>0,05). Rerata kebutuhan petidin 24 jam juga tidak berbeda bermakna yaitu 51,6 mg (SE 5,8) dan 55,5 mg (SE 4,6); p>0,05. Efek samping opioid berupa sedasi lebih banyak pada kelompok morfin yaitu 21 pasien (65,6%) vs 12 (37,5%); p=0,024. Efek samping opioid berupa mual, muntah dan pusing tidak berbeda bermakna.
Disimpulkan bahwa parecoxib 40 mg iv tidak lebih baik(daripada morfin 5 mg iv dalam memberikan efek analgesia untuk nyeri pasacalaparotorni ginekologi.

Objective: The purpose of this study was to compare the analgesic activity of parecoxib 40 mg iv and morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
Study design: In a randomized, controlled, double-blind, 64 patiets after gynecoloogic laparotomy surgery received single-dose intravenous parecoxib 40 mg or morphine .5 mg followed by repeated 25 mg iv pethidine as analgesic rescue drugs.Primary efficacy variables were pain intensity difference (PID), time to first recue/remedication, total pethidin dose over 24 hours, and opioid-sparring side effects were recorded.
Results: Parecoxib 40 mg iv did not provide better pain responses than morphine 5 mg iv. Zero to 6 hours PID between parecoxib group and morphine grows were 33.3 (SE 3,3) versus 38,4 (SE 4,2; p>0,05). Mean time to first recuelremedication were 2h53min (parecoxib group) versus lh44min (morphine graup); p>0,05. Mean total pethidine dose in 24 hours were 51.6 mg (SE 5,8) versus 55,5 mg (SE 4,6) for parecoxib group and morphine group respectively; p>0,05. Morphine group showed more sedation parecoxib group; 21 pis (65,6%) versus 12 (37.5%); p-0,024. Other opioid-sparring side effects were comparable between both groups.
Conclusion: Parecoxib 40 mg iv did not provide better analgesic activity than morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nane Siti Nurhasanah
"ABSTRAK
Latar Belakang dan tujuan: Karsinoma pankreas merupakan keganasan gastrointestinal kedua terbanyak dan merupakan salah satu tumor dengan angka kematian tinggi. Operasi reseksi merupakan satu-satunya terapi kuratif. Kegagalan dalam evaluasi preoperatif dari menyebabkan resiko operasi, terlambatnya pasien mendapat terapi paliatif serta meningkatkan biaya pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penilaian resektabilitas karsinoma pankreas pada CT-scan abdomen dibandingkan penemuan operasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Dilakukan pembacaan ulang CT scan pasien karsinoma pankreas pada sistem PACS Departemen Radiologi RSCM dan dibandingkan dengan laporan operasi pada rekam medis. Hasil: Uji statistik McNemar dari hubungan CT-scan dan operasi n=21 menunjukan p > 0,99, dengan nilai R = 0,52 p = 0,017 . Uji McNemar dari hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan teknik pemeriksaan CT-scan p > 0,05.Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan interval CT-scan dan operasi p > 0,99. Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan lama sakit p > 0,05. Kesimpulan: Terdapat kesesuaian antara gambaran CT-scan abdomen dengan penemuan saat operasi terhadap keterlibatan vaskuler pada karsinoma pankreas. Lama sakit, interval CT-scan dan operasi serta teknik pemeriksaan CT-scan memperlihatkan kecenderungan tidak berhubungan.Kata Kunci: CT-scan abdomen; karsinoma pankreas; laparatomi; resektabilitas ABSTRACT
Background and Objective : Pancreatic carcinoma is malignancy in gastrointestinal with high mortality. Surgery is the only curative therapy. Failure evaluation prior to surgery leads to the risk of non-curative surgery, delayed palliative and increased treatment costs. This study aims to evaluate the resectability assessment of pancreatic carcinoma in preoperatif CT-scan compared to surgical findings and the factors that influence it. Methods : Patients with pancreatic carcinoma whose CT scans were in the PACS system of the Radiology Department RSCM reevaluated and compared with surgical reports. Results : McNemar 39;s analysis of the preoperative CT-scan and surgical findings n=21 p>0.99, with R=0.52 p=0.017 . The McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT scan and surgical findings with CT-scan technique p>0.05. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with CT-scan interval and surgery p> ?? ??0.99. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with prolonged illness p> ?? ??0.05. Conclusion : There is a suitability between preoperative abdominal CT-scan and the surgical findings of vascular involvement in pancreatic carcinoma. Length of prolonged illness, interval between CT-scan and surgery as well as CT-scan technique showed a tendency not to correlate. "
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hario Tri Hendroko
"Latar belakang: Laparotomi merupakan teknik operasi untuk membuka akses kavitas peritoneum dengan membentuk sayatan terbuka di area abdomen. Cedera mukosa akibat trauma pembedahan mengganggu homeostasis epitel, merusak ekosistem mikrobiom, meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan berkaitan dengan kejadian komplikasi pascaoperatif. Probiotik Lactobacillus acidophillus memperkuat sawar usus, mempertahankan ekosistem mikrobiom dan berpotensi memodulasi respon imun. Namun, belum terdapat penelitian mengenai dampak pemberian Lactobacillus acidophilus terhadap kadar c-reactive protein (CRP) pascalaparotomi gastrointestinal sebagai penanda inflamasi
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian Lactobacillus acidophilus terhadap kadar CRP pascalaparotomi gastrointestinal
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 56 subjek yang akan menjalani operasi laparotomi gastrointestinal dimasukkan ke dalam penelitian. Subjek penelitian diberikan kapsul probiotik Lactobacillus acidophilus 109 (kelompok probiotik) atau diberikan kapsul laktosa (kelompok plasebo) selama 3 hari sebelum operasi. Kadar CRP diukur 3 hari sebelum prosedur dan 3 hari sesudah prosedur.
Hasil: Lima puluh enam subjek dengan 28 subjek pada tiap kelompok, mengikuti penelitian hingga selesai. Pada hari ketiga pascaoperatif, probiotik secara efektif menurunkan peningkatan respon inflamasi dengan nilai akhir CRP pada kelompok probiotik lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo (median probiotik 89,65 mg/L vs. plasebo 204 mg/L, p < 0,001). Perubahan peningkatan nilai CRP lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan kelompok plasebo (median probiotik 84,8 mg/L vs. plasebo 187,6 mg/L, p < 0,001). Terdapat efek samping yang signifikan (mual, diare, muntah dan rasa kembung di perut) pada kelompok probiotik selama penelitian (p = 0,04).
Simpulan: Pemberian probiotik preoperatif menurunkan secara signifikan peningkatan CRP pada pasien pascalaparotomi gastrointestinal

Background: Laparotomy is a surgical technique to open access to the peritoneal cavity by forming an open incision in the abdominal area. Mucosal injury due to surgical trauma can disrupt epithelial homeostasis, impair the microbiome ecosystem, increase the production of proinflammatory cytokines and relating to the incidence of postoperative complications. Lactobacillus acidophillus probiotic administration improve the intestinal barrier function, maintains the microbiome ecosystem and potentially modulate immune responses. However, there has been no research on the impact of Lactobacillus acidophilus administration on C-Reactive Protein (CRP) levels after gastrointestinal laparotomy as a marker of inflammation.
Objective: This study aimed to determine the impact of Lactobacillus acidophilus on CRP levels after gastrointestinal laparotomy
Methods: This study is a randomized controlled trial. Fifty six subjects scheduled gastrointestinal laparotomy surgery were enrolled. Subjects received Lactobacillus acidophilus 109 probiotic capsules (probiotic group) or lactose capsules (placebo group) for 3 days before surgery. CRP levels were measured 3 days before the procedure and 3 days after the procedure.
Results: Fifty-six subjects with 28 subjects in each group completed the study. On the third postoperative day, probiotics effectively suppressed the elevating inflammatory response with the final CRP value in the probiotic group lower than the placebo group (median probiotic 89.65 mg/L vs. placebo 204 mg/L, p < 0.001). Elevated CRP values ​​were lower in the probiotic group than in the placebo group (median probiotic 84.8 mg/L vs. placebo 187.6 mg/L, p < 0.001). There was a significant side effects (nausea, diarrhea, vomiting, and bloating) in the probiotic group during study (p = 0.04).
Conclusions: Preoperative probiotic administration significantly reduced elevated CRP in patients After Undergoing Gastrointestinal Laporotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Cynthia Walter
"Latar Belakang: Laparotomi merupakan pembedahan mayor yang dapat menyebabkan penurunan massa otot rangka dan kapasitas fungsional, seperti kekuatan genggam tangan (KGT). Berbagai studi membuktikan penurunan KGT pascaoperasi menimbulkan komplikasi pascaoperasi, serta KGT berkorelasi erat dengan appendicular skeletal muscle index (ASMI). Pengaruh ASMI praoperasi terhadap KGT pascaoperasi belum banyak dilakukan penelitian, sehingga penelitian ini bertujuan menilai korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi.
Metode: Studi observasional prospektif dilakukan pada subjek berusia 18 – 65 tahun di RS pendidikan tersier, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang dirawat untuk laparotomi elektif pada Maret sampai Juni 2023. Pengukuran ASMI praoperasi menggunakan bioimpedance analysis (BIA) multifrequency seca® mBCA 525 dengan cutoff laki-laki > 7,0kg/mg2 dan perempuan >5,7 kg/m2. Pengukuran KGT pada tangan kanan dan kiri pascaoperasi pada hari ke-6 pascaoperasi (POD-6) dengan dinamometer tangan spring-type CAMRY® dengan cutoff laki-laki >28 kg/m2 dan perempuan >18 kg/m2. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai hubungan variabel bebas dan terikat, serta mengidentifikasi faktor perancu yang berhubungan dengan KGT pascaoperasi.
Hasil: Pada 85 subjek penelitian, sebanyak 98,82% subjek memiliki ASMI praoperasi rendah, 72,94% subjek memiliki KGT pascaoperasi tangan kanan menurun, dan 80% subjek memiliki KGT pascaoperasi tangan kiri menurun dari cutoff. Didapatkan hasil signifikan pada korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi tangan kanan (r=0,444, p<0,001) dan kiri (r=0,423, p<0,001). Analisis lanjutan dengan regresi linier untuk faktor perancu didapatkan indeks massa tubuh (IMT) adalah faktor paling signifikan meningkatkan KGT tangan kanan dan kiri pascaoperasi.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi laparotomi elektif.

Background: Laparotomy is a major surgery that can lead to a decrease in skeletal muscle mass and functional capacity, such as handgrip strength (HGS). Various studies have shown that HGS is decreasing after surgery can result in postoperative complications, and HGS is closely correlated with the appendicular skeletal muscle index (ASMI). Research on the preoperative influence of ASMI on postoperative HGS is limited, so this study aims to assess the correlation between preoperative ASMI and postoperative HGS.
Top of Form
Methods: A prospective observational study was conducted on subjects aged 18-65 years at the tertiary education hospital, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, who underwent elective laparotomy from March to June 2023. Preoperative ASMI measurements were taken using multifrequency bioimpedance analysis (BIA) with seca® mBCA 525, with a cutoff for males > 7.0 kg/m2 and females > 5.7 kg/m2. Postoperative HGS measurements for the right and left hands on postoperative day 6 (POD-6) were conducted using a spring-type hand dynamometer CAMRY® with a cutoff for males > 28 kg/m2 and females > 18 kg/m2. Bivariate and multivariate analyses were employed to assess the association between independent and dependent variables, as well as to identify confounding factors associated with postoperative HGS.
Results: In 85 research subjects, 98.82% had low preoperative ASMI, 72.94% experienced a decrease in postoperative right HGS, and 80% had a decrease in postoperative left HGS from the cutoff. Significant results were obtained in the correlation between preoperative ASMI and postoperative right HGS (r=0.444, p<0.001) and left HGS (r=0.423, p<0.001). Further analysis with linear regression for confounding factors revealed that body mass index (BMI) was the most significant factor in increasing postoperative HGS for both right and left hands.
Conclusion: There is a statistically significant in the correlation between preoperative ASMI and postoperative HGS in elective laparotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gusno Rekozar
"Nyeri pasca bedah adalah sesuatu yang sangat mengganggu bagi pasien. Kenyamanan pasien adalah hal yang utama sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode pasca bedah. Penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi tubuh; berupa peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, mobilisasi yang terhambat, kecemasan, takut dan gangguan tidur.
The Agency for Health Care Policy and Research dari Departement of Health and Human Services Amerika Serikat mempublikasikan panduan praktis penatalaksanaan nyeri akut, di mana bila tidak didapatkan kontraindikasi, terapi farmakologi untuk nyeri pasca bedah ringan-sedang harus dimulai dengan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. NSAID menurunkan kadar mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan, dan tidak mempengaruhi fungsi usus dan kandung kemih.
Pemberian obat untuk mengatasi nyeri dapat diberikan dalam berbagai cara seperti oral, suppositoria, transmukosa, intramuscular, intravena (intermitten atau kontinyus), dan regional analgesia, serta blok saraf perifer. Analgesia balans adalah cara pengelolaan nyeri pasca bedah yang bersifat multidrug di mana proses nyeri ditekan pada tiga tempat yaitu, transduksi dengan obat NSAID, transmisi dengan anestesi lokal dan modulasi dengan opioid.
Ketorolac adalah salah satu analgetik NSAID yang sering diberikan kepada pasien pasca operasi dengan tingkat nyeri yang tinggi. Hasil yang dicapai dengan pemberian analgetik ini memuaskan. Efek analgetik ketorolac sama baiknya dengan morfin dengan dosis yang sebanding, tanpa takut terjadinya depresi pemapasan. Hal inilah salah satu sebab dipilihnya ketorolac sebagai analgetik pasca operasi Ketorolac juga bersifat anti inflamasi sedang, Paul F White melaporkan bahwa pemberian ketorolac menurunkan tingkat kebutuhan fentanil pasta operasi sampai 32 %.
Dalam peneltian Etches disebutkan bahwa pemberian ketorolac menghilangkan nyeri dengan baik dan menurunkan tingkat kebutuhan morfin sampai 35 % dibandingkan plasebo. Terdapat suatu kepercayaan bahwa obat yang pertama kali keluar (launching), yang biaya disebut original product, adalah yang terbaik. Sebaliknya ada pula yang berpendapat obat sejenis yang dikeluarkan kemudian, me too drug, adalah yang terbaik. Di lain pihak seringkali original product jauh lebih mahal dibanding obat yang dikeluarkan berikutnya. Dalam hal ketorolac yang akan dibandingkan ini, harga ketorolac original tiga kali sampai empat kali lipat obat me too drug-nya. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan keefektifan antara keduanya, maka penelitian ini akan menjawabnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoni Vanto
"Latar Belakang: Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi sekitar luka operasi dalam kurun waktu 30 hari pascabedah. SSI merupakan 23,6% dari total infeksi nosokomial pascabedah abdomen di RSCM tahun 2009 – 2011. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas dikarenakan SSI menyebabkan biaya penangganan SSI, sehingga pencegahan SSI akan mengurangi biaya pengobatan. Aquadest diketahui cairan yang efektif untuk irigasi luka, mudah didapatkan, murah dan aman untuk irigasi luka.
Tujuan: Mengetahui pencucian luka dengan aquadest dibanding perawatan luka Standar.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental terandomisasi tersamar tunggal, yang dilakukan di departemen bedah, Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Mei – Juni 2018. Subyek berjumlah 80 orang setelah laparatomi mediana, dibagi menjadi grup kontrol (n=40) yang menerima perawatan standar dengan tulle setiap 2 hari dan grup eksperimental (n=40) yang menerima pencucian luka dengan aquadest setiap hari, dimulai hari kedua pascabedah. Pada hari ketujuh, dilakukan kultur mikrobiologi yang diambil dari benang jahitan. Parameter yang dievaluasi adalah pertumbuhan kuman, tanda infeksi, dan biaya per subyek antara 2 grup untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas keduanya.
Hasil: Positif kultur mikrobiologi 57,5% (n=23) pada grup kontrol dan 55% (n=22) pada grup eksperimental. Tidak ada perbedaan bermakna antara kolonisasi kuman di grup kontrol dan grup eksperimental (p=0,820) maupun insiden SSI (p=1,00). Selisih biaya Rp 27.500,00 (Rp 19.400,00 – Rp 40.990,00) lebih rendah pada grup eksperimental (Rp 385.500,00 (Rp 379.500,00 – Rp 385.960,00)) dibanding grup kontrol (Rp 413.000,00 (Rp 398.900,00–Rp 426.950,00))
Kesimpulan: Pencucian luka dengan aquadest lebih efisien dibandingkan perawatan luka dengan teknik standar.

Background: Surgical Site Infection (SSI) is infection at or around the incision site within 30 days postoperative. SSI accounts for 23.6% of total nosocomial infections after abdominal surgery in Cipto Mangunkusumo General Hospital during 2009 – 2011. The high morbidity and mortality due to SSI causes high cost burden for SSI management, hence prevention of SSI will reduced the cost of treatment. Aquadest has known as an effective substance for wound irrigation, easy to obtain, low-cost and safe for wound irrigation.
Aim: The study objective was to know the efficiency of aquadest wound irrigation compared to standard wound care.
Methods: This was a single-blinded randomized experimental study, conducted at the Department of Medical Surgery, Faculty of Medicine University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo General Hospital during May-June 2018. Subjects were eighty patients after median laparotomy, randomized into control group (n=40) which received standard wound care with tulle every other day and experimental group (n=40) which received aquadest wound irrigation every day, started on the second post operation day. On the seventh day, microbiological culture taken from surgical suture materials. Parameters evaluated were the bacterial growth, signs of infection and cost per subject between two groups to know the efficiency and efficacy of both treatment.
Result: The positive microbiological culture were 57,5% (n=23) in control group and 55% (n=22) in experimental group. There was no significant difference of bacterial colonization in the control and experimental group (p = 0,820) neither in SSI incidence (p = 1,00). The cost difference was Rp 27.500,00 (Rp 19.400,00 – Rp 40.990,00) lower for subject in experimental group (Rp 385.500,00 (Rp 379.500,00 – Rp 385.960,00)) compared with control group (Rp 413.000,00 (Rp 398.900,00–Rp 426.950,00)).
Conclusion: Surgical wound irrigation with aquadest was more efficient compared with standar surgical wound care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Freddy Guntur Mangapul
"Latar belakang : Pembedahan abdomen secara laparotomi menyebabkan penurunan kadar albumin. Kadar albumin di bawah 3,00 g/dL berperan dalam terjadinya mortalitas dan morbiditas pasca-operasi.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar albumin pre-operasi dan pasca-operasi terhadap luaran klinis pasca-operasi laparotomi.
Metode : Penelitian ini dengan desain kohort retrospektif menggunakan data rekam medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak tahun 2015-2017. Total sampling pada pasien pasca-laparotomi di PICU dengan rentang usia 1 bulan hingga 18 tahun, dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu: albumin ≤ 3,0 g/dL dan > 3,00 g/dL. Subyek diambil data luaran klinis pasca-operasi seperti sepsis pasca-operasi, infeksi luka operasi, dehisens, relaparotomi, dan lama rawat di PICU.
Hasil : Dua ratus satu subyek pasca-laparotomi diikutsertakan dalam penelitian ini. Kadar albumin pre-operasi ≤ 3,0 g/dL meningkatkan risiko terjadinya sepsis pasca-operasi (RR 3,40(95%IK: 1,54-7,51), relaparotomi (RR 3,84(95%IK: 1,28-11,49), dan lama rawat PICU 2 kali lebih lama daripada normoalbuminemia. Kadar albumin pasca-operasi ≤ 3,0 g/dL meningkatkan risiko terjadinya sepsis pasca-operasi (RR 2,55(95%IK: 1,40-4,63) dan lama rawat PICU 1 hari lebih lama daripada normoalbuminemia. Mortalitas pada kelompok hipoalbuminemia sebesar 19,2% dengan RR 3,44(95%IK: 1,07-11,07).
Simpulan : Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif meningkatkan risiko kejadian sepsis pasca-operatif. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif tidak berhubungan dengan infeksi luka operasi. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif tidak berhubungan dengan risiko kejadian dehisens. Hipoalbuminemia pre-operatif meningkatkan risiko untuk menjalani relaparotomi. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif memperpanjang lama rawat di PICU. Hipoalbuminemia pre-operatif meningkatkan angka mortalitas.

Backgrounds : Laparotomy abdominal surgery decreasing serum albumin. Serum albumin concentration below 3,00 g/dL associated with postoperative morbidity and mortality.
Aim: To determine the relationship between serum albumin (preoperative and postoperative) and postoperative clinical course.
Methods : Retrospesctive observational study in pediatric patients undergoing laparotomy and hospitalized in Pediatric Intensive Care Unit during January 2015- December 2017. Post-laparotomy patients over the age range 1 month to 18 years, classified according to serum albumin concentration: ≤ 3,0 g/dL and > 3,00 g/dL. Postoperative outcome measured by postoperative sepsis, surgical site infection, dehiscence, relaparotomy, PICU length of stay, and mortality.
Results : Two hundred and one subjects undergone laparotomy participated. Preoperative serum albumin ≤ 3,0 g/dL increase risk of postoperative sepsis (RR 3,40 (95%CI: 1,54-7,51)), relaparotomy (RR 3,84 (95%CI: 1,28-11,49)), and twice longer in Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Postoperative albumin ≤ 3,0 g/dL increase risk of postoperative sepsis (RR 2,55(95%CI: 1,40-4,63)) and Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Mortality rate in hypoalbuminemic group is 19,2% with RR 3,44(95%CI: 1,07-11,07).
Conclusions : Preoperative and postoperative hypoalbuminemia increase risk of postoperative sepsis. Preoperative and postoperative hypoalbuminemia not associated with risk of surgical site infection and wound dehiscense. Preoperative hypoalbuminemia increase risk of relaparotomy. Preoperative and postoperative albumin concentration inversely related with Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Preoperative hypoalbuminemia increase mortality rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ace Trantika
"Pembedahan laparatomi merupakan salah satu modalitas penatalaksanaan pada pasien dengan carcinoma recti. Penggunaan agen anestesi pada pasien yang menjalani prosedur bedah laparatomi dapat menyebabkan timbulnya gangguan aktivitas peristaltik usus. Penerapan terapi mobilisasi dini pada pasien post operasi laparatomi bertujuan untuk mempercepat timbulnya aktivitas peristaltik usus sehingga mencegah terjadinya komplikasi seperti infeksi nosokomial dan lambatnya proses penyembuhan luka bedah. Penerapan terapi mobilisasi dini yang dilakukan setiap 2 jam sekali selama 6 hari perawatan terbukti mampu mempercepat timbulnya aktivitas peristaltik usus yang ditunjukkan dengan timbulnya bising usus dengan frekuensi 6-8x/menit serta berkurangnya keluhan mual dan begah yang dialami pasien, hingga keluhan tersebut hilang pada hari ketiga sejak dilakukan mobilisasi dini. Hasil penerapan mobilisasi dini pada pasien post operasi laparatomi ini dapat dijadikan sumber informasi perawat dalam melakukan keperawatan mandiri dalam mengurangi mual dan begah seiring munculnya aktivitas peristaltik usus, serta mengurangi nyeri dan mempercepat proses penyembuhan.

Laparatomy surgery is one of the management modalities in patients with carcinoma recti. The use of anesthetic agents in patients undergoing laparotomy surgical procedures can cause disruption of intestinal peristaltic activity. The application of early mobilization therapy to post laparotomy patients aims to accelerate the emergence of intestinal peristaltic activity so as to prevent complications such as nosocomial infections and the slow healing process of surgical wounds. The application of early mobilization therapy that is carried out every 2 hours for 6 days of treatment is proven to be able to accelerate the occurrence of intestinal peristaltic activity as indicated by the emergence of bowel sounds with a frequency of 6-8x / minute and reduced complaints of nausea and pain experienced by patients, until the complaint disappears on the day third since early mobilization. The results of the application of early mobilization in postoperative laparotomy patients can be used as a source of information for nurses in carrying out independent nursing in reducing nausea and sickness as intestinal peristaltic activity arises, as well as reducing pain and accelerating the healing process.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra
"Latar Belakang: Katabolisme pascalaparotomi menyebabkan imbang nitrogen negatif dan diduga tidak dapat dicegah dengan pemberian nutrisi. Nutrisi parenteral dapat meningkatkan faktor anabolisme. Belum diketahui apakah proporsi asupan energi dan protein dari jalur parenteral terhadap asupan total berkorelasi dengan imbang nitrogen pasien pascalaparotomi elektif.
Metode: Studi potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada pasien pascalaparotomi elektif yang memperoleh supplemental parenteral nutrition (SPN) antara 3 hari pertama pascalaparotomi. Pemeriksaan nitrogen urea urin (NUU) dilakukan terhadap pasien dengan asupan ≥ 12 kkal/kg BB pada hari ketiga pascalaparotomi. Pasien dengan gangguan ginjal dan hati tidak disertakan dalam penelitian.
Hasil: Rerata imbang nitrogen hari ketiga pascalaparotomi sebesar -2,8 ± 3,8 g/hari, dengan median asupan energi 19 (12–34) g/kg BB dan protein 0,9 (0,4–1,9) g/kg BB. Proporsi asupan energi dari jalur parenteral sebesar 0,51 ± 0,26 dan protein 0,59 ± 0,28. Tidak ditemukan korelasi signifikan pada proporsi asupan energi dan protein dari jalur parenteral terhadap asupan total dengan imbang nitrogen. Korelasi signifikan ditemukan pada variabel total asupan energi (r = 0,697, p <0,001) dan protein (r = 0,808, p <0,001) dengan imbang nitrogen.
Kesimpulan: Pemberian SPN dini penting dalam mencapai total asupan energi dan protein untuk mengimbangi kehilangan nitrogen hari ketiga pascalaparotomi elektif di RSCM meskipun korelasi proporsi asupan nutrisi dengan imbang nitrogen belum tampak pada penelitian ini.

Background: Post-laparotomy catabolism causes a negative nitrogen balance and is unlikely prevented by nutritional intervention. Parenteral nutrition can increase anabolic factor. It is not known whether the proportion of energy and protein intake from parenteral nutrition to total intake correlates with nitrogen balance in elective post-laparotomy patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital in elective post-laparotomy patients who received supplemental parenteral nutrition (SPN) within first 3 days after laparotomy. Urine urea nitrogen (UUN) examination was performed on patients with intake ≥ 12 kcal/kg BW on the third day after laparotomy. Patients with renal and hepatic impairment were excluded. Results: The mean nitrogen balance on the third day post-laparotomy was -2.8 ± 3.8 g/day, with median energy intake of 19 (12–34) g/kg BW and protein 0.9 (0.4– 1.9) g/kg BW. The proportion of energy intake from the parenteral route was 0.51 ± 0.26 and protein was 0.59 ± 0.28. No significant correlation was found in the proportion of energy and protein intake from the parenteral nutrition to total intake with nitrogen balance. Significant correlations were found for total energy intake (r= 0.697, p <0.001) and protein (r= 0.808, p <0.001) with nitrogen balance. Conclusion: Early administration of SPN is important in achieving total energy and protein intake to compensate nitrogen loss on the third day after elective laparotomy although the association between the proportion of nutrition intake and nitrogen balance has not been observed in this study.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhilah Kaulika
"Latar Belakang: Prosedur pembedahan dapat memicu perubahan aktivitas metabolisme yang ditandai dengan respon inflamasi, serta terjadinya peningkatan proses katabolisme protein yang dapat mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional. Asupan protein selama periode pra laparotomi elektif merupakan hal yang dapat membantu mencegah penurunan kapasitas fungsional. Berbagai studi sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara asupan protein terhadap luaran klinis pasca laparotomi elektif, namun hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penilaian kapasitas fungsional melalui pengukuran kekuatan genggam, disebut memiliki hubungan dengan luaran klinis pasca laparotomi elektif. Belum ada penelitian yang menilai hubungan asupan protein pra-operasi dengan perubahan kapasitas fungsional pada pasien pasca laparotomi elektif di RSCM.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 85 pasien pasca laparotomi elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dilakukan pengambilan data berupa pengukuran kekuatan genggam pada hari ke-6 pasca laparotomi elektif. Data-data pra-operasi lain didapatkan melalui rekam medis pasien seperti data demografis, etiologi pembedahan, analisis asupan, dan komposisi tubuh. Analisis bivariat untuk menilai korelasi dilakukan dengan uji Pearson pada data berdistribusi normal dan uji Rank Spearman pada data tidak berdistribusi normal.
Hasil: Didapatkan sebanyak 85 subjek dengan mayoritas perempuan. Etiologi pembedahan mayoritas berupa keganasan. Berdasarkan status gizi, sebagian besar subjek memiliki status gizi normal, diikuti dengan obesitas derajat I, dan berat badan lebih. Prosedur ERAS tidak dilakukan pada mayoritas subjek. Sebanyak 36,5% subjek memiliki nilai FFMI yang rendah. Rerata total asupan energi pra-operasi subjek penelitian sebesar 26 kkal/kg BB, rerata total asupan protein pra-operasi sebesar 50,8 g, dengan total asupan protein per kg BB berkisar 0,5–1,8 g/kgBB. Rerata perubahan kekuatan genggam pra dan pasca laparotomi elektif tangan kanan sebesar 1,1 kg dan tangan kiri sebesar 0,8 kg. Ditemukan korelasi positif lemah antara asupan protein pra operasi dengan perubahan kekuatan genggam kanan (r = 0,18, p = 0,099) dan perubahan kekuatan genggam kiri (r = 0,166, p =0,129). Uji analisis multivariat dengan regresi linear berganda didapatkan bahwa FFMI pra-operasi merupakan faktor yang paling memengaruhi perubahan kekuatan genggam kanan (p = 0,042).
Kesimpulan: Tidak didapatkan korelasi signifikan antara asupan protein pra operasi dengan perubahan kekuatan genggam tangan kanan dan kiri.

Background: Surgical procedures trigger metabolic changes involving inflammatory, hormonal, and immunological responses. Increased protein breakdown can lead to reduced functional capacity. Preoperative protein intake has been suggested as a preventive measure against functional decline. However, research on the relationship between preoperative protein intake and postoperative outcomes has shown conflicting results. Grip strength measurement is a potential surrogate marker for postoperative outcomes, but its association with preoperative protein intake remains unexplored in elective laparotomy patients at RSCM.
Methods: We conducted a cross-sectional study on 85 patients who underwent elective laparotomy at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Grip strength was measured on the 6th day postoperatively, and preoperative data on demographics, surgical etiology, intake analysis, and body composition were collected from medical records. Bivariate analysis was performed to assess correlations using Pearson's test for normally distributed data and Spearman's rank correlation test for non-normally distributed data
Results: The majority of the 85 subjects were female, with malignancy being the primary surgical cause. Most subjects had normal nutritional status and did not follow Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) protocols. The mean preoperative energy intake was 1374 kcal (26 kcal/kg body weight), and mean preoperative protein intake was 50.8 g. Weak positive correlations were found between preoperative protein intake and changes in grip strength for the right (r = 0.18, p = 0.099) and left (r = 0.166, p = 0.129) hands. Multivariate analysis showed that preoperative FFMI had the most significant impact on changes in grip strength for the right hand (p = 0.042).
Conclusion: There was no significant correlation between preoperative protein intake and changes in grip strength for the right and left hands in patients following elective laparotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>