Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moch Anwar
Jakarta: Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI). , 1996
617.550 597 MOC b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Essy Octavia
"Latar Belakang: Kejadian infertilitas di Indonesia 10-15 dari 39,8 juta wanita usia subur. Infertilitas dapat memberi masalah fisik, mental, sosial hingga perceraian. Sekitar 25 -50 perempuan infertil disertai endometriosis dan laparoskopi telah menjadi salah satu pilihan tatalaksananya. Dalam menjalani suatu metode, ahli bedah dan pasangan selalu ingin mengetahui peluang keberhasilan mereka baik dari data praoperasi ataupun intraoperasi. Lee dkk menyatakan keberhasilan kehamilan alamiah pasca laparoskopi secara keseluruhan adalah 41,9 dan tidak berhubungan dengan derajat endometriosis atau temuan laparoskopi atau jenis operasi. Di Indonesia, belum ada studi yang membahas faktor yang paling mempengaruhi keberhasilan kehamilan alamiah pada perempuan yang menjalani metode laparoskopi operatif.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan kehamilan alamiah pasca laparoskopi operatif.Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Dengan total sampling, data diambil dari catatan pasien yang menjalani operasi laparoskopi karena infertilitas dengan endometriosis di RS Cipto Mangunkusumo dan RS Yayasan Pemeliharaan Kesehatan YPK di Jakarta, Indonesia. Analisis data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 20 untuk mengetahui hubungan antara usia, durasi infertilitas, jenis infertilitas, kadar CA-125, ukuran dan bilateralitas endometrioma, perlekatan organ genitalia interna, nodul endometriosis dan patologi tuba dengan keberhasilan kehamilan alamiah dalam 1 tahun pasca laparoskopi operatif.Hasil: Terdapat 70 subjek yang dianalisis. Sebanyak 32 subjek 45,7 hamil dalam satu tahun pasca laparoskopi. Lama infertilitas menggunakan titik potong
Background and aims The incidence of infertility in Indonesia is 10 15 of the 39.8 million women of childbearing age. It can give physical, mental, social and divorce problems. Approximately 25 50 of infertile women cause by endometriosis. Laparoscopy operative LO has become one of its treatments. In choosing a method, surgeon and couples always want to know the chances of their success either from preoperative or intraoperative data. In Indonesia, there are no studies that address the factors influence the success of natural pregnancy in women undergoing LO methods. This study aims to determine what factors affect the success of natural pregnancy postoperative laparoscopy.Methods This study used a retrospective cohort design. With total sampling, the data were taken from the patient records who underwent laparoscopic operative due to infertility with endometriosis at RS Cipto Mangunkusumo and the Health Care Foundation Foundation YPK in Jakarta, Indonesia. Data analysis was performed with SPSS 20 software to determine the relationship between age, duration of infertility, type of infertility, ca 125 levels, size and bilaterality of endometrioma, internal genital adhesion, endometriosis nodules and tubal pathology with successful natural pregnancy in 1 year after laparoscopic operative.Result There were 70 subjects analyzed. A total of 32 subjects 45.7 were pregnant within one year after laparoscopy. The length of infertility using a "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan tulisan ini adalah mendiskusikan tatalaksana teknisi pengobatan endometriosis, dengan penekanan pada peran laparoskopi operatif dan pengobatan medikamatosa"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wachyu Hadisaputra
"Tujuan tulisan ini adalah mendiskusikan tatalaksana terkini pengobatan endometriosis dengan penekanan pada peran laparoskopi operatif dan pengobatan medikamatosa. Ketepatan mendiagnosis endometriosis tanpa Laparoskopi sangat lemah, dengan positif palsu 44 % dan negatif palsu 19 %. Tersangka endometriosis yang didiagnosis tanpa laparoskopi akan ditemukan 81 % secara laparoskopi, sisanya 19 % bukan endometriosis. Disimpulkan bahwa laparoskopi sangat dibutuhkan untitk mendiagnosis dan mengobati endometriosis. Pengobalun medikamentosa efektifdalam hal merendahkan progresifitas endometriosis. (MedJ Indones 2006; 15:121-4)

The objective of this paper is to discuss the current guidelines for treatment of endometriosis, emphasis on the role of laparoscopic surgery and medical treatment. The accuracy of diagnosis ofendometriosis without laparoscopy is very low, as a false negative rate of 19 % and a false positive rate of 44 %, when a diagnosis was made pre iaparoscopy, 81 % had the diagnosis can confirmed on laparoscopy, while 19 % did not have endometriosis. It is concluded that laparoscopy is required for evaluation ami treatment of endometriosis. Medical therapy is effective in reducing progression of endometriosis score. (MedJ Indones 2006; 15:121-4)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-2-AprilJune2006-121
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini membahas dan melaporkan ruptura uteri saat kehamilan dan persalinan pada kasus pasca miomektomi perlaparoskopi. Laporan kasus kejadian ruptur uterus pada pasien yang sebelumnya mengalami laparoskopi operatif miomektomi miom intramural Æ 3.5 cm, yang 6 bulan kemudian mengalami kehamilan. Tidak ada gejala ke arah ruptura uteri saat kehamilan namun pada saat usia gestasi 34 minggu, pasien mengalami gejala ruptura uteri. Pada saat laparotomi; ditemukan fetus 2100 gram mati, dan robekan jaringan 5 cm pada sikatriks bekas miomektomi. Pada pasien yang mengalami miomektomi per laparoskopi khususnya miom intramural mempunyai risiko ruptura uteri pada saat persalinan. (Med J Indones 2004; 14: 113-6)

Following laparoscopic myomectomy, uterine rupture during pregnancy or delivery in the area of the scar is a very rare but dangerous complication. Individual cases of uterine rupture during pregnancy are described in the literature. Case report of uterine rupture during delivery in a patient who had previously undergone laparoscopic myomectomy. In the case presented here, the patient conceived 6 months after an 3.5 cm intramural myoma, had been laparoscopically removed. No symptoms suggesting uterine rupture were observed during the pregnancy, but in the first stage of delivery the condition of the patient deteriorated and symptoms of oligaemic shock developed. A laparotomy was performed, which showed the presence of 2100 gr fresh dead fetus in the abdominal cavity and ruptured uterine muscle in the scarred area about 5 cm. In patients who have previously undergone a laparoscopic myomectomy, there is some risk of uterine rupture at delivery. This is also the case where unappropriate suturing of the uterine muscle had been required. (Med J Indones 2004; 14: 113-6)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (2) April Juni 2005: 113-116, 2005
MJIN-14-2-AprJun2005-113
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Farid Anfasa Moeloek
"ABSTRAK
Latar Belakang Dan Permasalahan
Dewasa ini, dengan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas hidup dan kehidupannya, membawa masalah tersendiri terhadap penanganan infertilitas dalam menangani masalah fertilitas secara menyeluruh. Sesungguhnya kehadiran berbagai disiplin ilmu baik dari dalam dunia kedokteran, maupun dari luar dunia kedokteran seperti psikologi, ilmu sosial, ilmu pendidikan, ilmu hukum, dan bahkan agama sekali pun diperlukan dalam mengatasi masalah ini, karena sedemikian majemuknya permasalahan yang dihadapi. Ini berarti dituntut tanggung jawab yang merupakan tantangan bagi terlaksananya pusat pengkajian ilmu bagi masalah-masalah kesehatan reproduksi di Indonesia.
Sampai saat ini di dalam dunia kedokteran sendiri, pemeriksaan klinik infertilitas yang bermaksud untuk memperoleh sejauh mungkin keterangan mengenai sebab infertilnya pasangan, agar dapat dibuat kebijaksanaan bagi pengobatannya yang tepat dan terarah, masih tetap merupakan masalah yang menarik perhatian. Kenyataan ini dihadapkan dengan masih berlangsungnya hingga kini suatu penelitian bersama dari WHO dalam Investigation and diagnosis of the infertile couple, Special Programme of Research Development and Research Training in Human Reproduction (study number 78923). Dengan demikian dapat dimaklumi, bahwa keberhasilan pengobatannya pun sampai saat ini masih banyak membawa kekecewaan, meskipun ada kalanya memberi kepuasan tersendiri baik bagi dokter pemeriksa dan pasiennya sendiri.
Adalah kenyataan dalam 10 tahun terakhir ini, bahwa banyak kelainan genitalia interna pada wanita dengan perkawinan infertil yang masih sulit dikenal melalui pemeriksaan-pemeriksaan klinik infertilitas lazimnya yang terdiri dari pemeriksaan dalam (ginekologik), suhu basah badan, sitologi vagina atau biopsi endometrium, uji pasca sanggama dan histerosalpingografi saja. Pasangan infertil yang dianggap "normal", yang masih belum dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan kiinik tersebut masih cukup tinggi, berkisar 10-20%. Sedangkan pemeriksaan klinik infertilitas wanita yang dilakukan di klinik ini masih meliputi pemeriksaan-pemeriksaan itu; pemeriksaan imuno-hormonologik lanjut yang mungkin dapat membantu menerangkan hal-hal lainnya masih belum sempurna dapat dilaksanakan di sini karena masih langkanya pemeriksaan tersebut.
Selain daripada itu, masalah lain yang dihadapkan dan dirasakan perlu mendapat perhatian pada pemeriksaan klinik infertilitas wanita adalah lamanya waktu pemeriksaan dengan segala macam halangannya. Masih dirasakan sampai saat ini, terutama bagi pihak istri, perlunya waktu yang relatif lama untuk mencari faktor penyebabnya itu; sedangkan mereka telah dihadapkan pada waktu yang cukup lama pula untuk menantikan datangnya keturunan. Behrman dan Kistner, dan Jain, 17 ;pernah mengutarakan 'bahwa'lamanya usaha ingin anak atau lamanya perkawinan berlangsung 'merupakan faktor yang turut pula bertanggung jawab terhadap kesuburan pasangan.
Kemajuan ilmu ,dan teknologi .kontemporer di dalam bidang kedokteran saat ini, ternyata banyak mengundang harapan baru bagi terciptanya cara pemeriksaan klinik dan pengobatan, yang lebih maju. Kemajuan dalam bidang penelitian teknologi kontrasepsi dan sumber cahaya dingin (fiber optik), ternyata membuka era baru pula bagi cara-cara pemeriksaan klinik dan pengobatan pada infertilitas wanita. Dari sekian banyak teknologi alat kontrasepsi yang sedang dikembangkan dan kini mulai banyak digunakan untuk maksud pemeriksaan, klinik genitalia interna dan pengobatan pada wanita dengan perkawinan infertil adalah endoskopi (laparoskopi dan kuldoskopi). Endoskopi (laparoskopi ,atau kuldoskopi) yang merupakan pemeriksaan langsung genitalia interna, yang dapat dilaksanakan dalam waktu tidak lebih dari satu jam saja, membuat kelainan-kelainan genitalia interna yang sulit dikenal dengan pemeriksaan-pemeriksaan klinik infertilitas lainnya dengan mudah, cepat, dan tepat dapat diketahui. Berdasarkan pandangan dari beberapa penulis tampaknya endoskopi dapat memperkecil masalah pemeriksaan klinik infertilitas wanita. Bahkan Frangenheim dan Lindemann lebih tegas menyatakan bahwa kini pemeriksaan genitalia interna belum sempurna dilaksanakan apabila pemeriksaan endoskopi belum dilakukan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
D233
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juferdy Kurniawan
"ABSTRACT
Riedels lobe is a normal variant form of right liver lobe rarely found. Here we report a case of 38 years old female with an incidental finding not revealed in physical examination, but then known to have hepatomegaly by gynecological ultrasonography. Diagnosis of Riedels lobe was strengthened by similar results on hepatobiliary ultrasonography, abdominal MRI, and diagnostic laparoscopy. Our patient was discharged and had follow up examination three months later. Knowledge regarding this anomaly is essential to be understood because the finding of accessory liver lobe does not always remain asymptomatic as in our patient, but rather can be related to significant clinical complication.
"
Jakarta: Faculty of Medicine University of Indonesia, 2017
610 UI-IJIM 49: 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Peri Eriad Yunir
"ABSTRAK
Laparoscopic Living Donor Nephrectomy LLDN menjadi prosedur standar donor ginjal hidup di beberapa negara, termasuk Indonesia, khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada LLDN digunakan drain sebagai alat monitoring pasca operasi. Penelitian Randomized Controlled Trial ini dilaksanakan pada 40 pasien donor ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang dibagi ke dalam dua grup; grup tanpa drain dan yang menggunakan drain grup kontrol , untuk membandingkan lama rawatan, skala nyeri, kondisi luka operasi, dan keluhan saluran cerna pasca operasi pada kedua grup. Tidak didapatkan perbedaan pada semua parameter antara LLDN menggunakan drain dan tanpa menggunakan drain.

ABSTRACT
Laparoscopic Living Donor Nephrectomy LLDN has become the standard procedure for living kidney donor in several countries, including Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta. Drainage tube in LLDN is intended as a tool of postoperative monitoring. This randomized controlled trial was performed in 40 LLDN patients in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, divided into two groups without drainage tube and using drainage tube control group , in order to compare postoperative length of stay, pain scale, surgical wound condition and gastrointestinal tract complaints. There were no differences found in all evaluated parameters within the two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Marcelino
"Obesitas adalah masalah kesehatan di seluruh dunia, menyebabkan 3,4 juta kematian per tahun. Obesitas dinilai merupakan kontraindikasi relatif untuk operasi laparoskopi. Nefrektomi donor hidup per laparoskopi merupakan prosedur baku emas untuk pengangkatan ginjal pada beberapa pusat transplantasi. Namun pemilihan donor obesitas untuk menjalani laparoskopi nefrektomi masih menjadi perdebatan. Tujuan penulisan ini adalah untuk membandingkan hasil jangka pendek donor obesitas dan non-obesitas yang menjalani nefrektomi donor hidup per laparoskopi. Pada penelitian ini dilakukan analisa retrospektif pada 259 donor hidup antara November 2011 dan Agustus 2015. Indeks massa tubuh lebih dari 30 kg/m2 dikategorikan obesitas. Dua puluh subjek termasuk dalam kategori donor obesitas. Kami melakukan pengambilan sampel acak untuk 30 donor non- obesitas sebagai kelompok kontrol. Data intraoperatif dan pascaoperatif dibandingan antara kedua kelompok. Nilai p ≤0,05 menunjukkan perbedaan bermakna. Karakteristik yang sama terdapat pada kedua kelompok donor. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada waktu iskemik pertama, perkiraan kehilangan darah intraoperatif, dan nyeri pascaoperatif pada kedua kelompok. Waktu operasi pada donor obesitas lebih lama daripada kelompok kontrol (270 vs 245 menit, p≤0,05). Waktu lama rawat lebih panjang pada kelompok obesitas (4 vs 3 hari, p≤0,05). Pada rumah sakit kami, donor obesitas menunjukkan hasil jangka pendek yang sebanding dengan donor non-obesitas pada nefrektomi donor hidup per laparoskopi. Meskipun ditemukan waktu operasi yang lebih lama dan lama rawat yang lebih panjang, tidak terdapat komplikasi yang bermakna pada donor obesitas. Masih diperlukan evaluasi hasil jangka panjang untuk rasionalisasi donor obesitas.

Obesity is a major worldwide health problem, causing up to 3.4 million deaths per year. it was considered as a relative contraindication for laparoscopic surgery. Nowadays, Laparoscopic living donor nephrectomy is the gold standard procedure for kidney procurement in many transplant centers. However, the selection of the obese donors undergoes laparoscopic nephrectomies is still debatable. The objective of this study is to compare short-term results of obese donors and non- obese donors undergoing laparoscopic living donor nephrectomies. A retrospective analysis of 259 live donors between November 2011 and August 2015 was performed. Body mass index equal or more than 30 kg/m2 was categorized as obese. Twenty subjects were categorized as obese donors. We randomly assigned for 30 non-obese donors for the control group. Intra-operative and post-operative data were compared between these two groups. A p-value ≤0.05 was considered significant. There were same donors’ characteristics between two groups. No significant differences were found in the first warm ischemic time, estimated blood loss, and postoperative pain. The operative time in the obese group was significantly longer than in the control group (270 vs 245 minutes, p≤0.05). The hospital stay was also significantly longer in the obese group (4 vs 3 days, p≤0.05). At our hospital, obese donors show comparable short-term results to non-obese donors in laparoscopic living nephrectomy. While longer operative time and length of stay were found, there was no significant complication observed. Long-term outcomes should be evaluated for the rationalization of these obese donors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Ovalina Wisman
"Latar Belakang: Infertilitas merupakan salah satu permasalahan pasangan suami istri yang cukup sering ditemui dengan prevalensi berkisar pada 13-15%. Permasalahan infertilitas apabila tidak segera ditangani, dapat berakibat pada berbagai permasalahan seperti ekonomi, psikologis, maupun masalah medis. Diantara faktor penyebab infertilitas, 40% diantaranya berasal dari wanita dengan faktor terbanyak berupa faktor tuba. Sampai saat ini, jenis pemeriksaan yang sering digunakan untuk mengevaluasi tuba adalah histerosalpingografi (HSG) karena cara pengerjaan mudah, harganya yang lebih terjangkau dan masih dapat memberikan angka sensitivitas yang cukup baik. Meskipun demikian, pemeriksaan dengan HSG ini memiliki banyak kekurangan yakni metode yang invasif, menimbulkan rasa kurang nyaman, beresiko infeksi atau alergi, serta akurasi yang lebih rendah dibanding baku emas pemeriksaan faktor tuba yaitu laparoskopi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penilaian akurasi pemeriksaan HSG dalam menilai faktor tuba jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi yang data menilai faktor tuba dan temuan patologi organik lainnya pada perempuan infertil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi Ciptomangunkusumo (RSCM) dan rumah sakit YPK Menteng Jakarta dengan sampel berupa 93 wanita infertil yang diduga memiliki faktor tuba serta menjalani pemeriksaan HSG dan laparoskopi selama Juli 2014 sampai dengan Juni 2016. Pengambilan sampel dilakukan dengan melihat data rekam medis dari pasien yang telah menyetujui menjadi subjek penelitian yang dilakukan pemeriksaan oleh peneliti. Penilaian akurasi HSG dalam menilai faktor tuba dilakukan dengan melihat nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif dari HSG jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi, dan data dianalisis dengan analisis bivariat (crosstab) untuk menentukan signifikasi.
Hasil: Dari hasil analisis statistik didapatkan skor kappa adalah 0,484 (0,306-0,662, Cl 95%), yang berarti konsistensi hasil dari dua alat pemeriksaan dalam perhitungan moderat. Evaluasi patensi tuba menggunakan HSG dan laparaskopi memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif HSG secara berturut-turut 72,92%, 75,56%, 76,09%, dan 72,34%. Dengan nilai akurasi menggunakan HSG untuk mengevaluasi patensi tuba adalah 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%).
Diskusi: Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan HSG memiliki tingkat akurasi yang baik, dan HSG dapat masih digunakan sebagai pilihan pertama untuk mengevaluasi patensi tuba dan pasien infertil. PDari hasil penelitian ini penggunaan HSG tidak disarankan pada pasien usia 31-40 tahun menginat hasil statistik yang kurang mendukung.

Introduction: Infertility is of reproductive problems which is quite often encountered with a prevalence at 13-15%. Infertility which is not handled immediately can lead to various problems such as economic, psychological, or medical problems. Among the factors causing infertility, 40% of it came with the most factor of tubal factor. Until now, the type of examination used to diagnose tubal patency is hysterosalfingography (HSG) due to its affordable price. However, HSG examination has several shorthage such as invasive, painful sensation, risk of allergy, and low sensitivity compared to laparoscopy as the gold standard examination for tubal patency. Therefore, in this study the accuracy assessment carried out the ability of HSG information in view of tubal factors and other organic pathology findings in infertile women when compared with the gold standard is laparoscopy.
Methods: This study was a cross-sectional study obtained from Departement of Obatetrics and Gynecology of Ciptomangunkusumo (RSCM) and YPK Menteng Hospital with sample of 93 infertile women with tubal factors and underwent HSG and laparoscopic examination during the period July 2014 through June 2015. Taking the sample is done by looking at medical record data patients who have agreed to bet he subject of research conducted by the investigator. Assessment and measurement of HSG in tubal factor was performed by looking at sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG when compared with laparoscopy as the gold standard. In addition, bivariate trials were conducted using chi-square to see whether or not any signifficant difference between examination of tubal patency using HSG and laparoscopy, and data were analyzed by variate analysis (crosstab) to determine the significance.
Results: From the statistical analysis, the kappa score wa 0,484 (0,306-0,662, CL 95%), which means consistensy of result from two checking devices in moderate calculations. Evaluation of tubal patency, calculation of sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG 72,92%, 75,56%, 76,09%, and 72,34%. respectively. With accuracy values using HSG to evaluate tubal patency was 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%).
Discussion: This research shows that the sensitivity, specificity, and positive values of HSG are low while negative score is high enough. This shows that the data of HSG in the number of tubal factors in this study is still relatively low compared with the standard standard of laparoscopy. A further search with a larger sample quantity to do can be more accurate predictive value from HSG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>