Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marcello Patrick
"Konsumsi rokok menjadi aktivitas yang dilakukan individu dari seluruh negara, termasuk Indonesia. Konsumsi rokok membawa dampak negatif dari sisi ekonomi dan juga kesehatan. Penyakit-penyakit yang diakibatkan merokok membawa pengeluaran kesehatan yang lebih besar dan perlu mendapatkan rawat inap untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Semakin parah penyakit yang diderita, maka semakin lama durasi rawat inap yang diterima. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari status merokok individu terhadap lama rawat inap. Data yang digunakan adalah hasil Susenas Maret 2021 dan menggunakan model estimasi OLS untuk mengetahui pengaruh dari status merokok yang dilihat dari jumlah konsumsi rokok. Hasil penelitian menemukan bahwa individu yang mengonsumsi rokok mendapatkan durasi rawat inap yang lebih lama dibandingkan individu yang tidak merokok. Durasi untuk rawat inap di Indonesia terdistribusi pada berbagai karakteristik demografi, status ekonomi, dan wilayah tempat tinggal.

Cigarette consumption has become one of the activities that individuals from all countries do, including Indonesia. Cigarette consumption has a negative impact on the economy and health. The diseases caused by smoking lead to greater health expenditure and the need for hospitalization to maintain and improve health. The more severe the illness, the longer the duration of hospitalization. Therefore, this study aims to determine the effect of an individual's smoking status on the length of hospitalization. The data used is the results of Susenas March 2021 and uses an OLS estimation model to determine the effect of smoking status as seen from the amount of cigarette consumption. The results found that individuals who consume cigarettes get a longer duration of hospitalization than individuals who do not smoke. The duration of hospitalization is also influenced by expenditure on hospitalization. The duration of hospitalization in Indonesia is distributed across demographic characteristics, economic status, and region of residence. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retna Mustika Indah
"ABSTRAK
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Kemampuan rumah sakit dalam menegakkan diagnosis untuk penyakit menular masih terbatas sehingga seringkali memperpanjang lama hari rawat pasien di rumah sakit. Keterbatasan ini seringkali menyebabkan beberapa penyakit infeksi tidak terdiagnosis atau didiagnosis sebagai penyakit lain. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan ketidaksesuaian diagnosis pada 5 penyakit infeksi terpilih dengan lama rawat inap. Menggunakan data sekunder, penelitian kuantitatif ini mengamati pasien dengan demam rawat inap di 7 RS Kelas A, dimana diagnosis etiologisnya adalah dengue, salmonella, rickettsia, leptopsira, dan chikunguya. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidaksesuaian diagnosis, terutama pada penyakit seperti riketsiosis, chikungunya, dan leptospirosis. Rata-rata hari rawat inap untuk masing-masing penyakit berkisar 5-8 hari. Pada dengue, ketidaksesuaian diagnosis dan lama rawat inap tidak berhubungan, sedangkan pada tifoid dan leptospirosis pasien dengan diagnosis tidak sesuai, dapat dirawat lebih singkat.

ABSTRACT
Infectious diseases are still become the main health problem in Indonesia. Capabilities of hospitals in determining diagnosis of infectious diseases are still limited, and in many cases create prolong days of hospital inpatient care. This limitation may cause several infectious diseases undetected or often misdiagnosed with other diseases. The result of this study demonstrated the correlation between discrepancies in diagnosis and hospitalization days in 5 infectious diseases dengue fever, chikungunya, typhoid, rickettsiosis, and leptospirosis. Using a secondary data, this quantitative method specifically examines hospital patients with fever in seven class A hospital. The study results found that there is inconsistency of diagnosis, especially for disease of riketsiosis, chikungunya, dan leptospirosis. The average length of stay in hospital was ranging from 5 to 8 days. In dengue, diagnosis discrepancies were found to be unrelated to the hospitalization days, while in typhoid and leptospirosis, patients who had been misdiagnosed had shorter hospitalization days. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati
"Pendahuluan: Trauma maksilofasial dapat terjadi karena beberapa etiologi dan yang paling sering terjadi ialah trauma akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan trauma maksilofasial biasanya akan menjalani perawatan rawat inap dengan durasi yang lama berkaitan dengan rangkaian perawatan yang harus dilakukan. Terdapat beberapa sistem penilaian tingkat keparahan dari trauma yang terjadi yang sudah diperkenalkan dan digunakan, dan sistem penilaian Facial Injury Severity Scale (FISS) oleh Bagheri et al telah digunakan secara luas untuk menilai derajat keparahan cedera maksilofasial. Trauma maksilofasial dapat menjadi salah satu kondisi yang dapat berhubungan dengan cedera kranial, sehingga penilaian kesadaran perlu dilakukan. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem penilaian kesadaran pasien pasca trauma yang telah digunakan secara luas selama empat dekade terakhir. Namun, kemampuan kedua sistem penilaian tersebut dalam menunjukkan hubungan tingkat keparahan trauma dan tingkat kesadaran dengan lama rawat inap masih jarang digunakan dalam penelitian. Tujuan: Untuk mengevaluasi indeks keparahan trauma maksilofasial menggunakan (FISS) dan tingkat kesadaran (GCS) dengan lama rawat inap pada pasien trauma maksilofasial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Metode: Studi restrospektif, menggunakan data sekunder dengan menganalisis rekam medis trauma maksilofasial semua rentang usia di IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Hasil dan pembahasan: Sebanyak 346 pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam studi ini. Analisis multivariat menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan skor FISS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan skor FISS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif, di mana semakin bertambah skor FISS, akan menambah lama rawat inap. Analisis multivariat juga menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan Nilai GCS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan nilai GCS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif di mana semakin berkurang nilai GCS, akan menambah lama rawat inap.Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna dari skor FISS dan GCS terhadap lama rawat inap pasien.

Introduction: Maxillofacial trauma can occur due to several etiologies and the most common is trauma due to traffic accidents. Patients with maxillofacial trauma will usually undergo inpatient treatment with a long duration due to the series of treatments. There are several trauma severity rating systems that have been introduced and used, and the Facial Injury Severity Scale (FISS) rating system by Bagheri et al has been widely used to assess the severity of maxillofacial injuries. Maxillofacial trauma can be one of the conditions that can be associated with cranial injuries, so an assessment of consciousness needs to be done. The Glasgow Coma Scale (GCS) is a system for assessing the consciousness of posttraumatic patients that has been widely used over the past four decades. However, the ability of the two scoring systems to show the relationship between trauma severity and level of consciousness with length of hospitalization is rarely used in research, Objective: To evaluate the index of severity of maxillofacial trauma using FISS and level of consciousness (GCS) with length of hospitalization in maxillofacial trauma patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Metode: Retrospective study, using secondary data by analyzing Maxillofacial Trauma medical records for all age ranges in the emergency room at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Result and Discussion: A total of 346 patients who met the inclusion criteria were included in this study. Multivariate analysis showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS Score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and FISS Score (p>0.05). The relationship between length of hospitalization and FISS score shows a weak relationship and has a positive pattern, where the increasing FISS score will increase the length of hospitalization. Multivariate analysis also showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and GCS score (p>0.05). The relationship between the length of hospitalization and the GCS score shows a weak relationship and has a negative pattern, where the decreasing the GCS score, the longer the length of hospitalization. Conclusion: There was no significant difference between the FISS and GCS scores on the patient's length of hospitalization."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhli Mahri
"ABSTRACT
Transplantasi ginjal masih menjadi terapi pilihan pada penyakit gagal ginjal stadium akhir. Lama rawat inap (Length of Stay/LOS) adalah penanda alternatif dari morbiditas perioperatif pasien yang berkaitan dengan hasil pembedahan jangka panjang. Penilaian prabedah dapat digunakan untuk memaksimalkan kualitas pemulihan. Salah satu penilaian prabedah adalah Charlson Comorbidity Index (CCI) yang secara umum dinilai baik dalam memprediksi mortalitas, disabilitas, readmisi, dan LOS. CCI belum menjadi standar alat penilaian prabedah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif menggunakan rekam medik resipien transplantasi ginjal antara Januari 2015-Desember 2017. Analisis bivariat dilakukan antara LOS dengan skor total CCI dan antara LOS dengan kondisi-kondisi komorbid dalam CCI. Variabel yang signifikan dimasukan ke dalam analisis multivariat. Berdasarkan hasil analisis bivariat dan multivariat, skor total CCI dan kondisi-kondisi komorbid dalam CCI tidak memengaruhi LOS secara signifikan. Kesimpulannya, sistem skor CCI tidak dapat digunakan dalam menentukan kejadian LOS berkepanjangan pascatransplantasi ginjal.

ABSTRACT
Kidney transplantation is still the treatment of choice in end-stage renal failure. Length of stay (LOS) is an alternative marker of the patient's perioperative morbidity associated with long-term surgical results. Preoperative assessment can be used to maximize the quality of recovery. One of the preoperative assessments is the Charlson Comorbidity Index (CCI) which is generally considered good in predicting mortality, disability, readmission, and LOS. CCI has not become a standard pre-assessment assessment tool at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The study was conducted using a retrospective cohort method using a kidney transplant recipient medical record between January 2015-December 2017. Bivariate analysis was performed between LOS with a total CCI score and between LOS with comorbid conditions in CCI. Significant variables were included in the multivariate analysis. Based on the results of bivariate and multivariate analyzes, total CCI scores and comorbid conditions in CCI did not significantly affect LOS. In conclusion, the CCI scoring system cannot be used to determine the incidence of prolonged LOS after kidney transplantation."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Silviani
"Lama rawat inap diduga dipengaruhi oleh berbagai fakor kompleks diantaranya sosio-demografis, gizi, dan kondisi klinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosio-demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, status pekerjaan, status pernikahan, kelas rawat inap), gizi (asupan energi, asupan protein, status gizi, dan risiko malnutrisi), dan kondisi klinis (tingkat keparahan, komorbiditas, riwayat rawat inap stroke) terhadap lama rawat inap pasien stroke iskemik. Desain penelitian ini adalah cross-sectional melibatkan 150 pasien stroke iskemik usia 18-59 tahun di RSPON Prof.Dr.dr. Mahar Mardjono melalui metode purposive sampling. Analisis statistik menggunakan chi-squarepada bivariat dan regresi logistik pada multivariat. Hasil menunjukkan mayoritas pasien memiliki lama rawat inap pendek (78%). Tidak ada perbedaan proporsi antara usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, status pekerjaan, status pernikahan, kelas rawat inap, risiko malnutrisi, tingkat keparahan, komorbiditas, atau riwayat rawat inap stroke terhadap lama rawat inap bagi pasien stroke iskemik (p>0,05). Melalui analisis bivariat ada perbedan proporsi status gizi terhadap lama rawat inap (p=0,026), namun ketika dikontrol dengan variabel lain keduanya tidak signifikan (p=0,888). Ada perbedaan proporsi antara asupan energi (p=0,001) dan protein (p=0,001) terhadap lama rawat inap pasien stroke iskemik. Pada permodelan akhir asupan energi (OR=165,4; CI:4,27-6404,3) dan protein (OR=547,94; CI: 19,86-15116,4) defisit berhubungan signifikan dan berisiko meningkatkan lama rawat inap panjang pasien stroke iskemik. Asupan protein menjadi faktor dominan terhadap lama rawat inap.

Multifactorial aspects such as sociodemographic, nutrition, and clinical condition were related to length of stay among ischaemic stroke patients. The aim of the study was to explore the association between sociodemographic (age, gender, education, occupation, marital status, and type of class), nutrition (energy intake, protein intake, nutritional status, and risk of malnutrition) and clinical condition (severity, comorbidity, and previous history of stroke) with length of stay in ischaemic stroke patients. Design of the study was cross-sectional. The study recruited 150 ischaemic stroke patients aged from 18 to 59 years old at National Brain Center Hospital Prof.Dr.dr. Mahar Mardjono Jakarta. Data was analysed by using chi-square test for bivariate and logistic regression for multivariate. Most of of ischaemic stroke patients had shorted length-of-stay (78%). There was no difference proportion between age, gender, education, occupation, marital status, type of class, risk of malnutrition, severity, comorbidity, or previous history of stroke and length of stay in ischaemic stroke patients (all p>0.05). Based on bivariate analysis, there was a difference proportion between nutritional status and length of stay (p=0.026), but not significant when controlled with other variables (p=0.888). There was a difference proportion between energy intake (p=0.001) or protein intake (p=0.001) and length of stay. Patients who had inadequate energy intake (OR=165.4; CI:4,27-6404.3) and protein intake (OR=547.94; CI: 19.86-15116.4) significantly related and increased the risk of prolonged hospital length of stay in ischaemic stroke patients. Protein intake was dominant determinant factor of length of stay in ischaemic stroke patients."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardianto Sucinta
"Introduksi: Transplantasi hati merupakan terapi definitif pasien dengan penyakit hati stadium akhir. Peningkatan lama rawat inap berhubungan dengan luaran yang lebih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan lama rawat inap pada pasien anak pascatransplantasi donor hidup di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan dengan subjek seluruh pasien anak (<18 tahun) pascatransplantasi donor hidup di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2020-2018. Data social demografis dan klinis didapatkan pada penelitian ini. Uji T berpasangan dan uji T independent dilakukan pada subjek. Analisis multivariat dilakukan pada variabel dengan nilai p <0,25 dianggap signifikan.
Hasil: Terdapat 32 subjek pada penelitian ini. Graft-to-recipient weight ration (GRWR) berkorelasi terbalik dengan lama rawat inap (p= 0,010, r = -0,447). Variabel lain, jenis kelamin, umur, durasi operasi, waktu iskemia, status nutrisi, rasio graft-to-weight, etiologi, aliran vena porta, dan komplikasi tidak berkorelasi secara signifikan dengan peningkatan lama rawat inap (p>0,05).
Konklusi: Peningkatan lama rawat inap berkorelasi terbalik secara signifikan dengan GRWR.

Introduction: Liver transplantation is a definitive treatment for pediatric end-stage liver disease. Increased length of stay (LOS) was associated with worse outcome. The study was aimed to analyze the factors related to the increase of LOS in pediatric patients receiving LDLT in Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods: A cross-sectional study was performed, with patients collected from children (<18 years old) receiving LDLT in Cipto Mangunkusumo General Hospital in 2010 - 2018. Sociodemographic and clinical data were collected in the study. Paired t-test and independent t-test was performed on the patients included in the study. Multivariate analyses were performed for variables with p value <0.25. P value of < 0.05 was deemed significant.
Results: There were 32 subjects included in the study. Graft-to-recipient weight ratio (GRWR) had significant inverse correlation to LOS (p = 0.010, r = -0.447). Other variables, namely sex, age, surgery duration, ischemia time, nutritional status, graft-to-weight ratio, etiology, portal vein flow, and complications were not significantly correlated with increased LOS (p > 0.05).
Conclusion: Increased LOS was significantly and inversely correlated with GRWR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Riani
"

Latar Belakang : Malnutrisi sering ditemukan pada pasien kanker ovarium dengan prevalensi 67% dan dapat memperburuk luaran pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi malnutrisi dan hubungan antara malnutrisi dengan lama rawat inap dan faktor pembedahan pada pasien kanker ovarium yang menjalani prosedur tersebut di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Metode : Penelitian analitik observational dengan desain potong lintang pada 59 pasien yang menjalani pembedahan selama bulan Juli 2018-Maret 2019. Status malnutrisi dinilai dengan metode Patient-Generated Subjective Global Assessment dan faktor pembedahan yang dinilai mencakup durasi pembedahan, besar tumor, dan perdarahan selama pembedahan.

Hasil : Prevalensi malnutrisi pasien kanker ovarium 78% dengan malnutrisi sedang 42,4% dan malnutrisi berat 35,6%. Rerata lama rawat inap 8 hari dan setelah dilakukan analisis didapatkan hubungan yang bermakna antara status malnutrisi dengan lama rawat inap, besar tumor, dan perdarahan selama pembedahan.

Kesimpulan : Prevalensi malnutrisi pada pasien kanker ovarium cukup tinggi dan dapat memperpanjang lama rawat inap dan meningkatkan jumlah perdarahan saat pembedahan.

Kata kunci:

Kanker ovarium, malnutrisi, lama rawat inap, faktor pembedahan.


Introduction : Malnutrition could be easily found in ovarian cancer with prevalence 67% and responsible for patient’s outcome worsening. The objective of this study was to identify malnutrition prevalence and correlation between malnutrition status and length of stay and surgical factors in ovarian cancer patients undergo surgery at National Hospital Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Method: A cross sectional study conducted with 59 patients undergo surgery during July 2018-March 2019. The nutritional status was classified as well-nourished and moderate/severe malnutrition, according to the Patient-Generated Subjective Global Assessment and surgery factors including length of surgery, size of tumor, and blood loss during surgery.

Results: The prevalence of malnutrition was 78%, being classified as moderate in 42,4% and severe in 35,6%. Median of length of stay was 8 days. After statistical analysis, malnutrition was associated with length of stay , size of tumor, and blood loss during surgery.

Conclusion: There was observed a high prevalence of malnutrition in ovarian cancer and could lengthen length of stay and increase blood loss during surgery.

Keywords:

Ovarian cancer, malnutrition, length of stay, surgical factor.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Lystiana Dewi
"Latar Belakang: Infeksi odontogenik dapat disebabkan karies, penyakit periodontal, trauma dan pulpitis. Anamnesa, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang perlu dilakukan. Salah satu sistem penilain untuk pemeriksaan fisik yang dapat digunakan yaitu flynn severity score. Pemeriksaan fisik pada pasien infeksi odontogenik tidak dapat dijadikan prediksi untuk pertimbangan lama rawat inap dan tingkat keparahan sehingga pemeriksaan laboratorium diperlukan. Pemeriksaan NLR (neutrophil to lymphocyte ratio) dapat digunakan sebagai penanda infeksi yang mudah dihitung serta dapat membantu memprediksi lama rawat inap dan tingkat keparahan pasien infeksi odontogenik.
Tujuan: Menganalisa hubungan NLR (neutrophil to lymphocyte ratio) dan Flynn Severity Score terhadap tingkat keparahan serta lama rawat inap pada pasien infeksi odontogenik maksilofasial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2019- Desember 2023
Metode Penelitian: Cross sectional restrospektif dengan data sekunder sampel rekam medis pasien infeksi odontogenik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari 2019-Desember 2023 dikumpulkan dan didapatkan 94 sampel. Setiap sampel diidentifikasi jenis kelamin, usia, kondisi sistemik, tingkat keparahan, waktu drainase, NLR, dan lama rawat inap. Uji hipotesis korelatif dilakukan dengan uji Spearman dan uji komparasi dengan Uji Fisher z.
Hasil Penelitian: Secara keseluruhan terdapat hubungan nilai NLR dan flynn severty score terhadap tingkat keparahan dan lama rawat inap (p = 0,001). ]Terdapat hubungan yang bermakna antara NLR terhadap tindakan drainase yang dilakukan < 48 jam dan > 48 jam (p = 0,001).
Kesimpulan: Nilai NLR dibandingkan dengan nilai flynn severity score memiliki hasil yang setara untuk menilai tingkat keparahan dan lama rawat inap pada pasien infeksi odontogenik maksilofasial (p= 0,68).

Background: Odontogenic infections may caused by caries, periodontal disease, trauma and pulpitis. Anamnesis, clinical, radiological and laboratory examinations are important medical procedure. One of the scoring systems for physical examination that can be used is the Flynn severity score. Physical examination alone cannot be used as a prediction for consideration of length of hospitalization and severity so laboratory tests are needed. Neutrophil to Lymphocyte Ratio (NLR) examination can be used as a marker of infection that is easy to calculate and can help to predict the length of hospitalization and severity rate of odontogenic infection patients.
Objective: To analyze the correlation of NLR and Flynn Severity Score towards severity rate and length of hospitalization on maxillofacial odontogenic infection patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, January 2019-December 2023. Methods: Cross sectional restrospective with secondary data of medical record samples of odontogenic infection patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital during January 2019-December 2023 were gathered, with 94 samples were obtained. Each sample was identified by gender, age, systemic conditions, severity, drainage time, NLR, and length of hospitalization. Correlative hypothesis test was performed with Spearman test and comparative test with Fisher z test.
Results: Overall, there was a correalation between NLR and flynn severity score on severity rate and length of hospitalization (p= 0,001). There was correlation between NLR and drainage which was performed < 48 and > 48 hours p= 0,001. Conclusion: NLR score compared to flynn severity score had equivalent results for assessing the severity and length of hospitalization on maxillofacial odontogenic infection patients (p= 0,68).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marvel
"ABSTRAK
Gastritis merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien demam dengue dan demam berdarah dengue. Faktor risiko perdarahan gastrointestinal adalah trombosit <50.000/mm3. Terapi pada pasien gastritis dapat diberikan omeprazole. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian omeprazole pada pasien demam dengue dan demam berdarah dengue terhadap biaya, hari perawatan dan biaya omeprazole di RSUD Cengkareng. Rancangan penelitian yang digunakan adalah kohort retrospektif. Kriteria inklusi adalah pasien rawat inap kelas 3 dengan diagnosis demam dengue dan demam berdarah dengue pada bulan Januari sampai Desember 2014. Sampel penelitian terdiri dari 42 pasien kelompok non kriteria (trombosit>50.000/mm3) dan 39 pasien kelompok kriteria (trombosit<50.000/mm3). Alat pengumpul data merupakan catatan rekam medik pasien di RSUD Cengkareng. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney, ttest dan uji Chi-Square. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan omeprazole tidak terdapat perbedaan total biaya perawatan (p=0,345) dan biaya omeprazole (p=0,916) antara kelompok non kriteria dan kelompok kriteria. Terdapat perbedaan hari rawat (p=0,004) pada kelompok non kriteria dengan kelompok kriteria. Kategori pasien yaitu kelompok pasien non kriteria (trombosit>50.000/mm3) dan kelompok kriteria (trombosit<50.000/mm3) tidak berpengaruh terhadap total biaya dan biaya omeprazole dilihat dari nilai RR secara berturut-turut sebesar 1,191 (IK; 0,450-3,152), 1,182 (IK; 0,469-2,977). Kategori pasien berpengaruh signifikan (p=0,005) dalam peningkatan lama hari rawat dengan RR = 3,963 (IK; 1,530 ? 10,265). Komorbiditas merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan total biaya perawatan, lama hari rawat dan biaya omeprazole.

ABSTRACT
Gastritis is a complication that can occur in patients with dengue fever and dengue hemorrhagic fever. Risk factors for gastrointestinal bleeding is a platelet count <50.000/mm3. Omeprazole is the one of choice for gastritis prophylaxis therapy. This study aimed to evaluate the effect of omeprazole in patients with dengue fever and dengue hemorrhagic fever according to the cost, length of stay and the cost of omeprazole in Cengkareng Hospital. The design of the study is a retrospective cohort. The inclusion criteria were class 3 of inpatients with a diagnosis of dengue fever and dengue hemorrhagic fever in January to December 2014. The study sample consisted of 42 patients in the non-criteria group (platelets count>50,000 / mm3) and 39 patients criteria group (platelets count<50,000 / mm3 ). Data collection tool is a patient medical records in Cengkareng Hospital. Data analysis using the Mann-Whitney test, t-test and Chi- Square test. Results showed that use of omeprazole there is no difference in the total cost of treatment (p = 0.345) and the cost of omeprazole (p = 0.916) between the group of non criteria and criteria group. There are differences in length of stay (p = 0.004) in the group of non-criteria with the group criteria. Non criteria group (platelets> 50,000 / mm3) and a group of criteria (platelet count <50,000 / mm3) did not affect the total cost, and cost of omeprazole seen from the RR respectively, 1,191 (CI; 0,450 - 3,152), 1,182 (CI; 0,469 - 2,977). Platelet count have a significant effect (p = 0.005) in the increased length of stay with RR = 3.963 (CI; 1.530 - 10.265). Comorbidity is a factor that affecting the increase in the total cost, length of stay and cost of omeprazole.
"
2016
T44966
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Lewa
"Latar belakang: Pada tahun 2018, diperkirakan tercatat 265.00 kematian yang disebabkan oleh luka bakar. Sekitar 96% kasus kematian terjadi di negara berkembang, dimana dua per tiga-nya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Metode:Subjek dibagi ke dalam dua grup yang diidentifikasi secara retrospektif dari rekam medis, dan dibandingkan secara prospektif. Studi ini membandingkan mortalitas, insiden sepsis, dan lama rawat inap pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini (n=23) yang dibandingkan dengan pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda (n=23). Data dianalisa dengan Fisher Exact Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Dari Januari 2016 sampai Agustus 2018, terkumpul 46 pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial dini berbeda secara bermakna (p<0.001) dengan kejadian sepsis pada pasien yang menjalani eksisi tangensial tertunda dengan risiko relatif 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada mortalitas dan lama rawat inap pada kedua grup tersebut (p>0.05).
Kesimpulan: Eksisi tangensial dini bermanfaat untuk mencegah kejadian sepsis pada pasien luka bakar deep dermal dan luka bakar full thickness. Namun begitu, penilaian kedalaman luka bakar bersifat subjektif terhadap pengalaman klinis seorang dokter bedah. Eksisi tangensial dini harus dilakukan tidak lebih dari 96 jam setelah kejadian luka bakar.

Background: In the year 2018, it is estimated that 265.000 deaths are associated with burn injury annually. Approximately 96% of these cases occur in developing countries, out of which two-thirds are in the Africa and Southeast Asia regions, including Indonesia
Methods: There were two groups which are retrospectively identified from the medical records, and then prospectively compared. We compare mortality, sepsis incidence and hospital length of stay in patients underwent early tangential excision (n=23) to those who underwent delayed tangential excision (n=23) using Fisher Exact Test and Mann-Whitney.
Result: From January 2016 to August 2018, 46 patients met the inclusion criteria of this study. The incidence of sepsis was statistically significant with all sepsis incidence occurs only delayed tangential excision group (p<0.001) with relative risk 0.233 (CI 95% 0.122-0.446). There were no differences on the mortality as well as hospital length of stay between early and delayed tangential excision groups (p>0.05).
Conclusion: Early tangential excision is beneficial to prevent sepsis in patients with deep dermal and full thickness burn. Although burn depth assessment can be subjective to surgeon's clinical experience. Early tangential excision should be done no longer than 96 hours after burn injury.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>