Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mari Elka Pangestu
Abstrak :
Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) adalah sebuah inisiatif di dalam Protokol Kyoto (PK) yang didesain untuk mitigasi emisi gasgas rumah kaca (GRK) yang dilakukan di negara-negara berkembang, sekaligus memfasilitasi negara-negara maju untuk memenuhi target penurunan emisinya. Instrumen CDM juga menyediakan berbagai insentif bagi negara-negara penandatangan PK seperti Indonesia. Selain meningkatkan kualitas lingkungan, negara-negara berkembang yang mengadopsi CDM dapat memperoleh manfaat-manfaat lain seperti transfer teknologi bersih, transfer keahlian, aliran masuk investasi asing, dan penghasilan dari penjualan karbon kredit atau Certified Emission Reductions (CERs), yang dihasilkan dari penurunan emisi. Indonesia memiliki potensi besar di dalam memperoleh manfaat-manfaat CDM. Pemerintah bersama Bank Dunia memperhitungkan potensi penurunan emisi GRK di Indonesia (tidak termasuk kehutanan) sebesar 25 juta ton CO2e per tahun, atau 125-300 juta ton CO2e selama periode komitmen pertama 2008-2012. Jumlah CERs yang diperhitungkan dari tujuh belas proyek CDM Indonesia yang terdaftar pada Executive Board (EB) sampai Oktober 2008 hanya sekitar 2,5 juta ton CO2e (2,5 juta CERs) per tahun. Dengan demikian terdapat kesenjangan yang sangat besar antara potensi dan perhitungan perolehan CERs. Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan CDM di Indonesia lamban dan menganalisis apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh manfaat-manfaat CDM sudah optimum. Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah guna memaksimalkan perolehan manfaat-manfaat dari CDM, terutama karena mandat PK atas pelaksanaan CDM komitmen pertama akan berakhir pada tahun 2012.
As an initiative within the UNFCC?s Kyoto Protocol, the Clean Development Mechanism (?CDM?) was designed to mitigate polluting emissions in developing countries as well as to facilitate developed countries meeting their green house gas (?GHG?) reduction targets. The CDM also provides several incentives for signatories to the Kyoto Protocol such as Indonesia. Beside improving the quality of their environment, developing countries that adopt the CDM gain benefits such as the transfer of ?clean? technologies, heightened skills and expertise, inward investment, and significant revenue from the sale of "carbon credits" (Certified Emission Reductions ? ?CER?s - which result from the reduction of polluting emissions). Indonesia holds significant potential with which to secure such benefits from the CDM. The Government of Indonesia ("GOI") and the World Bank together estimate that Indonesia has the potential to mitigate 125-300MM tons of emissions (excluding forestry) during the period 2008-2012, or 25 MM tons CO2e per annum. The number of CERs projected from the seventeen Indonesian projects registered with the Executive Board (?EB?) as of October 2008 is only 2.5MM tons of CO2 (or 25 MM CERs) per annum. Thus, there is a large gap between Indonesia?s potential and the CERs that are projected to be secured. This research identifies the factors that caused the progress in implementing the CDM in Indonesia to be slow and examines whether the efforts of the GOI have been optimum in securing the CDM?s benefits. In general this research aims to provide policy recommendations that will enable the GOI to maximise the benefits that can be secured, recommendations that have become urgent given that the current mandate of the CDM under the Kyoto Protocol will expire in 2012.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T25582
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sands, Philippe
Abstrak :
This second edition of Philippe Sand's leading textbook on international environmental law provides a clear and authoritative introduction to the subject, revised to December 2002. It considers relevant new topics, including the Kyoto Protocol, genetically modified organisms, oil pollution, chemicals etc. and will remain the most comprehensive account of the principles and rules relating to environmental protection and the conservation of natural resources. In addition to the key material from the 1992 Rio Declaration and subsequent developments, Sands also covers topics including the legal and institutional framework, the field's historic development and standards for general application. This will continue to be an invaluable resource for both students and practitioners alike.
United Kingdom: Cambridge University Press, 2003
e20528770
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Bilqis
Abstrak :
Dalam skripsi ini membahas mengenai implementasi prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) dalam Kyoto Protocol dan Paris Agreement yang memiliki pendekatan yang masing-masing berbeda yaitu Top-Down Approach dan Bottom-Up Approach. Kedua pendekatan tersebut memiliki mekanisme yang berbeda dalam menentukan target reduksi emisi untuk memperlambat laju perubahan iklim serta memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang berpengaruh pada kebijakan lingkungan nasional yang harus dijalankan oleh negara Annex I dan Non-Annex I United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif yang menjelaskan bahwa prinsip CBDR diimplementasikan secara berbeda dalam kedua instrumen hukum internasional tersebut dan mengidentifikasi perubahan tren kebijakan lingkungan nasional negara maju (Australia dan Swiss), negara berkembang (Filipina, Indonesia), dan negara berkembang kepulauan kecil (Fiji).
This thesis discusses regarding the implementation of Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) principles in the Kyoto Protocol and Paris Agreement which have different approaches, namely the Top-Down Approach and Bottom-Up Approach respectively. Both approaches have different mechanisms in determining emission reduction targets to slow down climate change and each has advantages and disadvantages which affect national environmental policies that must be implemented by Annex I and Non-Annex I United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) countries to be able to carry out their respective roles. This study uses qualitative research methods with a normative juridical approach which explains the CBDR principle is implemented differently in the two international legal instruments and identifies changes in national environmental policy trends in developed countries (Australia and Switzerland), developing countries (Philippines, Indonesia), and developing countries small islands (Fiji).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
The application of envisat/ASAR to support land use change and forestry (LULUCF) of the Kyoto protocol will be discussed in this paper. The activity is supportted by the European space agency (ESA) through envisat AO 869 research sceheme....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
While widely accepted as the only global instrument to tackle global warning, Kyoto protocol has proven its inadequacy to enforce the basic principles of polluter pays and common but different responsibility. Kyoto's legacies which was concluded by the results of 13th conference of parties (COP) in Bali, late last year, has overtly shown that its flexible mechanism are failing ever since its acquiescence....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dika Dania Kardi
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai peran Barack Obama memimpin Amerika Serikat untuk perundingan perubahan iklim global. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana Obama membawa gagasan Amerika Serikat untuk mengatasi perubahan iklim akibat pemanasan global. Presiden Obama tidak memungkiri fakta perubahan iklim yang sedang terjadi sebagai sebuah tragedy of the commons. Di sisi lain, Presiden Obama tidak bisa terlepas dari kepentingan nasional Amerika dengan memotong emisi sesuai target mengikat Protokol Kyoto. Obama memiliki target penurunan emisi sendiri untuk diterapkan Amerika Serikat, untuk itu Obama mendorong perundingan iklim global menerapkan pemotongan emisi sukarela. Hasil penelitian menunjukkan Presiden Obama berperan sebagai pemimpin AS yang Aktif-Positif. ...... This thesis discusses the role of Barack Obama as United States leader during the global climate change negotiations. The focus of this research is how President Obama imposes ideas for solution to the challenge of climate change due to global warming. President Obama does not deny the fact that climate change has been happening as a tragedy of the commons, but he couldn't abandon the national interests of America to reduce emission as arranged through the legally binding agreement of The Kyoto Protocol. President Obama has his own emission reduction targets for United States. So, he encourages non-legally binding protocol to cut emission. The result also shows that President Obama has a role as Positive-Active United States leader.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erik Faripasha S.
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri Indonesia terhadap isu perubahan iklim global era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Perubahan iklim yang semakin nyata mengancam kehidupan manusia di muka bumi mendorong negara-negara untuk mengantisipasinya. Persoalan perubahan iklim tidak dapat ditangani oleh satu negara, namun dibutuhkan kerja sama negaranegara untuk melakukan tindakan bersama dalam rangka mencegah dan memeranginya. Kerja sama antara negara maju dan negara berkembang tampaknya tidak mudah dilakukan mengingat adanya perbedaan kepentingan di antara keduanya. Negara berkembang menuntut negara maju untuk bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang telah dihasilkan selama pembangunan industrinya hingga membawa kesuksesan ekonomi seperti yang tampak sekarang ini. Sementara negara maju menghimbau negara berkembang agar ikut berpartisipasi dalam melakukan tindakan-tindakan nyata mengantisipasi perubahan iklim karena tingkat emisinya yang terus meningkat. Kebijakan luar negeri Indonesia harus adaptif sesuai dengan kebutuhan bagi kepentingan nasionalnya. Indonesia senantiasa menunjukkan komitmennya sebagai negara yang mendukung terhadap isu perubahan iklim global dengan memelopori pertemuan-pertemuan internasional dalam rangka mengurangi emisi sebagaimana diwajibkan dalam Protokol Kyoto , salah satunya UNFCCC. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam menangani isu perubahan iklim global banyak dipengaruhi oleh kondisi politik di lingkungan domestik dan lingkungan eksternal. Pemerintah Republik Indonesia berperan dalam mengelola dinamika politik yang terjadi untuk dapat dirumuskan menjadi sebuah kebijakan luar negeri mengenai perubahan iklim global.
This thesis is focusing on the Indonesian Foreign Policy in responding to global climate change issues era Susilo Bambang Yudhoyono during 2004-2008. Climate change has increasingly threatened the life people in this world. This problem has urged many countries to take actions. The climate change problem cannot be resolved by individual country, but it needs the cooperation among all countries in this world. However, the cooperation between developed and developing countries seems uneasy because of the differences of economics interests among them. In this issues, developing countries invoke developed countries to take responsibility for greenhouse gas emissions that have been generated during the development of their industries. Meanwhile, developed countries also call for developing countries to participate in this action as nowadays most developing countries also emit greenhouse gases more than developed countries. Indonesian Foreign policy have to adaptive for its national interest. Indonesia shows the commitment by supporting international meetings to decrease the emission as of Kyoto Protocol mandate, one of them is UNFCCC. Indonesian foreign policy in responding to global climate change more influences by domestic and external political conditions. The Indonesian government has central role in managing the dynamic domestic politic that can be formulated in foreign policy on global climate change.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26745
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Isnaeni
Abstrak :
Among other industrialized countries, Japan represents a unique case for examination of the linkages of energy-environment-security. Since 1980 it has broadened the concept of its nati6 security to include non-military issues, which stresses energy security at the point. The I97C crisis altered the country's approach to energy security so that dependence on imports would] adversely affect its economic growth. Since the mid 1980s, however, when global environmental issues turned into an international political agenda, Japan's quest for energy security seems to, met another challenge. This paper assumes that Japan's institutional framework rely on pragmatic roles of economies, politics and technology rather than ideology, providing a foundation for flexibility in producing policies that address the intricate problems of environmental security.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
GJPI-8-2-MeiNov2006-56
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Kuncara Sakti
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses degradasi sumberdaya hutan dalam dua dekade ini telah menimbulkan dampak yang cukup luas, yang menyentuh aspek lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan juga sosial-politik. Kerusakan telah terjadi di semua kawasan hutan sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap kelestarian ekosistem DAS, serta kurangnya upaya reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya. Berdasarkan hasil analisis data RePPProt dan data Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) tahun 1985-1997 diperoleh angka deforestasi sebesar 22,46 juta ha atau laju deforestasi nasional per tahun sebesar 1.8 juta ha/tahun. Deforestasi terbesar terjadi di Propinsi Sumatera Selatan seluas 2,3 juta ha atau sebesar 65 % dari luas hutannya pada tahun 1985. Kemudian secara berturut-turut di Propinsi Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi. Namun demikian deforestasi terluas terjadi di Pulau Kalimantan seluas 10,3 juta ha, yaitu di Propinsi Kaltim 4,4 juta ha, Propinsi Kalteng 3,1 juta ha, Propinsi Kalbar 2,0 juta ha dan Propinsi Kalsel seluas 0,8 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Laju kerusakan hutan di Indonesia sesudah masa reformasi justru lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya. Parahnya kondisi hutan Indonesia diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan bahwa terdapat hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta ha, seluas 59,62 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan yakni di dalam hutan lindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha) dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutan pada periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode tahun 2000-2003 karena aktifitas penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela, pemberian ijin pemanfatan kayu hutan/IPKH oleh pemerintah daerah yang tidak terkontrol (Badan Planologi Kehutanan, 2003). Pada saat ini, dengan kondisi hutan yang sangat menyedihkan serta lembaga-lembaga kehutanan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dalam mengerem laju kerusakan ini, apapun akan dilakukan dalam upaya menyelamatkan pohon-pohon terakhir yang tersisa di hutan Indonesia. Meskipun melalui perundingan yang panjang akhirnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto, tepatnya pada hutan Juli 2004. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto tersebut maka Indonesia akan memiliki komitmen terhadap negara-negara lain yang lebih dahulu meratifikasi perjanjian tersebut. Ratifikasi Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi peruhahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2.012. Indonesia akan mendapatkan keuntungan melalui mekanisme Clean Development Mechanism -CDM yang terdapat pada perjanjian tersebut. Clean Development Mechanism (CDM) di kehutanan ini lahir dari tuntutan terhadap fungsi dan peran hutan tropis yang tersisa dianggap sebagai "paru-paru dunia", maka negara-negara pemilik hutan ini harus diberikan kompensasi untuk sumbangannya dalam menyediakan paru-paru dunia tersebut. CDM juga dapat dilihat sebagai bentuk kompensasi dari negara maju kepada negara berkembang, sehingga CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa technology transfer, capacity building, peningkatan kualitas Iingkungan, serta peningkatan daya saing. Bentuk lain dari komitmen antara negara-negara pengikut Protokol Kyoto ini adalah jual-beli emisi itu dalam bentuk sertifikat, yaitu jumlah emisi para pelaku perdagangan akan diverifikasi oleh sebuah badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut namun sampai saat ini belum terbentuk. Reduksi Emisi bersertifikat (RES) atau Certified Emission Reduction (CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional. RES itu dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi. Jumlah reduksi metan dan GRK lain juga dinyatakan dalam ton karbon. Jadi harus dikonversi menjadi ton karbon. Sekarang perdagangan ini sudah berjalan melalui yang disebut implementasi patungan (joint Implementation). Harga karbon masih sangat bervariasi, yaitu antara US$10 sampai US$30 per ton karbon. Indonesia bisa mendapatkan sedikitnya US$ 500 juta dari nilai reduksi karbon yang dijual melaui mekanisme CDM. Nilal keseluruhan di atas berasal pengelolaan hutan lestari sebesar US$ 50 juta dan US$ 350 juta berasal dari sektor energi. Dengan keikutsertaan ini maka konsekuensi sektor kehutanan terhadap penebangan liar menjadi sangat penting. Keberadaan luasan hutan sebagai jaminan pasokan karbon perlu terus terjaga. Secara tidak langsung sektor kehutanan mencegah terjadi kehilangan devisa akibat penebangan liar tersebut sebesar 30 triliun rupiah (Agus P Sari, Pelangi Indonesia). Untuk melihat dampak ekonomi dari mekanisme CDM khususnya di sektor kehutanan digunakan SAM (Social Accounting Matrix) atau di Indonesia sering disebut SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi). Dengan menggunanakan SNSE ini dapat diketahui perubahan perekonomian nasional akibat adanya suatu kegiatan perekonomian pada salah satu sektor tertentu. Perubahan tersebut dapat berdampak pada sektor-sektor yang terdapat dalam SNSE, yaitu faktor produksi, institusi dan sektor produksi.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>