Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arika Widi Asmara
Abstrak :
Pada dasarnya kredit bermasalah merupakan hal yang wajar terjadi di industri perbankan karena faktor penyebabnya yang begitu beragam. Akan tetapi, meskipun terdapat kewajaran atas terjadinya kredit bermasalah pada suatu bank, berdasarkan data statistik Bank Indonesia bulan Desember 2005 bahwa kredit bermasalah pada bank BUMN dengan bank swasta nasional, dengan nilai perbandingan persentase NPL 14,75% : 3,22%. Maka dari itu perlu dikaji apa yang menjadi penyebab besarnya kredit macet dan bagaimana mekanisme penanganan kredit bermasalah yang dilakukan oleh bank di dalam praktek. Untuk mengkajinya digunakan metode studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, Namun, didukung dengan alat pengumpulan data yaitu studi draf perjanjian kredit dari Bank X. Dari hasil kajian perangkat hukum perdata dan hukum ternyata perbankan telah diberikan perlindungan memadai dalam menangani persoalan kredit macet. Oleh hukum, bank telah diberi beberapa jalan untuk menanganinya. Secara preventif, bank dilarang mengobral dana atau bersikap ”murah hati” kepada nasabah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dengan sungguh-sungguh. Penyaluran kredit harus disertai jaminan (agunan) lengkap dengan perjanjian untuk menjual barang agunan atas kekuasaan kreditur (beding van eigen matige verkoop). Dengan janji tersebut bank selaku kreditur dapat langsung menjual barang jaminan (parate executie) dengan bantuan Kantor Lelang Negara (KLN) tanpa harus meminta izin (fiat) pengadilan negeri (PN). Apabila tidak diperjanjikan hak demikian, bank (swasta) dapat meminta PN melakukan sita eksekusi atas barang jaminan dan menjual lelang melalui KLN berdasarkan Pasal 224 HIR. Sedang bank pemerintah dapat meminta PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) untuk menyelesaikan kredit yang berada di tangan debitur.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S24679
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Alfa Kusumapatria
Abstrak :
Dalam dunia bisnis hubungan kreditur dan debitur yang berkaitan dengan hutang piutang tidak selalu berjalan dengan baik sebagaimana diharapkan semula oleh para pihak, melainkan sering menimbulkan persoalan dalam penyelesaiannya, bahkan tidak jarang penyelesaian persoalan hutang piutang yang dilakukan melalui Pengadilan dengan waktu penyelesaian yang berlarut-larut aampai mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Untuk menghindari hal tersebut, maka para pihak terutama kreditur tidak jarang meminta agar hutang piutang yang terjadi dibuat dengan akta pengakuan hutang oleh seorang Notaris dengan maksud jika dikemudian hari terjadi wanprestasi, dapat dimintakan grosse-nya, karena grosse akta adalah merupakan salinan dari suatu akta yang dibuat secara Notariil dengan diberi kepala atau irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" dan diakhiri dengan kata-kata "DIBERIKAN SEBAGAI GROSSE .... " atau permintaan ..... (nama kreditur). Pokok Permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1. Apakah grosse akta Pengakuan Hutang Perorangan yang dikeluarkan oleh Notaris dalam prakteknya mempunyai kekuatan eksekutorial", 2. Mengapa suatu grosse akta Pengakuan Hutang Perorangan yang dibuat oleh Notaris tidak dapat dieksekusi" Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan Cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup penelitian terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan grosse akta yang dibuat oleh Notaris, kedudukan grosse Akta Pengakuan Hutang Perorangan yang dibuat oleh Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan eksekutorial serta aspek pelaksanaannya didalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Dengan alat pengumpulan, data study dokumen dan. wawancara dengan informan yaitu: Notaris, para pihak dalam akta yang dibuat dihadapan Notaris, beserta kuasa hukumnya. Sementara itu, metode analisa data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian akan bersifat evaluatif-analitis. Didalam praktek peradilan, ternyata tidak semua grosse akta pengakuan hutang perorangan yang dikeluarkan oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dieksekusi). Dimana grosse akta pengakuan hutang perorangan yang dapat dieksekusi (executable) adalah : 1. grosse akta pangakuan hutang yang bersifat murni, yakni sudah tertentu/pasti jumlah hutangnya. 2. Permohonan eksekusi atas grosse akta pengakuan hutang yang bersifat murni itupun hanya dapat dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat jika benar-benar diajukan oleh Kreditur/ahliwaris dari Kreditur yang namanya tersebut dalam grosse akta pengakuan hutang dimaksud dan pada saat permohonan eksekusi yang diajukan oleh pemohon eksekusi (Kreditur), 3. tagihan yang harus dibayar oleh Debitur/termohon eksekusi benar-benar sudah waktunya untuk ditagih Serta hutang Debitur 4. pengakuan hutang tersebut benar-benar belum dibayar oleh Debitur. Grosse akta pengakuan hutang perorangan yang dibuat oleh Notaris tidak dapat dieksekusi karena : 1. Pengakuan hutang yang terdapat dalam grosse akta pengakuan hutang tersebut tidak bersifat murni (tidak tertentu/tidak pasti jumlahnya). 2. Ketua Pengadilan Negeri setempat juga tidak akan mengabulkan permohonan eksekusinya, jika permohonan eksekusinya diajukan oleh pihak yang tidak berhak, 3. tagihan kepada Debitur/termohon eksekusi belum waktunya untuk ditagih; atau 4. hutang yang tersebut dalam grosse akta pengakuan hutang ternyata telah dibayar oleh Debitur kepada Kreditur.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Pahrur Rozi
Abstrak :
Kreditur pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atau hak mendahului dari kreditur-kreditur lainnya (droit de preference) sebagai bentuk kepastian hukum pengembalian piutang kreditur jika debitur cidera janji. Menjadi masalah ketika kreditur pemegang hak tanggungan berhadapan dengan kreditur pemegang hak mendahului lainnya dalam suatu kasus atas objek kebendaan debitur yang terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan terhadap kreditur pemegang hak mendahului lainnya, khususnya terhadap pemegang hak istimewa pajak dan pekerja yang sering bersengketa pada perusahaan yang pailit. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedudukan kreditur pemegang hak istimewa pajak lebih tinggi daripada kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan, dan kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan lebih tinggi dari pada kedudukan kreditur pemegang hak istimewa pekerja, sesuai dengan ketentuan pasal 1134 KUH Perdata yang mengatur hubungan dan kedudukan antara piutang yang memiliki hak mendahului.
Creditor with burden right holder has a prominent position compare to other creditors (droit de preference) as a certain restitution if debitor breaks his promise. It becomes a problem if burden right creditor faces with another kind of creditor who has a right to precede in a case of limited object that creditor has. However, this research purposes to explain the position of burden right creditor against precedence creditor, especially special right of taxes and labours which are often fight each other when corporation bankrupts. Normative judicial is the way to do this descriptive research. Based on result, we can conclude that the position of special right of taxes creditor is higher than the burden right creditor. And the position of burden right creditor is higher than special labours right creditor, based on section 1134 of KUH Perdata which controls the relation and position between credit and precedence.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Tumondang Mestika
Abstrak :
Jaminan Fidusia merupakan salah satu jaminan bagi pelunasan utang yang mengakibatkan beralihnya hak kepemilikan benda yang dibebani dengan jaminan tersebut dari debitur pemberi fidusia kepada kreditur penerima fidusia namun penguasaannya masih tetap berada pada pemberi fidusia. Hubungan utang piutang antara debitur dan kreditur ini kadang kala tidak dapat berjalan sehingga prestasi tidak bisa dipenuhi sebagaimana disepakati para pihak. Apabila hal ini terjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan para pihak adalah melalui pranata hukum kepailitan. Adanya ketentuan penangguhan dalam UU Kepailitan dan kedudukan kreditur penerima fidusia sebagai pemegang hak jaminan menimbulkan masalah Bagaimana hak kreditur penerima fidusia atas benda obyek fidusia apabila debitur pemberi fidusia dinyatakan pailit; Dapatkah kreditur penerima fidusia langsung mengeksekusi haknya sebagaimana telah diatur dalam UU Fidusia; Apakah kreditur penerima fidusia dapat mengajukan pailit atas debitur pemberi fidusia dan bagaimana kedudukannya. Dalam menjawab permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriftif dengan metode penelitian kepustakaan dan analisa data menggunakan pendekatan kualitatif. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yang disimpulkan bahwa dalam hal debitur dinyatakan pailit maka benda tersebut berada dalam pengurusan kurator dengan tujuan untuk mengoptimalkan harta pailit sehingga menjadi bagian dari harta- pailit debitur. Kreditur tidak berhak atas benda jaminan fidusia sejak putusan dijatuhkan sampai waktu paling lama sembilan puluh hari. Dalam masa ini kurator juga dapat menjual benda tersebut. Dalam keadaan ini hak kepemilikan atas benda yang telah dibebani dengan fidusia tersebut menjadi tidak jelas. Kreditur Penerima fidusia tidak dapat langsung mengeksekusi haknya manakala debitur dinyatakan pailit, dia harus menunggu masa penangguhan berakhir sampai dua bulan setelah masa insolvensi dimulai. Dalam UU Kepailitan telah diatur bahwa syarat-syarat untuk dapat dinyatakan pailit adalah ada utang, minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, minimal ada dua kreditur.Tidak ada ketentuan yang mengatur jenis kreditur apakah yang dapat mengajukan pailit atas debiturnya sehingga kreditur penerima jaminan fidusia dapat mengajukan permohonan pailit atas debitur pemberi fidusia.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T37588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi, Niken Sekar
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T36889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Prayuda Aprindo
Abstrak :
Perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditur atau perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur adalah melalui lembaga actio pauliana. Actio Pauliana dilakukan oleh kreditur untuk melindungi budel pailit dari perbuatan debitur yang tidak diwajibkan untuk dilakukannya atau dilarang sebelum putusan pailit diucapkan. Mengingat pentingnya penerapan actio pauliana sebagai instrument perlindungan bagi para kreditur maka, berdasarkan latar belakang penelitian ini menghasilkan tiga (3) permasalahan yang dibahas, yakni: 1) Bagaimanakah sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya actio pauliana 2). Bagaiamana perlindungan hukum terhadap kreditur maupun pihak ketiga terkait lembaga actio pauliana? 3). Apa yang menjadi kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur? Adapun metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini yakni menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan field research. Berdasarkan penelitian hukum dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Sistem pembuktian dalam actio pauliana adalah sistem pembuktian terbalik dimana dalam hal ini membebankan pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur yaitu debitur pailit apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam waktu sebelum putusan pailit diucapkan. Sebaliknya, jika kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah kurator dengan membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut merugikan harta pailit. (2) Perlindungan hukum terhadap kreditur maupun pihak ketiga terkait lembaga actio pauliana yaitu kreditur mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada pengadilan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur sebelum dinyatakan pailit yang mengakibatkan kerugian bagi kreditur dan bagi pihak ketiga memberikannya hak untuk tampil sebagai Kreditur konkuren untuk mendapatkan hak-haknya. (3) Kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketidakjelasan pengadilan mana yang berwenang memutus perkara actio pauliana, pembuktiannya yang tidak sederhana, tidak adanya tolak ukur itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, legal standing kurator yang lemah, dan kemungkinan pengalihan aset ke pihak lain sehingga mempersulit kurator dalam melakukan pembuktian. ......The protection provided by law for creditors or debtor actions that can harm creditors is through the Pauliana Action Agency. Actio Pauliana is carried out by the creditor to protect the bankrupt bankrupt from the actions of the debtor that are not required to be carried out or prohibited before the bankruptcy decision is pronounced. Given the importance of implementing actio pauliana as an instrument of protection for creditors, based on the background of this study, three (3) issues were discussed, namely: 1) How can the system of proof for an act of a debtor be declared to fulfill the requirements for the validity of actio pauliana 2). How is the legal protection for creditors and third parties related to the actio pauliana institution? 3). What are Actio Pauliana's weaknesses in providing legal protection to creditors?The research method used in this research is using a normative juridical method which is descriptive analytical in that it is a legal research of literature which is carried out by examining legal materials, legal principles and legal regulations that are related to the subject matter. Data collection techniques were carried out by means of library research and field research.Based on legal research, it can be concluded as follows: (1) The evidentiary system in actio pauliana is a reversed evidentiary system which in this case imposes a burden of proof on the legal actions of the debtor, namely the bankrupt debtor if the debtor's legal actions were carried out before the bankruptcy decision was pronounced. Conversely, if the curator considers that the legal action is detrimental to the interests of creditors or bankrupt assets, then it is the curator who is obliged to prove by proving that the legal action is not obligatory to be carried out by them and the legal action is detrimental to the bankrupt assets. (2) Legal protection for creditors and third parties related to the actio pauliana institution, namely the creditor has the right to submit an cancellation to the court of legal actions carried out by the debtor before being declared bankrupt which results in losses for the creditor and for third parties gives him the right to appear as a concurrent creditor for get their rights. (3) Actio pauliana's weaknesses in providing legal protection to creditors is unclear which court has the authority to decide on the actio pauliana case, the evidence is not simple, there is no good faith benchmark in Law Number 37 of 2004, weak legal standing of curators, and the possibility of transferring assets to other parties, making it difficult for the curator to prove.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ian Martin P.L.
Abstrak :
Kepailitan mempunyai akibat bagi seluruh kreditur, tidak terkecuali Kreditrur Penerima Jaminan Fidusia. Pengembalian uang Debitur kepada Kreditur dalam hal Debitur dinyatakan Pailit akan sangat tergantng pada kedudukan dari kreditur tersebut. Kedudukan Kreditur Penerima Jaminan Fidusia adalah sebagai Kreditur Preferen. Hak ini tidak hapus karena adanya Kepailitan atau likuidasi Debitur Pemberi Jaminan Fidusia. Kreditur Preferen (Secured Creditors) dalam Kepailitan biasanya disebut Kreditur Separatis. Kreditur Penerima Jaminan Fidusia sebagai Kreditur Separatis sangat berkepentingan agar tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-oleh tidak terjadi Kepailitan. ......Bankrupt has effect to all creditors, neither nor creditor fich receive guarantee fiducia. The debt returning of debtor to creditor, in the casa of debtor are nonis as bangkrupt, it's depend on the position of creditor itself. The position of creditors which receives gauarantee fiducia is as secure creditor, their rights are not vanished, because there are bangkrupting and liquidation of debtor guarantee fiducia receiver. Secure creditors are usually called as saparatish creditors. Debtor guarantee fiducia receiving as separatish creditors fas responsible in other to can still execute as if as there are not bangkrupting.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44836
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Ebenezer
Abstrak :
ABSTRAK
Pembahasan dalam skripsi ini adalah perlindungan hukum kreditur dengan hak istimewa dalam PKPU, dengan studi kasus PT Bakrie Telecom. Pasal 1137 KUHPerdata telah mengatur secara jelas bahwa kedudukan tagihan terhadap kas negara merupakan tagihan yang diutamakan pembayarannya karena merupakan tagihan dengan hak istimewa. Adanya ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingan negara dalam hal ini piutang negara yang tidak dibayarkan oleh PT Bakrie Telecom melalui Kominfo. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini yang menjadi pokok perasalahan adalah apakah kedudukan Kominfo sebagai kreditor konkuren dalam PKPU PT Bakrie Telecom telah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan bagaimana upaya hukum yang dapat diajukan oleh Kominfo atas putusan homologasi tersebut sebagai bagian dari perlindungan hukum terhadap kreditor dengan hak istimewa. Pada akhirnya, peneliti memperoleh kesimpulan bahwa kedudukan Kominfo dalam PKPU PT Bakrie Telecom telah tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang oleh karena itu harus diajukan upaya hukum sebagai perlindungan terhadap kreditur dengan hak istimewa.
ABSTRACT
The main analysis of these bachelor thesis is focus on the legal protection of privileges creditors in Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) in correlation with PT Bakrie Telecom case studies. Article 1137 Civil Code of Indonesia mentioned comprehensibly regarding the position of state treasury debt as debt with privilege. The regulations intended to precedence the interest of states, thus, PT. Bakrie Telecom is not accomplish the obligation towards Ministry of Communication and Information (Kominfo). The research is based on normative juridical with typology descriptive study. The research is focus on the position of concurrent creditors under Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) of PT. Bakrie Telecom, which, pursuant to Law No. 37 Year 2004 regarding the Bankruptcy and Suspension of Payment, including the legal remedies Ministry of Communication and Information (Kominfo) to pursue; regarding the homologation decision as the legal protection of privileges creditor. Enclosing, the research conclusion is the position of Ministry of Communication and Information (Kominfo) is not in accordance with the applicable law in the grounds of the prior proposed remedies for protection against creditors with special privileges.
2016
S64865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Rebecca M.H
Abstrak :
Salah satu pembangunan infrastruktur yang sedang marak dilakukan di Indonesia adalah pembangungan jalan tol. Jalan tol memiliki peran strategis baik untuk mewujudkan pemerataan pembangunan maupun untuk pengembangan wilayah. Pada wilayah yang tingkat perekonomiannya telah maju, mobilitas orang dan barang umumnya sangat tinggi sehingga dituntut adanya sarana perhubungan darat atau jalan dengan mutu yang baik. Hal serupa menjadi tujuan dibangunnya Jalan Tol Cinere ? Jagorawi dapatm embuka lapangan kejra baru dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ekonomi dan kawasan JABODETABEK, terutama di wilayah Depok dan sekitarnya.Pembangunan jalan tol Cinere ? Jagorawi dilaksanakan dengan suatu kredit sindikasi antara Bank X, Bank Y selaku kredit dan PT Z selaku debitur. Adapun kemudian Bank X memutuskan untuk keluar dari kredit sindikasi tersebut. Dengan demikian maka terjadilah suatu proses pergantian kreditur. Adapun hukum Indonesia telah mengatur perihal proses pergantian kreditur di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu Cessie, Novasi, dan Subrogasi. Akan tetapi pergantian kreditur pada kredit sindikasi pembangunan tol Cinere ? Jagorawi tidak melakukan pergantian kreditur tidak dengan proses tersebut. Tulisan ini akan membahas proses pergantian kreditur yang dilakukan di dalam kredit sindikasi pembangunan jalan tol Cinere ? Jagorawi jika dibandingkan dengan pergantian kreditur menurut hukum Indonesia. ......One of the major infrastructure in Indonesia that developed heavily is the highway systems . Highway system has major role for the Indonesia development. In a developing country, modern highways is important in as there are opportunities for people to travel for business, trade or pleasure and also provide trade routes for goods. Therefore, modern highway is necessary order to incorporate features intended to enhance the road's capacity, efficiency, and safety to various degrees. That has also become the major reason in the construction of Cinere Highway. It has open door for employment, and further its also expencted to impose positive externalities for economic aspect in JABODETABEK, especially in area near Depok and surrondings. The development of Cinere Highway made by the syndicated loan between Bank X, Bank Y as the creditor and PT Z as the debitor. Cessie, Novasi, dan Subrogasi provided the legislative basis regarding to the process of creditor replacement. However, in the case of Cinere Highway- Jagorawi the replacement of creditor did not follow the legislation. This thesis will discuss the process of creditor replacement that have been made in Cinere Highway- Jagorawi in comparison with the legal law in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S24816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Kinanti Pangesti Putri
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan syarat kepailitan yang wajib dipenuhi dan dibuktikan di persidangan. Berdasarkan pasal tersebut maka terhadap debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dapat dipailitkan apabila dapat dibuktikan secara sederhana dalam persidangan. Oleh karena itu penulis ingin meneliti apakah Permohonan Pailit yang diajukan oleh para pekerja PT Indah Pontjan telah memenuhi syarat pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan apakah putusan pengadilan dan Mahkamah Agung telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara studi kepustakaan. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu mantan pekerja yang dilakukan pemutusan hubungan kerja merupakan kreditur preferen dalam kepailitan dan utang berupa upah pekerja beserta hak-hak lainya yang timbul akibat pemutusan hubungan kerja merupakan utang dalam kepailitan. Oleh karena itu permohonan pailit yang diajukan para mantan pekerja PT Indah Pontjan terhadap PT Indah Pontjan telah sesuai dengan syarat pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan syarat pailit tersebut telah dapat dibuktikan secara sederhana dengan adanya Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 04/G/2008/PHI. Mdn tanggal 8 Januari 2008 jo Putusan Nomor 905 K/Pdt. Sus/2008 tanggal 24 Maret 2009 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 PK/Pdt. Sus/2010 tanggal 16 Februari 2010. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang meskipun terhadap harta debitur telah terdapat penetapan eksekusi putusan pengadilan sebelumnya, debitur tetap dapat dimohonkan pailit selama syarat pailit terpenuhi dan dapat dibuktikan secara sederhana.
ABSTRACT
Article 2 paragraph (1) of Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of obligation for Payment of Debts stipulates the conditions of bankruptcy which must be fulfilled and proven before the court. In accordance with the mentioned article, debtor having two or more creditors and not paying at least one debt which has been matured and payable can be declared bankrupt provided that the provisions of bankruptcy can be simply proven before the court. Therefore, author wants to examine whether the petition for declaration of bankruptcy filed by workers of PT Indah Pontjan has met the provision of bankruptcy stipulated in Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts and to examine whether court decision and Supreme Court decision are complied with Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debt. This research is a form of normative legal research with typology research is explanatory research. Data used is secondary data, the data collection techniques used is study literature. From the research, author obtains conclusions that former workers who are performed the termination of employment constitute preferred creditors in bankruptcy and debts in the form of wages of workers and other rights arising from employment termination constitute debts in bankruptcy. Therefore, petition for declaration of bankruptcy filed by former workers of PT Indah Pontjan against PT Indah Pontjan has met the conditions of bankruptcy stipulated in article 2 paragraph 1 Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts. Further, the conditions of bankruptcy can be simply proven before the court by the existence of Court Decision of Industrial Relations Court Number 04/G/2008/PHI. Mdn dated 8 January 2008 jo Court Decision Number 905 K/Pdt. Sus/2008 dated 24 March 2009 jo Supreme Court Decision Number 03 PK/Pdt. Sus/2010 dated 16 February 2010. In accordance with Article 31 paragraph 1 Act of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts, although there is already execution related to the debtor's assets, debtor still can be declared bankrupt provided that all conditions of bankruptcy are met and proven simply before the court.
2016
T45592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>