Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Somek, Alexander
Oxford: Oxford Univesity Press, 2014
342.029 SOM c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Zavera Monica
Abstrak :
[ABSTRAK
Tesis ini berbicara mengenai negosiasi perantau Minangkabau asal Kabupaten Agam yang lahir dan besar di Jakarta sebagai generasi kedua, terhadap identitas Minangkabau mereka. Keterkaitan antara latar belakang orangtua yang masih membawa kebudayaan dari Sumatera Barat, dengan faktor Jakarta sebagai kota kosmopolitan, membawa pengaruh-pengaruh dan dampak terhadap identitas mereka sebagai masyarakat Minangkabau. Negosiasi sosial perantau Minangkabau generasi kedua ini tidak hanya terhadap hibriditas di Jakarta, tapi juga menciptakan identitas baru atas hibriditas budaya Minangkabau di Jakarta itu sendiri. Hibriditas ini salah satunya bisa dilihat dalam adat pernikahan yang sudah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti lingkungan dan finansial. Keterbatasan melakukan prosesi yang sama dengan di Sumatera Barat, disebabkan perbedaan pola masyarakat dan lingkungan yang mempengaruhi.
ABSTRACT
This thesis is about the negotiation of perantau Minangkabau from Agam Regency, who were born and grew up in Jakarta as a second generation, on their identity as Minangkabau people. Their identity as a Minangkabau person is affected by the interrelationship between the background of their parents who are still inducing Minangkabau culture that they brought from Sumatera Barat and the social factors in Jakarta as a cosmopolitan city. The social negotiation of the second generation of perantau Minangkabau is not only through the hibridity in Jakarta, but also created a new identity of cultural hibridity of Minangkabau in Jakarta itself. This can be observed in the matrimonial custom which is influenced by many factors such as environment and financial issues. The restrictiveness in doing the same traditional ritual procession in Sumatera Barat is due to the differences in the pattern of society and the environmental concern.;This thesis is about the negotiation of perantau Minangkabau from Agam Regency, who were born and grew up in Jakarta as a second generation, on their identity as Minangkabau people. Their identity as a Minangkabau person is affected by the interrelationship between the background of their parents who are still inducing Minangkabau culture that they brought from Sumatera Barat and the social factors in Jakarta as a cosmopolitan city. The social negotiation of the second generation of perantau Minangkabau is not only through the hibridity in Jakarta, but also created a new identity of cultural hibridity of Minangkabau in Jakarta itself. This can be observed in the matrimonial custom which is influenced by many factors such as environment and financial issues. The restrictiveness in doing the same traditional ritual procession in Sumatera Barat is due to the differences in the pattern of society and the environmental concern., This thesis is about the negotiation of perantau Minangkabau from Agam Regency, who were born and grew up in Jakarta as a second generation, on their identity as Minangkabau people. Their identity as a Minangkabau person is affected by the interrelationship between the background of their parents who are still inducing Minangkabau culture that they brought from Sumatera Barat and the social factors in Jakarta as a cosmopolitan city. The social negotiation of the second generation of perantau Minangkabau is not only through the hibridity in Jakarta, but also created a new identity of cultural hibridity of Minangkabau in Jakarta itself. This can be observed in the matrimonial custom which is influenced by many factors such as environment and financial issues. The restrictiveness in doing the same traditional ritual procession in Sumatera Barat is due to the differences in the pattern of society and the environmental concern.]
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T43265
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisyanto Wibisono
Abstrak :
Artikel ini akan membawa topik tentang retrospeksi dan restrukturisasi imigrasi untuk dibawa ke dalam relasi yang berhubungan dengan etika terapan, kosmopolitanisme, dan aspek ekonomi-sosial-politik-budaya, dalam kerangka filosofis dan perspektif etika terapan. Selanjutnya, artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana kebijakan imigrasi berkorelasi dengan isu etika terapan dan kosmopolitan. Isu mengenai imigrasi, etika terapan, dan kosmopolitan saling berkaitan, kendati demikian, sampai dengan titik ini, eksplorasi teoritis yang dilakukansecara sinkronis cenderung menghadirkan model analisis non-filosofis dalam menyusuri isu imigrasi serta implikasinya, termasuk isu kebijakan yang dilakukan oleh negara terhadap para imigran. Eksplorasi yang saya lakukan terhadap isu imigrasi pada artikel ini akan bergerak lebih jauh dan tidak akan berkutat pada dinamika sosial-politik- ekonomi, akan tetapi mencoba untuk menganalisis isu imigrasi secara filosofis melalui perspektif etika terapan dan kosmopolitanisme. Pada akhirnya, artikel berikut akan mengeksplanasikan analisis filosofis dari kebijakan imigrasi serta korelasinya dengan aspek politis. ......This article will bring the topic of retrospection and immigration restructuring to be brought into relations related to applied ethics, cosmopolitanism, and economic-socio-political-cultural aspects, within a philosophical framework and an applied ethical perspective. Furthermore, this article will explore how moral policy correlates with applied and cosmopolitan ethical issues. Issues concerning morality, applied ethics, and cosmopolitan are interrelated, however, up to this point, theoretical explorations carried out synchronously tend to present a non- philosophical analysis model in managing festive issues and impressively, including the issue of policies carried out by the state against immigrants. My exploration of immigration issues in this article will move further and will not dwell on socio-political-economic dynamics, but will try to analyze immigration issues philosophically through the perspective of applied ethics and cosmopolitanism. Finally, the following article will explain the philosophical analysis of festive policies and their correlation with political aspects.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Okto Danamasi
Abstrak :
Identitas merupakan salah satu tema utama dalam filsafat. Pada pemikiran modern, identitas didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal, absolut, dan closure. Amartya Sen mengkonscpkan identitas modern sebagai ilusi identitas tunggal. Ilusi identitas tunggal merupakan reduksionisme atas adanya afiliasi Inajemuk, peran nalar dan pilihan manusia tentang identitas yang memicu tei jadinya kekerasan. Pemikir kontemporer melihat kekerasan berakar dari problem identitas. Identitas yang closure mendapat tantangan dari para pemikir kontcmporer. Kwame Anthony Appiah menjelaskan bat-ma identitas bukanlah sesuatu yang melekat pada subjek atau terdeterminasi oleh komunitas melainkan terfragmentasi dalam identitas-identitas lokal yang bersifat partikular. Identitas merupakan sumber nilai yang dimiliki subjek. Berangkat dari pemahaman ini, Appiah menekankan bahwa masyarakat kontemporer membutuhkan aturan hidup beisama yang baru yaitu etika kosmopolitan. Etika kosmopolitan menjelaskan bahwa benturan nilai etis dan nilai moral tidak selalu berujung pada kontlik. Konflik yang berujung pada kekerasan sering terjadi di Indonesia. Berangkat dari konflik SARA di Indonesia belakangan ini, analisa pemikiran Iilsafat kontemporer rasanya sesuai dengan situasi yang terjadi. Kekerasan merupakan salah satu N vajah Opresi. Opresi dan dominasi dalam masyarakat kontemporer adalah tanda ketidakadilan. Masyarakat kontemporer merupakan masyarakat mutikultur yang terdiri dari berbagai nilai budaya, etnis, agama dan kultural membutuhkan sistem politik yang mampu mengakomodasi seluruh elemen kelompok sosial sehingga menjamin tegaknya keadilan. Iris Marion Young menawarkan politik perbedaan sebagai sistem politik yang mampu mengakomodasi perbedaan sekaligus mengemansipasi kelompok subaltern. Politik perbedaan mendefinisikan ulang perbedaan sebagai sesuatu yang relasional dan fugsional. Politik perbedaan berangkat dari konsep identitas diskursif. Identitas diskursif bersifat fluid, kontekstual, dan fragmented. Sistem politik yang sesuai dengan masyarakat multikultur adalah politik perbedaan. Politik perbedaan menawarkan keherpihakan negara terhadap kelompok tertentu yaitu kelompok subaltern. Keherpihakan negara menjamin suara-suara minoritas muncul dalam sirkulasi diskusi publik
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S15989
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lu Li Qian Qian
Abstrak :
Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan meningkatnya fenomena Rising China, terjadi peningkatan jumlah sekolah yang mengajarkan pelajaran bahasa Mandarin. Peningkatan ini sebagian juga disebabkan oleh berakhirnya periode Orde Baru yang membuka luas kesempatan bagi keturunan etnis Tionghoa untuk mendapat pendidikan bahasa Mandarin. Tren tersebut memunculkan pertanyaan, apakah terbukanya kembali kesempatan belajar bahasa Mandarin pada etnis Tionghoa tersebut menimbulkan adanya re-asersi ke-'Tionghoa'-an di antara etnis Tionghoa di Indonesia yang berorientasi akhir pada 'negeri leluhur' (Tiongkok) atau lebih didasarkan pada pandangan kosmopolitan yang tidak mempertimbangkan batasan lintas etnis sebagai bagian penting dari identitas mereka? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan etnografis, observasi dan survei terhadap para orangtua siswa etnis Tionghoa (baca: Indonesia-Tionghoa) yang lahir pada periode Orde Baru. Para responden yang diobservasi tersebut telah menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang mempunyai kurikulum pelajaran bahasa Mandarin. Observasi dilakukan di tiga kota terbesar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Medan. Alat analisis yang digunakan adalah teori identitas, fenomena resinisisasi, konsep esensialisme dan stereotip, kosmopolitan dan globalisasi yang akan digunakan sebagai kerangka utama untuk membahas masalah ini. Temuan penelitian ini adalah, melalui pembelajaran bahasa Mandarin, telah terjadi re-(posisi) identitas. Identitas yang masih melekat kuat adalah identitas etnis dan identitas historis. Sementara itu, identitas komunal masih terlihat, tetapi relatif sedikit muncul pada sebagian responden. Dari deretan identitas tersebut, identitas yang begitu kuat muncul adalah identitas etnis dan identitas historis, yang tercermin melalui orientasi dan motivasi untuk meningkatkan ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Ketiga orientasi ini merupakan bagian dari identitas historis yang melekat pada orang Tionghoa, seperti rajin mencari uang dan mudah adaptasi di mana pun. Sementara itu identitas etnis digambarkan melalui keinginan kuat untuk belajar berbahasa Mandarin dengan tujuan baru yaitu melihat peluang-peluang dari fenomena 'Rising China' dan unggul dalam peradaban melalui teknologi. Temuan-temuan dari penelitian juga menunjukkan bahwa (1) sebagian besar responden merasa bangga akan negeri leluhur, tetapi mereka tidak ingin pindah ke negeri Tiongkok, (2) mereka mempunyai nama Tionghoa tapi sudah tidak menggunakannya di dalam dokumen resmi. (3) ketika di luar negeri, mereka lebih ingin diidentifikasi sebagai orang Indonesia-Tionghoa. Berdasarkan temuan tersebut, terlihat bahwa fenomena resinisisasi yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya merupakan koneksi sosio-kultural dan bukan politis. Pandangan esensialisme dan stereotip memang membentuk rasa bangga terhadap negeri leluhur, tetapi hal tersebut tidak signifikan terlihat. Selain itu, gagasan kosmopolitan dan globalisasi yang dinamis dapat lebih membantu untuk mendefinisikan identitas orang Indonesia-Tionghoa Bahasa Mandarin dan pembelajaran bahasa Mandarin di Indonesia oleh orang Indonesia-Tionghoa tidak hanya sebagai bentuk resinisisasi etnis, tetapi juga re-posisi peran bahasa Mandarin sebagai bagian dari identitas budaya kosmopolitan.
In Indonesia, there has been an increase in the number of schools that offer Mandarin language lessons in recent years, alongside the increasing 'Rising China' phenomenon. This increase was also partly due to the collapse of Indonesia's New Order government which opened opportunities for Chinese-Indonesian descendants to obtain Mandarin education. The trend raises the question, whether the reopening of opportunities to learn Mandarin has led to the reassertion of 'Chinese-ness' for Chinese-Indonesians which is oriented towards the 'ancestral homeland' (China), or is it based on a cosmopolitan view that considers cross-ethnic boundaries as an important part of their identity? This study uses qualitative method, ethnographic approaches, observations and surveys of parents of students (Chinese-Indonesian) who were born and raised during the New Order period. Respondents are the ones that have sent their children to schools that have a Mandarin language curriculum. The research was carried out in the three largest cities in Indonesia, namely Jakarta, Surabaya and Medan. The analytical tool used is identity theory, the phenomenon of re-sinicization, the concept of essentialism and stereotypes, cosmopolitanism and globalism, which will be used as the main framework to discuss the issues. The findings of this study show through learning Mandarin, there has been a re-positioning of identities. Identities that are still inherently strong are ethnic identity and historical identity. Meanwhile, though communal identity is still visible, it only appears in relatively few respondents. From the aforementioned identities, identities that seems to be strong are ethnic identity and historical identity, which are reflected through orientation and motivation to improve economy, education and access to technology. Meanwhile, ethnic identity is portrayed through a strong desire to learn Mandarin with a new goal of seizing the opportunities offered by the 'Rising China' phenomenon and excelling through the mastery of technology. The findings of the study also showed that (1) most respondents felt proud of their ancestral homeland, but they did not want to move to China, (2) they had Chinese names but did not used them in official documents. (3) when abroad, they would rather be identified as Chinese-Indonesians. Based on these findings, it can be seen that the phenomenon of re-sinicization that occurred amongst the Chinese-Indonesians in general is a socio-cultural and not political phenomenon. While essentialism and stereotypes indeed form a sense of pride for the ancestral homeland, this is not significant. In addition, the idea of cosmopolitanism and x dynamic globalism help redefine the identity of Chinese-Indonesians. Mandarin language learning in Indonesia by Chinese Indonesians is not only a form of re-sinicization, but also a re-positioning of the role of the Mandarin language as part of a cosmopolitan cultural identity.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2639
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library