Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naqia Annisa Faradiz
Abstrak :
Tesis ini membahas restitusi bagi korban dengan mengacu pada Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mana uqubat restitusi hanya dapat dimintakan oleh korban pemerkosaan dan qadzaf. Permasalahan dalam tesis meliputi pengaturan, prosedur memperoleh restitusi terhadap korban pemerkosaan dan Implementasi Restitusi korban Tindak Pidana pemerkosaan dalam Putusan Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Hasil penelitian menyimpulkan dari 10 jarimah hanya ada 2 jarimah yang mengatur restitusi yakni qadzaf dan pemerkosaan, restitusi dalam Qanun jinayat hanya dapat diberikan apabila terdapat permintaan dari korban. Berdasarkan pasal 51, restitusi dapat diberikan kepada korban pemerkosaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 dan Pasal 49, sedangkan terhadap Pasal 50 terkait Perkosaan terhadap anak tidak disebutkan, selanjutnya terdapat kekeliruan pada pasal 58 yang mengatur restitusi pada korban qadzaf, sebab pasal tersebut mengacu tertuduh pelaku jarimah perkosaan, kemudian selain pemerkosaan dan qadzaf, jarimah pelecehan seksual perlu dimasukkan ke dalam salah satu jarimah yang dapat diberikan restitusi. Selanjutnya, prosedur memperoleh restitusi selain mengacu pada Perma nomor 1 tahun 2022 diperlukan aturan pelaksana khusus yang mengatur restitusi menggunakan emas dan kompensasi pengganti restitusi bagi pelaku yang tidak mampu membayar restitusi, berikutnya hanya ada sedikit putusan yang menjatuhkan restitusi sebab penegak hukum tidak menyampaikan hak korban berupa restitusi dan dan kemampuan finansial terdakwa dipertimbangkan untuk menentukan ada tidaknya restitusi, kemudian terdapat hambatan pelaksanaan restitusi diantaranya kondisi pelaku, kurangnya kesadaran hukum korban, korbannya anak di bawah umur, faktor aparat penegak hukum serta adanya stigma dalam masyarakat. ......This thesis discusses restitution for victims by referring to Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat Law, in which restitution can only be requested by victims of rape and qadzaf. The issues in the thesis include the arrangements and procedures for obtaining restitution for rape victims in the Qanun of Jinayat Law and the Implementation of Restitution for rape victims in the Decision of the Syar'iyah Court in Aceh. This research is normative juridical method. The analysis concluded that the regulation on restitution in Qanun jinayat still has weaknesses, such as the restitution can only be given if there is a request from the victim. Based on article 51, restitution can be given to victims of rape as referred to in Article 48 and Article 49, while Article 50 related to rape against children is not regulated, then there is a misconception in article 58 which regulates restitution for victims of qadzaf, because the article refers to the accused perpetrator of the rape jarimah, then in addition to rape and qadzaf, the jarimah of sexual harassment needs to be included in one of the jarimah that can be given restitution. Furthermore, the procedure for obtaining restitution other than referring to Perma number 1 of 2022 requires specific implementing regulations are needed that regulate restitution using gold and compensation in replacement of restitution for perpetrators who are unable to pay restitution, then there are only a few decisions that impose restitution on victims because law enforcers do not convey victims' rights in the form of restitution and the defendant's financial capacity is considered to determine whether or not restitution is available, then there are detention to the implementation of restitution including the condition of the perpetrator, the lack of legal awareness of the victim, the victim is a children under the age, the factors of legal officers and the existence of stigma in society.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moudy Rachim Kusuma
Abstrak :

Skripsi ini membahas mengenai restitusi sebagai salah satu hak korban tindak pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah peraturan-peraturan mengenai hak atas restitusi bagi korban tindak pidana di Indonesia; penerapan pemberian restitusi bagi korban tindak pidana khususnya terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penganiayaan, dan perkara yang melibatkan anak ditinjau dari putusan pengadilan; dan peran dan tantangan LPSK dalam pemenuhan hak atas restitusi bagi korban tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode normatif yang pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan didukung dengan wawancara sebagai pelengkap atas data yang telah diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam menguraikan pengertian restitusi di antara peraturan perundang-undangan yang ada sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda di antara para penegak hukum dan kurangnya ketentuan subsider dalam UU No. 31 Tahun 2014, sebagai ketentuan yang mengubah UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, beserta peraturan pelaksananya sehingga menjadi kurang efektif apabila pelaku ternyata tidak dapat membayar restitusi. Penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI juga sangat diperlukan karena temuan dalam penelitian memperlihatkan bahwa dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan performa dari LPSK dengan tidak membantu fasilitasi restitusi bagi korban tindak pidana umum seperti yang telah dilakukan sebelumnya.


This research discusses about restitution as one of the rights of the victim of crime. The aims of this research are first, to show the critical analysis of the regulation of victims rights to receive restitution in Indonesia; second, to analyze the implementation of giving restitution to victim of crime precisely on human trafficking, battery, and relating to child abuse cases by reviewing criminal court decisions; and last but not least, to describe the role and obstacle of which LPSK has in fulfilling victims right to seek restitution. This research used normative methodology based on literature study and interview to support the existing data. The research founds that there is a slight disharmony in describing the definition of restitution between the laws, which affects the law enforcement officers especially judges to have different perceptions of the terminology; the lack of subsidiary provision in Law No. 31 of 2014 and its implementing regulations that causes ineffective protections of the victims if the perpetrator apparently unable to pay the restitution. On the other hand, in the last three years there has been a slight decline in performance of LPSK without facilitating victim(s) of crime to accomplish the restitution order.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Wahyu Yuliati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana di Indonesia, mengetahui pengaturan kompensasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengetahui implementasi pemenuhan hak atas kompensasi bagi korban tindak pidana berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dan mengetahui konsep ideal mengenai kebijakan kompensasi bagi korban tindak pidana. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dilengkapi pula dengan penelitian empiris. Data yang terkumpul disinkronisasi secara sistematis dan dikaji berdasarkan teori-teori hukum dan asas-asas hukum sehingga ditemukan kebenaran ilmiah yang menjadi dasar untuk menjawab persoalan hukum yang sedang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 Pengaturan mengenai kompensasi terdapat didalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan saksi dan korban yang membatasi jaminan haknya kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme; 2 Implementasi pemenuhan hak atas kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme masih memiliki banyak permasalahan dilihat dari putusan pengadilan HAM Timor-Timur, Tanjung Priuk dan bom Mc. Donald Tahun 2005; 3 Konsep ideal ketentuan pemberian kompensasi meliputi: regulasi hukum pidana materil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana restitusi penguatan daya paksa restitusi . Memaksimalkan peran Satgas UPP LPSK sebagai lembaga independen dalam pemenuhan hak atas restitusi dan kompensasi. Solusi pemenuhan hak atas kompensasi dengan beberapa pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi negara Indonesia.
ABSTRACT
The purpose of this research are to find out how to provide compensation for the victims of criminal acts in Indonesia, to find out how the compensation arrangements are based on the laws and regulations in Indonesia, find out implement victims rsquo rights legislation and find out the ideal concept of giving compensation for the victims of criminal acts. This normative legal study was completed with the empirical research. The collected data were synchronized systematically and analyzed based on legal theories and principles of law in order to define scientific truth that became the basis in answering in legal problem in the research. The results show that 1 The regulation of compensation is contained in Law No. 26 of 2000 on Law on Court of Human Rights, law No. 15 of 2003 on eradication of the criminal acts of terrorism, and Law No. 31 of 2014 on witness victim protection who limit their rights to victims of gross violations of human rights and terrorism 2 The impementation in fulfiling the right of compensation for the victims of gross violations of human rights and terrorism still has many problems for example serious human right violation in Timor Timur and Tanjung Priuk, and the 2005 Mc. Donald bombing 3 The ideal concept of giving the compensation includes legal regulation on substantive crime criminal prosedure law and the regulation crime restitution implementation the enforcement of restitution power . Maximize the role of Satgas UPP LPSK as the independent institution in fulfiling the right of restitution and compensation. The solution in fulfiling compensation right with some approaches adjusted to the condition of Indonesia.
2017
S68731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Marino Maztreeandi
Abstrak :
Berkembangnya ilmu viktimologi membuat korban tindak pidana tidak lagi menjadi ?pihak yang dilupakan? dalam sistem peradilan pidana. Pemenuhan hakhak korban tindak pidana telah banyak diakomodasi dalam instrumen-instrumen internasional dan peraturan nasional berbagai negara. Salah satu hak yang dimiliki oleh korban tindak pidana adalah restitusi, yang merupakan ganti kerugian yang dibayarkan oleh pelaku atas penderitaan yang dialami. Di Indonesia, peraturan mengenai restitusi pertama kali ada pada PP No. 3 Tahun 2002, namun hanya untuk korban pelanggaran HAM. Baru kemudian pada PP No. 44 Tahun 2008 restitusi untuk korban tindak pidana lainnya diakomodasi. Mengingat masih barunya pengaturan restitusi di Indonesia, maka perlu dilakukan perbandingan dengan ketentuan negara lain demi kemajuan pengaturan restitusi di Indonesia. Dalam skripsi ini, pengaturan restitusi di Indonesia dalam PP No. 3 Tahun 2002 dan PP No. 44 Tahun 2008 dibandingkan dengan pengaturan federal restitusi di Amerika Serikat, yaitu dalam 18 U.S.C. 3663, 3663A, dan 3664. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah konsepsi restitusi di kedua negara dan bagaimana tata cara permohonan dan eksekusi restitusi di kedua negara, kemudian dilakukan perbandingannya. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan desain deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar pengaturan restitusi di Indonesia diunifikasikan saja dalam satu peraturan perundang-undangan, pengaturan tersebut dilengkapi dengan pengaturan tentang eksekusi putusan restitusi, restitusi jika korban telah mendapatkan ganti rugi dari asuransi, restitusi sebagai pengganti pemidanaan dalam tidak pidana ringan, restitusi jika korban mendapatkan ganti kerugian perdata, jaminan pembayaran restitusi, pengalihan restitusi menjadi kompensasi, dan upaya hukum terhadap permohonan restitusi.
The development of victimology brought the awareness of the victim?s needs in the criminal justice system. Victim?s rights are now accommodated not only by international law, but also by national law of some states. One of the rights that a victim has is the right to victim restitution which is paid by the offender for the victim?s suffering. In Indonesia, the first regulation of victim restitution is The Government Regulation No. 3 of 2002, but that regulation only accommodates victim restitution for victims of violation of Human Rights. Only after the enactment of Government Regulation No. 44 of 2008 that victim restitution for other types of victim is accommodated. Considering the regulation of victim restitution is relatively new in Indonesia, comparative study of victim restitution's regulation on other countries is needed for the sake of our own progress. In this thesis, the regulations of victim restitution in Indonesia on Government Regulation No. 3 of 2002 and Government Regulation No. 44 of 2008 is compared with the federal regulations of victim restitution in The United States on Title 18 U.S.C. Sections 3663, 3663A, and 3664. The main issues in this thesis are about the concepts of victim restitution in Indonesia and The United States and about the mechanism for requesting victim restitution and its enforcement in both countries, and its comparison. This research is a juridical normative research that focuses on secondary data with descriptive design. The result of this research suggests that the regulations of victim restitution in Indonesia should be placed in one regulation, should regulate about: the enforcement of order of victim restitution, victim restitution if the victim already receives compensation from insurance, victim restitution in lieu of punishment in misdemeanor, victim restitution if the victim receives compensation from civil proceedings, guarantee of payment of victim restitution, the transfer of victim restitution to state compensation, and appeals for victim restitutio.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1289
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Shofie
Abstrak :
Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sudah lebih dua tahun diundangkan, tetapi masih bersifat utopia. Posisi tawar konsumen masih tetap tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah dibandingkan korporasi pelaku usaha Beberapa hal menarik perhatian peneliti untuk melakukan studi! penelitian ini. Pertama, perhatian hukum pidana yang bersifat ultimum remedium terhadap korban, kini mulai beralih bersifat primum remedium. Kedua, tindak pidana korporasi, dimana konsumen sebagai korbannya, dapat diatasi dengan menerapkan UUPK, meskipun masih terdapat kendala sistemik. Ketiga, keberadaan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), seperti YLKI, dapat membantu menyuarakan keinginan para korban dan menghapuskan keterasingan korban dalam sistem peradilan pidana. Keempat, yurisprudensi belum memberikan perspektif perlindungan terhadap korban tindak pidana konvensional, apalagi terhadap korban tindak pidana korporasi. Dalam perspektif perlindungan konsumen, fungsionalisasi hukum pidana menghendaki pengukuran seberapa jauh normanorma, doktrin-doktrin dan lembaga-lembaga hukum sampai kepada tujuan kemanfaatan sosial (Pasal 3 UUPK). Sebagai suatu sistem perlindungan (hukum) terhadap konsumen, UUPK merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Tindak pidana korporasi (corporate crime), dimana konsumen sebagai korbannya, kiranya dapat diatasi dengan menerapkan UUPK. Sesuai asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikedepankan UUPK, perwujudan kepentingan memupuk laba tidak boleh semata-mata dimanipulasi motif "prinsip ekonomi pelaku usaha". Artinya, tak dibenarkan motif semata-mata memupuk keuntungan (laba) dengan mengabaikan asas-asas itu. Sejumlah kasus konsumen sebelum UUPK beriaku, seperti Biskuit Beracun (1989), Mie Instant (1994), dan Tenggelamnya kapal feri KMP Gurita (1996) telah menelan begitu banyak korban konsumen tak berdosa akibat diabaikannya asas tersebut. Peradilan tenggeiamnya kapal feri KMP Gurita telah membangun opini publik bahwa kejahatan itu terjadi karena salahnya para konsumen itu sendiri (blaiming the victim). Posisi konsumen masih tetap terasing. Sementara itu mayoritas responden konsumen (141 responden atau 94,63%) berpendapat keberadaan LPKSM dapat membantu menyuarakan keinginan para korban dan menghapuskan keterasingan korban dalam sistem peradilan pidana. Pendapat serupa juga dikemukakan responden korporasi (12 responden atau 85,7%). Visi yang Iemah tentang penegakan UUPK, tampak dalam kasus halal-haram produk Ajinomoto (2001), dimana tindakan penyidikan yang dilakukan polisi terhadap PT Ajinomoto Indonesia atas tuduhan kiasik Pasal 378 KUHP (tindak pidana penipuan) mendapat campur tangan dari Istana Kepresidenan. Ini semakin menambah potret buram penegakan UUPK, kendati kini produk Ajinomoto tak lagi haram.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
T16721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
Abstrak :
Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945, secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles o f J u s t i c e for Yictims o f Crime and Abuse o f Power dan I n t e r n a t i o n a l Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai hukum dan keadilan.
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksamana Andriansyah Nugroho
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang mekanisme Badan Reserse Kriminal KepolisianRepublik Indonesia Bareskrim Polri dalam penanganan korban tindak pidana,yang menggunakan studi kasus penanganan para korban tindak pidana penipuaninvestasi Dream for Freedom D4F . Penelitian mendeskripsikan bagaimanaBareskrim tidak hanya bertindak sebagai penegak hukum yaitu melakukanpenegakan terhadap pelaku tindak pidana tetapi juga mengurusi korban dari tindakpidana tersebut. Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korbankejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, makadasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori yaituteori utilitas, teori tanggung jawab, dan teori ganti kerugian. Secara teoretis, bentukperlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara,bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contohuntuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentukmateri/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihanmental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderia kerugian secaramateriil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan. Bentukperlindungan diberikan melalui pemberian restitusi, konseling, pelayanan/bantuanmedis, bantuan hukum, dan pemberian informasi. Dalam upaya penanganan korbantindak pidana, kepolisian, yang dalam hal ini adalah Bareskrim Polri, membukaPosko Pengaduan. Sejauh ini, Bareskrim Polri hanya bisa sesuai dengankewenangan Polri. Padahal, yang diharapkan oleh korban lebih dari sekadarinformasi tentang perkaranya. Oleh karenanya penelitian ini menjadi awal untukpembenahan administrasi kepolisian tentang penanganan korban tindak pidana. ...... This study discusses the mechanism of Criminal Investigation Police PoliceCriminal Investigation Police in the handling of victims criminal offense, whichuses case studies of the handling of victims of theinvestment fraud crime Dreamfor Freedom D4F . The study describes how Bareskrim not only acts as a lawenforcement that enforces the perpetrators of criminal acts but also takes care of thevictims of the crime. With reference to the application of the protection of the rightsof victims of crime as a result of violation of the human rights concerned, the basisof the protection of victims of crime can be seen from several theories of utilitytheory, theory of responsibility, and compensation theory. Theoretically, the formof protection against crime victims can be given in various ways, depending on thesuffering loss suffered by the victim. For example, for mental psychologicallosses, surely the form of compensation in the form of material money is notsufficient if not accompanied by mental recovery efforts of the victim. Conversely,if the victim only experience material loss, the service of a psychic nature seem tooexcessive. Forms of protection are provided through the provision of restitution,counseling, medical services assistance, legal assistance, and informationprovision. In the effort to handle victims of criminal acts, the police, in this case thePolice Bareskrim, opened a Complaint Post. So far, Criminal Investigation Policecan only be in accordance with the authority of the Police.. Therefore, this researchbecomes the beginning for revamping the police administration about the handlingof victims of crime.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T52184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Anggia Pratami
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas analisis penerapan kebijakan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Sebelumnya pelaksanaan restitusi sangat sulit dilakukan karena tidak ada mekanisme/prosedur yang jelas. Permasalahan dalam PP ini adalah syarat administratif yang cukup membebani korban dan keluarganya, tidak adanya ketegasan siapa yang berhak menghitung restitusi, tidak ada tolak ukur menentukan besaran jumlah restitusi dan tidak ada upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan mekanisme wawancara, dimana penulis menganalisa Peraturan Perundang-Undangan yang dikaitkan sejauh mana peraturan tersebut diterapkan dan berlaku di masyarakat. Hasil penelitian mengungkap Peraturan Perundang-Undangan tidak memiliki pedoman yang sama terkait mekanisme restitusi. KUHAP menggunakan mekanisme penggabungan perkara yang hanya terbatas pada kerugian materiil, PP No.3/2002 tidak memuat mekanisme permohonan restitusi yang diajukan korban, dalam UU LPSK ditemukan adanya ketentuan yang membatasi hak restitusi korban yang berpengaruh pada pelaksanaan PP No.44/2008, UU No.21/2007 memuat upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi dan PP No.43/2017 memuat mekanisme permohonan dan pemberian restitusi, serta restitusi dapat diajukan mulai tahap penyidikan. Dari segi peraturannya, PP No.43/2017 kurang memberikan jaminan terkait restitusi bagi anak yang menjadi korban. Faktor yang menjadi kendala dalam penerapan restitusi bagi anak sebagai korban diantaranya adalah faktor perundang-undangan, faktor kapasitas dan koordinasi antar aparat penegak hukum, faktor ketidakaktifan korban, selama tidak ada permohonan maka restitusi tidak dapat diproses. Kemudian faktor ketidakaktifan lembaga yang mewakili dan melakukan pendampingan bagi korban.
ABSTRACT
The thesis discusses the analysis of the implementation of restitution policy for children who become victims of criminal acts that refers to Government Regulation Number 43 of 2017 about Implementation of Restitution for Child Victims of Crime. Previously the implementation of restitution is very difficult because there is no clear mechanism procedure. The problem in this regulation is the existence of administrative conditions that sufficiently burden the victim and his family, no firmness of who is entitled to calculate restitution, there is no benchmark determine the amount of restitution and no forced effort if the offender refused to pay restitution. This study is normative juridical, in which the authors analyze the legislation which is related to the extent to which the rules are applied and exist in the community. The results of this study reveal the Laws and Regulations do not have the same guidance related to the mechanism of restitution. The Criminal Procedure Code KUHAP uses mechanisms for the merger of cases that are limited to material losses, PP No.3 2002 does not contain the mechanism of the application for restitution submitted by victims. In the LPSK Law, there are provisions that restrict the right of victim restitution which affect the implementation of PP No.44 2008, UU No.21 2007 contains a forced effort if the perpetrator refuses to pay restitution and PP No.43 2017 contains the mechanism of application and restitution, and restitution can be submitted from the investigation stage. In terms of regulations, PP No.43 2017 provide less restitution related guarantees for children who become victims. Factors that become obstacles in the application of restitution for children as victims include the factors of legislation, factor capacity and coordination between law enforcement officers, the factor of inactivity of victims, as long as there is no request then restitution can not be processed. Then the factor of inactivity of the institution that represents and cares for the victim.
2018
T51441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livi Elizabeth
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan menjelaskan bagaimana peraturan hukum hak atas pemulihan bagi perempuan yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual melalui skema Dana Bantuan Korban. Dana Bantuan Korban merupakan sebuah bentuk kompensasi dari negara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual apabila pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi dalam bentuk restitusi. Restitusi atau ganti rugi dalam bentuk uang yang diberikan oleh pelaku kepada korban merupakan sebuah upaya untuk memulihkan hak korban tetapi tak serta merta korban bisa dapatkan. Dengan menggunakan Feminist Legal Method yang melihat pada pengalaman perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual, maka penelitian ini akan memakai empat putusan tindak pidana kekerasan seksual terkait restitusi. Penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana korban perempuan sebagai korban seringkali semata-mata hanya dianggap sebagai saksi untuk mendakwa korban bukan sebagai korban dari perlakuan pelaku. Penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana peran hukum di Indonesia terhadap pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual dan implikasi dari adanya Dana Bantuan Korban di Indonesia. Lebih lanjut, penelitian juga dilakukan dengan menelaah serangkaian peraturan perundang-undangan dan wawancara dengan para narasumber terkait Dana Bantuan Korban untuk memperoleh data-data. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan skema Dana Bantuan Korban yang sejalan dengan Feminist Legal Theory sebagai hasil perjuangan hak perempuan dan reformasi hukum bagi perempuan. Oleh sebab itu, dengan adanya Dana Bantuan Korban diharapkan dapat membantu para korban perempuan yang seringkali tidak bisa mendapatkan hak atas pemulihan. ......This research was conducted with the aim of providing an understanding of and explaining how the law regulates the right to recovery for women who are victims of crimes of sexual violence through the Victim Trust Fund scheme. The Victim Trust Fund is a form of compensation from the state for victims of crimes of sexual violence if the perpetrators are unable to provide compensation in the form of restitution. Restitution or compensation in the form of money given by the perpetrator to the victim is an attempt to restore the victim's rights, but the victim does not necessarily get it. By using the feminist legal method, which looks at the experiences of women as victims of sexual violence, this research will use four decisions for sexual violence crimes related to restitution. This research also shows how female victims are often only seen as witnesses to indict victims, not as victims of the perpetrator's treatment. This research will also analyze the role of the law in Indonesia in fulfilling the rights of victims of sexual violence and the implications of the existence of a Victim Trust Fund in Indonesia. Furthermore, research was also carried out by examining a series of laws and regulations and conducting interviews with sources related to The Victim Trust Fund to obtain data. In addition, this research also shows that The Victim Trust Fund scheme is in line with feminist legal theory as a result of the struggle for women's rights and legal reforms for women. Therefore, with the existence of The Victim Trust Fund, it is hoped that it can help female victims, who often unable get their right to recovery.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library