Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maulana Hasanudin Hidayat
Abstrak :
Adanya Perbedaan antara gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan hukum apabila terjadi pelanggaran yang menimbulkan kerugian terletak pada apakah terdapat hubungan kontraktual antara para pihak yang bersengketa. Apabila antara pihak yang bersengketa ada hubungan kontraktual maka pihak yang menderita kerugian akibat pelanggaran tersebut dapat mengajukan gugatan wanprestasi. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak yang bersengketa maka pihak yang menderita kerugian akibat pelanggaran dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Adanya perkembangan penafsiran tentang istilah perbuatan melawan hukum yang termaktub dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi pemahaman istilah hukum dalam arti yang luas, berdampak kepada penerapan dasar gugatan dalam sengketa hubungan kontraktual. Gugatan wanprestasi yang biasanya diterapkan dalam sengketa relatif mengalami perubahan jika melihat kepada adanya kasus sengekta hubungan kontraktual yang dituntut dengan alasan perbuatan melawan hukum. Dampak selanjutnya adalah terhadap penerapan ganti rugi yang dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan. Penggunaan teori tujuan ganti rugi berdasarkan alasan gugatan yang bersifat klasik, tidak lagi dapat diterapkan secara mutlak. Dalam kasus putusan Mahkamah Agung No 1284.K/Pdt/1998 Tanggal 18 Desember Tahun 2000, perbuatan melawan hukum diterapkan sebagai putusan meskipun dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan ada hubungan kontraktual antara para pihak.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Verani Ruth Angela
Abstrak :
ABSTRAK
Kepastian kontraktual bagi konsumen dalam e-commerce tidak dapat dipisahkan dari sistem proteksi yang dapat diandalkan di suatu negara berupa Lembaga Akreditasi terhadap produk yang dipasarkan. Terdapat perbedaan yang sangat besar antara aktivitas virtual dengan aktivitas dunia nyata dalam segi tindak dan perbuatan hukum, dampak yang diakibatkan, penerapan sanksi dan juga pembuktiannya. Di samping itu jika ada hukum positif yang secara substantif dapat langsung diterapkan dalam pelanggaran dunia maya, diperlukan suatu konsep sebagai pemberlaku kaidah-kaidah dalam perbuatan hukum dunia maya. sebagai pertimbangan pokok yang mendasari pemberian sertifikasi pada pelaku usaha, sebagai jaminan kepercayaan yang tinggi dari konsumen. Tesis ini mengkaji tentang keterkaitan hukum dan prinsip pertanggungjawaban produk dalam e-commerce berupa perlindungan para pihak untuk mendapat informasi yang benar mengenai persyaratan kontrak, dan penawaran produk melalui internet menurut hukum dan regulasi terkait, sehingga menandakan pelaku usaha berkewajiban untuk menjalankan usahanya dengan jujur dan itikad baik. Melalui konsep kelembagaan yang diadopsi dari Singapura dan Uni Eropa, kesejahteraan sosial masyarakat akan tercipta melalui peran lembaga peradilan, dimana dalam hal ini LSK selaku pihak ketiga dapat mengambil bagian dalam pertanggungjawaban produk yang diperoleh dari perniagaan online, melalui penafsiran perjanjian pihak yang berkepentingan satu sama lain dalam bentuk kontrak elektronik dan peran penyediaan layanan dalam penyelesaian sengketa yang ada dalam tujuan peningkatan efisiensi ekonomi.
ABSTRACT
Contractual certainty for consumers in e-commerce cannot be separated from a reliable protection system in a country, in the form of Certification Authority accrediting the market products. It is naïve to believe that the Certification Authority will exist independently, aloof from the world's legal systems due to the vast difference between virtual and actual transactions in terms of legal acts, its effects, the sanctions system, and the burden of proof. Besides, any legislation enacted for consumer protection on e-commerce can substantively build a major concept in cyberspace as the prime consideration underlying the entrepreneurs’ accreditation. There are areas of potential legal exposure for an organization such as a Certification Authority involved in e-commerce product liability. Working from this baseline of exposure, it will be incumbent on Certification Authority authorities and the legislative bodies that would endorse them to engineer effective risk management strategies so as not to jeopardize the ameliorative effects. The avowed, logical, and admirable purpose of a Certification Authority system in Singapore and European Union is to establish a fully functional self- and third-party rating system enabling patients and consumers to filter harmful information and to positively identify and select high quality information. This thesis outlines and evaluates the current discussion on the propriety and feasibility of enacting a national law in Indonesia enunciating a body of general principles overarching e-commerce legislations on product liability. By way of the critical and comparative appraisal, it advocates the enactment of such general principles and suggests the salient features and the essential structure of the future code.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustandi
Abstrak :
Dalam praktek kedudukan Para Pihak dalam suatu kontrak kerja konstruksi masih belum seimbang, antara lain disebabkan oleh: begitu banyaknya jumlah Penyedia Jasa yang mengakibatkan penawaran jauh lebih besar daripada permintaan, tidak adanya standar baku kontrak kerja konstruksi di Indonesia yang dipakai umum dan ditaati dalam setiap pekerjaan konstruksi di Indonesia, Penyiapan kontrak kerja konstruksi yang disiapkan oleh Pengguna Jasa, Penyedia Jasa hanya memiliki waktu yang relatif singkat untuk mempelajari kontrak kerja konstruksi, budaya yang menganggap Pengguna Jasa lebih berkuasa daripada Penyedia Jasa, dan latar belakang perseorangan dari pelaku pekerjaan konstruksi yang kurang memahami hukum. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengupayakan kedudukan yang lebih seimbang antara para pihak dalam kontrak kerja konstruksi di Indonesia, dapat dibagi berdasarkan urutan waktunya, yaitu: Pertama, dalam Masa Pra-Kontrak, dengan mempelajari kontrak serta menegosiasikan pada saat aanwijzing. Namun hal ini terkendala permasalahan jangka waktu yang relatif singkat, ditambah lagi budaya yang menganggap kontrak kurang penting. Kedua, Dalam Masa Kontrak, yaitu dengan melakukan Negosiasi, dan jika menjadi sengketa, maka diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati. Selain itu, LKPP mempunyai fungsi advokasi, dengan memediasikan dan memberikan masukan kepada para pihak. Selain itu, terdapat juga asas-asas hukum perjanjian seperti Unidroit Principles dan Lex Mercatoria yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak kerja konstruksi di Indonesia, seperti Freedom of Contract, Sanctity of Contract (Pacta Sunt Servanda), Good Faith and Fair Dealing, Mandatory Laws, mengenai Kekeliruan (Mistake), Penipuan (Fraud), Ancaman dan Paksaan, serta Gross Disparity.
In practice the position of the Parties in a construction contract is still not balanced, this can be caused by: the large number of construction companies which resulted in much greater offer than the demand, the lack of standards for construction contracts in Indonesia that is commonly used and adhered to in each Indonesian construction projects, preparation of construction contract that is prepared by the Owner, the relatively limited time to learn the construction contract by the contractors, a culture that considers the owner has more power than the contractor, and the background of the individual actors in the construction business who do not understand the construction law. Efforts should be made to seek a more balanced position between the parties in a construction contract in Indonesia, can be divided in order of time, which are: First, in the precontract period, to study the contract and negotiate the clauses at the clarification time. However, it is constrained problems of relatively short period of time, plus a culture from the contractor that considers the less concern of the contract. Secondly, in the contract period, efforts can be made by negotiations, and if it becomes a dispute, then resolved through the agreed dispute resolution mechanism. In addition, Indonesia already has the National Public Procurement Agency (Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah/LKPP) that has advocacy function, through mediate and provide input to the parties. In addition to that, there are also the principles of contract law as in Lex Mercatoria and UNIDROIT Principles that can be applied to solve the problems of imbalance position of the parties in a construction contract in Indonesia, such as the Freedom of Contract, Sanctity of Contract (Pacta Sunt servanda), Good Faith and Fair Dealing, Mandatory Laws, Mistake, Fraud, Threats and Coercion, as well as the Gross Disparity.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Brahma Esmondo
Abstrak :
ABSTRAK
Tindak Pidana penipuan tidak lepas dari hubungan kontraktual diantara para pihaknya. Hal in imenjadi penting untuk dibahas ketikan perbuatan yang semula hubungan kontraktual diajukan kedalam perkara tindak pidana penipuan. Fenomena tersebut menimbulkan akibat hukum yang berbeda bagi para pihak. Terutama dalam pemenuhan prestasi dalam hubungan kontraktual. Akan tetapi tidak sedikit juga orang yang membuat perikatan dengan tujuan melakukan penipuan. Sehingga perlulah ditinjau mengenai unsur-unsur apa yang merupakan penipuan ataukah perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan perikatan. Semakin menarik ketika akan membahas ganti kerugian, baik wanprestasi atau tindak pidana penipuan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya, apakah gugatan ganti kerugian lebih baik digabungkan ke tuntutan perkara pidana ataukah pada gugatan tersendiri pada hukum perdata. Penulis berpendapat bahwa penyelesaian yang terbaik akan perkara ini selama tidak dilakukan persidangan adalah dengan melakukan perdamaian walaupun dalam KUHAP tidak dikenal istilah perdamaian antar pihak namun berdasarkan Peraturan Kepolisian dimungkinkan hal ini berdasarkan diskresi dari penyidik. Apabila memang harus menempuh persidangan adalah jika perbuatan tersebut terbukti tindak pidana penipuan maka dalam menuntut ganti kerugian dilakukan pembatalan perjanjian barulah diajukan gugatan secara Perbuatan Melawan Hukum. Apabila perbuatan tersebut tidak terbukti pemidanaan akan tetapi dalam ranah perdata atau putusan lepas maka dapat dilakukan gugatan berdasarkan wanprestasi untuk pemenuhan prestasi atau ganti kerugian berserta bunga yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut.
ABSTRACT
If we discussed about crime of fraud can?t be separated about contractual relationship between parties this become interesting to be discussed because many contractual relationship that prosecuted with fraud. That causes different effect to the parties, especially in fulfilling contractual agreement. Therefore many people make a contract to deceive the other parties. In the order of that case we have to know the differences between fraud an misconduct. So it?s necessary to review and hold the elements of what constitutes fraud or whether the act was an act against agreement. It?s more interesting when we talked about compensation to the party that damaged, either in fraud or the act against agreement. If the parties demand the compensation it?s better to be compiled in crime of fraud lawsuit or make another lawsuit in private trial. I suggest that the best resolution for this case is to create mutual agreement between parties. Although in KUHAP didn?t regulates the mutual agreement but can possibly made by discretion of the investigator. If the parties can?t make mutual agreement then the case continues to the court. Sometimes in the crime of fraud judge decided the case is not proved was a fraud but a case that have to be done by private trial. In that case, the parties can?t get the compensation by the suit act against agreement in private trial.
2017
S65829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadek Denny Baskara Adiputra
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang yurisdiksi ICSID terhadap sengketa kewajiban kontraktual dan sengketa kewajiban traktat. Sengketa kewajiban kontraktual tunduk pada hukum nasional negara penerima investasi sehingga diselesaikan melalui pengadilan nasional negara penerima investasi. Sedangkan, sengketa kewajiban traktat tunduk pada hukum internasional, yang di antara lain meliputi prinsip hukum umum maupun hukum kebiasaan internasional sehingga diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa seperti ICSID. Dalam praktik, seringkali terdapat tumpang tindih antara kedua jenis sengketa tersebut karena investor asing dapat mengajukan sengketanya ke ICSID secara langsung meskipun lahir dari pelanggaran kontrak investasi dan bukan perjanjian investasi bilateral (PIB). Hal ini disebabkan karena yurisdiksi ICSID berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam masing-masing kontrak investasi maupun PIB. Selain itu, majelis arbitrase ICSID memiliki pendekatan yang berbeda-beda untuk menentukan lingkup yurisdiksi ICSID. Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif untuk meninjau penerapan ketentuan yurisdiksi ICSID terhadap sengketa kewajiban kontraktual dan sengketa kewajiban traktat dalam kasus Churchill Mining v. Indonesia, Vivendi Annulment, SGS v. Pakistan, dan SGS v. Philippines. Berdasarkan keempat kasus tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa ICSID memiliki yurisdiksi terhadap sengketa kewajiban traktat selama persyaratan dalam yurisdiksi ICSID terpenuhi. Akan tetapi, yurisdiksi ICSID terhadap sengketa kewajiban kontraktual bergantung pada konstruksi masing-masing kontrak investasi dan PIB. Skripsi ini menyarankan agar para pihak penyusun kontrak investasi dan PIB memperjelas sengketa yang masuk dalam lingkup kesepakatannya. Selain itu, negara penerima investasi dapat menyisipkan kewajiban untuk menempuh seluruh upaya dalam hukum nasional negara penerima investasi (exhaustion of local remedies) sebelum para pihak dapat bersengketa di ICSID.
This thesis provides an overview of ICSID jurisdiction over contract and treaty claims. Contract claims are claims based on contract which fall within the purview of the domestic law of the host state, hence subject to the courts of the host state. On the other hand, treaty claims are based on violations of a treaty (in this case a Bilateral Investment Treaty or BIT) and is subject to international law with its own dispute settlement mechanism, such as ICSID. Contract and treaty claims are often conflated in practice because of the direct access that investors have to ICSID. This situation is perpetuated by the fact that ICSID jurisdiction under Article 25(1) of the ICSID Convention is based on the consent of both parties, which differs in each investment contract or BIT. Furthermore, tribunals employ different approaches to determine the scope of ICSID jurisdiction. This thesis uses a juridical-normative approach to determine how tribunals apply ICSID jurisdiction over contract and treaty claims based on four cases, namely Churchill Mining v. Indonesia, Vivendi Annulment, SGS v. Pakistan, and SGS v. Philippines. Based on these four cases, ICSID has jurisdiction over treaty claims, so long as its jurisdictional requirements are met. However, ICSIDs jurisdiction over contract claims is highly contingent on the construction of each specific investment contract or BIT. In conlusion, this thesis suggests that drafters of investment contracts and BITs should explicitly provide the disputes that fall within each agreement. Moreover, BIT drafters could include an exhaustion of local remedies requirement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Domas
Abstrak :
Penawaran dengan metode negative option adalah suatu bentuk penawaran yang berasal dari Amerika Serikat dan berkembang di Indonesia. Penawaran dengan metode negative option adalah penawaran suatu barang atau jasa yang dianggap diterima oleh pembeli apabila pembeli tidak memberikan tanggapan terhadap penawaran yang diberikan. Diamnya pembeli juga diartikan sebagai penerimaan terhadap penawaran. Penawaran ini ditinjau dari hukum perikatan di Indonesia dapat menjadi hubungan kontraktual atau suatu perbuatan melawan hukum. Hal ini bergantung pada ketersediaan informasi yang cukup jelas dari produsen kepada konsumen. Apabila terdapat informasi yang diberikan dengan jelas, maka penerimaan terhadap penawaran akan menjadi sebuah perikatan karena perjanjian, sementara apabila tidak terdapat ketersediaan informasi yang cukup jelas, maka penawaran tersebut akan menjadi sebuah perbuatan melawan hukum. ......Negative option offer is a form of offer that grows in Indonesia which comes from United States of America. Negative option is an offer which offer considered to be accepted by the buyer when the buyer doesn't give reaction to the offer which gives to him/her. A Buyer's silence is also interpreted as acceptance. This kind of offer, reviewed by Indonesian Contractual Law, could be a contractual relationship or an unlawful act, depend on information availability from the producer to the consumer. If there is enough information, the offer will be a relationship caused by agreement, but if there isn't, the offer will be an unlawful act.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43549
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Yulianita
Abstrak :
Tesis ini membahas tanggung jawab kontraktual penjual gas bumi terhadap pembeli dalam Perjanjian Jual Beli Gas Bumi (PJBG) terkait asas proporsionalitas. Penerapan asas proporsionalitas dalam pengaturan tanggungjawab kontraktual penjual gas bumi terhadap pembeli menjadi sangat penting karena penjual seolah-olah berkedudukan lebih ?tinggi? dibandingkan pembeli, dimana pada umumnya penjual gas bumi sekaligus juga mengelola lapangan gas bumi sehingga penjual mempunyai kemampuan pengendalian terhadap gas bumi yang dijualnya, sedangkan pembeli tidak. Selain itu dalam satu PJBG Penjual dapat menjual gas bumi bagiannya sendiri sekaligus bagian pihak ketiga (termasuk bagian negara). Penulis menganalisis tanggung jawab kontraktual PT Pertamina EP sebagai penjual gas bumi terhadap PT PLN Tarakan sebagai pembeli berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas Bumi No. 2006/EP0000/2012-S0 Tanggal 20 Desember 2012 (PJBG PEP). Pembahasan mengacu pada peraturan perundang-undangan dibidang minyak dan gas bumi, prinsip-prinsip hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak dan asas proporsionalitas. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan data bersumber dari studi kepustakaan yang disajikan secara deskriptif analitis. Dari hasil penelitian, Penulis menyarankan agar dalam PJBG PEP ditambahkan: (i) klausul yang menyatakan bahwa penjual wajib memberikan kepada pembeli salinan sertifikasi cadangan gas bumi yang diterbitkan oleh lembaga independen sesuai peraturan yang berlaku di bidang migas untuk memberikan gambaran yang lebih pasti kepada pembeli mengenai ketersediaan jumlah volume dan spesifikasi cadangan gas bumi yang akan disalurkan oleh penjual kepada pembeli (ii) klausul yang mengatur adanya ruang negosiasi ulang (re-negosiasi) antara penjual dan pembeli jika penjual tidak mampu atau gagal memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menyalurkan gas bumi sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian.
This thesis discusses seller's contractual responsibility of natural gas to the buyer in the Gas Sales and Purchase Agreement (GSPA) related to the proportionality principle. The implementation of the proportionality principle to govern seller's contractual responsibilities to the buyer is very important because the seller as though has a "higher" position than the buyers, which generally the seller also manage the gas field therefore it has the ability to control the natural gas, while the buyer does not. In addition to the GSPA, the Seller may sell its natural gas commingled with third party's gas and the state-owned gas. The author analyzes the contractual responsibility of PT Pertamina EP as the seller of natural gas to PT PLN Tarakan as the Buyer under the Gas Sales and Purchase Agreement No. 2006/EP0000/2012-S0 Date December 20, 2012 (GSPA PEP). The discussion refers to the laws and regulations of oil and gas field, the principles of contract law, the principle of freedom of contract and the proportionality principle. This research is a normative legal perspective based on the library research and presented by descriptive analysis. Based on the results of the study, the Author suggests that in GSPA PEP shall be added: (i) a clause which stated that the Seller shall provide to the Buyer a copy of natural gas reserve certification issued by an independent agency pursuant to prevailing oil and gas law to describe a more definitife profile about the availability of the total volume and specifications of natural gas reserves which will be delivered by the Seller to the Buyer (ii) a clause that governs renegotiation between the seller and the buyer if the seller is unable or fails to fulfill its obligations and responsibilities to distribute natural gas in accordance with the terms of the agreement.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Aurelia Salsabila
Abstrak :
Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya adalah eksistensi perjanjian yang terganggu pelaksanaannya dikarenakan terdapat sejumlah pihak yang tidak bisa memenuhi prestasi atau kewajiban kontraktualnya dengan mendalilkan pandemi Covid-19 sebagai kategori keadaan memaksa (force majeure). Penelitian ini membahas pelaksanaan perjanjian akibat terjadinya wanprestasi karena pandemi Covid-19 di Indonesia dan Malaysia. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan pada kedua negara yang menjadi fokus perbandingan dalam penelitian ini. Simpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya ketentuan yang secara khusus menyatakan pandemi Covid-19 sebagai force majeure baik dalam hukum perjanjian Indonesia maupun Malaysia mengakibatkan suatu sengketa kontrak yang terjadi harus dinilai berdasarkan kasus per kasus serta memperhatikan kesesuaiannya dengan berbagai ketentuan yang berlaku. Saran yang dapat diberikan adalah para pihak yang akan mengadakan perjanjian sebaiknya merumuskan klausul tentang force majeure secara tegas dan jelas, serta dapat melakukan renegosiasi sebagai upaya pelaksanaan perjanjian apabila tidak ditemukan klausul yang secara jelas mengatur tentang kondisi tertentu karena pelaksanaan perjanjian tetap harus diupayakan sebab adanya kekuatan mengikat pada setiap perjanjian yang dibuat secara sah. ......The Covid-19 pandemic has had a significant impact on various aspects of people’s lives, one of which is the existence of contracts whose implementation has been disrupted because there are some of parties who cannot fulfill their achievements or contractual obligations by postulating the Covid-19 pandemic as a category of force majeure. This research discusses the implementation of contracts due to defaults due to the Covid-19 pandemic in Indonesia and Malaysia. The method used is normative juridical by examining laws and regulations and court decisions in the two countries which are the focus of comparison in this research. The conclusion of this research is that there are no provisions specifically stating the Covid-19 pandemic as a force majeure in both Indonesia and Malaysia contract law resulting in a contract dispute that occurs must be assessed on a case-by-case basis and pay attention to its compliance with various applicable provisions. Advice that can be given is that the parties who are going to enter into a contract should formulate clauses regarding force majeure explicitly and clearly, and also can renegotiate as an effort to implement the contract if no clause is found that clearly regulates certain conditions because the implementation of the contract must still be pursued because of the existence of binding force on any contract made legally.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library