Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bunga Shabrina
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai kemajemukan kewenangan pengadilan sebagai dasar pembatalan bukti kepemilikan dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021. Beberapa permasalahan yang akan dijelaskan dalam penelitian ini ialah bagaimana kemajemukan kewenangan pengadilan sebagai dasar pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021 dan konsekuensi hukum terkait status kepemilikan Sertipikat Hak Milik Nomor 1022/Kelurahan Wt. Soreang apabila dikaitkan dengan Putusan Tata Usaha Negara Nomor 145 PK/TUN/2013 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum doktrinal dengan tipe penelitian preskriptif. Hasil analisa adalah kemajemukan kewenangan pengadilan sebagai dasar pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021 menjadi pertimbangan dalam pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah. Peraturan ATR BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang penanganan dan penyelesaian menerbitkan kemajemukan kewenangan pengadilan dalam memutuskan pembatalan bukti kepemilikan hak atas tanah. Peraturan ATR BPN tersebut apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 796 PK/PDT/2021 masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya karena belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut. Konsekuensi hukum terkait status kepemilikan sertipikat hak milik nomor 1022/Kelurahan Wt. Soreang ialah status kepemilikan atas sertipikat tersebut menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, pihak Tergugat dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan peninjauan kembali kedua kepada pengadilan Tata Usaha Negara. Tujuannya adalah untuk mengatasi permasalahan hukum terkait status kepemilikan Sertipikat Hak Milik Nomor 1022/Kelurahan Wt. Soreang. Melalui peninjauan kembali kedua ini, pihak Tergugat dapat memperoleh putusan yang menguntungkan mereka dalam sengketa kepemilikan tanah tersebut. ......This research discusses the multiplicity of court jurisdiction in relation to the basis for invalidation of proof of ownership in the case of Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021 The issues that will be discussed in this research are the multiplicity of court jurisdiction serves as the basis for the invalidation of proof of land ownership in the case of Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021, and the legal consequences regarding the status of Certificate of Ownership Number 1022/Sub-District Wt. Soreang when associated with State Administrative Court Decision Number 145 PK/TUN/2013 and Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021. To answer the problem, legal doctrinal research with a prescriptive research type is used. The analysis results indicate that the diversity of jurisdiction serves as the basis for the invalidation of proof of land ownership in the case of Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021. Regulation of the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency (ATR BPN) Number 21 of 2020 regarding the handling and settlement of jurisdictional diversity is relevant in deciding the invalidation of proof of land ownership. However, there are still deviations in the implementation of the ATR BPN regulation when associated with Supreme Court Decision Number 796 PK/PDT/2021, as it does not fully comply with the provisions outlined in the regulation. The legal consequence regarding the status of Certificate of Ownership Number 1022/Kelurahan Wt. Soreang is that the ownership status of the certificate becomes uncertain. Therefore, the Respondent can file a second judicial review to the administrative court. The purpose is to solve the legal problem related to the ownership status of Certificate of Land Ownership Rights Number 1022/subdistrict Wt. Soreang. Through this second judicial review, the Respondent can obtain a favorable decision in the land ownership dispute.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Deni Herwin
Abstrak :
Tulisan ini menganalisa tentang perluasan kompetensi Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan mengadili tindakan faktual. Dalam kaitannya dengan perluasan kompetensi, maka disusun suatu mekanisme dalam mengoptimalkan adanya perluasan kompetensi Pengadilan Pajak. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka terdapat perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa, salah satunya ialah menangani sengketa tindakan faktual. Pada Pasal 9A UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara beserta penjelasannya menyatakan bahwa lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dalam undangundang. Pengkhususan yang dimaksud berupa deferensiasi atau spesialisasi bidang hukum yang akan ditangani oleh suatu pengadilan. Hal ini selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi 26/PUU-XXI/2023, dimana kedudukan Pengadilan Pajak telah sepenuhnya menjadi bagian pengadilan khusus dalam lingkup badan Peradilan Tata Usaha Negara di bawah Mahkamah Agung. Oleh sebab itu Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 1 Tahun 2022 menyatakan bahwa tindakan faktual yang timbul dalam bidang perpajakan merupakan kompetensi Pengadilan Pajak sesuai dengan spesialiasi pengadilan. Praktiknya, Pengadilan Pajak belum dapat mengadili tindakan faktual, karena belum ada peraturan yang mengatur perluasan seperti pada Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Skema penyelesaian sengketa tindakan faktual di Pengadilan Pajak tepat diajukan melalui mekanisme gugatan dengan melihat karakteristiknya yang menilai prosedur administrasi perpajakan. Selain itu diperlukan perluasan subjek sengketa yang meliputi warga masyarakat. Perluasan kewenangan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan mengadili tindakan faktual menguntungkan dunia usaha karena pengusaha mendapat kepastian hukum melalui penyelesaian sengketa yang cepat serta pertimbangan teknis. ......This research analyzes the urgency of expanding the jurisdiction of the Tax Court, especially in examining and adjudicating factual actions. In relation to the expansion of the jurisdiction a mechanism was recognized in optimizing the expansion of the jurisdiction of the Tax Court. This research was conducted by using doctrinal law research methods. After the promulgation of Law Number 30/2014 concerning Government Administration, there has been an expansion of the competence of the State Administrative Court in resolving disputes, one of which is handling factual action disputes. Article 9A of Law Number 9/2004 concerning Amendments to the Law on the State Administrative Court and its explanation states that the environment of the State Administrative Court can be recognized a special court regulated in law. The specialization is intend to differentiation or specialization in the field of law to be handled by a court. This is conforming the Constitutional Court Decision 26/PUU-XXI/2023, where the position of the Tax Court has fully become part of a special court within the extent of the State Administrative Court below the Supreme Court. Therefore, the Supreme Court issued SEMA 1/2022 stating that factual actions arising in the extent of taxation are the competence of the Tax Court in accordance with the court's specialization. Practically, the Tax Court has not been able to adjudicate factual actions, because there are no regulations governing expansion as in Article 87 of the Government Administration Law. The dispute resolution scheme for factual actions in the Tax Court is appropriately submitted through the lawsuit mechanism by looking at its characteristics that assess tax administration procedures. In addition, it is necessary to expand the subject of disputes to include taxpayer. The expansion of the authority of the Tax Court in examining and adjudicating factual actions benefits the business sector because entrepreneurs get legal certainty through secured dispute resolution and technical considerations.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Kusumastito
Abstrak :
Perjanjian utang-piutang atau loan agreement adalah suatu perjanjian perdata antara suatu subjek hukum dengan subjek hukum lain di mana satu pihak meminjam uang kepada pihak yang lain dan pihak yang lain akan mendapat timbal-balik berupa bunga atau hal lain yang telah diperjanjikan sebelumnya. Pengaturan terhadap perjanjian utang-piutang menurut hukum Indonesia terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti lahirnya dan hapusnya. Para pihak dalam perjanjian utang-piutang dapat berbeda status personalnya, sehingga menimbulkan masalah HPI. Ketika terjadi wanprestasi, kemudian juga akan timbul permasalahan forum mana yang berwenang untuk mengadili dan hukum apa yang akan berlaku untuk mengadili perkara tersebut. Skripsi ini akan membahas mengenai perkara-perkara wanprestasi yang berasal dari perjanjian utang-piutang yang tidak berjalan sebagaimana seperti yang diperjanjikan antara para pihak yang berbeda status personalnya. Kemudian salah satu pihak menggugat pihak lainnya di Pengadilan Indonesia.
A Loan agreement is an agreement between two or more legally competent individuals or entities on borrowing a sum of money by one person, company, government, and other organization from another. The lender will get another sum of money or other certain profit paid as compensation for the loan. Loan agreement in Indonesia is regulated in Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Civil Code). It regulates how the agreement begins and when it completes. The parties of a loan agreement can come from different countries. This will create international private law issue. When a loan agreement is not enforced as it has been agreed, breach of contract occurs. Some questions will appear like which court has the competence to adjudicate the case and which law should govern the case. This thesis will explain about a breach of contract cases related to a loan agreement where the parties come from different countries, then one of the parties conducted a lawsuit againts the other in Indonesian court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S23
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library