Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joevarian Hudiyana, supervisor
"

Teori-teori sebelumnya telah mencatat bahwa perilaku militan ekstremis seperti pengorbanan diri dapat dijelaskan oleh persepsi ketidakadilan, konsolidasi identitas sosial, dan ketidakpastian pribadi atau motivasi kebermaknaan (pencarian makna). Namun, masih kurang jelas apakah ada perbedaan kontekstual dalam membangkitkan motivasi kebermaknaan. Saya berpendapat bahwa faktor budaya seperti perbedaan dalam orientasi tujuan dan penekanan pada relasionalitas / individualitas di antara budaya kolektivistik dan individualistik dapat menjelaskan bangkitnya motivasi kebermaknaan, yang pada akhirnya, membentuk motivasi pengorbanan diri. Dalam Studi 1, saya mengeksplorasi representasi sosial dari konsep hidup yang bermakna di antara orang Indonesia (budaya kolektivistik) dan orang Amerika (budaya individualistik). Dalam Studi 2, saya memeriksa apakah temuan dari Studi 1 benar-benar dimanifestasikan dalam bahasa sehari-hari orang Indonesia (vs. Global). Saya menemukan bahwa orang Indonesia cenderung menekankan pengabdian sebagai tema utama dari hidup yang bermakna, dan ini merupakan tema relasional yang menekankan pada kesejahteraan kelompok daripada capaian individu. Dalam Studi 3, saya secara eksperimental menguji apakah ancaman terhadap kebermaknaan (vs. promosi kebermaknaan) mempengaruhi niat untuk mengorbankan diri. Terakhir, dalam Studi 4 saya melakukan survei untuk memeriksa apakah peleburan identitas adalah mekanisme dari temuan eksperimental. Dapat disimpulkan bahwa memang ada perbedaan budaya dalam bagaimana seseorang dapat mencari kebermaknaan. Perbedaan tersebut dapat memprediksi ekstremisme militan.

 


Previous theories have noted that militant extremist behavior such as self-sacrifice can be explained by perceived injustice, social identity consolidation, and personal uncertainty or quest for significance (meaning seeking motivation). However, less is clear about the contextual differences of how to awaken personal quest for significance. I argue that cultural factor such as difference in goal orientation and emphasis on relationality/individuality among collectivistic and individualistic culture may explain the awakening of quest for significance, which in turn, determine the self-sacrifice motivation. In Study 1, I explored the social representation of meaningful/significant life among Indonesian (collectivistic culture) and American participants (individualistic culture). In Study 2, I examined whether the findings from Study 1 was truly manifested in the daily language of Indonesian (vs. Global) people. I found that Indonesian people tend to emphasize devotion as the cardinal theme of meaningful life, which is a relational theme emphasizing on the group’s goal rather than individual’s enhancement. In Study 3, I experimentally test whether threat to significance as opposed to promotion of significance influenced the intention for self-sacrifice. Finally, in Study 4 I conducted a survey to examine whether collectivistic shift was the mechanism of our experimental finding. I established that there is indeed cultural difference in how a person may seek their significance and such pattern may predict militant extremism such as violent self-sacrifice in a unique way.

"
2019
D2761
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Melati Mediana
"Penelitian ini membahas tentang jarak pada komunikasi manusia. Dalam kajian komunikasi antarbudaya, jarak atau ruang sebagai batasan fisik ini dikenal sebagai Proksemik. Studi dilakukan pada warga bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo yang direlokasi ke rumah susun sewa (Rusunawa) Jatinegara Barat pada tahun 2016. Jarak komunikasi pada masyarakat kolektivistik terlihat manakala ruang vertikal menghilangkan makna ruang horisontal sebelumnya. Jarak fisik yang lebih jauh karena adanya tangga dan lift mengacaukan komunikasi horisontal yang organik dan secara sosial lebih dekat ala ‘kampung lifestyle’. Perubahan jarak komunikasi terjadi pada ruang antarorang, ruang antarunit, ruang antarlantai, dan ruang antar bangunan. Perubahan karakter masyarakat kolektivistik juga terjadi pada ruang-ruang baru yang mengusung konsep hunian individualistik. Namun demikian, terjadi perubahan makna ruang-ruang baru yang diadaptasi warga relokasi setelah tiga tahun menghuni rusunawa. Transisi kegiatan masyarakat budaya Kampung Pulo tersebut dilakukan karena kesadaran warga untuk mempertahankan kohesivitas yang dianggap sebagai warisan berharga kelompok mereka tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang detil tentang perubahan pola-pola komunikasi manusia dari satu ruang ke ruang yang berbeda terkait dengan jarak komunikasi. Penelitian ini menginsafi bahwa konteks budaya sangat memegang peranan dalam memaknai ruang bersama kelompok acuannya dan bukan semata masalah perubahan fisik hunian saja, atau place more than a space.

This research discusses distance in human communication. In the study of intercultural communication, distance or space as a physical boundary is known as proxemic. The study was conducted on residents on the banks of the Ciliwung river in Kampung Pulo who were relocated to a rented apartment (Rusunawa) West Jatinegara in 2016. The distance of communication in the collectivistic community is seen when vertical space removes the meaning of the previous horizontal space. Longer physical distances due to stairs and lifts interfere with horizontal organic communication and the closer social 'village lifestyle'. Changes in communication distance occur in the space between people, space between units, space between floors, and space between buildings. Changes in the character of the collectivistic society also occur in new spaces that carry the concept of individualistic housing. However, there has been a change in the meaning of the new spaces adapted by the relocation residents after three years of living in the flat. The transition of the Kampung Pulo cultural community activities was carried out due to the awareness of the residents to maintain cohesiveness which is considered a valuable heritage of their group. This research is expected to provide a detailed description of changes in human communication patterns from one room to a different room related to communication distance. This study realizes that the cultural context plays a very important role in interpreting the common space of the reference group and not merely a matter of physical changes to the occupancy, place more than a space."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library