Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amarendra Adhipangestu
"Tugas akhir ini membahas mengenai terbentuknya pemerintahan grand coalition di Jerman pada tahun 2005 Penelitian ini menggunakan metode kualitatif di dalam menganalisa proses terbentuknya pemerintahan koalisi antara partai Christian Democratic Union CDU dan Social Democrat Party SPD yang selama ini dikenal dengan rivalitasnya Dengan menggunakan kerangka konsep partai politik dan koalisi penelitian ini menemukan faktor faktor yang mendorong terbentuknya pemerintahan grand coalition Krisis ekonomi yang melanda Jerman tahun 2005 mendorong CDU dan SPD untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dengan membentuk pemerintahan koalisi Selain itu keadaan politik internasional yang cenderung tidak stabil juga mendorong kedua partai untuk membentuk pemerintahan grand coalition.

This research focuses on the formation of the grand coalition government in Germany in 2005 Through qualitative method this research analyze the formation of coalition government between Christian Democratic Union CDU and Social Democratic Party SPD Using political party concept and coalition concept this research found the factors that encourage the formation of grand coalition government With the economic crisis that hit Germany in 2005 pushed the CDU and SPD to establish a stable government by forming a coalition government moreover the unstable international political situation also encourages the two parties to form a grand coalition government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S54725
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Budi Eko Wardani
"Perubahan partai politik setelah rezim Orde Baru membawa konsekuensi serius bagi peran partai politik. Pertama, adanya pergeseran peran partai politik dari aktor di pinggiran kekuasaan menjadi aktor utama yang berperan membentuk kekuasaan politik. Kedua, adanya keharusan partai politik melakuka reformasi internal untuk tujuan memenangkan kekuasaan politik sekaligus menjawab tuntutan publik. Ketiga, terkait keterlibatan partai politik dalam pemilihan untuk mengisi jabatan politik dan jabatan politik.
Partai politik lalu dihadapkan pada paradigma baru yaitu bekerja profesional, memiliki kemampuan bekerjasama atau bernegosiasi dengan partai lain dalam meraih kemenangan, serta melihat konstituen sebagai aset atau kapital yang harus terus dikumpulkan dan dipelihara. Salah satu strategi memenangkan pemilihan umum adafah melalui koalisi politik. Koalisi partai politik membentuk pemerintahan dan untuk memperkuat posisi tawar dalam proses politik di parlemen atau kabinet, menjadi hal tak terhindarkan dalam kehidupan partai di era reformasi ini. Fenomena tersebut dianggap wajar mengingat hasil Pemilu 2004 menghasilkan kekuatan partai yang terfragmentasi secara berimbang. Hal ini membuat keputusan membentuk koalisi menjadi tak terhindarkan. Salah satunya yang terjadil dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Pilkada yang dimuiai pada Juni 2005 menjadi arena politik baru bagi partai-partai politik. Dari 211 Pilkada pada 2005, ada 126 Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung koalisi partai. Sedang 85 lainnya dimenangkan oleh pasangan salon yang didukung partai tanpa koalisi. Bagi partai, koalisi dalam Pilkada memiliki kekhasan yang patut dicatat, yaitu: (1) secara kuantitas formasi koalisi bisa sangat banyak yang disebabkan oleh banyaknya pemilihan; (2) adanya kebutuhan pemetaan yang memungkinkan pengurus pusat partai memberikan kebebasan relatif pada pengurus daerahnya untuk memutuskan koalisi; dan (3) kecenderungan pofa koalisi dalam Pilkada yang sangat menyebar dan nyaris sulit untuk diramalkan. Salah satu kasus yang diamati untuk menunjukkan kecenderungan tersebut adalah Pilkada Provinsi Banten pada 26
Tesis ini menggunakan tiga kerangka teori untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertama adalah teori koalisi politik dari William Riker yang menekankan prinsip ukuran (Minimal Winning Coalitions) dan Robert Axelrod yang menekankan prinsip kedekatan preferensi kebijakan (Minimal Connected Winning). Kedua, teori pilihan rasional untuk melihat kontestasi pilihan-pilihan kepentingan yang menjadi dasar pengambilan keputusan para aktor untuk berkoalisi. Keputusan berkoalisi adalah sebuah pilihan rasional dalam rangka memaksimalkan kepentingan atau keuntungan yang dapat diraih. Ketiga, adalah teori oligarki dari Robert Michels. Teori ini digunakan untuk melihat pengaruh struktur partai dalam mempengaruhi pembentukan koalisi partai.
Setidaknya ada lima faktor yang diuji dalam tesis ini - mengacu pada kasus Pilkada Banten- untuk melihat pengaruhnya dalam pembentukan koalisi partai. Pertama adalah pemetaan kekuatan politik di DPRD. Tingkat pengaruh faktor ini sedang karena diperlukan untuk memenuhi persyaratan pencalonan 15% suara atau kursi. Tetapi calon dapat saja membentuk koalisi dengan partai-partai non parlemen jika diperlukan. Kedua, pertimbangan platform partai dalam pembentukan koalisi, apakah sifatnya ideologis atau pragmatis. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena partai pada dasarnya dapat membangun koalisi dengan partai manapun tergantung pemaksimalan kepentingan yang dapat diraih.
Faktor ketiga adalah mekanisme internal penjaringan oleh partai politik. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena tidak ada keharusan partai melakukan penjaringan internal, dan kalaupun dilakukan, hasilnya tidak mengikat atau dapat dibatalkan oleh pengurus pusat. Keempat adalah peran dewan pengurus pusat (DPP) partai. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi karena rekomendasi atau persetujuan DPP bersifat mutlak sehingga tidak ada alternatif lain bagi pengurus daerah selain mengikuti petunjuk DPP. Dan kelima adalah peran figur bakal calon kepala daerah. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi dalam pembentukan koalisi karena figur yang mendanai penggalangan dukungan selama pencalonan. Partai politik secara institusi biasanya tidak rnengeluarkan materi untuk mendukung pencalonan kepala daerah.

The post new order change within political parties brought serious consequences towards their role: These include: the shift within the political parties' role from being marginal actors in the national power sphere, towards assuming a main role in the formation of political power; political parties being obliged to conduct internal reforms for the sake of winning the contested political power and in order to answer public demands; political parties' involvements in elections dedicated towards filling political position slots.
Political parties were then introduced to a new paradigm which encompassed virtues such as professionalism, ability to cooperate and negotiate with other parties in the attempt of winning the election, and in how they were to view constituents as valuable assets of which supports must always be gathered and preserved. One of the strategies in winning political elections is by creating political coalition(s). Political coalitions in building a new government and in order to create a better bargaining power in the parliamentary or cabinet political processes have become an inevitable phenomenon in this post-reform era. This phenomenon was considered as an obvious one due to the fact that the 2004 election had bred out a fragmentated and balanced political party power configuration. Such configuration later induced many parties to form coalitions as a necessity to anticipate the situation in other elections, as can be seen in the direct regional leader election ("Pemilihan Kepala Daerah Langsung" - PiLKADA).
The Pilkada, which began on June 2005, became a new arena for political parties. From over 211 Pilkada held in 2005, 126 of them were won by candidates supported by party coalitions, while another 85 were won by candidates supported by parties not engaging in coalitions. For many parties, the coalitions made during the Pilkada had certain features: (1) Quantitatively, the abundance of coalitions was made possible due to the many elections held; (2) mapping requirements made many central party officials to allow greater freedom for their local agents to decide coalitions; (3) the tendency within Pilkada coalition patterns exhibited a divergent and unpredictable trend. One of the examined which showed such tendency was the Banten Province Pilkada held on November 26, 2006 in which 4 candidate pairs who participated in this event were all supported by political party coalitions.
This thesis applies three theoretical frameworks in order to answer its research question. The first one is political coalitions theory by William Riker, which emphasizes the measurement principle (Minimal Winning Coalitions), and Robert Axelrod, which emphasizes the policy preference connectedness principle (Minimal Connected Winning). The second one is the rational choice theory which will be used to analyze the contestation of interest choices, which serves as a basis for actors' decision making to form coalitions. Such decision can be seen as a rational choice in order to maximize an actor's interest and benefits. The third theoretical framework applied here is oligrarchic theory by Robert Michels. This theory will be used to view how party structures influence the decision to form coalitions.
There at least five factors which this thesis seeks to analyze, referring to the Banten Pilkada case, in order to see their effect to party coalition formations. The first factor is the political power mapping in DPRD level. This factor's level of influence is medium, due to its function to fulfill the 15% vote or chair requirement. However, candidates may likely form coalitions with non-parliamentary parties if necessary. The second factor is the party platform considerations in coalition formations, whether they include the involvement of ideological preferences or more pragmatic stances. The influence level of this factor can bee deemed low due to the fact that most parties are likely to build coalitions with any party depending on the interest maximization which can be gained.
The third factor is the internal networking mechanisms by political parties. This factor's level of influence is low due to the inexistence of requirements by parties to conduct internal networkings. However, if such mechanism is to occur, the results would likely to be non-bounding or cancellable according to the decision of central organizers. The fourth factor is the role of party's central organizing board (Dewan Pengurus Pusat - DPP). This factor has a high level of influence due to the absolute recommendation or agreement made by the DPP which in turn negates all other alternatives for local organizers to follow except the ones established by the DPP. The fifth factor is the role of local leader candidates. This factor is highly influential in determining the coalition formation due to the role of certain figures who financially support the candidates. Political parties are normally refrained from committing material supports during the local leader elections."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Alvianto
"Penelitian ini akan mendeskripsikan proses pembentukan koalisi partai politik Golkar, PKB dan PBB pendukung pasangan Irvan dan Herman pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Cianjur tahun 2015. Kasus yang diteliti tersebut menarik untuk diangkat karena pembentukan partai koalisi umumnya dilakukan sebanyak mungkin partai pendukung yang terlibat di dalamnya. Pembentukan koalisi partai politik studi kasus koalisi Pemilihan Kepala Daerah cenderung lebih mengedepankan kondisi proses dibanding kuantitas jumlah partai pendukung, dan hasilnya adalah kemenangan. Kondisi proses yang akan dilihat dibagi menjadi beberapa faktor. Pertama, latar belakang yang mendorong terbentuknya partai koalisi. Kedua, intensitas komunikasi berdasarkan elektabilitas kandidat partai koalisi. Ketiga, pengalaman pemilihan kepala daerah sebelumnya di Kabupaten Cianjur. Keempat, kontrol eksternal koalisi sebagai penentu akhir. Kerangka teori dan kosep yang digunakan dalam menganalisis kasus yang diangkat adalah koalisi dan pembentukan koalisi. Analisis deskripsi proses pembentukan koalisi partai dalam penelitian ini diharapkan akan mampu menggambarkan bagaimana proses politik berlangsung dalam sebuah kontestasi politik di tingkat lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model analisa deskriptif. Teknik pengumpulan data primer dan sekunder melalui wawancara mendalam serta sumber-sumber literatur yang relevan.

This study will describe the process of forming a coalition of Golkar, PKB and PBB political parties supporting the Irvan and Herman pair in the 2015 Cianjur District Head Election. The case studied was interesting to appoint because the formation of coalition parties was generally carried out as much as possible the supporting parties involved. The formation of a political party coalition coalition case study of Regional Head Elections tends to prioritize quality over the quantity of supporting parties, and the result is victory. The quality of the process to be seen is divided into several factors. First, the background that drives the formation of a coalition party. Second, the intensity of internal communication based on the electability of the survey results of coalition party candidates. Third, the experience of the previous regional head elections in Cianjur Regency. Fourth, the external control of the coalition determines the final victory. The theoretical framework and concept used in analyzing the cases raised are coalitions and coalition formation. Analysis of the description of the party coalition formation process in this study is expected to be able to describe how the political process takes place in a political contestation at the local level. This study uses a qualitative approach with a descriptive analysis model. Primary and secondary data collection techniques through in-depth interviews and relevant literature sources.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Illiyina
"Tesis yang merupakan kajian interdisipliner antara kajian lembaga negara dengan kajian politik ini membahas perkembangan koalisi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat dalam era reformasi. Penelitian ini menganalisis dinamika koalisi partai politik dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan fungsi legislatif di Indonesia. Dalam menganalisis dinamika koalisi partai politik dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia penulis menemukan bahwa konfigurasi partai politik dan koalisi partai politik yang terbangun turut mempengaruhi pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan (statutory approach), dan pendekatan kasus (case approach) ini merekomendasikan perlunya koalisi berbasis kesamaan ideologi dan haluan (platform) politik diantara partai politik yang berkoalisi, menata pelembagaan koalisi yang mapan, menata ulang format pemilu dalam arti luas.

This thesis is an interdisciplinary study between state organ studies and political studies that discusses the development of political party coalition in reformation era of the House of Representative of the Republic of Indonesia. In analyze the dynamic of political party coalition and its influence to application to the House of Representative function in Indonesia, the author find that the configuration of political party and political party coalition that was built also influences the function of the House of Representative of the Republic of Indonesia. The research conducted by statutory approach and case approach recommend that need to set up the coalition base on similarity ideology and political platform among political party in coalition, to institutionalizing of establish coalition and reformulation of general electoral design in broader sense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31445
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwina Ega Aryani
"Penelitian ini membahas mengenai koalisi diantara Partai Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat pada Pemilukada Kota Depok Tahun 2015. Fokus penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat proses yang mendorong partai untuk membentuk atau tergabung dalam suatu koalisi. Koalisi yang terbentuk diantara ketiga partai tersebut merupakan sebuah upaya kerja sama dalam memenangkan Idris Abdul Shomad dan Pradi Supriatna. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam dan dilengkapi dengan data sekunder lainnya. Dari penelitian ini ditemukan bahwa survei calon kandidat dan pengaruh dari interaksi partai baik secara internal maupun interaksi partai dengan pihak luar sangat mempengaruhi sikap partai dalam membentuk koalisi.

This research analyzes the coalition among Partai Gerindra, PKS, and Partai Demokrat in Pemilukada Kota Depok in year 2015. The focus of this research is to explain that there is a process that encourage parties to form or to join a coalition. The coalition that was formed by mentioned parties is a form of cooperation in order to make Idris Abdul Shomad and Pradi Supriatna the winner of the Pemilukada. This research used qualitative method with in-depth interviews and other secondary data. The research finds out that survey for candidates and the effect of interaction, both internally and externally, by the party are extremely effecting the party preference on making coalition."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Arsil
"Di Indonesia, dalam suasana yang demokratis, pemerintahan koalisi ditemui dalam semua sistem pemerintahan yang pernah berlaku. Realitas koalisi di Indonesia menunjukkan berbagai masalah baik dalam pembentukkannya maupun pengelolaannya, masalah yang dihadapi telah mengancam bahkan merusak stabilitas pemerintahan. Dalam pemerintahan yang dibentuk berdasar koalisi, potensi instabilitas memang lebih tinggi. Praktik penerapan koalisi di negara-negara bersistem parlementer di Eropa Barat menunjukkan bahwa stabilitas pemerintahan dijaga melalui aturan-aturan hukum yang memagari setiap tahapan pemerintahan. Proses politik yang terjadi dalam pembentukan dan mekanisme berlangsungnya koalisi sangat terpengaruh kepada aturan yang berlaku. Negara-negara bersistem presidensial di Amerika Latin juga menghadapi masalah ancaman stabilitas pemerintahan akibat dari dinamika koalisi yang tinggi. Di sistem presidensial Amerika Latin, aturan hukum menjadi alat untuk mendesain suasana yang kondusif bagi pembentukan dan pengelolaan koalisi dalam rangka menjaga stabilitas pemerintahan. Praktik pemerintahan koalisi sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia dan Praktik pengaturan terkait koalisi di negara-negara parlementer Eropa Barat serta negara-negara presidensial di Amerika Latin digunakan oleh penelitian normatif ini sebagai bahan pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Kedua pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan jawaban bagi stabilitas pemerintahan dalam pembentukan dan pengelolaan pemerintahan koalisi di sistem presidensial Indonesia berdasar UUD NRI Tahun 1945. Desain aturan hukum untuk menjaga stabilitas pemerintahan koalisi yang terbentuk di Indonesia memperhitungkan realitas sistem kepartaian dan pemerintahan di Indonesia, karakter sistem presidensial dan perkembangan sistem parlementer dalam menjaga stabilitas sebagai tempat berasalnya konsep pemerintahan koalisi. Desain untuk stabilitas tersebut antara lain didapat dari penggabungan pemilihan umum serentak dengan sistem pemilihan presiden plurality atau majority with reduced threshold, pelembagaan koalisi pemerintahan yang sejajar dengan koalisi legislatif, dan penggunaan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif sebagai instrumen untuk membangun dan mengelola koalisi pemerintahan.

In Indonesia, in a democratic atmosphere, the coalition government is found in every government systems ever applied. In the era of parliamentary government, a coalition government is inevitable due to the fact that the parliament was fragmented so that no single party held an absolute majority of the seats. In the era of presidential government, a coalition government is also an option for the elected president even tough coalition was not the source of legitimacy for the ruling government. President who ruled in a highly fragmented multiparty situation chose to form a coalition to ensure the stability of the government. In reality, coalition in Indonesia showed various problems both in terms of the establishment and management. Problems encountered have threatened and even destabilized the government. In a government established under coalition, government stability is is likely to have more problems. Coalition practiced in countries applying parliamentary system in Western Europe show that government stability is maintained through legal rules that hedged every stage of governance. Political processes that occur in the establishment and the mechanism of coalition course are greatly affected by the prevailing rules. Latin American countries applying presidential system also face threats in the government stability due to the high dynamics of the coalition, just like the case in Western Europe. It can be seen on their experience designing a coalition through prevailing rules and laws. Coalition practiced by the government throughout the history of Indonesia and ruling practices in relations to coalitions in Western European countries applying the parliamentary system and Latin American countries applying the presidential system are used by these normative research as a source of historical approach and comparative approach. Both of these approaches are used to get an answer to the stability of the government in establishing and managing a coalition government in Indonesia’s presidential system based on Indonesia’s 1945 Constitution. Legal rulings designed to maintain the stability of the coalition government, take the reality of the party system and the Indonesian government, the characteristics of the presidential system and the development of parliamentary system into account in maintaining stability as the source of the concept of a coalition government. Designs to create the stability are among others received by combining simultaneous election with plurality presidential election or majority presidential election with reduced threshold, government coalition institutionalization parallel to legislative coalition, employment president’s legislative constitutional power as an instrument to form and manage the government coalition."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library