Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Edward Wongso
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai permasalahan sertipikat ganda atas suatu bidang tanah. Seperti kedudukan hukum dari para pihak dan penyelesaian sengketa yang dilakukan para pihak. Beberapa sengketa mengenai sertipikat ganda sering terjadi. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang belum mendukung sistem administrasi di Indonesia. Bahkan penyelesaian sengketa tersebut lewat pengadilan terkadang belum memberikan solusi apapun. Seperti hal nya kasus yang dibahas penulis yaitu Putusan MA No. 1502k/ Pdt/ 2013. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, dengan menggunakan metode eksplanatoris. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebenarnya, pihak penggugatlah yang seharusnya menang dalam perkara di Pengadilan dikarenakan semua fakta-fakta hukum mengenai kepemilikan tanah tersebut lebih kuat. Hakim seharusnya mempertimbangkan fakta-fakta hukum daripada sebaliknya mempermasalahkan kewenangan dalam menangani sengketa tersebut, Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini harus ikut bertanggung jawab dalam menyelesaikan perkara ini.

ABSTRACT
This thesis discusses the problem of multiple certificates on a plot. As the legal position of the parties and the dispute settlement done by the parties. Disputes regarding double certificates often occur on any land issues. This is due to several factors that do not support administration system in Indonesia. Even the dispute resolution through the courts sometimes do not provide any solution. Consequently, many of the rights of someone who is lost. This research was conducted by the research literature normative, using explanatory. The plaintiff should have won the case in court because all the facts of the law on land ownership is stronger. The judge should consider the facts of law than concerned authority in dealing with the dispute, the National Land Agency in this regard must take responsibility in resolving this matter."
2017
T46931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Agnita
"Tesis ini mengkaji mengenai: (i) kewenangan arbitrase sebagai peradilan swasta dalam menetapkan dan melaksanakan sita jaminan; (ii) upaya hukum terhadap pelaksanaan sita jaminan arbitrase; (iii) pengaturan terkait kewenangan pengadilan dalam melaksanakan sita jaminan arbitrase. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum doktrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arbitrase sebagai peradilan swasta berwenang dalam menetapkan sita jaminan, namun tidak memiliki kewenangan dalam melaksanakannya. Berdasarkan tinjauan teori, arbitrase sebagai peradilan swasta dapat mengeluarkan putusan sela sebagai upaya membantu dan melindungi hak para pihak, termasuk menetapkan sita jaminan. Sita jaminan pada dasarnya merupakan upaya untuk mengamankan aset sehingga dapat mencegah putusan arbitrase menjadi illusoir. Namun, sebagai lembaga peradilan swasta, arbitrase tidak dapat mengeksekusi putusannya sendiri dan tidak memiliki kekuatan memaksa dalam pelaksanaan sita, dengan kata lain tidak memiliki kewenangan eksekutorial seperti pengadilan yang dilengkapi dengan perangkat eksekutorial berupa jurusita dan panitera. Kemudian, Pasal 29 ayat (5) Perma No. 3 Tahun 2023 mengatur bahwa pelaksanaan sita dilakukan dengan mengikuti ketentuan dalam Hukum Acara Perdata, ketentuan tersebut tidak menghalangi pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan sita jaminan arbitrase melalui mekanisme derden verzet. Kemudian, mengacu pada ketentuan section 44 UK Arbitration Act 1996 yang mengatur kewenangan pengadilan dalam melaksanakan putusan sela arbitrase di Inggris, ketentuan mengenai kewenangan pengadilan dalam melaksanakan putusan sela, khususnya sita jaminan seharusnya diatur dalam UU AAPS; sebagaimana dapat diajukan upaya hukum terhadap putusan sela yang dikeluarkan oleh pengadilan Inggris berdasarkan section 44(7) UK Arbitration Act 1996, mekanisme derden verzet sudah sepatutnya diatur dalam Perma No. 3/2023 guna memastikan perlindungan hak pihak ketiga; dan untuk mencegah terjadinya upaya perlawanan maka perlu diatur ketentuan tentang pedoman atau syarat peletakkan sita jaminan oleh arbiter/majelis arbitrase.

The thesis examines: (i) the authority of arbitration as a private court in granting and enforcing collateral seizures; (ii) legal remedies against the enforcement of arbitration collateral seizures; (iii) regulations related to the authority of courts in enforcing arbitration collateral seizures. The method used in this research is doctrinal legal research. The findings reveal that arbitration, as a private court, has the authority to issue collateral seizures but lacks the authority to enforce them. From a theoretical perspective, arbitration as a private adjudicative body can issue interim measures to assist and protect the rights of the parties, including granting collateral seizures. Collateral seizures are essentially measures to secure assets to prevent the arbitral award from becoming illusory. However as a private court, arbitration cannot execute its orders and lacks coercive enforcement powers, unlike courts that are equipped with executorial mechanisms. Furthermore, Article 29(5) of the Supreme Court Regulation No. 3 of 2023, stipulates that the enforcement of collateral seizure shall follow the provisions of the Civil Procedural Law (Hukum Acara Perdata), and this provisions do not prevent third parties from filing an opposition against the enforcement of arbitration collateral seizure through derden verzet. Then referring to section 44 of the UK Arbitration Act 1996, which regulates court authority in enforcing interim measure in arbitration proceedings in England, provisions regarding court authority in enforcing interim measure, particularly concerning collateral seizure, should be regulated in UU AAPS. Similar to how legal remedies can be filed against interim decisions issued by English Courts under section 44(7) of the UK Arbitration Act 1996, derden verzet mechanism should rightfully be regulated in Supreme Court Regulation No. 3/2023 to ensure protection of third party rights; and to prevent opposition efforts, provisions need to be regulated regarding guidelines or requirements to grant collateral seizure by the tribunal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Rahmah Laily Widuri
"Pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap prinsip Pengangkatan Anak yang didasarkan pada hukum Islam masih sangat kurang, termasuk mengenai proses legitimasinya dan penyelesaian sengketa di Peradilan atas sengketa pembagian harta peninggalan orang tua angkat. Perlu diteliti bagaimana penerapannya pengangkatan anak oleh umat Islam di Indonesia, akibat hukum dari masingmasing penetapan dan putusan, serta bagaimana pertimbangan hukum masingmasing Hakim dalam menetapkan pengangkatan anak dan memutus sengketa pembagian harta peninggalan tersebut. Dari penelitian yang dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap beberapa penetapan dan putusan lembaga Peradilan diperoleh kesimpulan, bahwa pengangkatan anak yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam maupun hukum positif terkait dengan pengangkatan anak. Oleh karenanya menurut Penulis, sangat penting agar pemerintah bekerja sama dengan instansi terkait untuk membuat suatu peraturan khusus tentang pengangkatan anak bagi umat Islam di Indonesia agar kepastian hukum dapat tercapai. Bagi masyarakat pelaku pengangkatan anak juga agar betul-betul memahami prinsip-prinsip pengangkatan anak berdasarkan ketentuan hukum Islam dan peraturan-peraturan yang terkait, agar memenuhi ketentuan hukum Islam dan hukum positif Indonesia.

The level of understanding of islamic people in Indonesia regarding the Islamic Adoption principles are still below expectation, which also include the understanding of specific requirements from the related departments and Religious (Islamic) Court on adoption legalization process. Not only that, they do not also aware of how to settle conflicts between the adopted child and his/her adoptee family related to the inheritance of the adoptive parents. Therefore, it is so important to reasearch on how the implementation of Islamic Law on Adoption in Indonesia and how the effect of such different legal basis used by the Judges ini settling the conflict and/or legalizing the adoption process. With regard to this matters, the research was conducted based on library research and studying several courts documents and adoption rules in Indonesia, which resulting the fact that the Islamic Adoption Law in Indonesia are not fully implemented. due to lack of understanding ang knowledge of Indonesian Islamic people. The government in this case should work together with the related departments to provide the of Islamic Adoption Laws that is urgently needed to achieve the certainty of adoption law in indonesia. At the same time it is important for those who wants to adopt any children preparing equiped themselves with sufficient knowledge in Islamic and Indonesian adoption law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31449
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Aziman Alhamidy
"Sertipikat Hak atas Tanah merupakan tanda bukti yang kuat untuk kepemilikan atas tanah. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bukti kepemilikan tanah di Indonesia harus didaftarkan sehingga memperoleh sertipikat. Girik hanya menjadi bukti pembayaran pajak atas tanah bukan bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk menjadi bukti kepemilikan atas tanah Girik tersebut harus ditingkatkan terlebih dahulu menjadi Sertipikat Hak atas Tanah. Girik yang tidak ditingkatkan berpotensi akan adanya sengketa kepemilikan, seperti yang terjadi pada kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., dimana terjadi sengketa atas tanah yang melibatkan pemilik Sertipikat Hak atas Tanah dengan pemilik girik. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak semula. Penelitian ini menganalisis bagaimana pertimbangan hakim dan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyatakan Sertipikat Hak atas Tanah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak semula. Metode penelitian yang digunakan adalah metode doktrinal. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk milik Direktorat Jenderal Pajak adalah sah menurut hukum karena dikeluarkan oleh badan yang berwenang yaitu badan pertanahan nasional serta menjadi bukti kepemilikan atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai masa keberatan atas dikeluarkannya Sertipikat Hak atas Tanah memiliki jangka waktu hingga 5 (lima) tahun. Dalam kasus ini gugatan dari pemilik Girik diajukan setelah 28 (dua puluh delapan) tahun dari penerbitan sertipikat. Peradilan umum tidak berwenang untuk menyatakan bahwa Sertipikat Hak atas Tanah tidak memiliki kekuatan hukum tetap sejak semula sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mana kewenangan menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan Badan Pertanahan Nasional selaku penerbit sertipikat berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.

A land title certificate is a strong proof of land ownership. After the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles Regulations, proof of land ownership in Indonesia must be registered in order to obtain a certificate. Girik is only proof of payment of tax on land, not proof of ownership of land rights. To become proof of ownership of the Girik land, it must first be upgraded to a land title certificate. Girik that is not upgraded has the potential for ownership disputes, as happened in the case in the West Jakarta District Court Decision Number 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., where there was a dispute over land involving the owner of the land title certificate and girik owner. In his decision the judge stated that the Right to Use Certificate Number 248/Kebon Jeruk had no binding legal force from the beginning. This research analyzes how the judge's considerations and the authority of the District Court in declaring land title certificates do not have binding legal force from the start. The research method used is the doctrinal method. The results of the research show that the Right to Use certificate Number 248/Kebon Jeruk belonging to the Directorate General of Taxes is valid according to law because it was issued by the authorized body, namely the national land agency and is proof of land ownership in accordance with Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration which regulates regarding the objection period for the issuance of a Certificate of Land Rights, it has a period of up to 5 (five) years. In this case the lawsuit from the owner of Girik was filed after 28 (twenty-eight) years from the issuance of the certificate. General courts do not have the authority to declare that certificates of land rights do not have permanent legal force from the beginning as regulated in Article 11 of the Supreme Court Regulation Number 2 of 2019 concerning Guidelines for Settlement of Disputes on Government Actions and the Authority to Adjudicate Unlawful Acts by Government Agencies and/or Officials. where the authority to resolve land disputes involving the National Land Agency as the certificate issuer rests with the State Administrative Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover