Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kusuma Wardhani Wijayanti
"Kerja sama dan interaksi global untuk menangani kesehatan telah berjalan sejak lama, namun hal tersebut masih terbatas dalam penanganan pandemi. Namun, nyatanya entitas yang mengancam kesehatan bukan hanya dari sisi penyakit. Berangkat dari pengamatan tersebut, diplomasi kesehatan global ada untuk menjembatani celah sebelumnya. Diplomasi kesehatan global bekerja dengan basis pemenuhan kesehatan tertinggi, tidak hanya dalam bentuk respon penyakit saja. Untuk menjamin nilai tersebut, ada pula nilai health equity yang digunakan sebagai pedoman diplomasi kesehatan global dan tercantum pada Revisi International Health Regulations di tahun 2005. Selain itu, diplomasi kesehatan global juga mencakup lingkup keaktoran dan lingkup pengaruh yang luas. Untuk sekarang ini, diplomasi kesehatan global masih terus berkembang dan tergantung pada seberapa banyak tantangan maupun peluang pada cakupan global. Menggunakan 26 literatur dengan metode taksonomi, tinjauan ini dapat dibagi ke dalam tiga segmen pembahasan utama, yaitu (1) Konseptualisasi diplomasi kesehatan global, (2) Aktor diplomasi kesehatan global, dan (3) Dampak dari diplomasi kesehatan global. Tinjauan literatur ini juga menelisik konsensus, perdebatan, dan celah yang ada dalam perkembangan pembahasan diplomasi kesehatan global. Dengan melihat kajian ini masih bersifat baru, tentunya ada celah-celah yang ditemukan. Salah satunya adalah, ditemukannya diplomasi kesehatan global masih terkungkung pada interaksi dengan keaktoran arus utama dan kecenderungan pada kajian negara barat.

Interaction and cooperation on behalf of global health have been going on for a long time, albeit most of the time only limited for handling pandemics. However, disease and pandemics are not supposed to be the sole threat to global health. Thus, global health diplomacy emerged to bridge the previous gap. Global health diplomacy is functioning on the behalf of the highest attainable standard of health under the provision of Revised International Regulations 2005. On the other hand, global health diplomacy also encompasses wide range of actors and related entities. Until these days, global health diplomacy is still evolving and depends on how many threats and opportunities that emerge from the global scope. From using 26 literatures and taxonomy methods, there are three main discussion segments in the study of global health diplomacy, specifically: (1) conceptualization of global health diplomacy, (2) actors from global health diplomacy, and (3) the impact from global health diplomacy. This literature also examines context, length, and gaps that exist in the realm of global health diplomacy. There are lots of gaps to be found, reflecting from this study is categorized as a contemporary discussion. In addition, global health diplomacy is still confined to interactions between mainstream actors and western studies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wispriyono
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
PGB-PDF
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anissa Sherly Rahma
"Diplomasi vaksin adalah bagian dari diplomasi kesehatan global mengacu pada penggunaan maupun pengiriman vaksin dengan keterlibatan berbagai macam aktor. Diplomasi vaksin menyasar ancaman paling dasar manusia, yakni kesehatan. Momentum besar diplomasi vaksin ketika COVID-19 menelan korban jiwa daripada yang dilaporkan secara resmi. Merefleksikan peristiwa tersebut, kepemimpinan dan tata kelola kesehatan global menjadi momok yang dipertanyakan dalam penanganan wabah. Tulisan ini menggunakan 27 literatur dengan metode taksonomi yang dibagi dalam empat segmen (1) Konseptualisasi Diplomasi Vaksin, (2) Motivasi Diplomasi Vaksin, (3) Tujuan Diplomasi Vaksin, (4) Tantangan Diplomasi Vaksin. Temuan tulisan ini berupa tiga poin. Pertama, diplomasi vaksin menghasilkan praktik diplomasi konkret berupa pola persaingan dan ketergantungan. Kedua, diplomasi vaksin dipersepsikan sebagai medium pemenuhan kepentingan politik. Ketiga, vaksin sebagai barang primer karena sifatnya yang preventif menjadi medium unik serta efektif di tengah konflik dan kontestasi politik termasuk penggunaanya oleh rising power untuk menantang posisi hegemoni. Saat Covid-19, sifat alamiah vaksin didorong dengan serangkaian fragmentasi antara negara Barat dan Selatan menciptakan diplomasi vaksin yang timpang maupun berdampak pada adanya relasi kuasa antara negara produsen atau pendonor dengan penerima. Penimbunan vaksin Covid-19 marak dilakukan oleh negara Barat maupun produsen kawasan Selatan yang mengikat penerima donor di kawasan Asia, Eropa, dan Afrika dengan intensi politiknya.

Vaccine diplomacy is part of global health diplomacy, referring to the use and delivery of vaccines with the involvement of various actors. Vaccine diplomacy targets the basic human threat, namely health. Momentum of vaccine diplomacy reach when COVID-19 claimed more lives than officially reported, thus leadership and global health governance are questionable in handling the outbreak. This paper uses 27 literatures with a taxonomy method divided into four segments (1) Conceptualization, (2) Motivation, (3) Objectives, (4) Challenges. The findings of this paper are three points. First, vaccine diplomacy produces concrete diplomatic practices in the form of competition and dependency patterns. Second, vaccine diplomacy is perceived as a medium for fulfilling political interests. Third, vaccines as primary goods become unique and effective medium for settling conflict due to their preventive nature, including the usage by rising powers to challenge hegemonic positions. During Covid-19, the nature of vaccines was driven by a series of fragmentation between Western and Southern countries creating unequal vaccine diplomacy and impacting on the power relations between producer or donor countries and recipients. Hoarding of Covid-19 vaccines is rampant by Western countries and Southern producers who bind donor recipients in Asia, Europe and Africa with their political intentions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pahruroji
"Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi permasalahan kesehatan global. Indonesia menempati peringkat kedua kasus TBC tertinggi di dunia setelah India, diikuti Cina, menjadikan penyakit TBC sebagai isu kesehatan yang mendesak untuk segera ditangani. Namun, pemerintah Indonesia baru mengadopsi kebijakan penanggulangan TBC melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 Tahun 2021, meskipun bantuan dari Global Fund telah tersedia sejak tahun 2003. Kelambanan ini mengindikasikan terdapat dinamika ekonomi politik internasional dan nasional dalam merespon isu tersebut. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor penyebab kelambanan tersebut dengan menggunakan teori difusi norma dari Finnemore dan Sikkink (1998). Pendekatan kualitatif diterapkan dengan metode studi kasus dan process tracing . Data diperoleh melalui analisis dokumen resmi, kajian literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adopsi kelambanan hadirnya kebijakan pemerintah dalam penanganan TBC dipengaruhi oleh lemahnya kesadaran politik, hambatan birokrasi, dan prioritas kebijakan yang berubah-ubah. Proses difusi norma melalui tahapan emergence, cascade, dan internalization memakan waktu lama akibat resistensi internal dan pandemi COVID-19. Namun, tekanan internasional dari WHO, Global Fund, dan USAID ditambah advokasi dari masyarakat sipil, akhirnya mendorong pemerintah untuk menerbitkan Perpres No. 67 Tahun 2021. Implementasi kebijakan ini mencerminkan keberhasilan internalisasi norma kesehatan global dalam waktu yang lama. Selain itu, implementasinya masih menghadapi tantangan koordinasi dan pendanaan. Pendekatan multisektoral dan berbasis komunitas menjadi kunci keberhasilan penanggulangan TBC di Indonesia.

Tuberculosis (TB) is one of the infectious diseases that constitutes a global health issue. Indonesia ranks second in the world for the highest TB cases following India and ahead of China, making TB an urgent health issue that requires immediate attention. However, the Indonesian government only adopted a TB eradication policy through Presidential Regulation (Perpres) No. 67 of 2021, despite support from the Global Fund being available since 2003. This delay indicates the presence of international and national political-economic dynamics in responding to the issue. This research aims to analyze the factors causing the delay using the norm diffusion theory by Finnemore and Sikkink (1998). A qualitative approach was employed, utilizing case study and process tracing methods. Data were gathered through the analysis of official documents, literature reviews, and in-depth interviews. The findings reveal that the delay in adopting government policies to address TB was influenced by weak political awareness, bureaucratic obstacles, and shifting policy priorities. The norm diffusion process, encompassing the stages of emergence, cascade, and internalization, took a prolonged time due to internal resistance and the COVID-19 pandemic. However, international pressure from WHO, the Global Fund, and USAID, combined with civil society advocacy, eventually pushed the government to issue Perpres No. 67 of 2021. The implementation of this policy reflects the successful internalization of global health norms over an extended period. Additionally, its implementation continues to face challenges related to coordination and funding. A multisectoral and community-based approach remains key to the successful eradication of TB in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library