Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karman
Abstrak :
Demokrasi yang mempromosikan nilai kesetaraan, keadilan, rasionalitas dan imparsialitas menghadapi tantangan yang bersumber dari praktik penggunaan kesalehan agama. Aktor politik yang bersaing dalam kontestasi politik melakukan komodifikasi dengan cara mengekstensifkan kesalehan mereka dalam praktik penggunaan bahasa. Media sosial salah satunya Twitter menjadi kanal ekstensi kesalehan mereka. Praktik komodifikasi ini menjadikan agama/kesalehan sebagai alat memenangkan kontestasi politik, termasuk kontestasi presiden dan wakil presiden 2019. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi praktik komodifikasi ekstensi kesalehan aktor politik dalam kontestasi pemilihan 2019. Tujuan detail penelitian ini adalah: (1) Menemukan bentuk-bentuk komodifikasi ekstensi kesalehan calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 dalam pesan-pesan yang mengandung komodifikasi ekstensi kesalehan Islam selama kontestasi pemilihan presiden 2019 melalui penggunaan bahasa di akun Twitter mereka; (2) Menggambarkan aspek-aspek kesalehan Islam yang dikomodifikasi oleh calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 selama masa kontestasi pemilihan presiden 2019 melalui penggunaan bahasa di akun Twitter mereka; (3) Menggambarkan orientasi calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 dalam pesan-pesan yang mengandung komodifikasi ekstensi kesalehan selama masa kontestasi pemilihan presiden 2019 melalui penggunaan bahasa di akun Twitter mereka. Penelitian ini menggunakan konsep Komodifikasi Mosco. Konsep ini menjadi pintu masuk dalam kajian ekonomi politik kritikal. Dengan pendekatan kualitatif dan metode Analisis Multimodalitas terhadap pesan kandidat calon presiden dan wakil presiden 2019, penelitian ini menemukan bahwa aktor politik melakukan komodifikasi ekstensi kesalehan dalam bentuk: Komodifikasi Developmentalisme Berbasis-Kesalehan, Komodifikasi ekstensi kesalehan personal-berorientasi sosial, komodifikasi ultra-nasionalisme Berbasis Islamisme, komodifikasi Negara-Sejahtera berdasarkan Islamisme. Penelitian menyimpulkan bahwa komodifikasi ini dengan komodifikasi kesalehan instrumental dalam politik Indonesia. Komodifikasi ini tidak menempatkan kesalehan sebagai tujuan. Sebaliknya, kesalehan sebagai alat untuk tujuan sebenarnya. Dalam kontestasi politik, komodifikasi ini memproduksi nilai tukar elektoral melalui ekstensi komoditas imaterial kesalehan yang berpotensi meningkatkan elektoral. Aktor politik melakukan Komodifikasi kesalehan instrumental melalui peneguhan kapital mereka dan mengasosiasikannya dengan komoditas imaterial kesalehan. Kapital mereka sebagai kandidat politik ber-interplay dengan kesalehan ......Democracy that promotes the values of equality, justice, rationality, and impartiality faces challenges stemming from the practice of using religious piety. Political actors who compete in political contestations carry out commodification by extending their piety in the practice of language usage. Social media (in this case Twitter) transmit their piety extensions. This commodification practice makes religion/piety a tool to win political contestations, including the 2019 presidential and vice-presidential contests. This study aims to evaluate the practice of commodifying the piety extension of political actors in the 2019 election contestation. There are four objectives in this research. They are (1) to Find forms of commodification of the piety extensions of the 2019 president and vicepresident candidates in their messages containing the commodification of Islamic piety extensions during the 2019-presidential election contestation through the use of language on their Twitter accounts; (2) to describe aspects of Islamic piety commodified by the 2019 president and vice-president candidates during the 2019 presidential election contestation through the use of language on their Twitter accounts; (3) to describe the orientation of the 2019 president and vice-president candidates in their messages containing the commodification of piety extensions during the 2019 presidential election contestation period through the use of language on their Twitter accounts. This study uses the concept of Commodification introduced by Vincent Mosco. This concept becomes an entry point in the study of critical political economy, including the political economy of communication). By using a qualitative approach and the Multimodality Analysis method toward political candidate's postings, this study find that political actors commodify Islamic piety extensions which are categorized into four models. They are commodification of piety-based developmentalism, commodification of socialoriented personal piety, commodification of Islamism-based Ultranationalism, commodification of Islamism-based Welfare State. The study concludes that this commodification with the commodification of instrumental piety in Indonesian politics. This commodification does not place piety as a goal but as an instrument to their political goals. In a political contest, this commodification produces an electoral exchange rate through the extension of the immaterial commodity of piety that has the potential to increase electoral power. Political actors carry out the commodification of instrumental piety through strengthening their capital and associating it with the immaterial commodity of piety. Their capitals as political candidate interplay with piety
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Semarang: UNNES PRESS, 2024
273.7 MEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Saputra
Abstrak :
Gerakan dakwah Islam menjadi kajian yang menarik untuk selalu dibahas. Pasca Soeharto 1998, gerakan dakwah di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat signifikan di berbagai ruang publik. Seperti kampus, sekolah, rumah ibadah dan media sosial. Hal ini disebabkan keran demokrasi semakin terbuka lebar, sehingga aktor dakwah semakin leluasa mengekspresikan gerakan Islam ke ruang publik dengan caranya sendiri. Menariknya, gerakan dakwah di Indonesia selalu menampilkan cara baru bagaimana aktivitas dakwah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Tulisan ini ingin menelisik tentang bagaimana gerakan dakwah berbasis pasar Islam dilakukan oleh Rafa Muslim Fashion, bagian dari Rafa Group sebagai pusat publikasi terbesar Jaringan Islam (JI) di Solo. Penulis berargumen bahwa gerakan dakwah berbasis pasar Islam yang dilakukan oleh Rafa Muslim Fashion membentuk praktik kesalehan, pasar Islam dan ideologi Islam. Tulisan ini penting dibahas untuk melihat bagaimana gerakan dakwah berbasis pasar Islam dilakukan. Sebelumnya, para sarjana masih belum banyak membahas tentang bagaimana gerakan dakwah berorientasi pada pasar Islam. Hasil dari setudi ini menunjukan bahwa kemunculan gerakan dakwah berbasis pasar Islam sebagai alternatif gerakan dakwah baru membentuk kesalehan, persaingan pasar, dan ideologi keislaman.
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2019
297 JPAM 32:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Qurrota A`yunin
Abstrak :
Penelitian ini menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi telah menyediakan ruang kontestasi bagi nilai-nilai dan praktik-praktik pendisiplinan tubuh. Bartky (1990) mendefinisikan pendisiplinan tubuh sebagai konstruksi atas standar tubuh dan subjek perempuan yang ideal dengan memproduksi tubuh dengan gerakan dan penampilan yang dianggap feminin. Dengan menggunakan konsep teoretis komodifikasi kesalehan, dalam artian menambahkan nama merk Islami (semacam modal kesalehan baru) untuk menjelaskan pemasaran komoditas (Shirazi, 2016), penelitian ini berargumen bahwa dengan menggunakan platform sosial media Instagram (IG), perempuan-perempuan niqabis yang berprofesi sebagai selebriti dan memiliki usaha busana muslim telah memodifikasi nilai-nilai kesalehan mengenai ketubuhan perempuan dalam konteks Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang akan fokus pada data berupa teks yaitu foto dan caption dalam postingan platform sosial media instagram (IG). Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana kelompok perempuan niqabis melakukan praktikpraktik komodifikasi nilai kesalehan perempuan yang dimaknai secara tunggal dan kaku sehingga dapat membentuk pendisiplinan tubuh perempuan muslim. Penelitian ini membahas bagaimana ideologi pendisiplinan tubuh perempuan melalui penggunaan niqab pada dasarnya merupakan salah satu bentuk performativitas yang masih diperdebatkan dalam konteks Islam di Indonesia. Perempuan kelompok niqabis pada dasarnya memanipulasi kesalehan perempuan dalam konteks Islam yang sebenarnya ramah dan bersifat tidak kompulsif mengenai aturan ketubuhan perempuan. Manipulasi kesalehan tersebut bermuatan pendisiplinan tubuh perempuan muslim yang disesuaikan dengan misi ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi femininitas terbangun melalui interpretasi kesalehan niqabis di Instagram yang mendisiplinkan tubuh perempuan muslim dengan cara berpakaian lebih tertutup. Hal itu dinilai sebagai norma kehormatan bagi perempuan muslim di mana cadar atau niqab digunakan sebagai sarana atau ‘ornamented surface’ dalam perwujudan norma tersebut. Penelitian ini juga mengelaborasi bahwa niqabis dalam Instagram memanfaatkan nilai kesalehan tersebut untuk membangun brand islami, yang secara tidak disadari juga mengandung propaganda pengaturan tubuh perempuan muslim. Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan muslim dihadapkan pada kategorisasi terbatas mengenai ketubuhannya. Niqab menjadi faktor pembentukan norma gender feminine yang dilekatkan pada tubuh perempuan muslim di Indonesia sebagai standar ideal kesalehan perempuan dalam konteks Islam. Selain itu, terdapat proses komodifikasi pada nilai-nilai yang dikonstruksi melalui media sosial Instagram. Proses tersebut tidak hanya melibatkan niqab dan pesan kesalehan saja melainkan juga tubuh perempuan yang dijadikan sebagai komoditas untuk mendongkrak penjualan produk busana muslim. Pada akhirnya, nilai-nilai kesalehan dalam sebuah iklan busana muslim yang sebenarnya tidak mendisiplinkan tubuh perempuan muslim tampak sebagai kesalehan tunggal dan dipaksakan. Kesalehan dalam konteks Islam yang ramah dan memberikan beragam pilihan dalam hal ketubuhan perempuan muslim, dalam hal ini, dipersempit dalam interpretasi yang kaku dan dialih-fungsikan sebagai media periklanan pada platform media sosial Instagram yang secara jelas bersifat komersil dan dapat menggiring pada praktik konservatisme dan bahkan ekstrimisme beragama. ...... This research elaborates how technological developments have provided a space for contestation of the values and practices of disciplinary bodies. Bartky (1990) defines body discipline as a construction of the ideal female body and subject standards by producing bodies with movements and appearances that are considered feminine. By using the theoretical concept of piety commodification, in the sense of adding an Islamic brand name (a kind of new piety capital) to explain commodity marketing (Shirazi, 2016), this study argues that by using the Instagram social media platform (IG), niqabis women who work as celebrities and own Muslim fashion businesses have modified piety values regarding the female body in an Islamic context. This study uses a qualitative approach, which will focus on data in the form of text, which are photos and captions in posts on the Instagram social media platform (IG). This study aims at showing how groups of niqabis women carry out the practices of commodifying the values of female piety which are interpreted singly and rigidly so that they can form discipline in the body of Muslim women. This research discusses how the ideology of disciplining women's bodies through the use of the niqab is basically a form of performativity that is still being debated in the context of Islam in Indonesia. Niqabis women group basically manipulate women's piety in an Islamic context which is actually friendly and is not compulsive about the rules of the female body. This piety manipulation involves disciplining Muslim women's bodies according to the economic mission. The results showed that the construction of femininity was built through the interpretation of piety of niqabis on Instagram which disciplines Muslim women's bodies by dressing more closed. It is considered as a norm of honor for Muslim women where the veil or niqab is used as a means or an “ornamented surface” in the embodiment of the norm. This research also elaborates that the niqabis on Instagram utilizes these piety values to build an Islamic brand, which unconsciously also contains propaganda for regulating the body of Muslim women. The conclusion in this study shows that Muslim women are faced with a limited categorization of their bodies. The niqab is a factor in the formation of feminine gender norms that are embedded in the body of Muslim women in Indonesia as the ideal standard of female piety in the context of Islam. In addition, there is a process of commodification of values constructed through Instagram social media. This process does not only involve the niqab and messages of piety but also women's bodies which are used as commodities to boost sales of Muslim clothing products. In the end, the values of piety in a Muslim fashion advertisement that actually do not discipline the Muslim woman's body appear to be single piety and are forced. Piety in an Islamic context that is friendly and provides various choices in terms of the body of Muslim women, in this case, is narrowed down in a rigid interpretation and is converted as an advertising medium on the Instagram social media platform which is clearly commercial in nature and can lead to conservatism and even practices of religious extremism.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfin Muakip
Abstrak :
Madrasah menjadi salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki sejarah panjang. Selain madrasah, terdapat juga pondok pesantren yang mayoritas berdiri bersama madrasah. Dengan perkembangan yang ada saat ini, madrasah menjadi salah satu pilihan oran tua dibanding sekolah umum. Fenomena Islamisasi ditambah lagi dengan berkembangnya modernisasi menjadi salah satu pendorong para orang tua untuk memasukkan anaknya ke madrasah. Namun, di sisi lain terdapat faktor-faktor yang memengaruhinya. Aktor sosial yang bergerak dengan berbagai idiologi yang diyakininya menjadi satu poin utama yang merubah paradigma tentang tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Sektor-sektor agama baik itu berupa organisasi dan ajaran agama telah banyak memengaruhi berjalannnya proses pengajaran di sebuah lembaga pendidikan. An-Nawawi Sarwodadi dengan tiga lembaga yang ada, menjadi salah satu Yayasan yang ikut dalam arus perkembangan pendidikan di Indonesia. Fenomena kesalehan dan proyek-proyek pendidikan yang ada akhirnya membuat pemahaman tentang pendidikan berbeda dibanding dengan pendidikan umum. Saya menggunakan metode kualitatif dan pendekatan etnografi untuk menghimpun data penelitian. Tulisan ini menggunakan konsep Educational Project dan Piety Project untuk menjelaskan berjalannya sistem lembaga baik pengajaran, kurikulum, aktor-aktor dan idiologi yang berjalan di An-Nawawi Sarwodadi. ......Madrasah becomes one of an educational institution in Indonesia which has a long history, besides a madrasah, there’s also an Islamic boarding school which most of it was built along with the madrasah. With the current development, madrasah becomes one of parents choice compared to other public schools. Islamization phenomenon coupled with the development of modernization becomes one of a promoter to the parents to schooling their child to the madrasah. But on the other side, some factors could affect it. A social actor who moves with their various ideologies becomes one of the main points that could change the paradigm about educational purposes that wants to achieve. The religious sectors either in the form of organization and religious teachings have greatly influenced the teaching process in an educational institution. An-Nawawi Sarwodadi with the three institutions available becomes one of the institutions which takes part in educational development in Indonesia. The phenomenon of piety and the educational projects available make the understanding of education different compared to public education. I am using the qualitative method and ethnography approach to accumulate the research data. This writing uses the concept of educational project and piety project to explain the operation of the system either the teachings, curriculum, actors, and ideologies running in An-Nawawi Sarwodadi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadilla Dwianti Putri
Abstrak :
Penelitian ini berangkat dari adanya proses penyebarluasan narasi-narasi tentang kesalehan, ibuisme, dan mitos feminin yang mendorong domestikasi perempuan Muslim milenial di Jabodetabek. Penelitian ini melihat bagaimana proses domestikasi tersebut dilakukan, dan menjelaskan bagaimana perempuan Muslim milenial merekonstruksi konsep perempuan salihah melalui pengalaman mereka. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam, observasi, kajian pustaka, dan life story. Subjek penelitian ini adalah lima orang perempuan Muslim yang telah menikah, memiliki anak, berusia 27-42 tahun (generasi milenial), berlatar pendidikan tinggi, dan pernah bekerja formal sebelumnya. Penelitian ini dianalisis menggunakan tiga teori, yaitu teori feminine mystique dari Betty Friedan, teori ibuisme dari Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis yang dikembangkan oleh Julia Suryakusuma menjadi ibuisme negara, dan teori agensi oleh Saba Mahmood. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses domestikasi pada perempuan Muslim milenial berhasil terjadi melalui narasi-narasi keagamaan yang konservatif, dan situasi ini menjadi pengalaman reflektif bagi perempuan karena mereka kehilangan kemandirian ekonomi dan identitas diri. Pengalaman domestikasi membuat perempuan milenial menemukan agensinya karena keberhasilan perempuan dalam merefleksikan makna baru tentang konsep kesalehan. Mereka juga mampu memaksimalkan agensinya untuk mempertahankan identitas dan kontrol diri sebagai seorang perempuan. Reinterpretasi atas konstruksi perempuan salihah berubah dari yang dogmatis menjadi kritis, dari posisi yang subordinat menjadi setara. Perempuan berhasil memperoleh identitas dan otonomi melalui kesadaran tentang aktualisasi diri, relasi dengan suami, dan cara-cara lain untuk mencapai kepentingan diri. Dengan demikian, perempuan Muslim milenial memiliki pemaknaan baru tentang konstruksi kesalehan yang sejalan dengan kepentingannya dan tujuan yang ingin ia capai. ......This study departs from the propagation of narratives surrounding piety, ibuism, and feminine myths that drive the domestication of Muslim millennial women in the Jabodetabek area. The research aims to examine how this domestication process occurs, and analyze how millennial Muslim women reconstruct the concept of pious women through their lived experiences. Employing qualitative research methods such as in-depth interviews, observation, literature review, and life story analysis, the study focuses on five married Muslim women aged 27-42 (millennial generation) with a background in higher education and previous formal employment. The research is framed by three theoretical perspectives: the feminine mystique theory by Betty Friedan, ibuism theory by Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis that is later developed into state ibuism by Julia Suryakusuma, and agency theory by Saba Mahmood. The findings reveal that the domestication process among millennial Muslim women is successfully facilitated through conservative religious narratives, and it becomes a reflective experience for women as they lose economic independence and self-identity. However, this domestication experience does not hinder millennial women from finding new meanings about the concept of piety. They demonstrate the ability to maximize their agency to preserve their identity and self-control as women. The reinterpretation of the pious women construction transforms from dogmatic to critical, and from subordinate to equal position. Women have successfully regained their identity and autonomy through self-actualization awareness, relations with their husbands, and alternative means to achieve personal interests. Thus, millennial Muslim women have developed a new understanding of the concept of piety that align with their interests and goals.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library