Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai Pengembalian Aset (Asset Recovery) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/PID.SUS/2018 dan No. 2486 K/PID.SUS/2017). Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan dua masalah pokok, yakni: pertama, bagaimana prinsip-prinsip terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; dan kedua, bagaimana penerapan peraturan terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya sebatas penyitaan, perampasan, pidana uang pengganti, dan gugatan perdata, dan belum dapat menjangkau aset-aset hasil tindak tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menaruh fokus perhatian pada upaya memenjarakan pelaku daripada upaya pengembalian aset. Selain itu, Upaya pengembalian aset dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017 dinilai belum berhasil, yang ditandai dengan minimnya aset hasil tindak pidana korupsi yang berhasil dikembalikan kepada negara untuk pemulihan kerugian keuangan negara. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga mengedepankan upaya pengembalian aset dan mengadopsi prinsip-prinsip pengembalian aset sebagaimana diatur dalam UNCAC 2003. Selain itu, diperlukan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai pengembalian aset yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga mempermudah upaya pengembalian aset.
This thesis presents the results of research or studies on Asset Recovery in Corruption Cases (Case Study of Corruption Case in Supreme Court Decision No. 1318 K/PID.SUS/2018 and No. 2486 K/PID.SUS/2017). The problem which is the object of research in this thesis is related to two main problems, namely: first, how the principles are related to asset recovery in the legislation concerning the eradication of corruption in Indonesia; and second, how the application of regulations related to asset recovery contained in the legislation concerning the eradication of corruption in corruption cases in the Supreme Court Decisions No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusions obtained from this study are that the provisions for returning assets regulated in the legislation concerning eradicating criminal acts of corruption are limited to confiscation, forfeiture, criminal replacement money, and civil lawsuits, and have not been able to reach assets resulting from criminal acts of corruption stationed abroad. Regulations in the Law on Combating Corruption have focused more attention on efforts to imprison perpetrators rather than efforts to recover assets. In addition, efforts to recover assets in corruption cases in the Supreme Court Decree No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017 is considered unsuccessful, which is marked by the lack of assets recovered resulting from criminal acts of corruption that were successfully returned to the state for recovery of state financial losses. Based on this research, it is necessary to update the Law on the Eradication of Corruption so it puts forward efforts to recover assets and adopt the principles of asset recovery as regulated in UNCAC 2003. In addition, there is a need for unification of the provisions regarding asset recovery scattered in several regulations legislation to facilitate efforts to recover assets.
Kajian ini membahas konsep peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang dikenal dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang belum dilaksanakan, khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi yang berfokus pada pengembalian kerugian keuangan negara. Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia belum dapat menanggulangi tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal mengembalikan kerugian negara secara signifikan. Walaupun sudah banyak sekali ketentuan penegakan hukum dan kebijakan pemerintah terkait dengan penanganan korupsi, namun pada kenyataannya penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penelitian ini juga mengkaji dapatkah Sistem Peradilan Pidana Indonesia mengakomodir konsep Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement (DPA) pada tindak pidana korupsi yang berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan negara serta bagaimana model yang tepat pada tindak pidana korupsi di Indonesia. Juga, memprediksi implikasinya (keuntungan dan kerugian) jika diterapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, prinsip, konsep, teori, doktrin, putusan kasus, institusi hukum, masalah hukum, isu atau pertanyaan atau sebuah kombinasi diantara semuanya. Hasil kajian menemukan bahwa saat ini pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi dilakukan dengan mekanisme perampasan aset dengan putusan pidana terlebih dahulu kepada terdakwa dan diikuti penyitaan aset hasil korupsinya atau dikenal sebagai conviction based asset forfeiture. Selain mekanisme tersebut sudah berlaku pula perampasan aset dengan mekanisme hukum perdata yang hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus tertentu saja misalnya ketika tersangka/terdakwa meninggal dunia. Temuan dari disertasi ini Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement merupakan bentuk kongkrit dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan dan dapat diterima dan diterapkan dengan sejumlah penyesuaian untuk Indonesia khususnya pada tindak pidana korupsi yang berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan negara. Model ini juga sudah diterapkan di negara Civil Law lainnya, sebagai implikasi adanya konvergensi sistem hukum. Dari sisi tujuan pemidanaan, model yang diusulkan ini lebih sesuai dengan tujuan pemidanaan rehabilitasi bagi pelakunya dan restorasi untuk pemulihan kerugian negara.
This research explores the concept of simple, fast, and low-cost justice in Indonesian criminal justice system that has not been implemented especially in handling corruption that focuses on recover state financial losses. The handling of corruption offence in Indonesia has not yet been able to overcome the loss from corruption, specifically in terms of restoring a significant state loss. Notwithstanding with a long list of established law enforcement and government policies relating to the matter, management of corruption has not gone simple, speedy and light expenses. This research also reviews as to whether the Indonesian criminal justice system can accommodate the Plea Bargaining and Deferred Prosecution Agreement (DPA) for the corruption offences which orientated to restore the state loss and what is the best and compatible model for Indonesia. This study also predicts their implication if applied (advantages and disadvantages). This research use a qualitative methode which systematically explores the laws, principles, concepts, theories, doctrines, judgments, law institutions, legal problems, legal issues, questions or any of its combinations. This study finds that the restoration of state loss from corruption currently being done through assets seizure mechanism post criminal judgment, which also recognised as a “conviction based asset forfeiture”. The matter becomes more complicated when the corruption actors fly abroad and has no intention to cooperate to solve the relevant corruption case. Another method regulated under UNCAC and StAR Initiative is the non-conviction based asset forfeiture (NCB) which has no legal basis in Indonesia to date. The findings of this dissertation on plea bargaining and deferred prosecution agreements are concrete forms of simple, fast and low cost principles and can be accepted and applied with a number of adjustments for Indonesia, particularly in the case of corruption that is oriented to the return of state financial losses. This model has also been applied in other Civil Law countries, as an implication of the convergence of the legal system. In terms of the purpose of punishment, the proposed model is more in line with the philosophy of rehabilitation for perpetrators and restoration of state losses.