Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Perpetua Graciana Kanta
"Skripsi ini membahas mengenai hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi immateriil. Permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam skripsi ini adalah ketentuan Pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha apakah mencakup bentuk ganti rugi immateriil bagi konsumen atau tidak dan mekanisme agar konsumen dapat mengajukan ganti kerugian immateriil. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, bahan hukum primer, sekunder, dan tertier, Undang-Undang, Putusan BPSK dan Pengadilan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan Pasal 19 UUPK mengakui semua kerugian termasuk kerugian immateriil merupakan hak konsumen. Pasal 19 mengatur pula kerugian immateriil yakni dalam bentuk santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Santunan dalam hal ini termasuk kerugian immateriil karena merupakan tanggung jawab moril pelaku usaha yang bukan merupakan kerugian nyata tetapi jumlahnya diatur oleh peraturan perundang-undangan. Konsumen dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian melalui BPSK atau Peradilan namun kerugian immateriil tidak dapat dikabulkan oleh BPSK karena BPSK hanya mengabulkan kerugian materiil saja dan tujuan utama pembentukan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen secara singkat, sederhana dan murah. Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu merubah UUPK dengan menambahkan ketentuan bahwa pengajuan tuntutan kerugian immateriil kepada Pengadilan Negeri. Konsumen yang ingin mendapatkan ganti kerugian immateriil lebih tepat mengajukan gugatan melalui Peradilan agar BPSK tetap melaksanakan tugas penyelesaian sengketa secara cepat, singkat, dan murah.

This study focuses on the consumer's right for granting immaterial loss compensation. The research discusses about whether Article 19 of Consumer Protection Law CPL regulates immaterial loss compensation as well as the mechanism to file a claim for immaterial loss compensation. The method used in this study is juridical normative study by using secondary data, primary legal material, secondary and tertiary such as, CPL, verdict of BPSK and court decisions. The research finds that Article 19 of CPL recognizes all types of consumer's loss including immaterial loss. Article 19 of CPL regulates immaterial loss in the form of sympathetic care santunan in accordance with the regulations. Sympathetic care in this case belongs to immaterial loss as it is a moral responsibility of the business actors which is not a real loss yet the amount of the loss is regulated by the laws. The consumer is able to file claims for his her compensation through BPSK as the alternatives dispute resolution or court. However, BPSK is not able to grant the consumer's immaterial loss since BPSK only grants the consumer's material loss. That is because primarily BPSK is established to dispute resolution in a quick, simple, and low cost way. Furthermore, this study recommends the revision of CPL by putting stipulation to file the claim for immaterial loss compensation to the Court. That stipulation is a guarantee to the consumer's right of protection for immaterial loss. Any consumer who wants to file claim for immaterial loss compensation may go through the Court. Therefore, BPSK as an institution still runs its function to dispute resolution in a quick, simple, and low cost mechanism."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68742
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Margaretha Nova Tesalonika
"Tulisan ini menganalisis bagaimana para Majelis Hakim dalam Putusan PT Kupang Nomor 14/PDT/2023/PT KPG dan Putusan PN Subang Nomor 45/PDT.G/2019/PN SNG memutus gugatan ganti kerugian immateriil dalam perkara ingkar janji untuk mengawini sebagai perbuatan melawan hukum. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dalam KUHPerdata, janji untuk mengawini diatur dalam Pasal 58 yang mengatur bahwa tidak dapat dituntut untuk dilaksanakannya perkawinan maupun penggantian biaya, kerugian, atau bunga terhadap suatu janji untuk mengawini, kecuali jika janji untuk mengawini tersebut telah diikuti oleh suatu pengumuman. Janji untuk mengawini yang belum diikuti oleh pengumuman namun diingkari oleh pemberi janji dapat digugat sebagai perbuatan melawan hukum, dengan syarat telah terpenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam perbuatan tersebut. Perbuatan ingkar janji untuk mengawini dapat menimbulkan kerugian materiil maupun kerugian immateriil. Dalam hukum positif Indonesia, landasan dan penghitungan gugatan ganti kerugian immateriil pada suatu perkara perbuatan melawan hukum diserahkan sepenuhnya pada subjektivitas hakim dengan prinsip ex aequo et bono. Pada Putusan PT Kupang Nomor 14/PDT/2023/PT KPG dan Putusan PN Subang Nomor 45/PDT.G/2019/PN SNG, para Majelis Hakim memiliki perbedaan pertimbangan mengenai gugatan ganti kerugian immateriil dalam perkara ingkar janji untuk mengawini yang dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Pada hasil penelitian penulisan ini, Penulis setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim PN Subang yang mengabulkan sebagian gugatan ganti kerugian immateriil meskipun belum terdapat pengaturannya yang jelas dalam hukum positif Indonesia. Majelis Hakim PN Subang mempertimbangkan yurisprudensi terkait dan fakta-fakta dalam persidangan untuk mewujudkan bentuk pertanggungjawaban Tergugat atas kerugian immateriil yang ditimbulkan dari perbuatannya. Berbeda dengan pertimbangan Majelis Hakim PT Kupang yang menolak gugatan ganti kerugian immateriil sepenuhnya tanpa mempertimbangkan yurisprudensi terkait dan fakta-fakta dalam persidangan, telah memperlihatkan bahwa Majelis Hakim PT Kupang belum menerapkan prinsip ex aequo et bono dengan baik guna mewujudkan keadilan.

This paper analyzes the decision of the Kupang High Court Decision Number 14/PDT/2023/PT KPG and the Subang District Court Decision Number 45/PDT.G/2019/PN SNG on the claim for immaterial compensation in cases of false promises upon marriage as acts of tort. The study is conducted using the doctrinal research method. In the Indonesian Civil Code, a promise to marry is regulated in Article 58 which states that no claim can be made for the performance of the marriage or compensation for costs, losses, or interest on a promise to marry unless the promise has been followed by an announcement. A promise to marry that has not been followed by an announcement but is denied by the promisee can be sued as an act of tort, provided that the elements of an act of tort in the act have been fulfilled. False promises upon marriage can result in material or immaterial losses. The basis and calculation of claims for immaterial compensation in acts of tort are left to the judge's subjectivity with the principle of ex aequo et bono. The author agrees with The Subang District Court Panel of Judges that granted some claims for immaterial compensation, considering the related jurisprudence and facts in the trial to realize the defendant's form of responsibility for immaterial losses arising from their actions. In contrast, the Kupang High Court Panel of Judges rejected the claim for immaterial compensation completely without considering the relevant jurisprudence and facts in the trial. The study demonstrates that the Kupang High Court Panel of Judges has not properly applied the ex aequo et bono principle to achieve justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rena Pranidana
"ABSTRAK
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Namun
dalam praktiknya pada zaman sekarang, tuntutan ganti rugi yang diajukan tidaklah
selalu dikabulkan oleh Majelis Hakim. Kondisi ini sangatlah berbeda jika
dibandingkan pada era 1980 s.d. 1990-an, dimana gugatan ganti rugi kepada pihak
yang terbukti bersalah melakukan tindak perbuatan melawan hukum khususnya
penipuan dalam perkawinan cenderung banyak dikabulkan. Oleh karena itu tujuan
diadakannya penelitian ini adalah untuk memahami konsep pertimbangan Majelis
Hakim dalam memutus perkara terkait permintaan ganti rugi penipuan dalam
perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), perbandingan (comparative
approach) dan pendekatan kasus (case approach). Berdasarkan hasil penelitian,
dikarenakan kurangnya penegasan di dalam peraturan perundang-undangan terkait
sanksi perbuatan melawan hukum dalam perkawinan, muncullah ketidakkonsistenan
pada Majelis Hakim dalam memutus kasus tersebut yang dapat dilihat
ada perbedaan yang cukup jelas pada era 1980 s.d. 1990-an dengan era 2000-an
hingga sekarang. Asas kepatutan dan rasa keadilan yang disesuaikan dengan
kondisi masyarakat menjadi salah satu faktor penentu keputusan Hakim, sehingga
apabila kondisi masyarakat berubah pun akan mempengaruhi hukum yang
berlaku.

ABSTRACT
Under article 1365 Indonesia Civil Code (ICC), every act that violates the law
and bring harm to others, requires that the person causing the loss that caused by
his mistake to replace those losses. However, in practice in current times, claims
for compensation filed is not always granted by the judges. This condition is very
different than in the 1980s s.d. 1990s, where tort to the person found guilty of
committing umlawful acts, especially in a marriage fraud tends to be granted.
Therefore the aim of this study was to understand the concept of consideration of
the judges in deciding the case related to demand compensation fraud in marriage.
This research is a normative juridical, with an approach in legislation (statute
approach), comparison (comparative approach) and aprroaches in cases (case
approach). Based on the results of the study, due to the lack of confirmation in the
legislation related to unlawful acts in marriage, there was inconsistency in the
panel of judges in deciding such cases that can be seen there are considerable
differences evident in the 1980s to 1990s with the 2000s era to the present. Merit
and sense of justice that is adapted to the conditions of society becomes a
determining factor for the judge's decision, therefore, if there was any change in
society it will affect the applicable law."
2016
S62844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library