Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salomon Anderias Mesak Babys
Abstrak :
[ABSTRAK
Tesis ini menganalisis sikap Indonesia terhadap kebangkitan Tiongkok sebagai super power dari perspektif hedging. Menurut teori hedging, kebangkitan Tiongkok sebagai super power bukan semata-mata sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk dikelola secara bilateral dan multilateral menggunakan tiga pendekatan yaitu dengan strategi engagement, enmeshing, dan soft balancing. Indonesia menggunakan strategi hedging dengan dasar pemikiran bahwa strategi hedging menjadi strategi yang paling ideal untuk digunakan oleh Indonesia karena masih sangat singkon dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, sekaligus sebagai sebuah strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan objektif Indonesia sebagai negara yang juga sedang bangkit. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia menggunakan Strategi hedging dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi, politik dan militer dari Tiongkok yang bangkit sebagai super power, tetapi juga untuk menciptakan keseimbangan yang ideal di kawasan, sehingga Indonesia tidak didominasi oleh kekuatan manapun baik dari Amerika Serikat ataupun dari Tiongkok. Strategi ini digunakan oleh Indonesia dengan maksud untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) Indonesia di mata Tiongkok dan di kancah politik dunia internasional.
ABSTRACT
The focus of this theses is to analyze Indonesia perspective towards the Rise of China as a new super power from hedging perspective. Acording to the theory, the Rise of China as a new super power is not only a threat but as an opportunity for Indonesia to manage its relations to china through three approach: engagement policy, enmeshing policy, and soft balancing. Indonesia used hedging strategy because it fits well with Its national interest, which may consist its international political principle, ?bebas aktif,? and as a grand strategy which could accomodate Indonesia pragmatic needs. This research concluded that Indonesia used hedging strategic to reap benefits in economic, politic and military sector from China as a rising power. It also create a balanced region with the U.S. down and the China up, and the ASEAN stayed as the center of the region. This strategy also primarily used to upgrade Indonesia bargaining position against the U.S., China, and international community., The focus of this theses is to analyze Indonesia perspective towards the Rise of China as a new super power from hedging perspective. Acording to the theory, the Rise of China as a new super power is not only a threat but as an opportunity for Indonesia to manage its relations to china through three approach: engagement policy, enmeshing policy, and soft balancing. Indonesia used hedging strategy because it fits well with Its national interest, which may consist its international political principle, “bebas aktif,” and as a grand strategy which could accomodate Indonesia pragmatic needs. This research concluded that Indonesia used hedging strategic to reap benefits in economic, politic and military sector from China as a rising power. It also create a balanced region with the U.S. down and the China up, and the ASEAN stayed as the center of the region. This strategy also primarily used to upgrade Indonesia bargaining position against the U.S., China, and international community.]
2015
T44256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Haris
Abstrak :
Kerjasama keamanan Jepang dengan Uni Eropa (UE) yang telah berlangsung cukup lama, dinilai masih sangat minim dan terbatas. Namun, di masa pemerintahan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terjadi perkembangan yang cukup signifikan. Ditandai dengan kerjasama keamanan kedua pihak yang terlibat dalam misi kontra pembajakan di Somalia dan pembuatan Perjanjian Kerjasama Strategis (Strategic Partnership Agreement, SPA) sebagai kerangka kerja yang mengikat dan berkekuatan hukum, menimbulkan optimisme Jepang-UE terhadap semakin eratnya kerjasama keamanan kedua belah pihak di masa yang akan datang. Pertanyaan dalam penelitian adalah: Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Jepang di masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE?. Penelitian ini menggunakan konsep dan teori adaptive foreign policy James N. Rosenau. Analisis dalam penelitian ini menemukan bahwa Jepang dalam melakukan kerjasama keamanannya dengan UE di masa pemerintahan Abe, dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan eksternalnya. Faktor internalnya adalah kepemimpinan dari Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri dan reformasi kebijakan pertahanan dan keamanan yang menginginkan Jepang lebih proaktif berkontribusi untuk perdamaian. Sedangkan faktor eksternalnya adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dengan kebijakan-kebijakannya dan perkembangan dari peran UE sebagai aktor keamanan global. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka dan dokumen. Data bersumber dari pemerintah dan pernyataan yang diterbitkan dan jurnal, buku dan situs internet. ......Japanese security cooperation with the European Union (EU) that has been going on for quite a long time, but still considered very minimal and limited. However, during the reign of Japanese Prime Minister Shinzo Abe there was a significant development. Marked by the security cooperation of the two parties involved in the counter-piracy mission in Somalia and the creation of a Strategic Partnership Agreement (SPA) as a binding and legally enforceable framework, it has raised optimism between Japan and the EU in the increasingly tight cooperation between the two parties which will come. The questions in the study are: What factors influence Japan during the reign of Prime Minister Shinzo Abe in conducting security cooperation with the EU? This research uses James N. Rosenau's adaptive foreign policy concept and theory. The analysis in this study found that Japan in carrying out its security cooperation with the EU in Abe's reign, was influenced by changes that occurred in its internal and external environment. Its internal factor is the leadership of Shinzo Abe as Prime Minister and defense and security policy reforms who want Japan to be more proactive in contributing to peace. While the external factor is the election of Donald Trump as US President with his policies and the development of the EU's role as a global security actor. This study uses qualitative methods through literature and document studies. Data sourced from the government and published statements and journals, books and internet sites.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T51685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Nugroho
Abstrak :
ABSTRAK
Dibalik banyaknya kajian displin ilmu Hubungan Internasional yang meneliti tentang respon negara dalam menanggapi kejahatan transnasional, masih cukup sedikit kajian yang berfokus pada respon negara dalam menghadapi cybercrime. Hal ini dikarenakan, kasus-kasus cybercrime hanya dianggap sebagai sebuah kasus dalam ranah teknologi saja. Situasi ini menarik perhatian penulis untuk membuat penelitian dengan menganalisis bagaimana upaya kerjasama ASEAN dalam menanggulangi kejahatan yang terjadi di ruang cyber cybercrime . Dalam penelitian ini digambarkan bahwa kasus cybercrime dapat memberikan implikasi terhadap hubungan antar negara, karena sifat kejahatan tersebut yang borderless lintas batas negara dan karakter ancaman yang dikategorikan sebagai keamanan non tradisional. Dengan menggunakan konsep kerjasama internasional yang dikemukakan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye serta metode pengolahan data secara kualitatif terhadap gejala-gejala latar belakang sosial yang muncul pada kasus cybercrime, tulisan ini hendak menggambarkan tujuan dari dilakukannya suatu kerjasama internasional oleh negara-negara anggota ASEAN dalam penanggulangan cybercrime. Hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa upaya ASEAN untuk menanggulangi cybercrime telah dituangkan dalam deklarasi ASEAN yaitu The 3rd Joint Communiqu AMMTC pada 11 Oktober 2004 di Singapura. Selain itu, para pemimpin ASEAN memandang bahwa cybercrime merupakan ancaman besar bagi stabilitas keamanan kawasan, serta ekonomi dan politik. Komponen kerjasama keamanan ASEAN telah dikokohkan dalam ASEAN Regional Forum ARF . Namun kerjasama ARF tersebut dinilai belum efektif karena adanya kelemahan-kelemahan dalam proses pengambilan keputusan sehingga belum mampu mengatasi perbedaan pendapat yang cukup mendasar dalam merumuskan strategi yang diperlukan khususnya untuk memerangi cybercrime. Walaupun masih terdapat kelemahan dalam penanggulangan cybercrime di ASEAN, namun kondisi tersebut dapat diminimalir dengan adanya kerjasama seperti pertukaran informasi intelijen terhadap pelaku potensial cyber melalui sistem electronic-ASEANAPOL Database System e-ADS , harmonisasi hukum yang mengatur keamanan di ruang cyber,serta pelatihan bersama para penyidik dan penegak hukum dalam hal investigasi dan penyidikan digital forensik.
ABSTRACT
Despite the vast research of International Relations disciplines that examines the state s response toward transnational crime, it is still quite a bit of study which focuses on the state s response face to cybercrime. This is because, many researches study cybercrime cases from the point of view of technology. This condition attracted the attention of writers to make a research by analyzing how the efforts made by ASEAN cooperation to combat crimes in the cyber space cybercrime . This research describes that cybercrime cases may have implications to influence a relation between nation states, due to the fact that cybercrime has borderless nature and the character of the threat which is categorized as a non traditional security. Therefore, by using the concept of international cooperation by Robert Keohane and Joseph Nye and conducting a qualitative data processing methods for symptoms of social background that appears in cybercrime cases, this research aims to describe the purpose of the international cooperation performed by ASEAN member countries in combating cybercrime. The result of this study found that ASEAN s efforts to combat cybercrime has been validated by a declaration in the 3rd ASEAN joint communiqu AMMTC on October 11th, 2004 in Singapore. In addition, ASEAN leaders consider cybercrime as major threat to the regional security and stability, as well as economic and political. ASEAN security cooperation has been affirmed in the ASEAN Regional Forum ARF . However, the ARF cooperation is considered ineffective because it still shows a weakness in the decision making process that has not been able to overcome disagreements which are fairly fundamental in formulating the strategies needed to combat cybercrime. Although, there are still weaknesses in the ASEAN cooperation to combat cybercrime, but, such condition can be mitigated by a cooperation such as the exchange of intelligence information on potential cyber offenders through an integrated system named electronic ASEANAPOL Database System e ADS , the harmonization of law governing security in cyber space, as well as the integrated activity of people capacity building for investigators and law enforcement in terms of investigations and digital forensic investigation.
2016
T46974
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S8024
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Meganingratna
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menggambarkan tentang efektivitas kerjasama yang dibentuk oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura di dalam pengamanan selat Malaka setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001 hingga tahun 2010 yang telah mengubah ancaman dan tantangan keamanan di kawasan ini. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif dengan data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa efektivitas kerjasama yang dibentuk oleh littoral states dalam pengamanan selat Malaka ini sangat di pengaruhi oleh banyak alasan sehingga bentuk bentuk kerjasama di Asia tenggara antara littoral states terbatas bahkan hingga pasca peristiwa 11 September 2001. Secara historis perompakan dan terorisme maritim memang bukan merupakan masalah yang dianggap penting. Akibatnya ada keengganan untuk bekerjasama pada isu tersebut. Adanya peristiwa 11 September 2001 dan beberapa kejadian lain yang berhubungan dengan terorisme akhirnya membuat littoral states mengubah persepsinya pada berbagai masalah yang sebelumnya diyakini bukan sebagai ancaman pada masa lalu. sehingga sangat penting untuk menginterpretasikan kerjasama keamanan maritim secara lebih luas sehingga diharapkan dapat menjawab tantangan dan dinamisme perkembangan maritim dalam batas teritorial setiap negara
Abstract
This study illustrates the effectiveness of cooperation established by Indonesia, Malaysia and Singapore in the Malacca Strait security after the event of 11 September 2001 that have changed the threats and security challenge in the region. This research is a quantitative study with secondary data. Study concluded that the effectiveness of cooperation established by littoral states in securing the Malacca strait is influenced by many reasons, so the form of cooperation in Southeast Asia between the littoral states is limited even after the events of 11 September 2001. Historically piracy and maritime terrorism is not an issue that is important. As a result there is a reluctance to cooperate on the issue. The existence of the event of 11 September 2001 and some other events related to terrorism ultimately make littoral states to change their perception on various issues that were previously believed to be not as a threat in the past. So it is important to interpret maritime security cooperation more broadly so that is expected to meet the challenges and dynamism in the development of maritime territorial limits of each country.
Abstract
This study illustrates the effectiveness of cooperation established by Indonesia, Malaysia and Singapore in the Malacca Strait security after the event of 11 September 2001 that have changed the threats and security challenge in the region. This research is a quantitative study with secondary data. Study concluded that the effectiveness of cooperation established by littoral states in securing the Malacca strait is influenced by many reasons, so the form of cooperation in Southeast Asia between the littoral states is limited even after the events of 11 September 2001. Historically piracy and maritime terrorism is not an issue that is important. As a result there is a reluctance to cooperate on the issue. The existence of the event of 11 September 2001 and some other events related to terrorism ultimately make littoral states to change their perception on various issues that were previously believed to be not as a threat in the past. So it is important to interpret maritime security cooperation more broadly so that is expected to meet the challenges and dynamism in the development of maritime territorial limits of each country.
2012
T30452
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Ayuningtias Fitria Ningrum
Abstrak :
Penelitian tesis ini menganalisa tentang kegagalan kerjasama keamanan maritim ASEAN dalam menghadapi permasalahan illegal fishing di perbatasan wilayah maritim Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara. Permasalahan ini dibahas sebab kawasan maritim ASEAN merupakan salah satu jalur perdagangan strategis internasional yang dilewati sekitar 70% kapal perdagangan yang melalui wilayah maritim ASEAN. Begitu pentingnya wilayah maritim ASEAN sehingga negara-negara anggota ASEAN mempunyai tanggung jawab untuk melindungi wilayah maritim dari berbagai ancaman keamanan laut, seperti pencurian ikan atau illegal fishing. Pencurian ikan atau illegal fishing di kawasan Asia Tenggara paling banyak terjadi berada di laut Indonesia. Sebagai negara maritim terbesar di ASEAN, Indonesia merasa dirugikan dalam sektor politik, ekonomi, sosial, dan keamanan negara. Pencurian atau penangkapan ikan secara ilegal memperlihatkan adanya pelanggaran batas kedaulatan laut yang dilakukan oleh negara-negara lain khususnya di negara-negara kawasan Asia Tenggara, seperti: Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina. Di samping itu, kasus pencurian ikan yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN tersebut di perairan Indonesia menunjukkan bahwa kerjasama-kerjasama keamanan maritim ASEAN mengalami kegagalan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan gagalnya kerjasama keamanan maritim ASEAN, diantaranya adalah ketidaktegasan peraturan dalam kerjasama tersebut, perbedaan pandangan negara-negara ASEAN mengenai permasalahan pencurian ikan, ketidakmampuan ASEAN dalam menjaga wilayah laut regional ASEAN dan faktor ekonomi. Disamping itu, kegagalan kerjasama maritim ASEAN disebabkan pula oleh kegagalan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus pencurian ikan. ...... This thesis analyzes the failure of the ASEAN maritime security cooperation in addressing illegal fishing in Indonesian maritime border with other Southeast Asian countries. This issue is discussed because ASEAN maritime region is one of the international strategic paths, which is passed by 70% of international trade by sea. Therefore the ASEAN maritime border is crucial. ASEAN countries have a responsibility to protect maritime security and to overcome threats, such like illegal fishing. Illegal fishing in Southeast Asian maritime region is one of the most popular problems that happen in the Indonesian seas. As the largest maritime country in ASEAN, Indonesia has suffered illegal fishing in terms of the political, economic, social, and national security. Illegal fishing is an infrigement of the sovereignty. In Indonesian case, the illegal fishing has been done by ships with flags from Thailand, Malaysia, Vietnam, and the Philippines. The fact that the illegal fishing has been done by ASEAN countries shows that the ASEAN maritime security cooperation has failed. There are several factors that lead to the failure of the cooperation, such as the inconsistence of regulation in the ASEAN maritime cooperation, the difference of thoughts among ASEAN countries on illegal fishing, ASEAN inability to protect ASEAN region border, and economic factor. In addition, the failure of ASEAN maritime cooperation happens due to the inability of the Indonesian Government to tackle illegal fishing.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Kencana Adjani
Abstrak :
Dengan meningkatnya ancaman nuklir dari Korea Utara di tahun  2000-an, pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk memfokuskan upayanya dalam denuklirisasi Semenanjung Korea salah satunya dengan  membangun rezim perdamaian permanen yang melibatkan penguatan hubungan dengan beberapa negara di antaranya, Negara Anggota ASEAN. Moon menjembatani kepentingan Korea Selatan di Asia Tenggara melalui New Southern Policy (NSP), suatu kebijakan yang secara kasat mata bertitik berat di segi ekonomi namun juga memiliki segi pertahanan dan keamanan wilayah. Dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, penelitian ini mencoba menjelaskan strategi yang dilakukan oleh Pemerintahan Korea Selatan dalam upaya pembangunan keamanan di Semenanjung Korea melalui NSP, khususnya terkait dengan ketidaknyamanan hubungan negara dengan Korea Utara. Penemuan penelitian ini adalah melalui NSP, Moon Jae In melakukan pendekatan diplomasi preventif terhadap Korea Utara dengan bantuan Negara Anggota ASEAN. Hal ini dapat dibuktikan dengan pertemuan-pertemuan momentum yang terlaksana, walaupun hubungan kedua korea masih tidak tentu dan fluktuatif. ......The increasing nuclear threat from North Korea in the 2000s made the South Korean government more focused on its efforts to denuclearize the Korean Peninsula, one of which was building a permanent peace regime that involved strengthening relations with several countries, including ASEAN countries. Moon bridges South Korea's interests in Southeast Asia through the New Southern Policy (NSP), a policy that at glance focuses on the economy but also has aspects of regional defense and security. Using the descriptive-analytical method, this study tries to explain the strategy carried out by the South Korean Government in efforts to develop security on the Korean Peninsula through the NSP, particularly related to the discomfort of the state's relations with North Korea. The finding of this research is that through the NSP, Moon Jae In took a preventive diplomacy approach towards North Korea with the help of ASEAN countries. This can be proven by the momentum meetings that have been held, even though the current relationship between the two Koreas is still uncertain and fluctuating. 
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jang Yun Hyeong
Abstrak :
Saat ini, banyak negara berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi untuk mempromosikan perdamaian berdasarkan rekonsiliasi dan kerja sama dan mempromosikan kesejahteraan rakyat mereka sendiri daripada konfrontasi ideologis dan militer yang ada dalam proses pembentukan tatanan internasional baru ini. Namun, situasi Asia Timur Laut termasuk semenanjung Korea memiliki ambivalensi rekonsiliasi dan ketegangan karena peningkatan ketergantungan bersama di antara negara-negara di wilayah tersebut, sisa-sisa Perang Dingin, dan ketidakpastian rezim Korea Utara.

 Dalam situasi ini, Six-Party Talks (SPT) belum dilanjutkan untuk waktu yang lama karena uji coba nuklir Korea Utara dan uji coba peluncuran rudal, dan minat dalam perundingan enam negara baru-baru ini meningkat. Dalam tulisan ini, Penulis membahas persepsi dan kebijakan negara-negara Asia Timur Laut yang berfokus pada diskusi tentang pelembagaan multilateral yang disebut SPT. Selain itu, upaya, kinerja dan keterbatasan kelembagaan untuk melembagakan SPT juga dibahas.

 Pada akhirnya, untuk mengembangkan SPT sebagai kerjasama keamanan multilateral di wilayah tersebut, perlu untuk memperkuat elemen multilateral dalam hal operasi dan fungsi perundingan, dan pada saat yang sama, perbaikan lingkungan di wilayah tersebut harus dilakukan untuk membangun kerjasama keamanan multilateral. Selain itu, sangat penting untuk mendapatkan dukungan aktif dan kerjasama di negara-negara tetangga. ......Many countries are now focusing on economic development to promote peace and promote the welfare of their citizens based on reconciliation and cooperation rather than ideological and military confrontations that exist in the process of forming a new international order. But the situation in Northeast Asia, including the Korean Peninsula, is ambiguous due to increased interdependence among countries in the region, the remnants of the Cold War and uncertainties in the North Korean regime.

 Under these circumstances, the Six-Party Talks (SPT) did not last long due to North Korea's nuclear and missile tests, and interest in the SPT has recently increased. The paper discusses the perceptions and policies of Northeast Asian countries that focus on discussions on multilateral institutionalization, called SPT. And also discussed efforts, achievements and institutional limitations to institutionalize SPT.

 Finally, in order to develop SPT as a multilateral security cooperation within the region, it is necessary to strengthen multilateral elements in terms of operational and negotiating functions, and at the same time carry out environmental improvements in the region to develop multilateral security cooperation. It is also very important to gain active support and cooperation from neighboring countries.

 

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library